|16| Sebuah Permulaan
Agustus 2016.
Tidak pernah kubayangkan akan berada dalam posisi ini. Duduk bersama ratusan orang dengan mengenakan almamater serupa. Menyaksikan senior mempermainkan kami para mahasiswa baru.
Aku tidak pernah menginginkan kuliah di kampus ini. Mempersiapkan diri menjadi calon guru bukanlah cita-citaku. Terlebih, menempuh pendidikan di bidang yang kubenci semasa sekolah. Apa lagi kalau bukan Fisika.
"Perkenalkan, nama saya Adiba Shakila, program studi Pendidikan Fisika, tempat asal Sulawesi Tenggara."
Senyumku mengembang mendengar dialek gadis itu. Khas sekali. Kurasa aku pun akan terdengar begitu jika berbicara. Hampir semua orang menyorakinya. Mungkin karena logatnya yang berbeda.
Sudah empat hari kami menjalani serangkaian PKKMB. Sekarang kegiatan berlangsung di tingkat fakultas. Tersisa dua hari lagi agar kami diakui secara sah sebagai mahasiswa di kampus ini.
Setelah gadis bernama Adiba diperkenankan duduk kembali, seorang senior mengambil alih forum. Aku menguap lebar. Benar-benar membosankan. Seharian kami hanya duduk mendengarkan materi di dalam ruangan. Sesekali, panitia akan menyelipkan game. Hukumannya sederhana saja. Memperkenalkan diri dan menyanyikan lagu anak dengan mengganti huruf vokal dalam setiap liriknya. Sedikit kekanakkan.
Aku tidak ingat berapa lama kami terkurung di sana. Tahu-tahu, ada seseorang yang menepuk pundakku dan mengatakan bahwa acara akan segera berakhir. Kubalas dengan senyum simpul dan ucapan terima kasih. Tidak lama kemudian, seluruh mahasiswa baru berhamburan keluar. Acara hari ini telah usai.
Aku menarik napas lega setelah berada di luar. Tadi itu benar-benar sumpek. Kurasa kami berebut oksigen. Aku mengerjap saat ada seseorang yang melintas di depanku. Itu Adiba!
"Hai!" Aku menepuk pundaknya sok akrab. Kuputuskan untuk memperbanyak relasi. Sudah bukan masanya bertahan pada zona nyaman sebagaimana dulu. Rumahku bermil-mil jauhnya di pulau yang berbeda. Menemukan orang yang sedaerah di tahah rantau rasanya bagaikan anugerah.
Adiba menoleh. Memandangku bingung. "Ya?"
Kuberikan senyum terbaik. "Kamu Adiba, bukan?"
Dia mengangguk. Aku mengulurkan tangan. "Kenalkan, aku Arisha. Dari Sulawesi Tenggara juga."
"Oh, iya?" sahutnya dengan mata berbinar. Benar, kan? Bukan hanya aku yang merasa senang. Adiba menjabat tanganku.
"Aku dari Buton, kalau kamu?" tanyaku. Sebisa mungkin bersikap aktif. Kami jalan bersisian.
"Tetangga dong! Aku dari Raha," serunya girang. Kurasa dia gadis yang ceria.
Aku mengangguk-angguk. "Di Malang sendirian?"
"Ya, tapi ada kakakku yang kuliah S2 di Surabaya. Kamu?"
"Aku punya paman kuliah S2 di sini."
Adiba menyodorkan ponselnya. Aku menatapnya bingung. "Minta kontakmu. Senang banget dapat teman satu daerah di sini! Ternyata aku bukan satu-satunya. Sejak tadi yang kudengar mayoritas pakai bahasa Jawa."
Aku tersenyum lebar. Sepertinya kami bisa jadi teman dekat. Tanpa pikir panjang, kami langsung bertukar nomor ponsel.
"Eh, kamu udah nentuin mau ikut organisasi apa?" tanya Adiba setelah kami melanjutkan perjalanan.
"Belum kepikiran. Emang wajib, ya?"
"Enggak, sih. Cuma sayang kalau kesempatan gini dilewatkan. Lumayan buat nambah teman, kan?"
Aku mengangguk-angguk lagi. Benar apa katanya. Salah satu cara menambah relasi adalah dengan masuk organisasi. "Kamu sendiri mau ikut organisasi apa?"
