Special Chapter : The Story Only You Don't Know
Extra chapter ini akan panjang
Supaya nyaman dibaca, aku bagi dalam tiga part
• Happy Reading •
****
(Dirga)
Kira-kira kelas empat SD, di pesta taman peringatan ulang tahun Eyang Putri yang ke delapan puluh, itu kali pertama aku bertemu dengannya.
Apa yang terjadi di hari itu tidaklah layak diingat. Tidak ada yang spesial di sana. Dekorasi dan acaranya biasa-biasa saja. Meja-meja digelar memanjang di halaman, lampu pijar bergelantung di batang-batang antar pohon, piring-piring berisi makanan berlemak menutupi permukaan putih meja, kue tart, rangkaian perayaan ulang tahun yang selalu sama diiringi lagu norak, dan pentas bakat dadakan para cucu-cucu di podium yang sengaja dibuat untuk menyenangkan hati Eyang dengan kelucuan yang dibuat-buat. Membayangkan semuanya itu sudah sangat mengerikan, bukan? Lebih buruknya, aku, sebagai cucu tertua, menjadi wakil para cucu harus memberi kata sambutan paling pertama untuk Eyang.
Aku ingat jelas betapa mengerikannya ditatapi orang-orang dewasa dengan pandangan penuh harap atau penilaian. Tanganku dingin. Kakiku yang memijak panggung terasa sedang melayang. Segala kata yang keluar dari mulutku diselingi 'Eeee', aku gagap, dan aku menutup kata sambutanku dengan bilang, "Selamat bertambah tua. Semoga tetap keriput!"
Tawa seketika meledak. Bentuk tawa geli yang sebenarnya tidak terlalu buruk, tapi mengkhawatirkan bagi sisi kanak-kanakku. Aku menjadi bahan candaan orang-orang tua dan muda selama bersantap siang. Mereka meniru ucapanku dengan nada mengejek lalu menertawakannya lagi, seolah aku tidak pernah makan bersama mereka di situ.
Hari itu berjalan sangat buruk, sampai aku kabur dari pesta dan menabrak seseorang. Kue cokelat yang dipegangnya jatuh, menimpa kepala Unicorn rambut pink yang tersenyum lebar, hidung sampai giginya dinodai warna cokelat, kaos cotton warna pink melatarbelakanginya. Saat melihatnya, barulah aku sadar aku sudah menodai kaos seorang anak. Aku tidak mengenalinya, tapi saat itu aku yakin seratus persen dia akan menangis menyalahkanku. Aku ketakutan dan akhirnya menangis duluan. Gadis itu ikut berjongkok bersamaku, menopangkan dagu di atas lutut yang ditutup rok tutu, ia menunjuk atasan unicorn-nya dan mencoba menenangkanku dengan bilang, "Lihat. Unicorn-nya makan kotoran."
Kalau diingat-ingat, leluconnya saat itu payah, tapi perkataannya menekan tombol ketawaku dan aku tertawa dan menangis. Dia juga tertawa. Tawanya merdu seperti nyanyian burung pipit yang bersembunyi di dahan pohon waktu pagi. Aku tidak tahu tepatnya di mana, bagaimana, dan apakah tepat mendefinisikannya. Buatku, di saat itu, aku terpesona padanya. Entah karena leluconnya yang membuat hari itu tidak terlalu buruk atau karena ia tampak manis tertawa dengan gigi kecilnya yang jarang-jarang. Atas semuanya, aku jatuh cinta.
Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Setelah pesta ulang tahun Eyang, setelah dia naik mobil keluarga Om Arief menuju pulang ke Mojokerto, setelah malamnya aku berulang kali mengulang kejadian di pesta itu dalam kepalaku sampai kantukku hilang, bahkan setelah berbulan-bulan kemudian.
Dunia rupanya sangat senang bercanda. Di saat aku hampir melupakannya, aku bertemu dengannya lagi saat aku dan Papa pindah ke Mojokerto. Ia masih dalam rupa yang sama, sedikit lebih tinggi, rambutnya lewat dari bahu, dan jaket merahnya seakan menerangi dunia keabu-abuan ini. Ia menaruh beberapa tangkai bunga di depan pagar rumah baruku, melipat tangan, dan berdoa. Harusnya aku kegirangan penantianku akhirnya bersambut, namun hatiku telah menjadi tanah gersang. Masa duka atas kepergian mama belum berakhir, kekecewaan besarku pada papa, dan papa memaksaku move on darinya dengan pindah ke kota lain. Otot wajahku terlalu kaku untuk membentuk senyum.
