|17| Catatan Anak Rantau

Hidup jauh dari orang tua tidak semudah yang kubayangkan. Aku teperdaya bualan pamanku. Beliau mengatakan kalau menjadi anak rantau itu asyik. Apanya yang asyik? Aku harus bisa mengurus diri sendiri. Segala keputusan diserahkan padaku. Jika salah mengambil langkah, aku sendiri yang menanggung risikonya.

Tak terdengar lagi suara Mama yang setia membangunkanku kala pagi menjelang. Bapak yang sering memarahiku. Perdebatan-perdebatan konyol dengan Fauzan. Aku merindukan mereka.

Aku tersentak saat ada yang menarik ujung kerudungku. Kutolehkan kepala ke belakang. Seorang gadis sedang memandangiku. "Kenapa?" gumamku tidak berminat.

"Kamu udah dapat kelompok?"

"Hah?"

Gadis itu menunjuk ke depan. Kuikuti arahannya. Aku terlalu sibuk melamun sampai ketinggalan pelajaran. Dosen menyuruh kami menyelesaikan proyek makalah secara berpasangan.

Kuembuskan napas keras. Satu lagi yang membuatku semakin merasa terbebani. Perkuliahan aktif baru berjalan satu minggu, tapi para dosen tak sabaran memberikan tugas beruntun.

"Belum. Pasangannya pilih sendiri?" tanyaku pada gadis itu. Aku belum mengenal seluruh mahasiswa yang ada di kelas ini. Pihak birokrasi program studi membagi kami ke dalam empat kelas berdasarkan tes kemampuan akademik. Setiap kelas berisi sekitar 25 mahasiswa. Aku berada di kelas B.

"Iya. Kamu sama aku aja, ya? Siapa nama lengkapmu?" Gadis itu mengeluarkan bukunya dan bersiap mencatat.

"Arisha Luana, kalau kamu?"

"Aurelia Almashyra."

"Apa?" sahutku cepat. Susah sekali penyebutan namanya.

"Panggil aja Aurel," sahutnya kalem. Kubalas anggukan singkat.

Kami diam. Kembali fokus ke depan. Mendengarkan dosen melanjutkan ceramahnya. Aku menopang dagu sambil menyorot malas. Bagaimana aku harus menjalani perkuliahan di tempat yang tidak kuinginkan?

"Arisha," bisik-bisik kembali terdengar dari belakangku. Aku memiringkan badan. "Kita ngerjain ini setelah kuliah, ya?"

"Cepat banget!" protesku. Tugas ini akan dikumpulkan pekan depan. Aku tidak serajin itu.

"Bakalan banyak tugas mengantre. Aku bukan penghamba deadline," tukasnya acuh tak acuh.

Aku mengernyitkan dahi. Jika boleh menilai sekilas, Aurel meninggalkan kesan cuek dan tidak mau tahu urusan orang lain. "Aku ada janji sama senior sore ini."

Aurel membalas tatapanku. Tidak ada yang dapat kutemukan dari sorot matanya. Terlihat kosong. "Kapan kamu bisanya? Maksimal besok sore udah harus selesai."

Oi, sepertinya aku salah menerima partner kelompok. Tapi, ya sudahlah. Jika seantusias ini, berarti dia menyukai Fisika. Setidaknya, dia akan jadi back up ketika kemalasanku mulai berulah. "Oke."

Aurel menyodorkan pulpen padaku. "Tulis nomor WA-mu biar bisa kuhubungi buat informasi pembagian tugas."

"Kenapa nggak pakai HP langsung aja?"

"Mati."

Aku mengangguk-angguk sambil menuliskan nomor ponselku. Dosen masih berbicara di depan. Aku sudah tidak dapat mengikuti topik pembahasannya. Setelah selesai, kuserahkan kembali alat tulis itu kepada Aurel.

"Eh, dialekmu aneh. Di mana tempat asalmu?"

Kurasakan pelipisku berkedut-kedut. Bukankah itu komentar agak kasar untuk ukuran orang yang baru kenalan? "Sulawesi Tenggara. Kenapa emang?" sahutku tersinggung.

Aurel menahan uap. Ia bertopang dagu. Pandangannya tertuju ke depan. "Cuma penasaran. Mirip si Adiba, ya? Mahasiswa yang waktu itu disuruh mengenalkan diri."

"Kami emang satu daerah, tapi baru kenal pas kuliah. Beda kabupaten."

