9. I Saw Sparks
Clara
Kita kerja kelompok sepulang sekolah, ya. Sekalian cari-cari bahan dan bagi tugas.
Ivy
Aku kebagian tugas printnya saja, boleh?
Sena
Nggak boleh. Itu tugasku! Lagian, emang kamu punya duit buat print? Utang di kantin saja berminggu-minggu nggak lunas-lunas.
Me
Hahahaha
Ivy
Itu karena aku mengutamakan hal lebih penting. Udah ah, kamu diam saja, Nyet.
Clara
Kalau mau bertengkar jangan di grup. Ganggu banget notifikasi bunyi terus.
Clara
Bentar kita kumpul di perpustakaan, ya. Pulang sekolah. Jangan lupa.
Sena
Langsung kerja? Nggak makan dulu? Jam segitu perutku pengen pentol ....
Ivy
Hidup pentol!
Sena
Hidup pentol! (2)
Clara
Iya, iya. Berisik banget deh, pentol doang. Kumpul jam dua di perpustakaan. Noted.
Clara
Nola mau ikut makan pentol juga bentar, nggak?
Me
Nggak usah. Aku tunggu kalian di perpustakaan saja. Ada buku yang lagi aku cari ^^
Kumasukkan ponsel ke dalam tas dan menatap tiga teman kelasku di barisan belakang. Mata kami bertemu dan untuk suatu alasan yang hanya kami yang tahu, kami tersenyum. Clara, Ivy, Sena, juga aku, kompak bangkit berdiri saat bel pulang berdentang. Berjalan ke luar kelas bak model Victoria Secret edisi pameran seragam sekolah.
Mungkin ini hanya terjadi dalam pikiranku, tapi aku merasa setelah diundang masuk dalam grup chat dan sekelompok, kami jadi dekat. Untuk pertama kalinya aku merasa tidak kesepian dalam kelas. Sebagai informasi, tadi siang sehabis pulang dari kantin, Clara memberiku keripik kentang bumbu balado sebagai cemilan saat kelas Matematika. Katanya, dia membelikan itu sekalian dengan punyanya, tapi aku ingin berpikiran lain.
"Perpustakaan jam dua." Clara memberikan tas mini backpack seukuran buku cetak tipis.
"Perpustakaan jam dua." Aku mengulanginya sambil menggandeng tasnya.
Ivy dan Sena lanjut memberikan buku cetaknya padaku. Agak membuatku kewalahan membawanya, tapi Ivy dan Sena berbaik hati menarik kembali tasnya.
"Maaf, Sis. Bisa titip itu semua bawa ke perpustakaan? Kita mau dapat tempat yang lokasinya bagus, jadi rugi banget kalau ntar duduknya pisah-pisah. Bisa, kan?" kata Clara, mengeluarkan ekspresi kekhasannya-baru-baru ini kuketahui-saat merasa sungkan namun ingin seseorang melakukan kehendaknya. Senyum tipis dan alis mengerut ke tengah batang hidung, ekspresi itu.
"Boleh."
"Makasih." Lagi-lagi berkata seperti bangsawan bersahaja.
Mereka menuruni tangga bersama puluhan siswa lain yang hendak pulang. Aku berdiri di pinggir tangga, berusaha menyeimbangkan buku-buku di tanganku agar tidak jatuh. Diam-diam, kuperhatikan punggung mereka berlalu dan menghilang ketika berbelok di anak tangga terakhir. Lalu, pada diriku sendiri yang sedang memperbaiki tali tas agar tidak jatuh dari bahu.
Sepertinya ada yang salah. Tapi, sudahlah. Aku bisa pergi lebih awal ke perpustakaan dan mencari meja terbaik. Letak perpustakaan juga tidak begitu jauh dari sini.
Lorong sudah agak sepi di jam pulang. Tapi, begitu tiba di perpustakaan, aku bisa melihat orang-orang mengantre di meja penjaga perpustakaan. Sebagian besar anak kelas tiga, kutebak mereka kelabakan tidak siap menghadapi UN dan SNMPTN. Mereka harus memperbaiki nilai di tahun terakhir mereka SMA agar bisa masuk PTN yang mereka favoritkan. Aku tahu karena kakakku begitu. Akhir-akhir ini, dia semakin rajin kursus atau mendekam dalam kamar dengan banyak tempelan post it di meja belajarnya.
Kuambil tempat duduk di sebelah jendela, yang tampak sepi dan nyaman dengan siraman matahari. Menebar buku-buku di tiga kursi dekatku diam-diam. Perpustakaan tidak memperbolehkan menitip kursi untuk orang lain, tapi sebentar lagi Clara dan teman-temannya menyusul. Mereka pasti mengerti.
