8. On Rainy Days

(Warning : Siap-siapkan mata. Bab ini cukup panjang)

Happy reading ^^

****

Keesokan paginya, langit mendung dan hujan turun. Aku selalu suka suasana ketika hujan turun di pagi hari. Lebih adem dan tenang.

Orang-orang yang biasanya berkejaran dengan waktu, memulai paginya lebih lambat karena pikirnya, 'mungkin sebentar lagi hujan berhenti'. Orang-orang itu tidak mengerti rasanya menyusuri jalanan dengan bunyi gemericik hujan yang pecah di tanah. Atau, harum hujan bercampur bau tanah basah yang menyegarkan dan sentimental. Berlaku hanya bila perutmu tidak kosong, selebihnya yang kamu rasakan mungkin mual.

Kututup payung punya Kak Nara-kucuri di rak payung-ketika naik angkot. Belum ada penumpang, mungkin karena hari hujan. Supir angkot menyuruhku menunggunya pergi membeli kopi. Aku mengambil tempat duduk di sudut mobil.

Itu tempat terbaik mengamati rintik air turun mengetuk-ngetuk kaca jendela. Kusumbat telinga dengan ear phone dan memutar bitterlove milik Ardhito Pramono.

Orang-orang bilang, hujan turun adalah pertanda bahwa ada yang diam-diam mengingat dan merindukanmu. Aku bukan orang percaya takhayul atau pertanda semacam itu, tapi memang lebih mudah mengingat satu momen di kala sendirian dan tidak butuh telinga untuk dipuaskan bicara. Tanpa perlu berusaha, kenangan muncul. Kenangan yang ingin kamu ingat maupun yang ingin kamu lupakan.

Tiap melihat hujan, aku mengingat hari ketika Dirga mencegahku kabur dari rumah.

Seseorang naik ke mobil dan duduk di sampingku bersamaan debuman pintu pak supir, dia menyeruput kopinya dan berteriak, "Kita jalan!"

Bunyi gemeretak dari mesin tua yang dijalankan berbunyi dan mobil bergerak. Lagu bitterlove sudah selesai. Kulirik jam tangan. Waktu masuk masih lama.

"Lagi diburu apa?"

Jantungku hampir melompat ke luar mendengar suara bariton tepat di sebelah telingaku. Manik mata hitam berbingkai kacamata bulat melirikku penuh selidik, tanpa prasangka. Hanya keheranan.

Aku memelototinya. "Ngapain kamu di sini?"

"Kayak kamu dan semua orang. Pergi sekolah," katanya, dengan sebelah alis terangkat.

"Bukan itu maksudku. Kenapa kamu naik angkot ke sekolah?" Di jam ini?

"Motorku mogok. Lagi diservis di bengkel, mungkin bentar sudah beres," jawabnya. "Kenapa sih, kaget banget liatin orang? Kamu lagi dikejar siapa? Polisi?"

Kamu. "Kalau aku buron, perginya juga nggak naik angkot kali."

Dirga melepaskan ransel dan memangkunya, sambil tersenyum kecil. "Tumben, kamu berangkat lebih pagi. Biasa kamu nungguin aku atau Maya pergi ke sekolah supaya bisa numpang." Dia mengambil jeda, menatap lurus ke depan sebelum bicara, "Kayak lagi menghindari seseorang."

Diserang mendadak seperti itu membuatku tidak siap. Kutolehkan kepala, menatap lantai angkot. Menatapnya lama dan bicara butuh usaha besar.

"Iya. Orangnya Maya. Kami berantem kecil kemarin," bohongku.

Entah kenapa Dirga tampak lega. "Baguslah. Kalian harus sesekali berantem kecil. Jangan keterusan mengikuti maunya Maya, nanti kamunya capek."

