|14| Masa Putih Abu-Abu
Oktober 2013
Tidak kusangka hubungan kami akan seawet ini. Sudah setahun aku dan Dani berpacaran. Segalanya terasa menyenangkan.
Pertemuan kami kala itu bukan menjadi yang terakhir. Dani senantiasa menyempatkan diri untuk datang ketika aku meminta bertemu. Dia rela meminjam motor temannya agar bisa pulang kampung. Pengorbanannya itu membuatku semakin cinta.
Aku tidak pernah bosan saat bersamanya. Berbicara dengan Dani menjadi aktivitas favoritku. Aku rela menghabiskan uang jajan untuk membeli pulsa agar komunikasi kami tetap terjaga. Bertemu dengannya adalah momen yang selalu kunanti.
Satu hal yang paling kusuka dari Dani adalah sikapnya. Dia sangat sopan. Tidak pernah sekali pun mencuri kesempatan untuk melakukan kontak fisik denganku, meski hanya sebatas bergandengan. Dani hanya tersenyum sambil menatapku dalam-dalam. Hal sesederhana itu sudah mampu membuat hatiku ketar-ketir.
"Oi! Lagi mikirin apa? Senyummu lebar banget!"
Aku tersentak. Ternyata aku cengar-cengir sendiri sedari tadi. Kupandangi sekitar. Beberapa orang menatapku aneh. Aku menelungkup di atas meja. Ini memalukan.
Kudengar seseorang terkikik. Itu suara Kak Leni. Ya ampun, mau ditaruh di mana mukaku? Jangan sampai dia melaporkan tingkah anehku kepada sepupunya. "Kak, udah ketawanya," rengekku.
Kak Leni berdehem sambil menepuk-nepuk pundakku. "Kamu pasti lagi mikirin Dani!"
"Enggak!" sahutku terlalu cepat. Kak Leni lagi-lagi terkekeh.
"Kamu lanjutkan khayalanmu, aku pesan makan dulu, ya!" tukas Kak Leni seraya berjalan menjauh. Saat itu aku sedang di kantin untuk menghabiskan waktu istrahat. Tidak kusangka Kak Leni akan muncul tiba-tiba. Tak selang berapa lama, dia kembali duduk di depanku.
"Kakak baru keluar?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya agar dia tidak menyinggung-nyinggung tingkahku tadi.
"Iya. Gurunya betah banget!"
"Pelajaran apa, sih?"
"Matematika."
Aku tertawa mengejek. Dapat kubayangkan betapa gelisahnya mereka. Aku suka heran kepada guru-guru yang senang berlama-lama di kelas. Tidak tahukah mereka kalau siswa butuh hiburan? "Sabar, Kak. Siapa tahu di masa depan kamu jadi ilmuwan?"
"Ogah. Aku lebih suka Kimia."
"Kimia juga butuh belajar Matematika kali."
"Terserah. Mending aku makan dulu!" serunya sambil menjejalkan nasi ke dalam mulutnya. Aku hanya geleng-geleng. Bisa-bisanya Dani punya sepupu begini. Sambil menemani Kak Leni, kulanjutkan meminum sisa es teh.
"Eh, ngomong-ngomong, kamu mikirin apa sih tadi? Serius, lho, orang-orang pada ngelihatin."
Aku tersedak. Kupikir dia sudah lupa. Kak Leni malah menertawakanku. Jahat sekali. Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuembuskan secara perlahan. "Enggak ada!"
"Dani, kan? Kayaknya hubungan kalian lancar. Langgeng, ya!"
"Aamiin," sahutku spontan.
"Cie ... ternyata benaran Dani!"
Aku cemberut. Bisa-bianya aku keceplosan. Sekarang aku pasti terlihat seperti orang aneh karena ketahuan memikirkan cowok sambil cengar-cengir sendiri. Good!
"Kak, udah dong!" gumamku memelas ketika dia belum berhenti menggoda. Pipiku bisa matang kalau terus diejek begini.
Kak Leni terkikik. "Asik nih kalau kukabari Dani tentang kelakukan pacarnya."
"Jangan!" Aku menutup muka. Dia semakin terbahak. Sisa istrahat siang itu kuhabiskan dengan mendengar godaan Kak Leni. Sial sekali aku ketahuan oleh orang ini.
*
Aku menarik napas lelah. Akhirnya pelajaran hari ini berakhir. Bel panjang berbunyi sangat nyaring. Guru menutup kelas. Kami berhamburan keluar. Hal paling melegakan bagi siswa adalah mendengar bel keramat itu berdenting.
"Sha!" Seseorang menyerukan namaku. Aku menoleh ke arahnya. "Jangan lupa kerjakan makalahnya!"