Aku bersikap ketus padanya, menginginkannya pergi, namun ia tetap di sana. Ia duduk di samping koperku dan mendengar semua curhatanku. Ia menutupi wajah menangisku dengan jaketnya yang beraroma sabun segar. Lebih dari kejadian saat aku kecil, yang ini lebih memalukan. Namun, tangis itulah yang membuatku lebih tenang. Setelahnya, ia pamit pulang. Aku berniat memperkenalkan diri secara resmi sebelum ia pergi dengan bilang, "Kamu ingat pesta ulang tahun di Surabaya tiga tahun lalu, seseorang menjatuhkan kuemu? Ya, orang itu aku."
Niat tinggalah niat. Saat tangan kami berjabat aku menyebutkan namaku, dia menyebut namanya, aku berniat mengucapkan kalimat yang kusiapkan, namun kulihat matanya dan menemukan kecanggungan seolah itu kali pertama kami bertemu. Dia tidak mengenaliku. Aku pulang dengan kecewa.
Cinta pertamaku ditutup sesederhana itu.
Semudah itu terjadi, semudah aku memikirkan kalau bisa jadi rasa suka yang kupendam saat itu bukanlah cinta.
Kudengar ada pepatah yang bilang, kamu hanya bisa menyukai seseorang jika kamu melihat diri mereka yang sesungguhnya dari dekat. Nola yang dulunya begitu berkilau, seperti berlian kecil yang memantulkan spektrum warna pelangi. Sangat indah, menakutkan untuk disentuh. Sekarang, kilaunya masih ada, namun telah menyatu menjadi satu warna yang lebih bersahabat. Teman, mungkin itu arti warnanya.
Keabnormalannya dalam hidupku sekelewat ia datang berkunjung ke kamar Maya dan menyapaku kikuk, lambat laun berkembang menjadi sepenuhnya normal. Dia jauh lebih unik dari sekedar cewek pemalu. Dia bisa mengobrol panjang tentang akhir tragis Romeo & Juliet yang tidak kupedulikan. Perutnya terbuat dari karet, walau makan banyak badannya tetap cebol. Ia manusia baja yang giginya tidak ngilu saat menggigit es krim. Ia bisa bersikap tangguh, marah-marah saat harga dirinya terluka karena aku mengejeknya cengeng, dan pukulannya sangat menyakitkan di punggungku kala aku memaksanya pulang ketika ia kabur dari rumah.
Terkadang, ia lebih dari teman. Aku bisa nyaman menceritakan semua soal di benakku, berbagi trauma yang kupendam, dan membiarkannya menemaniku di saat aku butuh pelukan untuk meredakan duka yang menggelegak di dadaku di setiap hari peringatan kematian mama. Darinya, aku belajar ada kata-kata yang lebih hangat dari pelukan.
Detail kecil tentangnya mulai menjadi perhatianku. Ketika ia memiliki sesuatu yang tidak sanggup ia ucapkan, ia akan menyentuh ujung daun telinganya lalu menggigit bibir memikirkan kalimat yang benar. Ketika ia sedih, ia akan lebih banyak diam. Tiap kali berada di sampingnya, diam-diam aku menikmati aroma sabun segar menguar darinya, bertanya-tanya dalam hati merek sabun apa yang ia pakai. Ia punya dua tahi lalat kecil berbanjar di pipi kanannya, mata bulat cokelat gelap yang jernih, hidung kecil, dan rambut kecoklatan sebahu dengan poni menutupi dahinya, membuat wajahnya yang mungil nampak lebih kecil dan muda. Diam-diam, aku menilainya manis.
Ada satu waktu, di mikrolet, ketika ia tidur di sampingku dan supir mengerem mendadak, badannya terdorong gaya gravitasi ke arahku. Kepalanya mendarat di bahuku dan tertidur di sana. Aku menegang. Seakan rasa hangat dari tubuhnya yang menempel, mengalir masuk lewat pori-pori kulitku turun ke dada dan melebur di sana.
Aku tidak bisa mendefinisikan jenis perasaan apa itu. Aku memilih melupakannya, namun perasaan itu kembali menguntitku. Pada malam kami berduaan di kamar, aku mengalaminya lagi. Kami berbincang tentang banyak hal, lalu hening yang aneh itu terjadi.
