Special Chapter : The Story Only You Don't Know III

(Dirga)

Masih kusadari permainan Secret Santa adalah sebuah kekonyolan. Itu sama saja seperti barter hadiah. Kalau mau sesuatu, beli saja dengan uang saku, atau menabunglah. Tapi untuk tahun ini, aku sengaja ke toko bunga pagi-pagi, membeli sebuket bunga mawar putih yang masih segar dengan embun yang menuruni kelopaknya, memakai kemeja biru dongker dan menata rambut dengan gel yang sama sekali bukan aku, lalu memesan tempat di restoran pizza terdekat. Aku sudah merencanakan semuanya, namun dengan bodohnya, kutinggalkan buket bunga itu di meja kopi saat pergi gereja. Selesai gereja, hujan turun. Benar-benar apes.

Aku ketemu Nola saat sedang menunggu hujan selesai. Dia memakai jaket merah bulu kotak-kotak dibalik terusan putih selututnya. Jadi, dia belum pulang.

Kuajak dia pulang sama-sama. Aku bermaksud meneruskan rencanaku. Restoran pizza masih tiga puluh menit lagi tutup dan buket bunga bisa kukasih pas kuantar dia di depan rumah.

"Kamu beneran mau nyatain cinta sama Nola hari ini?" tanya Febby. Kami ketemu di halaman belakang dan dia mengikutiku keluar mengambil motor. Dia memayungiku agar aku bisa mengeluarkan motor dari barisan depan kemudian aku memayunginya ke mobil. Untungnya dia membawa dua payung jadi satunya bisa kupinjam.

Aku memarkirkan motorku dekat pohon, akhirnya bisa mengeluarkannya dari dua motor yang menghimpit. "Iya. Kamu sendiri yang bilang jangan tinggalkan dia begitu saja."

"Kalau aku tarik kata-kata itu sekarang, apa kamu masih mau nyatain?"

Aku berkedip tidak mengerti. Bahasa bisa kupahami namun maksud kata-katanya belum bisa kutangkap. Dia pun mengerti kebingunganku, kemudian menyediakan jawabannya.

"Aku masih menyukaimu," jawabnya, akhirnya.

Aku terdiam. Suara air jatuh menyiprat-nyiprat di bawah kaki mengambil alih bahasa kami, baik aku maupun dia tahu apa yang sedang terjadi.

Make up Febby yang kala itu memudar, membuat wajahnya pucat saat tersenyum. "Kamu diam. Ternyata, kamu tahu."

"Di awal, nggak. Aku kira kamu cuma memanfaatkanku dan aku juga baik-baik saja dengan itu. Lalu, aku sadar kalau kita jadi terlalu dekat dan kamu menjauh dari teman-temanmu. Jadi, kupikir pasti ada alasannya."

"'Ah, cewek ini menyukaiku, aku harus bagaimana menyingkirkannya?' begitu?"

"Nggak sekejam itu, kupikir kamu teman yang cukup baik." Wah, kedengarannya barusan brengsek sekali. "Maaf," kataku, terdengar lebih pantas.

"Aku kelihatan kayak cewek tolol sekali ya? Mendukung orang ketika aku sendiri suka sama orang itu. Aku kira setelah lama sama-sama dan mulai menganggapmu teman, aku akan baik-baik saja kalau melihatmu sama orang lain. Tapi ternyata sama sekali nggak. Aku menggali kuburanku sendiri."

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada yang keluar seakan semuanya tersangkut di tenggorokan.

Febby mendongak, payung yang dipegangnya lebih tinggi sebelah hingga air kurasakan air menitik membasahi kemeja belakangku. "Jangan berwajah seperti itu, dong. Aku jadi merasa semakin menyedihkan. Mana Dirga yang selalu menanggapi kata-kataku dengan ketus, atau mengusirku tiap kali ke kelasnya? Aku tahu kamu suka orang lain dan aku menerimanya."

"Maaf," kataku, sekali lagi. Benar-benar tidak enak hati.