Aku menatap Dirga. Kembali berprasangka pada keanehannya pagi ini dan kegeeranku. Apa dia berpikir aku menghindarinya? Karena itu dia sengaja datang lebih pagi dan naik angkot untuk ketemu sama aku? Dia juga tahu aku membaca pesannya kemarin, tapi kenapa dia tidak bertanya?

"Aku masih ngantuk. Bilang ya, kalau sudah sampai sekolah."

Kupasang lagi earphone sebelah kiriku yang jatuh menggantung di leherku. Pengantar gitar akustik dari lagu 'Spark'-nya Coldplay sedang bermain. Aku menutup mata, menyandarkan kepala di kaca jendela dan bersiap tidur. Baru beberapa detik menikmati, suara Chris Martin terdengar menjauh lagi.

Kubuka mata dan melihat Dirga memasang earphone kiriku ke telinganya. Dia menyadari tatapanku dan menjawab, "Aku butuh pengisi waktu supaya nggak mengantuk. Teman ceritaku mau tidur."

Aku mencopot earphone-ku di telinganya. "Tapi, temanmu itu nggak bisa tidur kalau nggak pakai kedua kepala earphone."

Dia menarik kabel earphone-ku lagi dengan sengaja.

"Kalau begitu jangan tidur. Temani aku melek sampai sekolah," katanya. "Lagipula, badanmu sudah cukup pelit untuk nggak mau meninggi. Jangan sikapmu juga."

Dia menyumbat sebelah earphone ke telinganya. Bising klakson mobil menyelinap di antara suara rintik hujan dan jeda pembicaraan kami. Serangan kantuk yang menguasaiku dan sikap menyebalkannya, membuatku akhirnya jengkel.

"Kamu ..., lagi menggodaku?"

"Tergantung bagaimana perasaanmu," katanya, seperti bernyanyi.

"Kamu," kuturunkan nadaku meninggi ketika melihat supir melirikku dari kaca spion. "Kamu bilang jangan biarkan orang lain memperlakukanku buruk, tapi sikapmu sekarang sama seperti Clara."

"Dia dan aku beda," jawabnya. "Aku temanmu, dia bukan. Sesama teman boleh-boleh saja bersikap kurang ajar. Itu tandanya kita cukup dekat untuk tidak saling tersinggung."

"Kamu ...," Aku kehabisan stok kata untuk membalasnya dan bergumam, "segitu senangnya jadi teman aku?"

Kata yang kutahu akan kusesali terlanjur ke luar dari mulutku dan tidak dapat ditarik kembali. Dirga memandangku, dengan sorot mata tenang dan bulu mata lentik yang semua cewek dambakan. Aku tidak suka cowok berwajah tampan, menurutku mereka membosankan. Tapi, aku suka cowok berwajah manis dan kalem. Dirga masuk dalam kedua kategori itu.

Dan, cowok itu tersenyum padaku sekarang. Senyuman yang membuat kupu-kupu berterbangan dalam perutku dan membuatku mual.

"Iyalah," katanya. "Kamu enak dikerjai."

Ia tersenyum lebih cerah lagi, seakan minta ditonjok pada kalimat kurang ajar itu. Tapi, aku terlalu lelah. Aku bahkan terlalu lelah untuk mengasihani diri.

Ia menepuk sandaran kursiku. "Tidurlah. Kubangunkan sampai sekolah."

Kata 'iyalah' dan 'enak dikerjai' masih berdengung di telingaku. Tapi, kucoba memejamkan mata dan merapatkan tas sebagai sandaran kepala. Badanku mulai merasa tenang diayun-ayun oleh mobil bergerak. Dan, sebelum kusadari, aku tertidur bersama lagu Sparks yang mengalun.

****

Dirga mengantarku ke kelas dan memberitahu untuk menunggunya makan siang di kantin. Aku menurutinya saja. Ia tidak perlu tahu aku sudah membuat rencana dengan diriku sendiri untuk berpura-pura sakit perut sebentar siang.