Kukeluarkan ponsel dan bukuku, bersiap mencari artikel faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan per kapita. Saat pop up pesan Maya muncul di bagian atas layar. Aku membukanya setelah beberapa detik bertatapan mata dan menyapa Miki dan Ollie yang melewati mejaku, berjalan ke lorong rak buku.
Maya
Kamu di mana? Bentar aku dan Kak Rangga mau main ke Sunrise Mall. Mau ikut?
Kulirik tas merah muda merek Michael Kors beraksen bunga yang tergeletak di seberang meja, lalu pada jam tanganku. Sudah jam dua. Tapi, Clara dan teman-temannya masih belum datang. Pesan dari Maya masuk lagi.
Maya
Kayaknya kami mau nonton Suicide Squad. Kamu pengen nonton itu kan yang lalu? Ikut aja. Nggak bakal jadi obat nyamuk kok.
Me
Sorry, May. Kayaknya aku skip deh. Aku udah janjian kerja kelompok.
Maya
Oke. Ntar aku spoiler ending ceritanya.
Kututup aplikasi chatting, lalu mulai membuka buku. Berusaha memahami inflasi dan kawan-kawannya. Namun, selama itu, mataku tidak bisa lepas dari jarum jam tangan.
****
Langit abu-abu gelap terpampang di luar ketika aku berjalan ke depan pagar sekolah. Hujan turun deras. Menulikan telinga pada setiap bunyi, kecuali bunyi rintik air pecah di tanah. Siswa-siswi yang telat pulang sepertiku ke luar dari lindungan atap gedung, menembus guyuran hujan dengan batang payung di tangannya, ada juga yang berlari memakai tas ransel menutupi kepala.
Aku menyampirkan tas, mencari payung lipat di dalamnya. Tapi, payung itu tidak ada.
Ah. Tadi pagi, setelah mengeringkannya di bawah meja, aku menaruhnya di laci. Pasti ketinggalan di sana. Kalau balik ambil sekarang, kelas-kelas pasti sudah terkunci.
Aku berdecak. Menyeret resleting tas, namun belum sampai ujung, tanganku jatuh ke samping bersama kepala resleting. Kepala resletingnya copot. Tas ranselku kembali menganga.
Kubuang tas itu karena jengkel. Jatuh berjongkok di kakiku, menenggelamkan kepala di antara lutut. Bila mungkin, kesedihan dan kejengkelanku bisa dibasuh bersama air hujan, maka aku ingin melompat ke tengah hujan sekarang.
Ponsel di saku jaketku bergetar. Tanpa perlu melihat, kugeser gagang merah ke tengah layar. Panggilan Maya yang ke sekian masuk ke panggilan tidak terjawab.
Bersamaan dengan lenyapnya notifikasi itu, unggahan satu akun di belakangnya muncul di layar. Cuma unggahan biasa. Clara memasukkan bola dalam ring basketball arcade, lalu bolanya masuk. Ia memekik heboh ke arah kamera, seperti itu kali pertama ia melakukannya. Sang pemegang kamera tak kalah heboh, ia melolong, menggoyangkan ponselnya seolah ingin membuat penontonnya pusing.
Video dua puluh detik itu seperti video acak yang harusnya disimpan di ponsel, bukan disebar ke ratusan orang yang menonton. Sangat tidak penting. Tapi, melihat video itu sekarang untukku bagai ditusuk belati tepat ke jantung.
"Kamu dekat sama Nola?"
Aku menghentikan jari dari mengambil satu buku di rak. Seseorang menyebut namaku di sebelah lorong rak buku. Dari suaranya yang serak-serak basah, aku tahu itu Ollie. Aku tidak dekat dengannya, jadi agak aneh mendengar seseorang yang bukan temanku membicarakanku.
Suara lain menimpali, "Deket-deket gitulah. Emangnya kenapa?" Itu suara Miki.
"Dia kacung barunya Clara, kan?"
"Sssst! Orangnya ada di depan. Ntar dia dengar," bisik Miki.
Ollie tertawa. "Suaraku nggak nyampe kali sampai mejanya," katanya. "Dia polos sekali. Dimintai ini-itu sama Clara malah dituruti."
"Nggak sepenuhnya salah dia juga. Clara mulutnya manis jadi pas dia minta sesuatu dengan sopan, kita nggak sengaja iyain saja. Aku juga pernah kayak gitu, tapi untungnya cepat nyadar."
"Yah, mau gimana lagi, dia pendiam banget. Jadi, gampang dimanfaatkan orang kayak Clara. Eh, bukannya temannya itu Maya kelas X-5, ya? Mereka beda banget, aneh kok bisa temanan." Ollie tertawa.