Febby tersenyum. Rambut cokelat gelapnya diluruskan, ia memakai atasan kuning berleher rendah yang sangat sesuai di kulitnya yang putih. "Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, apa aku boleh memelukmu untuk terakhir kali? Pelukan perpisahan, kalau kamu nggak terlalu keberatan."

Kututup payung dan meletakkannya bersandar di motor, lalu memeluknya. Tinggi tubuh kami tidak jauh berbeda, jadi mudah memeluknya. Embusan angin tidak kencang, menjadikan air hujan jatuh lurus ke tanah. Rintik hujan membasahi kepala kami, meluncur turun membasahi baju, celana, dan kaos kaki terasa basah dan lengket dalam sepatu. Bau petrikor yang selalu membuatku mual diselingi bau shampoo suatu bunga-bunga yang kutahu yang umum-umum saja mungkin melati atau mawar. Aku bisa merasakan tubuh kami menempel, tapi tidak ada nafsu di sana, cuma hangat saja. Lalu, kudengar suara benda tumpul jatuh keras memecah suara air hujan jatuh.

Bruk!

Kulepas pelukan itu. Menoleh cepat ke belakang. Di balik pilar di teras belakang, kulihat ujung jaket bulu warna merah berkelebat pergi. Kukejar dia, mengabaikan panggilan Febby di belakang, atau pun dinginnya air dan embusan angin di kulit yang menghalauku saat lari. Kira-kira lorong gereja berjarak lima ratus meter dari jalan raya, di pembelokkan keluar aku melihat Nola melompat ke tengah jalan. Truk berkaki enam melaju dari arah lain, dengan kecepatan yang kian melambat namun tidak bisa lebih lambat dari itu karena jalanan licin. Bunyi klakson serupa trompet menggetarkan jantungku dan kuyakini bukan karena alasan itu saja.

"NOLA!" teriakku, mengejarnya ke tengah jalan.

Seluruh tubuhku terasa dingin seolah aliran darah tidak lewat, mataku terus mengintainya saat ia tersungkur di depan truk. Roknya mekar di atas tanah aspal seperti meleleh. Lampu jauh warna oranye menyinari tubuhnya, kian mendekat. Segalanya terjadi sangat cepat, dan dalam waktu kritis itu, ban mobil truk berhenti di depan tubuh Nola yang pingsan.

Supir truk melompat turun dari truknya, wajahnya sangat pucat. Ia berlari ke depan mobil, mengecek apa yang ditabraknya. Sedang aku telah berjongkok di samping tubuh Nola yang tergeletak. Membaringkan tubuhnya yang lemah di atas pahaku, memanggil-manggil namanya tapi matanya terus tertutup. Kudekatkan telingaku ke hidungnya memastikan suara napasnya masih ada.

"Dia ma-masih hidup?" tanya supir terbata.

Kubopong tubuhnya yang lemah ke punggungku, melajukan kakiku secepat-cepatnya sambil mengingat-ingat rute ke rumah sakit terdekat. Otakku kacau, aku tidak bisa mengingat apa-apa. Semuanya memutar di otak, mengambang bagai informasi acak yang saling tidak menyatu. Aku harus berkepala dingin dan mengambil kepingan informasi-informasi itu satu per satu, menyatukannya, dan memilihnya yang terbaik. Namun, di otakku yang terbayang adalah sosok mama terbaring di jalan bersimbah darah, orang-orang mendekati mayatnya, hujan turun, jalanan licin, lampu mobil kuning yang sangat menyilaukan, dan aku yang membiarkan mama mati di sana.

Dia harus hidup. Dia harus hidup, doaku tidak henti-henti.

Dengan ajaib, kakiku mengantarku memasuki gedung berpintu kaca, di teras atapnya tulisan UGD warna merah menyala dalam gelap. Bau obat-obatan masuk ke indera penciumanku. Kusesuaikan terang lampu dengan mataku, lalu meliarkan mata ke orang-orang yang lalu lalang di koridor serba putih-putih ini. Kupegang siku suster yang sedang berbincang suatu hal serius dengan paramedis.