"Rencananya HMJ sama LDK Al-Hikmah."
"LDK itu apa?"
"Lembaga Dakwah Kampus." Adiba berhenti sejenak. Mengacak-acak isi tasnya. Dia mengeluarkan selebaran. "Kemarin ada senior yang ngasih ini. Kayaknya asik buat belajar Islam. Dapat teman hijrah juga."
"Enggak, ah. Kamu nggak takut didoktrin macam-macam?" Aku punya sedikit kenangan buruk dengan hal-hal berbau hijrah dan dakwah.
Adiba tertawa pelan. "Emang bakalan didoktrin apa? Aku sih pengen ngelanjutin aktivitasku waktu masih sekolah."
"Kamu nggak takut diajarin hal-hal sesat gitu?"
"Nggak akan! Percaya, deh. Aku terlibat aktivitas ginian dari kecil. Alhamdulillah belum menemukan keanehan. Kamu belum tahu mau masuk organisasi apa, kan? Mending bareng aku aja! Ya? ya?" bujuk Adiba sambil memandangku percaya diri. Sinar matanya terlihat meyakinkan.
"Benaran nggak bakal bikin kita sesat? Nggak ada ajaran aneh-aneh? Ini Islam garis lurus, kan?"
Lagi-lagi Adiba tertawa. Entah apa yang lucu dengan ucapanku. "Emang ada Islam garis bengkok?" tanyanya geli. Aku diam saja. Siapa yang tahu? Aku hanya mengikuti opini yang beredar di masyarakat.
"Apa aja programnya, sih?" Kuputuskan untuk menanyakan hal lain. Perasaanku tidak enak kalau terus membahas tentang Islam garis lurus atau bengkok.
"Tahsin, belajar bahasa Arab, pembinaan intensif, dan masih banyak lagi. Ayo ikut aja biar tahu! Mau, ya?"
Aku mengangguk pasrah. Tidak ada salahnya mencoba. Lagi pula, ada sesuatu yang ingin kucari tahu. Masuk organisasi keislaman sepertinya jalan yag mudah untuk memenuhi rasa penasaranku.
Apa yang membuat mantan pacarku sewaktu SMA memilih hijrah dan mengakhiri hubungan kami?
Ya, benar sekali. Aku belum bisa move on sampai sekarang. Kenangan bersama Dani terlalu membekas. Kami saling mengenal oleh sebab yang sederhana, lantas berpisah dengan alasan tak terduga. Dia lenyap bersama pilihan hidupnya.
Salah besar jika ada yang mengira kami satu kampus. Tidak sama sekali. Kami terpisah oleh jarak dan waktu. Dani kuliah di Kendari, aku di Malang. Pemuda itu mengambil program studi Pendidikan Akutansi, sedangkan aku Pendidikan Fisika. Dani juga aktif berorganisasi. Kurasa ia sering terlibat dalam aksi demonstrasi mahasiswa.
Sedikit memalukan untuk mengakui hal ini. Tetapi, begitulah. Sesekali, aku menelusuri akun media sosialnya. Bertanya kepada Kak Leni tentang cowok itu. Sekadar mencari tahu tanpa ada niatan menghubungi. Lagi pula, aku tidak yakin Dani akan merespon bila nekat kuhubungi. Aku tidak ingin patah hati dua kali karena orang yang sama.
"Arisha! Hei!"
Aku tersentak. Menoleh dengan cepat. "Y-ya?"
"Mikirin apa, sih? Kayak serius banget!"
"Eh? Nggak ada kok. Tadi kamu ngomong apa?"
"Mau daftar sekarang nggak? Aku udah hubungi contact person pihak LKD kemarin. Katanya, pendaftarannya udah dibuka."
"Boleh. Di mana daftarnya?"
"Disuruh ke kantor sekretariatnya."
"Di mana tepatnya?"
"Masjid kampus. Buruan, yuk!" tukas Adiba sambil menarik tanganku.
Ya, begitulah kehidupan perkuliahanku dimulai. Kini menjadi dokter hanyalah sebatas ingin. Kuucapkan terima kasih kepada diriku yang sudah berusaha keras, meski berakhir mengecewakan. Penolakan oleh kampus impian membawaku ke tempat ini.
To be continue ...
A/N: Aku lagi stres, jadi kuputuskan update sesering mungkin. Tiap hari kalau bisa.😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top