"Tahu, deh. Semoga aja dia cepat sadar. Aku kasihan liat dia nurut aja sama Clara."
Suara buku diletakkan kembali dalam rak terdengar. "Udah ah. Cabut! Perutku lapar. Kita singgah ke kantin, yuk."
Aku melihat dua orang itu melintasi lorongku. Terdiam di tempat. Harusnya aku merasakan sesuatu, sedih atau marah. Tapi, aku malah mematung dan termenung. Satu-satunya yang bergerak hanya jariku yang menekan-nekan layar. Belum ada pesan masuk di grup, bahkan ketika kutanya tepatnya keberadaan mereka. Namun, di instagram aku melihat Clara baru mengunggah video dua menit lalu.
Aku melihat sepatu hitamku yang ujungnya sedikit terkelupas. Rintik air hujan dari atap yang jatuh memantul di tanah, membuat sepatuku basah. Airnya merembes sampai kaos kakiku. Di antara titik-titik itu, kulihat satu tetes air jatuh lagi. Pandanganku mengabur.
Mereka pasti menganggapku sangat bodoh. Menerima-menerima saja tiap kali dimintai tolong walau alasannya tidak masuk akal untuk dikompromi. Kenapa aku mau-mau saja membawa tas mereka ke perpustakaan dan menunggu tanpa kabar sama sekali? Kenapa aku bodoh sekali tidak menolak pada permintaan yang tidak kusuka? Kenapa aku senang sekali menjadi orang gampangan, senang ketika diajak masuk kelompok walau tahu akan berakhir dengan dimanfaatkan seperti ini?
Kutenggelamkan kepalaku di antara lutut dan terisak. Kesal, tidak menemukan jawaban atas setiap pertanyaanku. Rasanya aku ingin sekali menyalahkan seseorang, berteriak padanya sampai tenggorokanku kering, atau memukulnya seperti samsak tinju. Tapi, aku tidak berdaya. Aku cuma bisa menangis dan menyesal.
Kuremas buku-buku jariku. Pantulan-pantulan air hujan membasahi seragam sampai sepatuku. Tapi, aku membiarkannya, aku patut merasakan semua ini.
Tiba-tiba, aku merasa air yang membasahi kakiku seperti jarum, menghilang. Suara hujan jauh lebih tenang. Udara di sekelilingku tidak lagi membuatku menggigil. Lalu, tiba-tiba, kepalaku ditutupi sesuatu berbahan halus. Ada wangi yang kukenal.
"Jangan dibuka." Suara itu menghentikan jariku melucuti baju di kepala. "Aku nggak mau melihat muka menangismu."
Kucopot baju itu di kepalaku. Melihat Dirga di atas, tangannya memegang payung kuning memayungiku. Setengah badannya masuk dalam payung, tapi dia basah kuyup.
Kulap sisa-sisa air mata di pipi dan ujung mata, lalu menyatukan alis melihatnya. "Memang kenapa dengan muka menangisku? Jelek? Sayang sekali, aku nggak nangis. Ini keringat." Aku mengelap dahiku, lalu menunjukkan telapak tanganku dengan cara yang berlebihan. Tidak ada setitik air pun di sana. Rasanya malu kedapatan menangis di sini.
Dirga membungkuk. "Keringatmu banyak sekali." Jari-jarinya yang hangat menyentuh pipiku. "Ada di sini." Dia mengelap ujung mataku. "Di sini juga ada." Ia menatap seluruh wajahku lekat-lekat. "Keringatmu banyak sekali."
"Nggak lucu," kataku ketus. Wajah pura-pura polosnya membuatku tambah jengkel. "Kenapa kamu datang ke sini? Mau bilang 'sudah kuduga mereka cuma manfaatin kamu saja'? Mau mengejekku nggak ngikutin kata-katamu menjauhi Clara?"
"Iya."
Jawabannya agak tidak terduga, kupikir dia akan membantahnya. Dia menyandarkan batang payung ke antara bahu dan lehernya. Lalu, berdecak. "Kenapa kamu bodoh sekali? Sudah jelas-jelas anak itu tidak baik, tapi kamu terus membelanya. Sekarang kamu ditinggal di perpustakaan dan menangis di sini sendirian."
Aku mengatupkan mulut, tidak jadi menangis. Seketika bertambah kesal mendengar orang lain mengomentari kelemahanku.
"Iya! Aku memang bodoh sekali!" gertakku. "Aku memang gampangan, makanya aku gampang sekali dikerjai. Makanya, aku pantas mengalami semua ini!"
Tangisku pecah. Meraung-raung panjang seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan. Mukaku pasti sudah penuh air mata dan jelek sekali.