"Tolong. Dia. Mobil. Tabrak." Aku ngos-ngosan.

Dalam susunan kata-kata kacau itu, suster dengan sigap menyuruh paramedis itu mengambil brangkar di dalam. Aku berlari mengikutinya. Seorang suster menyahut tidak suka kedatanganku, namun dia terdiam waktu melihat paramedis mendorong brangkar dan kuturunkan Nola di sana. Seluruh badan dan pakaiannya basah. Kalau saja aku tidak melihat kejadian di jalan tadi, mungkin aku akan mengiranya tertidur.

"Yang tidak berkepentingan di larang masuk. Silakan tunggu di luar." Suster lebih tua menghalangiku mengikuti brangkarnya Nola. Kecelakaan parah sepertinya baru saja terjadi karena di dalam orang-orang berbaju putih dan oranye sibuk ke sana-kemari mengunjungi pasien yang bersimbah darah di brangkarnya, sebelum adegan itu ditutup tirai putih.

"Kamu wali pasien? Tolong isi data-data ini," katanya, menyodorkan papan kerani dengan selembar kertas terjepit.

Aku hendak menerimanya, namun kakiku jatuh kehilangan tenaganya. Lemas seperti rumput laut.

"Astaga! Kamu nggak apa-apa?" sahutnya, membantuku berdiri.

Betisku berdenyut dan telapak kakiku kram. Dia memegang ketiakku membantuku berdiri lagi setelah kaki dan tanganku gemetaran saat mencoba berdiri sendiri. Ia mengantarku ke kursi dan menyuruhku diam di sana untuk diambilkan minum. Sambil duduk, aku masih bisa merasakan bekas tubuh Nola yang lemah di pangkuanku, dan bayangannya itu sulit hilang.

****

Nola sudah siuman. Tebakku, saat melihat Om Nathan dan Kak Nara turun ke lantai dasar lewat tangga darurat. Tenagaku sudah pulih berkat roti dan air mineral yang diberikan suster yang baik itu. Berdasarkan penuturan Suster Almira, Nola dipindahkan ke ruang inap kelas dua. Kupastikan sekali lagi nomor kamar 204 tercetak tanam di depan pintu. Pintu itu berbingkai kaca seukuran wajah sampai leher manusia, jadi aku bisa melihat ke dalam dengan mudah.

Nola terbaring di ranjang dengan posisi siku-siku, meja makan lipat menghimpit tubuhnya, dan ia mengenakan terusan pasien rumah sakit. Wajahnya pucat, tapi kurasa ia sudah lebih baik. Ia bisa menusuk apel dan mengunyah dengan baik. Seseorang duduk di sebelah ranjang sedang mengupaskannya apel. Dari sudutku, aku tidak bisa melihat wajah orang itu, tapi ia berpotongan rambut pendek. Kuurungkan memutar kenop pintu saat mengenali profil samping pria itu ketika wajahnya menoleh.

Mark. Cowok brengsek itu.

Keduanya tengah berbincang, lalu disela-selanya tertawa dan si brengsek melontarkan leluconnya lagi penuh percaya diri. Keakraban mereka serupa teman lama yang baru bertemu.

Skenario ini di luar perhitunganku dan tidak bisa diubah atau ditambahkan. Mark bisa saja brengsek, tapi ia sudah putus dan Ana, dan sepertinya telah memilih Nola. Begitu jalannya. Sejak awal, tempat buatku tidak ada.

Jadi, aku pergi dari sana. Kembali ke tempat seharusnya aku berada.

Waktu tiga hari ternyata tidak terlalu lama. Truk pindahan berhenti di depan rumahku pagi-pagi sekali. Papa dan aku segera meninggalkan sarapan dan mengarahkan petugas-petugas mengangkut barang di kamar-kamar. Aku bertemu Maya saat dia keluar mengambil koran. Ia memakai piyama gambar kartun dan rambutnya berantakan, sepertinya dia baru bangun tidur. Kawan kecil itu memelukku dan berpesan untuk lebih sering-sering menelepon. Dia juga mengabari kalau Nola pulang hari ini.