Kepada siapa pun yang mengalami dan akan mengalami ini, jatuh cinta diam-diam kepada sahabatmu berarti kamu harus berpura-pura hubungan kalian baik, bahkan ketika kamu merasakan sebaliknya. Kamu tidak punya waktu untuk merana, membiarkan hatimu pulih, dan move on. Semuanya karena ia pikir hubungan kalian masih baik-baik saja. Hanya kamu yang merasa jatuh cinta dan patah hati. Sendirian.

Jatuh cinta diam-diam memang semunafik dan semenyedihkan itu.

Khayalanku pudar ketika seseorang menepuk mejaku. Riuh rendah dari anak-anak kelas X-1 melebur di telingaku. Dari pantulan kaca jendela aku bisa melihat orang-orang bercakap-cakap di mejanya. Mereka sedang membagi kelompok untuk tugas presentasi Ekonomi.

"Nola," sapa Clara di sampingku, ternyata dia penepuk mejaku tadi. "Kamu sudah dapat teman kelompok?"

Kuedarkan mata ke sekeliling. Mencari siapa pun yang bisa kuajak masuk dalam kelompok. Aku bisa masuk ke tim Naura atau Miki. Walau kami tidak cukup akrab, tapi kami pernah dua kali makan siang di kantin.

Sayang seribu sayang, aku keduluan si kembar Ellie dan Ollie di depan mata. Mereka sedang bicara dengan Naura dan Miki, aku melihat anggukan keduanya setelahnya. Jumlah anggota satu kelompok adalah empat orang. Aku tidak mungkin membuat satu dari mereka tersingkir. Kalau begini, aku bisa masuk tim buangan lagi.

Aku menggeleng. "Belum."

Ibu Hasita mencoret topik presentasi lagi. Ada tiga pilihan topik presentasi. Di antaranya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya pendapatan per kapita di lima kelompok negara di Asia Tenggara. Topik itu cukup menarik, ketimbang membahas pengaruh tingkat inflasi, atau lainnya. Tersisa satu kelompok untuk topik itu.

"Kalau begitu sama aku saja," ucap Clara. "Kebetulan kelompokku kurang satu orang."

Kedua temannya muncul di balik pundak Clara. Menyapa dengan senyuman seolah tidak pernah punya salah padaku. Terima kasih atau maaf pun tidak pernah kuterima setelah capek-capek menggantikan piket mereka minggu lalu, dan sekarang ini?

Mereka bukan lagi muka bebal, tapi teritip pada tubuh ikan paus. Senang sekali menumpang hidup orang lain!

"Kalau kamu nggak keberatan, sih." Clara tiba-tiba menimpali sebelum aku berniat menolak. Dia berkata dengan sungkan, "Di antara kami nilaimu yang paling bagus. Pasti banyak yang mau sekelompok sama kamu."

Dari segi nilai, mereka memang agak membebani. Di kelas kami, mereka geng pesolek, cantik, populer, tapi nilainya kurang bagus. Di grup itu, Clara sebagai pusatnya. Tentu, karena dia yang paling cantik. Yang tidak kutahu, dia juga yang paling baik dari mereka bertiga. Dirga salah sekali menilai cewek ini.

"Kalau begitu kita pilih dulu negara-negara mana yang mau kita jadikan objek studi kasus," usulku.

Ketiga pasang mata itu melotot dan bersitatap. Lalu, kembali menanyakan persetujuanku dengan menatapku lagi. Aku mengangguk sebagai jawaban.

Mereka memekik senang. Menautkan jari-jari tanganku dan menggoyangkannya heboh sebagai ritual penyambutanku menjadi anggota baru. Saat Bu Hasita mendesis panjang barulah kami menutup mulut.

****

"Kamu dan Clara sekelompok? Kamu udah gila?"