"Oh," sahutnya singkat.

Kerutan di dahiku bertambah. Gadis ini membuatku kesal. Aku menarik napas panjang. Sepertinya Aurel tidak akan kujadikan teman dekat. Sisa kuliah kala itu kuhabiskan dengan banyak melamun.

*

Aku baru selesai salat Ashar. Langkahku begitu santai menuju ke taman fakultas. Kurasa sudah jadi kebiasaan orang Indonesia terlambat saat membuat janji. Aku yakin kakak tingkat yang janjian denganku juga belum datang. Itulah kenapa aku sengaja berlama-lama di musala.

Benar dugaanku. Taman fakultas terlihat sepi. Hanya ada seorang perempuan yang duduk di sana. Taman itu terletak tepat di depan gedung pusat administrasi Fakultas MIPA. Beton dibentuk melingkar mengelilingi sebuah pohon beringin. Kelilingnya cukup luas karena difungsikan sebagai tempat duduk. Di luar lingkaran tersebut banyak bunga hias yang dikembangbiakkan.

Kuputuskan untuk duduk di sisi yang berseberangan dengan perempuan itu. Dari sini bisa kulihat lalu-lalang kendaraan. Taman ini juga terletak di tepi jalan.

"Dek Arisha?"

"Huh?" Aku mendongak. Perempuan tadi menghampiriku. Mataku mengerjap lambat. Kalau kuingat-ingat, berdasarkan informasi yang dikirimkan lewat WhatsApp, kakak tingkat yang akan bertemu denganku mengenakan pakaian bernuansa hitam-merah marun. "Ah, i-iya," gumamku pelan. Jangan-jangan dia orangnya?

"Aku Faira, Dek," ucapnya disertai senyuman simpul.

Aku menyambut uluran tangannya. Kami bersalaman. Dia menunduk, aku melongo. Kurasa kami belum terlalu dekat untuk melakukan cupika-cupiki. "Kenapa telat? Adek baru keluar kelas?"

Kutelan ludah susah payah. Keramahan yang asing. Di tempat asalku tak pernah kutemukan perekenalan begini rupa. Ah, hampir saja aku lupa kalau sekarang posisiku di Malang. Ada perbedaan culture yang jelas terasa.

Aku berdehem, "Kakak udah lama?" tanyaku takut-takut. Aku akan merasa bersalah jika dia datang tepat waktu. Perasaanku tidak enak saat menemukan mentorku adalah perempuan seramah ini.

Kak Faira hanya tersenyum. Dia mengambil posisi tepat di depanku. Kami duduk saling berhadapan. "Ini pertemuan pertama kita ya, Dek?"

Aku mengangguk canggung. Kak Faira adalah mentorku di LDK Al-Hikmah. Wajib bagi setiap anggota untuk melakukan pembinaan intensif dengan tujuan membentuk kepribadian Islam. Pembinaan ini dikenal dengan istilah mentoring. Dilakukan secara personal maupun berkelompok. Seorang mentor memegang satu atau lebih adik binaan yang akan diajak berdiskusi setiap pekan. Begitu informasi yang kuterima saat berkunjung ke sekretariat LDK Al-Hikmah seminggu lalu.

"Adek asalnya dari mana?"

Aku meringis pelan. Rasanya aneh mendengar orang lain memanggilku sesopan dan selembut itu. "Kak, pakai kata ganti kamu aja, ya?" pintaku sambil menyengir salah tingkah.

"Kenapa emang?"

"Kedengaran aneh soalnya di tempat asalku nggak gitu cara manggil orang lain," sahutku terus terang. Demi kenyamanan bersama, kenapa tidak?

Kak Faira tersenyum lucu. "Ya udah, aku pakai kata ganti kamu nih?" tukasnya. Kusambut anggukan cepat. "Kamu dari mana asalnya, Dek?"

"Sulawesi Tenggara, Kak."

"Oh? Satu daerah sama Adiba?"

Aku meneleng bingung. "Kakak kenal Adiba?"

"Adiba adik mentorku juga. Btw, kita satu prodi, lho, Dek. Aku angkatan 2015."

"Seriusan?" Aku jadi berubah antusias. Senang mengetahui kami satu program studi. Jika aku mengalami kesulitan, dia bisa kujadikan tempat bertanya. Ide bagus!

"Iya. Gimana rasanya jadi mahasiswa?"

