|13| Dani dan Hari-Hari Meresahkan
Arisha yang asli lebih cantik dibandingkan fotonya. Aku senang melihat bagaimana ia tersenyum malu-malu. Dadaku meletup-letup saat mendengar ia memanggilku kakak. Ya, harusnya aku sebahagia itu. Tetapi, entah kenapa, ada keresahan yang diam-diam menyelinap dalam hati.
Perbincangan tentang kakak kelasku berhenti. Kami berganti topik lain. Sayangnya, nasihat Bang Hasan bermain-main di kepala. Tentang kita yang harus menjadi hamba terbaik. Tentang masa muda yang akan dipertanggungjawabkan. Dan yang paling mengganggu, tentang pacaran yang mengandung banyak dosa. Sebaik mungkin aku berusaha menepisnya.
"Kak? Hei, Kak!"
"Ah, ya? Apa?" sahutku gelagapan.
Arisha cemberut. "Lagi banyak pikiran? Kayaknya kamu nggak fokus."
Aku tersenyum masam. "Ya, begitulah."
"Kamu nggak senang ketemu sama aku?"
"Hah? Enggak! Senang banget!"
Kami berpandangan. Tak lama, tawa menyusul. Ah, seharusnya aku tidak memikirkan hal aneh pada saat-saat seperti ini. Lagi pula, bukankah tidak ada sesuatu yang buruk terjadi? Kami hanya mengobrol. Tidak lebih, tidak kurang.
"Ngomong-ngomong, penampilanmu beda dari zaman SMP," komentarnya. Dia ini masih saja mengomentari penampilanku. Aku senang, tentu saja. Tandanya dia perhatian.
"Apa bedanya?"
Arisha menoleh. Tangan kirinya menopang dagu. Wajahnya sedikit dimajukan ke arahku. Aku mundur secara otomatis. Oi, dia terlalu dekat. "Kenapa mukamu merah?"
"Hah? Enggak!"
Arisha tergelak halus. Aku suka suaranya. Dia kembali ke posisi semula. Kuembuskan napas lega. Sekadar informasi, aku menahan napas sedari tadi. Aku berdehem, "Jadi, apa yang beda?"
"Dulu kamu agak dekil," sahutnya santai.
Aku mengangkat alisku. "Sekarang jadi cakep?"
Arisha menggeleng. "Makin dekil, lah!"
"Oi!" sewotku, membuat tawanya semakin kencang.
"Aduh.. pipiku keram."
Aku tersenyum simpul. Dia benar-benar cantik. "Ketawa mulu, sih."
Arisha menepuk-nepuk pipinya. Kami diam sejenak. Menikmati keheningan yang menenangkan. Keresahan yang sempat kurasa sudah kukubur dalam-dalam. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Udah mau Magrib, nih. Aku pulang, ya?"
Kulirik jam di pergelangan tangan. "Ya udah, aku antar."
"Eh? Nggak usah!"
"Ayo pulang!" Aku mengabaikan larangannya.
"Serius, nih?"
"Kamu mau kita di sini sampai tengah malam?"
"Enggak, lah!" sahut Arisha sambil menyusulku. Kami jalan bersisian dalam hening. Arisha bersenandung. Kubiarkan saja ia melakukan keinginannya.
"Sha, kamu mau lanjut SMA di sini?" tanyaku penasaran. Kami belum membahas masalah ini. Aku sedikit berharap Arisha sekolah di Bau-Bau.
"Iya. Orang tuaku nggak ngasih izin buat sekolah di kota. Katanya, kalau mau merantau pas kuliah aja."
Aku mengangguk-angguk. Sayang sekali kalau begitu. "Eh, aku punya sepupu yang sekolah di SMA X, lho."
"Oh, ya?"
"Kelas sebelas. Namanya Leni. Mungkin kalian bisa berteman."
"Semoga aja. Dia tahu kalau kita pacaran?"
"Belum. Perlu kukasih tahu?"
Arisha mengangguk. "Biar aku nggak disangka SKSD."
"SKSD?"
"Kamu nggak tahu SKSD?" tanya Arisha heran. Aku mengangguk santai. Dia tertawa mengejek. "Kupikir kamu tahu segala macam istilah!"
"Oi, kamu pikir aku kamus berjalan?"
Arisha terkekeh. Manis sekali. "Sok kenal sok dekat."
Aku menyengir. "Kupikir apaan!"
Arisha mencebik. "Tenang, istilah yang kupakai nggak seberat istilah-istilahmu kok."
"Bisa aja!"
"Itu rumahku!" Arisha berseru.
Kuikuti arah pandangnya. Aku terdiam sejenak. Langkah kami semakin mendekat ke arah rumah Arisha. Rasa minder muncul dalam diriku. Kelas ekonomi keluarga kami memang berbeda. Rumah keluargaku masih terbuat dari papan. Rumahnya sudah berdiri kokoh dengan beton.
"Makasih, ya, udah dianterin," gumam Arisha begitu kami sampai di depan rumahnya.
Aku tersenyum tipis, lantas mengangguk kaku.
"Eh, kenapa?" Arisha menyadari perubahan raut wajahku.
Ketika aku ingin menjawab, sebuah seruan menginterupsi, "Mama, Bapak! Arisha pulang diantar pacarnya!"
Kami sontak menoleh ke sumber suara. Seorang bocah menyengir lebar. Sepertinya dia baru selesai memancing dilihat dari peralatan yang dipegangnya. "Fauzan cerewet!" seru Arisha. Bocah laki-laki itu langsung kabur ke dalam rumah.
Aku mengernyit. "Adikmu?"
"Oh, nyebalin banget nggak, sih?" Arisha bersungut-sungut.
Aku tersenyum. "Kayaknya asik gitu?"
"Enggak banget!"
"Jadi kakak yang baik dong."
"Idih! Kenapa malah bahas Fauzan?! Eh, kamu nggak mau pulang?"
"Aku diusir nih ceritanya?"
"Bukan gitu," rengeknya. Aku tersenyum simpul. "Aku pulang, ya? Yang akur sama adiknya!" seruku sambil berjalan mundur.
Arisha melambaikan tangan. "Hati-hati!" ujarnya. Kubalas dengan acungan jempol. Aku berbalik. Tanpa membuang-buang waktu, bergegas menuju desa tempat tingalku. Semoga tidak kemalaman di perjalanan.
Ponsel di saku bergetar pertanda ada SMS. Segera kucek. Aku menarik napas pelan. Perasaanku mendadak gelisah lagi.
Bang Hasan
Assalamu'alaikum, Dan. Gimana liburannya? Buku-buku Islam yang kupinjamkan sudah dibaca? Diskusi lewat telepon, yuk.
Daniyal Alhusain
Wa'alaikumussalam. Sudah, Bang. Nanti kuhubungi.
Kukembalikan ponsel ke dalam saku. Buku-buku yang direkomendasikan Bang Hasan sudah kulahap semua. Sayangnya, hampir tidak ada yang kuterapkan. Mana ada ceritanya jalan untuk menjadi sebaik-baik manusia di hadapan Pencipta ditempuh lewat pacaran?
Keresahan ini ... kapan akan lenyap?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top