Aku mendesis, meminta Maya memelankan suara sembari mengecek orang-orang yang mengantri di belakang kami. Mereka menatap kami tajam, seolah kami kedapatan membuat rencana menyabotase makan siang mereka. Padahal keras suara Maya hanya sepersekian persen dari suara berandal-berandal kantin yang bicara sekeras pakai toak.

"BU, BAKSONYA SATU. KASAR SEMUA. BANYAKIN KECAP, KURANGIN LAMA!" Lalu, orang itu mengobrol di antrean soal salah satu temannya yang tidak ada di sana, dalam volume masih sama. Memperdengarkan dosa-dosa teman A pada orang-orang belakangnya.

Aku mengambil mangkuk bakso yang disodorkan Pak Tejo. Maya menyuruh Pak Tejo tambah kuah. Jadi, Pak Tejo kembali lagi ke gerobaknya mengisi kuah, sambil tangannya yang lain meraup mi kuning ke dalam mangkuk lain.

"Aku belum dapat kelompok dan dia kurang satu orang, jadi kenapa nggak?" jawabku, menuang sambal dan kecap banyak-banyak.

"Karena dia Clara!" sahut Maya dramatis. "Dia orang yang menyebar gosip kalau aku cewek gampangan yang suka deketin cowok-cowok, dan pernah operasi plastik! Operasi plastik! Konyol sekali, kan?" Maya menyedakkan tawa, lalu berkata sambil berpikir, "Aku akui dulu kulitku gelap dan gigiku berantakan, jadi kecantikanku sekarang sangat mengherankan."

Aku memutar bola mata, tidak pernah biasa dengan kenarsisan Maya.

Pada masa awal pacaran Maya dan Kak Rangga, tersebar banyak berita miring soal Maya di laman media sosial sekolah. Banyak pengakuan dari anonim yang melihat Maya berlaku biadab, seperti keluar hotel bersama pria tua, merokok, dan kabar lainnya yang tidak mau kuingat. Maya menanggapinya dengan santai, katanya, 'itu resiko jadi orang terkenal'. Suatu hari, ia melabrak teman sesama anggota pemandu sorak hendak mencoreti seragamnya yang disimpan di loker. Orang itu Clara.

Kubawa nampan mangkuk baksoku ke meja di tengah kantin yang kebetulan kosong. Seharusnya Dirga juga ada di sini makan bersama kami, tapi tiba-tiba wali kelas memanggilnya.

"Kamu dan Clara memang punya sejarah yang buruk."

Kuah di mangkuk Maya hampir tumpah ketika ia meletakkan mangkuk. Dia duduk di kursi depanku.

"Iya. Sayang sekali, dia salah cari lawan. Kamu masih ingat meme wanita ular itu?" Ia bernyanyi, "My anaconda don't. My anaconda don't," meniru suara teman duet Nicky Minaj di lagu Anaconda, lalu terbahak.

Aku ingat sekali meme bersejarah itu. Bak pesan bersambung, video Nicky Minaj berkepala Clara menari di lantai dengan backsound lagu Anaconda, masuk ke setiap ponsel murid sepagian itu. Cloox, akun instag-tempat konten meme lucu-memperburuknya dengan mengunggah video itu di lamannya. Dalam sehari video itu viral dan ditonton jutaan kali. Karena meme itu juga, Clara sampai tidak masuk sekolah selama seminggu. Sejak saat itu, tidak ada lagi yang berani menganggu Maya.

"Dia bisa saja berubah."

Pengalaman pahit dan memalukan katanya guru terbaik dalam perubahan diri seseorang. Dari apa yang kulihat, Clara sudah jauh lebih baik.

Maya meneguk es tehnya. "Perubahan nggak terjadi 180 derajat, Nola. Clara jadi baik itu hal paling mustahil. Lebih mustahil dari monyet pakai gadget."

"Dia pernah sekali memberiku parfum." Aku memberitahunya.

"Aku bisa memberimu beribu parfum dan menamparmu setelahnya." Maya membuat gerakan menampar.