"Capek, Kak. Dosennya nggak ngira-ngira kalau ngasih tugas. Agak kaget soalnya waktu SMA nggak sepadat ini."

Kak Faira tertawa singkat. "Ya, begitulah suka-duka mahasiswa. Oh, iya, kenapa jauh-jauh kuliah di Malang? Di Sulawesi nggak ada kampus kah?"

"Ada, Kak. Cari pengalaman, sih. Kejebak testimoni dari pamanku. Katanya, merantau itu asik. Kalau Kakak sendiri asalanya dari mana?"

"Ponorogo. Kenapa milih jurusan Fisika? Pelajaran favorit?"

"Ih! Enggak! Tertolak di kampus dan jurusan idaman. Jadi, terpaksa kuliah di sini." Aku mengedikkan bahu. Begitulah kenyataanya. Sampai sekarang aku belum rela menjalani aktivitas di kampus ini.

"Alasan klise, ya?" gumamnya sambil tersenyum geli.

Aku cemberut. Sepertinya memang banyak mahasiswa yang mengalami hal serupa. Tertolak di kampus impian, lantas memutuskan kuliah di tempat lain daripada jadi pengangguran. Sedikit banyak, aku harus bersyukur punya kesempatan kuliah di kampus negeri. Ya, walaupun tak terlalu paham apa keunggulan kampus negeri dibandingkan swasta. Kurasa di manapun tempatnya, pribadi mahasiswalah yang menentukan.

"Kalau alasan masuk di LDK, Dek? Biasanya 'kan sasaran maba ke OPM atau UKM yang lain."

"Apa bedanya OPM dan UKM, Kak?"

"OPM itu Organisasi Pemerintahan Mahasiswa. Seperti HMJ, BEM, DPM, dan DMF. Kalau UKM ya Unit Kegiatan Mahasiswa non pemerintahan. Lebih fokus ke bidang bakat-minat tertentu. Seperti UKM Penulis, UKM Pramuka, termasuk LDK Al-Hikmah."

Aku mengangguk-angguk. Sekilas aku mengingat hal ini sudah pernah dijelaskan saat PKKMB. Hanya saja, aku terlalu bosan untuk menyimak dengan baik kala itu. "Alasan aku masuk di LDK Al-Hikmah, ya? Pengen tahu Islam itu kayak gimana, Kak."

"Maksudmu, ingin belajar Islam?"

Aku terdiam sejenak. Tidak mungkin kujabarkan motif dibalik keinginan untuk mengetahui Islam lebih jauh. Maksudku, bukankah sama saja artinya aku mengungkapkan kepada dunia bahwa alasanku sebenarnya adalah seorang laki-laki? Tidak. Itu agak memalukan. Sedikit ragu kujawab, "Kurang lebih gitu."

"Kenapa mau belajar Islam, Dek?" tanya Kak Faira lagi.

Aku menatapnya bingung. Kenapa? Ya, karena aku ingin tahu apa yang menyebabkan Dani memutuskanku. Kenapa Dani memilih jalan hijrah dan tega menghancurkan hubungan kami? Namun, tidak mungkin kujawab begitu, bukan? Kutarik napas pelan. Kucoba mengingat-ingat pelajaran agama sewaktu sekolah. Ah, aku ingat ada dalil yang menyebutkan kalau belajar Islam itu kewajiban bagi setiap muslim. "Soalnya aku muslim, Kak."

"Kenapa emang kalau muslim?"

Aku bergerak gelisah. Obrolan ini sedikit membuatku tidak nyaman. "Ya, 'kan hukumnya wajib buat belajar Islam."

"Kenapa emang kalau wajib?"

"Ih! Kok nanya kenapa mulu?" protesku sambil mengerutkan kening.

Kak Faira terkekeh ringan. "Jawab aja, Dek."

"Allah yang nyuruh, Kak. Dilaksanakan berpahala, ditinggalkan berdosa."

"Kenapa emang kalau Allah yang nyuruh?"

"Ya, 'kan Allah Pencipta kita!"

"Oh, ya? Kamu percaya kalau Allah Pencipta kita?"

"Hah?" Aku melongo, Kak Faira tersenyum penuh arti.

To be continue ...

Aku rencanakan cerita ini tamat Februari. Semoga, deh. Biar Maret bisa fokus nyelesaiin Parak.

Jangan lupa voment kalau udah baca 😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top