"Sayang sekali kalian nggak ketemu. Aku yakin dia pasti nangis kalau ada di sini. Dia sedih sekali kamu pindah. Pamitan sama dia nanti, ya," begitu katanya.

Jadi, itu yang kulakukan. Aku menaruh buket mawar putih di depan rumahnya. Sengaja menyematkan kartu ucapan di antara duri-durinya, berbunyi,

Kamu ingin diingat dengan cara yang sederhana, tapi aku tidak ingin mengingatmu saja. Aku ingin selalu bersamamu. Kalau tidak secara fisik, mungkin di hatimu.

Ingatlah aku sebagai orang yang menyukaimu.

From : Dirga

(Ps. Arti bunga ada macam-macam, jadi kuingatkan kalau buatku arti bunga ini bukan perpisahan. Tapi, kalau arti itu lebih berkenan di hatimu, robek saja kertas ini)

Petugas truk telah mengisi semua barang ke dalam truk. Papa memundurkan mobilnya keluar dari pagar. Sekali lagi, aku mengecek barang-barang di dalam, takut ada yang tertinggal.

"Melupakan sesuatu?" sahut seseorang di belakang saat aku sedang memandang rumah untuk terakhir kali.

Pertama kali datang, aku sangat benci rumah ini. Namun sekarang, yang kulihat di rumah minimalis bertingkat dua bercat putih-abu-abu ini adalah kenangan. Aku pasti merindukan kota ini. Rumah itu menatapku polos, mengiyakan.

"Hei, kenapa kamu repot-repot datang? Padahal aku berniat pamitan lewat chat," kataku, mendekati Febby yang berdiri di luar pagar.

Dia menonjok bahuku ringan.

"Tega sekali. Jadi, ini yang kudapat setelah ditolak?"

Aku mengusap bekasnya yang tidak sakit lalu tertawa. Papa menungguku di mobil. Febby menyapanya dan kami pun berpamitan di sana.

"Jangan terlalu ketus sama teman-teman barumu. Tapi, jangan juga terlalu akrab sama mereka, kamu tahu orang-orang bodoh suka mengelilingi orang pintar," katanya, saat aku menyimpan tas ransel di bagasi.

"Oh. Jadi itu alasannya, kamu mendekatiku?"

"Kamu harusnya bersyukur ada orang bodoh yang cantik menyukaimu." Sinar wajahnya lalu meredup. "Kurasa, setahun ini akan sangat sepi, tapi aku akan menunggu sampai tahun depan. Aku berniat kuliah, loh."

Aku mengangguk. "Semaumu saja."

"Sampai akhir pun kamu sangat dingin!" tukasnya.

Ini benar-benar seperti perpisahan ketika dia berusaha mengulur-ulur. Ia memainkan jarinya di bawah. Aku tahu dia punya sesuatu untuk dikatakan.

"Apa aku boleh tetap menyukaimu?" katanya.

Ternyata, soal ini. Kututup pintu bagasi mobil, lalu bersandar di sana. Febby bukan gadis biasa yang mengatakan perasaannya dengan menunduk malu, dia sangat percaya diri dan selalu menatap wajah lawannya lurus. Ia diam menungguku. Kedua matanya yang bulat dan besar sesekali mengedip.

"Jangan terlalu terpaku padaku. Bisa saja perasaanmu berakhir sia-sia," kataku. "Tapi, aku tahu kamu orangnya keras kepala, jadi nggak ada yang bisa kulakukan."

"Semaumu saja!" Ia meniruku.

Aku meledakkan tawa.

- Selesai -

Ini benar-benar akhir dari cerita ini. Semoga yang punya pertanyaan selama membaca cerita, telah menemukan jawabannya 😊

Sampai ketemu di season berikutnya !

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top