Aku memandangnya dengan pandangan sengit seperti 'pikiranmu sangat berlebihan'. Tidak kuucapkan karena tahu Clara adalah masa lalu kelam Maya. Walau dia bersikap tidak terpengaruh isu itu, aku tahu pasti dia tetap terluka. Maya selalu begitu. Dia memang orangnya blak-blakan, tapi jika itu persoalan intim dia lebih memilih diam. Saat kedua orang tuanya hampir bercerai pun kalau aku tidak sering ke rumahnya dan melihat mereka bertengkar, Maya tidak akan bicara.

"Daripada itu, kita bicarakan soal Halloween nanti." Aku mengalihkan pembicaraan. "Gimana kalau kita memakai topeng seram sambil nonton film?"

Maya tampak terpengaruh, matanya berbinar. "Boleh, boleh."

Setelahnya, kami mengobrol soal Halloween, film apa yang akan kami tonton, kemudian berlanjut pada apakah perlu membuat popcorn caramel atau membeli nachos. Persoalan Clara dan kelompok Ekonomiku sudah terlupakan.

Ponselku di dalam kantung bergetar waktu kami selesai makan. Ada pesan dari Mama.

Pulang nanti singgah ke toko bunga. Mama butuh bunga lily buat hiasan meja.

Aku mendengkus. Padahal Mama punya dua putri, tapi perlakuan keduanya sangat berbeda. Satunya diperlakukan bak putri raja, satunya diperlakukan layaknya upik abu. Perkataan anak bungsu senang dimanja benar-benar keliru. Aku, bukti hidupnya.

Aku benar-benar tidak beruntung. Di keluarga, aku diperlakukan layaknya babu. Dalam hal cinta, orang yang kusukai mendeskripsikanku sebagai 'orang yang gampang dikerjai'.

"May," panggilku. "Apa aku kelihatan gampangan?"

Maya menelan bakso terakhirnya di mulut. "Mmhmm. Kamu kelihatan lugu. Penampilan luar dan auramu." Maya memutar telapak tangannya di depan wajahku. "Intinya, kamu tipe tertindas."

"Seburuk itu?"

Maya berujar, "Tapi, itu juga salah satu sisi baikmu. Kamu selalu melihat sisi positif dari setiap orang, karena itu kamu gampang diperdaya. Itu kekuatan dan kelemahanmu."

'Menjadi orang yang gampang diperdaya', mendengarnya saja sudah cukup menyedihkan. Tapi, bukankah sama tidak baiknya dengan orang yang selalu berpresepsi negatif pada orang lain? Terlalu banyak mencurigai dapat membuatmu kehilangan banyak peluang, pengalaman, dan teman. Aku tidak ingin menjadi orang yang menyesal terlalu larut pada prasangka buruk pada orang lain sebelum mengenal mereka.

Katakanlah pemikiranku naif, tapi menurutku, lebih baik menjadi orang yang diperdaya daripada orang curigaan. Waspada memang baik, menghakimi orang lain atas muka mereka yang tidak baik. Aku ingin menjadi orang yang memahami kelakuan mereka sebelum memasang tameng perlindungan diri. Untuk sekarang, pemikiran ini cukup untukku.

****

Halo, guys!
Bab ini cukup panjang, ya. Aku nulisnya sampai capek sendiri karena chapter ini punya banyak adegan. Aku harap kalian menikmati bab ini sebanyak aku menikmati menulisnya ^^

Wahhh, sudah bab 8 saja. Kita sudah berjalan cukup jauh, ya? Makasih banget buat kamu yang membaca cerita Nola-Dirga-Maya (meski emang dikit peminat) sampai sejauh ini. Aku harap cerita mereka bisa menemani kalian di tengah pandemi ini.

Sebelum aku tutup cuap-cuap malam ini, aku boleh nggak minta kritik dan saran? Kalau berkenan, silakan ketik di kolom komentar.

Makasih sudah membaca !

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top