"Siap!" sahutku cepat. "Duluan, ya!" pamitku sambil berlalu tanpa menunggu jawabannya. Masa SMA tidak jauh berbeda dengan SMP. Aku tetap tidak memilik seseorang yang layak disebut sahabat. Kami hanya sekadar berteman karena punya kepentingan serupa. Sekelompok, misalnya.
Kulangkahkan kaki menuju gerbang utama. Aku menerobos keramaian. Banyak pengguna seragam putih abu-abu berkeliaran di jalan. Anehnya, ada dua sosok mencolok tertangkap oleh mataku. Mereka berseragam putih biru.
Aku memicing. Fauzan. Kenapa dia belum pulang jam begini? Seharusnya anak SMP pulang lebih dulu daripada kami. Segera kuhampiri bocah itu. "Ozan!" seruku.
Fauzan menoleh. Senyumnya terlalu lebar. Aku punya firasat buruk. Mau apa lagi anak ini? Dan apa-apaan cewek di sampingnya! Mereka gandengan! Jangan bilang adikku punya pacar?!
"Halo, Risha!"
"Kenapa belum pulang jam segini? Kamu ngapain masih di sekolah?"
"Belajar dong," sahut Fauzan santai.
Aku mendelik. Kulirik genggaman tangan mereka yang belum terlepas. Berani sekali bocah ini! "Belajar apa?" sahutku galak. Kulihat ceweknya mengkeret. Dia buru-buru melepaskan genggaman Fauzan.
"Zan, aku pulang, ya?" cicitnya tapi masih dapat kudengar. Cewek itu kelihatan takut. Apa aku terlalu garang?
"Pulang sana! Masih kecil udah aneh-aneh aja!" seruku sambil melotot. Cewek itu mengerjap. Mundur pelan-pelan, lalu menjauh dengan wajah ketakutan. Aku sontak terbahak. Yang benar saja!
"Risha!" Fauzan menyentak. Mukanya kelihatan sangat kesal.
Aku terkikik puas, lalu berdehem, "Itu pacarmu?"
"Kenapa emang?" ketusnya. Aku menyentil dahi Fauzan. Dia mendelik.
"Jangan pacaran. Kamu masih kecil. Cewekmu juga cemen sekali. Masa dibentak dikit langsung kabur?"
"Idih ... kayak kamu nggak pacaran aja! Wajar cewekku kabur. Mukamu horor banget!"
Aku tergelak. Kukaitkan lengan kananku di leher Fauzan. "Ayo pulang!"
"Lepas!"
Aku mengacak-acak rambutnya sebelum kulepas. Fauzan menatapku sambil cemberut. Entah kenapa, aku tidak rela melihat adikku yang menyebalkan ini pacaran. Dia masih terlalu kecil untuk tahu hal-hal semacam itu. "Aku udah SMA. Nggak pa-pa pacaran!"
"Oh, siapa yang pacaran sama Rafid waktu masih SMP? Hantu?"
"Oi, jangan sebut-sebut mantan dong!"
Fauzan menyengir terlalu lebar. Aku khawatir bibirnya akan sobek. "Eh, sekarang udah ganti, ya? Siapa namanya? Kakak Dani? Dani sayang?"
"Heh!"
Fauzan terbahak. "Cie ... Kakak Dani sayangnya Arisha!" serunya sambil berlari. Aku mencak-mencak.
"Ozan, tunggu! Jangan kabur! Kamu baca pesanku lagi, heh?" Aku mengejarnya. Kami berakhir saling ledek sepanjang perjalanan pulang.
Ya, Fauzan memang semenyebalkan itu. Kadang aku ingin menggetok kepalanya pakai palu. Meski demikian, jauh di dalam hati, sebenarnya aku sangat menyayanginya.
*
Malam hari, usai merapikan peralatan bekas makan, aku langsung mengunci diri di kamar. Kuputuskan untuk menyelesaikan PR. Aku memang masuk kategori siswa yang agak-agak rajin. Kulakukan semua ini karena tidak ingin merusak nama baik Bapak. Beliau adalah kepala sekolah. Jika aku bandel, Bapak akan kena batunya. Aku tidak mau berakhir dimarahi.
Kulirik ponsel yang terletak di atas meja belajar. Selama ini aku tidak menggunakan sandi karena merepotkan. Rasanya malas harus memasukkan kata sandi setiap kali ingin memakai ponsel. Namun, sepertinya aku harus mempertimbangkan hal itu lagi sebelum ulah Fauzan semakin mejadi-jadi.
Dani menelpon saat aku sedang asik mengutak-atik ponsel. Segera kuangkat tanpa pikir panjang. Senyumku merekah tanpa bisa kukendalikan.
"Halo, Sha? Lagi ngapain?"
"Iya, Kak. Baru selesai ngerjain PR. Kamu?"
"Lagi mandangin langit."
"Gaya banget!"