Tidak ada satu pun bunyi dari luar atau dalam rumah. Derik jangkrik, kendaraan bermotor melintas di luar, atau detik jarum jam pun tidak ada. Seakan dunia sedang berhenti dan hanya kami satu-satunya yang tertinggal hidup. Ketakutan teramat sangat mendadak merayap di dadaku saat melihatnya hendak pergi. Aku menahan tangannya. Dia menoleh. Manik matanya bergetar menatapku, aku pun tidak percaya apa yang kulakukan. Belum kuketahui sampai aku menariknya lebih dekat dan membelai pipinya yang lembut. Ia gemetar. Buatku waktu itu, itu sangat alami. Aku mendekatkan wajah kami dengan jantung meletup-letup, dan kami berbagi napas hangat tinggal sesenti lagi menuju kecupan.
Lalu, semuanya buyar saat ponselnya mendadak berdering. Kami mengambil jarak seakan panggilan itu adalah alarm pemisah kami. Ia melapor harus pulang karena tantenya masuk rumah sakit, aku mengiyakannya. Namun, dalam jarak yang terentang itu aku merasakan kehilangan.
Sepanjang malam, aku mengulangi adegan yang sama di kepala. Tanganku masih bisa merasakan hangat pipinya, membayang wajahnya tersipu malu, bibirnya yang kecil merah merekah, kecupan yang hampir terjadi, juga debaran itu. Segalanya berlangsung sangat alami pun begitu mendadak. Aku seperti dikendalikan oleh boneka voododoo, mengangkat tangan ketika dukun mengangkat tangan bonekaku, mencium ketika disuruh mencium. Dalam hal ini, orang yang menggerakkanku kemungkinan dorongan seksual sebagai seorang pria sehat. Namun, baik saat di mikrolet pagi itu maupun yang terjadi malam barusan, aku belum pernah menganggap Nola lebih dari sekedar teman.
Benar. Semua pria pasti punya bayangan liar. Bayangan tidak senonoh yang mustahil terjadi untuk melampiaskan hasrat terpendamnya, yang hanya terjadi di dalam kepalanya. Sama halnya denganku sekarang. Aku tidak mungkin jatuh cinta. Jatuh cinta hanya membawa masalah.
Kemudian, aku tertidur tanpa memikirkannya lagi.
****
Nola bertingkah di luar kebiasaannya malam ini. Dia mengatakan akan pergi kencan dengan pria lain dan menanyakan kesediaanku merelakannya pergi. Aku tidak tahu apa harapannya dariku. Ah, apa dia mengira aku akan kecewa melihatnya kencan karena aku hampir menciumnya?
Jujur, aku biasa saja. Entah dia mau pergi kencan dengan siapa bukan urusanku, tapi kenapa cowok yang dikencaninya harus Mark? Mark, si bau badan, yang lebih menyengat dari rendaman tujuh macam jenis parfum, itu? Kupastikan ada lebih banyak cowok lebih normal dan layak untuk dikencani Nola. Edo, teman baikku yang makan kuah pakai tangan saja lebih layak. Itu pun tidak mungkin terjadi, Nola orangnya bersih. Aku yakin daripada jatuh cinta, Edo lebih membuatnya mual.
Febby, cewek yang kutolak, dan belakangan malah sering mampir ke kelasku dengan alasan: "Aku harus mendekatimu supaya bisa menang dari Maria. Dia kira dia hebat dapat kesempatan jadi flyer posisi tengah. Fyi, dia menyukaimu tapi kamu jangan menyukainya, ya. Mulutnya bau jigong." Aku tidak mengerti korelasi perkataannya. Aku bahkan tidak tahu siapa Maria. Tapi kuakui, tidak ada yang lebih aneh dari cewek itu. Aku sudah menolaknya, mendapat tamparan yang layak, tapi dia masih mau berhubungan denganku dengan alasan sesepele ini.
"Mark? Bukannya dia sudah punya pacar?" gumam Febby yang lagi-lagi mampir di kelasku membawa kotak makan siangnya. Hari ini dia makan salad. Selain sok akrab, berteman dengannya tidak buruk juga. Dia tahu hampir semua orang di sekolah.