Kupukul lengan Dirga. "Kenapa kamu jahat sekali? Harusnya kamu menghiburku. Kenapa kamu membela Clara dan gengnya? Kamu bilang kita teman!"
Aku menarik ingus yang hampir turun. Dirga mengusap air mata di pipiku, tangannya sedingin es.
"Kalau kamu bisa marah kayak gini, harusnya dulu kamu memaki mereka. Tapi, kamu malah jadi orang bodoh yang percaya semua akan baik-baik saja kalau kamu sedikit menderita."
Aku mengibaskan tangannya, mengusap pipiku sendiri. Sebenarnya, kata-kata menusuk itu ada benarnya juga, tapi pada saat itu aku tidak butuh kalimat pembenaran, aku butuh dimengerti.
"Siapa tahu begitu, kan! Apa salahnya menderita sedikit supaya bisa dapat apa yang aku mau?"
Pada awal SMA, kupikir aku akan baik-baik saja walau agak sulit membaur di kelas. Tapi, tiba-tiba saja Maya punya pacar. Dirga sibuk dengan kegiatannya sebagai anak kelas dua. Mereka berdua mulai hidup di dunia tanpa aku. Jadi, apa salahnya aku mengharapkan relasi lain? Aku benci menjadi orang yang selalu ditinggal.
"Itu salah," kata Dirga. "Kalau kamu tidak peduli pada dirimu sendiri, untuk apa orang lain peduli sama kamu?"
Dirga melebarkan jaketnya menyelubungi pundakku. Payung dimiringkan menjadi benar-benar menaungiku saja. Mendapat perhatian sebanyak itu, membuat tangisku makin menjadi-jadi. Isakanku berubah menjadi meraung-raung panjang.
Dirga menarikku ke dalam pelukan. Badannya hangat. Ia mengusap punggungku pelan-pelan. Walau aku masih sangat malu, masih sangat menyesal, dan masih sangat marah, kelakuannya ini membuatku aman.
****
Epilog Chapter
(Untuk lebih mendalami cerita, silakan mendengar Spark - Coldplay)
Did I drive you away
I know what you'll say
You say, oh, sing one we know
But I promise you this
I'll always look out for you
That's what I'll do
I say oh
I say oh
Suatu benda yang memukul-mukul kaca jendela membuat Dirga berhenti menikmati suara Chris Martin menyanyikan lagu Sparks. Ia menoleh ke samping. Pada cewek dengan mata terpejam. Kepalanya terayun ke kiri dan ke kanan, mengikuti pergerakan mobil berjalan. Sesekali menabrak kaca.
Dirga mendengkus geli, saat kepala Nola terantuk agak keras dan membuat alis wanita itu mengernyit sebentar, lalu kembali datar. Dia kembali tertidur.
Dengan gerakan halus, cowok itu memindahkan tasnya ke antara mereka. Menaruhnya cukup dekat untuk dijadikan tempat bersandar kepala Nola. Agaknya tidak banyak membantu. Kepala cewek itu sedang menunduk. Dengan penuh kehati-hatian, tangannya mengarahkan kepala cewek itu untuk berbaring di tasnya.
Tepat saat itu juga, supir angkot mengerem mendadak. Seisi angkot terdorong ke sisi kiri. Dirga memegang speaker dan pinggiran jendela agar mereka tidak jatuh ke samping.
"Maaf, ada kucing," ucap supir angkot, setelah memporak-porandakan isi angkot. Ia menginjak pedal gas lagi dengan tidak sabaran.
Dirga menghela napas panjang. Merasa jantungnya hampir copot. Ia merasakan sesuatu menyandar di pundaknya, dan bulu-bulu halus menggelitiki lehernya.
Itu Nola.
Nola tidur di pundaknya.
Wajahnya sangat tenang. Sepertinya dia sangat lelah, sudah berapa hari ini dia bangun pagi sekali. Begitu yang ia tahu, karena ia tidak pernah ketemu Nola beberapa hari ini.
Tangannya bersiap mendorong kepala Nola ke sisi lain. Namun, ia tidak bisa melepas matanya dari wajah tidur cewek itu. Pada pemilik wajah mungil di atas pundaknya.
Yeah, I saw sparks
Yeah, I saw sparks
Dirga menurunkan tangannya ke atas kursi. Membiarkan kepala Nola berbaring di pundaknya. Ia mengusahakan matanya tetap teralih ke depan.
****
[ If you like this story and want to appreciate, click button star on the left corner of your screen to vote ! Atau, add cerita ini ke library kamu supaya jadi yang pertama tahu kalau aku update bab terbaru.
THANK YOU! ❤]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top