Dani terkekeh pelan. "Kamu udah nggak sibuk lagi, nih?"
"Begitulah. Kenapa emang?"
"Bisa keluar bentar, nggak? Duduk di teras rumahmu."
"Hah? Buat apa?"
"Biar kita bisa memandang langit yang sama."
Aku terbahak. "Geli, ih!"
Dani ikut tertawa. Sudah pernah kusampaikan kalau aku suka gayanya, bukan? Dia sangat keren. "Aku serius, Sha. Keluar, ya? Ada yang mau aku tunjukkan."
"Apaan, sih? Bikin penasaran!"
"Makanya keluar dong."
"Iya, iya, bentar!" Aku langsung mengikuti arahannya. Kuperhatikan sekeliling. Keluargaku sedang sibuk menonton televisi. Tidak ada orang di teras. Aman. "Udah."
"Coba lihat langitnya. Indah, kan?"
Aku mendongak. Benar apa kata Dani. Ada banyak kerlap-kerlip di langit malam. "Indah banget. Kamu suka bintang?"
"Ya, aku kagum."
"Kagum sama bintangnya? Emang keren, sih," komentarku sambil berpindah posisi. Duduk di kursi tampaknya lebih nyaman.
"Bukan, tapi sama Penciptanya."
"Apa? Coba ulangi?"
Dani berdehem sigkat. Hening beberapa saat. "Arisha," panggilnya. Terdengar lebih serius. Jarang sekali dia memanggil namaku lengkap begitu, "pernah mikir nggak kalau yang yang menciptakan bintang itu luar biasa?"
Aku menelan ludah. Mendadak susana berubah. "Nggak, tuh. Aku jarang lihat bintang. Dilarang keluar malam sama orang tua."
"Sekarang udah lihat, kan?"
"Kamu mau ngomong apa, sih, Kak?" sahutku cepat. Perasaanku tidak enak.
"Cuma mau ngajak diskusi sebentar. Dengarin, ya? Jangan dimatikan teleponnya. Ini penting."
"Oke."
Aku mengikuti arahannya. Kudengar Dani berdehem sekali lagi. Tak lama, ia mulai berkata, "Bintang itu cuma salah satu keindahan alam, lho. Coba lihat di sekelilingmu. Laut, matahari, dan sejenisnya. Nah, di balik semua itu, tentulah ada yang menciptakan. Karena sama-sama muslim, kita menyebut Pencipta ini sebagai Allah."
"Bentar, bentar. Kak, Maaf nih, ya. Kenapa tiba-tiba bahas beginian?"
"Sha, dengarin dulu, bisa?"
Aku menarik napas. Berusaha melenyapkan resah yang menyelinap tanpa diminta. "Ya, silakan lanjut."
"Belakangan, aku mulai mikir, apa pun yang diciptakan Allah pasti mengandung tujuan tertentu. Siang dan malam. Langit dan bumi. Pasang surut dan pasang naik. Semua punya fungsinya masing-masing. Nah, dari situ aku menyimpulkan kalau manusia juga diciptakan dengan tujuan tertentu."
"Kak, aku nggak mau dengar lagi!"
"Sha, tolong?"
Kutarik napas kasar. Ingin menolak, tapi tidak tega. Kuputuskan untuk diam saja.
"Setelah berdiskusi dengan kakak kelas yang pernah kuceritakan dulu, aku jadi tahu apa tujuan kita diciptakan. Beribadah kepada Allah. Sesederhana itu, tapi aplikasinya susah."
"Terus? Kamu mau nyuruh aku ibadah mulu, gitu? Salat, ngaji, puasa! Kapan aku belajarnya?!"
Dani tidak merespon kemarahanku. Dia terus saja berucap, "Itu yang selama ini kusalahpahami. Makna ibadah ternyata sangat luas. Menjalani seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Itu yang Allah mau, Sha."
"Langsung aja intinya, Kak! Kamu mau kita putus, kan?!"
"Aku nggak ngomong gitu."
"Iya, tapi secara nggak langsung itu maksudmu! Ngaku aja!"
"Kenapa kamu mikir gitu?" sahut Dani tenang.
"Ya, jelas, lah! Pacaran dilarang dalam Islam! Itu udah jadi informasi umum!"
Kudengar Dani menarik napas di seberang sana. "Bukan cuma informasi, tapi untuk dilaksanakan. Kita sama-sama tahu bahwa pacaran itu dosa. Apa masih perlu kita mempertahankan hubungan ini?"
"Iya, lah. Kenapa emang? Kita nggak ngapa-ngapain, kok."
"Bukan masalah itu, Sha—"
"Cukup! Aku nggak mau bahas beginian. Tutup aja! Aku udah ngantuk!" tukasku sambil memutus sambungan.
Tidak. Aku tak mau berpisah karena alasan apa pun.
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top