Febby menyentuh-nyentuh ponselnya, lalu menunjukkanku foto cowok ceking berambut cokelat-Mark dan seorang cewek oriental berpose gandengan tangan di-upload akun bernama 'ThisisAna'. "Betul." Ia mengangguk-angguk. "Ini pacarnya. Terakhir kudengar kabar mereka bertengkar dan katanya lagi break. Ana salah satu anggota klub cheerleader bagian spotters jadi aku lumayan kenal dia.
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu tanya soal Mark?" Febby mengedutkan sebelah bawah matanya, menebak, "Karena dia mendekati temannya Maya, si Nora itu?"
"Namanya Nola," koreksiku.
"Iya, dia." Febby bertopang dagu dan menumpukan sikunya di pinggir meja. "Kenapa sih, kamu segitu perhatian sama dia? Kemarin-kemarin juga kamu meninggalkan aku di sini dan pergi makan kantin sama dia. Hubungan kalian sebenarnya apa? TTM-an?"
Dia refleks mengangkat sendok-garpunya yang sedang menusuk tomat chery ketika aku mengambil tutup kotak bekal dan merapatkannya. "Karena aku nggak selera makan sama kamu," kataku. "Kalau sudah selesai makan sana balik ke kelasmu. Aku mau beli roti."
Aku bangkit dari bangkuku dan pergi ke kantin. Walau tidak mau memikirkan, setelah perkataan Febby aku jadi mulai berpikir apa tanggapan orang-orang tentang kami. Saat menuruni anak tangga kedua, aku berpapasan dengan gadis oriental yang mengalir dari arah bawah. Dia Ana. Mudah mengenalinya karena wajahnya persis di foto. Kucegat dia, memberitahukan apa yang kutahu tentang pacarnya. Dia kaget, agaknya tidak percaya.
Mark sialan itu. Dia punya pacar yang tidak mudah percaya omongan orang, namun hanya karena break, dia mau mengejar cewek selanjutnya. Dia bahkan bukan loket tiket, buat apa para gadis mengantri memacarinya? Kujelaskan rencanaku pada Ana demi meyakinkan perselingkuhan Mark padanya.
Rencanaku sederhana. Pada hari kencan mereka, Ana datang ke bioskop, membiarkannya melihat Nola dan Mark masuk ke studio dengan cemburu meledak-ledak, menelepon Mark agar dia bisa keluar dari studio, lalu sisanya akan dikerjakan Ana. Terserah cowok itu mau diapakan. Mati pun aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah cewek yang sedang menonton Suicide Squad ini, yang ditinggal pasangan kencannya.
"Dirga?" ujar Nola terheran-heran melihatku duduk di sampingnya.
Kuminum gelas cola-nya sampai sisa setengah karena kehausan. Ada banyak kursi kosong, ini memang minggu terakhir Suicide Squad tayang. Kegelapan bioskop yang disingkapkan pantulan cahaya layar bioskop membuat ruangan jadi remang-remang. Namun, aku masih bisa melihat wajah-wajah orang di kursi bawah. Kebanyakan dari mereka berpasangan.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya.
"Nonton."
"Di kursi ini?"
"Iya. Ini jarak paling pas buat mataku."
"Pas sekali di sampingku?"
"Ini tempat yang paling membuatku nyaman."
Dia lalu terdiam, lalu lanjut menonton. Kupandangi wajahnya dari samping yang ditimpa cahaya putih dari layar, menjadikannya pucat seperti vampire dengan bibir dipoles lipstick semacam-merah. Ia melentikkan bulu matanya, rambutnya dibuat serupa gulungan ombak besar, seberkas rambut yang menghalangi wajah disisipkan di telinga sebelah kanan, dan gaun merah polkadot yang ia pakai sangat sesuai di badannya. Nola yang biasa, manis. Namun, dengan make up tipis dan penampilannya lebih bergaya, dia tampak sangat, sangat cantik.
Kalau saja bisa, aku ingin berlama-lama menatapnya. Kemudian aku tersadar, penampilan Nola yang ini bukan untukku tapi Mark. Cowok sialan itu harusnya kupukul sekali. Dia benar-benar tidak tahu bersyukur. Gila saja, mau menjadikan Nola sebagai selingkuhan.
Sekarang, Mark pun tidak ada. Nola pasti kecewa kencan pertamanya berakhir seperti ini.
"Sebentar," aku menghabiskan popcorn dalam mulutku dan mengambil lagi segenggam, "kita mau makan malam di mana? Aku tahu restoran barat dekat sini."
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top