7. If Love Never Exist
Senin adalah hari yang panjang. Ini bukan kata-kata dari karyawan pengeluh dengan tugas menumpuk menunggu di mejanya sebelum ia selesai minum kopi gelas pertamanya di pagi hari. Ini kataku, sebagai gadis yang sedang berusaha menghindari bertemu crush-nya. Kalau saja Dirga hanya seniorku di sekolah dan bukan tetanggaku, ini pasti berjalan sangat mudah.
Hari ini aku berangkat lebih pagi, memakai luaran hoodie biru dan menyembunyikan kepalaku dalam tudung jaket. Sampai di sekolah, tentu saja, aku menerima ceramah dari Pak Datu yang sedang berjaga di pintu masuk karena semua orang memakai jaket di hari Senin. Hoodie atau cardigan mana pun tidak boleh ada di baliknya. Akhirnya, aku melepasnya sampai kelas. Tapi, setelah itu aku tetap memakainya tiap kali melewati koridor kelas. Kalau-kalau suatu saat Dirga mampir ke bagian kelasku untuk alasan apa pun yang mungkin.
Pelarianku hari ini hampir saja berhasil sampai namanya dibahas saat jamuan makan malam.
"Ajak Dirga kemari. Papanya pasti pulang telat lagi, dia pasti belum makan," ujar Mama, sambil menebarkan sendok-sendok ke mangkuk opor ayam, bakwan jagung, sambal, dan sawi tumis.
Nafsu makanku yang sudah melangit, terjun bebas dan terjerembab ke tanah. Selera makanku hancur sudah mendengar nama satu itu. Padahal, kupikir aku bisa melupakannya untuk sejenak.
"Dia akan baik-baik saja. Tante Amel nggak mungkin membiarkan keponakannya kelaparan," jawabku, seolah paling tahu.
"Tante Amel dan Om Arief pergi ke acara pembukaan swalayan di Magersari."
"Siapa tahu mereka nggak jadi pergi?"
"Om Arief yang mendesain bangunannya. Mereka pasti pergi." Papa duduk di sebelah Mama dan secara otomatis tangan Mama bergerak menyendokkan nasi ke piring Papa. Kepadaku Mama berkata, "Cepat sana, telpon dia sebelum makanan Mama dingin!"
Dengan tak rela, aku mengambil ponsel di celana. Alih-alih kepada Dirga, aku mengetik pesan pada Maya. Pesan random berbunyi, "Pilih Kak Rangga atau Ryan Gosling?". Tentu saja aku tidak akan menghubungi Dirga dengan alasan apa pun, termasuk ketika Mama sedang mengawasiku dari seberang meja apakah aku sudah menge-chat Dirga atau belum. Aku belum siap bertemu Dirga. Aku tidak tahu cara bersikap normal ketika dia baru saja menolakku. Menyedihkannya lagi, dia bahkan tidak tahu itu.
"Jangan cuma sms. Telpon dia. Begitu lebih cepat," tuntut Mama lagi, tidak puas.
Kak Nara yang berdiri mengisi air di dispenser, mengerang. "Astaga. Mama kuno sekali." Lalu, kicep setelah mendapat serangan mata tajam dari Papa dan duduk di kursi sampingku.
Balasan Maya muncul waktu aku mengambil nasi. Dia membalas, "Keduanya." Lalu, menelungkupukan ponsel ke meja. "Dirga tidak bisa kemari. Dia sudah memesan makanan di luar," bohongku.
"Kalau begitu bilang padanya untuk sebentar datang kemari dan membawa sisa makanan. Dirga sangat suka opor ayam buatan Mama."
"Dirga bukan anak-anak lagi, Ma. Dia bisa mengatur hidupnya sendiri, apalagi kalau cuma urusan makanan."
Mama mendesah. "Mama cuma kasihan melihat anak itu. Mamanya meninggal waktu dia masih kecil dan papanya sering meninggalkannya di rumah karena kerjaan. Dia pasti kesepian."
"Tapi, papanya bisa memberinya iphone keluaran terbaru yang harganya belasan juta," sambung Kak Nara seolah kami perlu tahu. Aku meliriknya sinis agar dia berhenti, tapi dia menanggapiku dengan melebarkan mata menantang seperti berucap, "Apa ucapanku salah?"
"Tara terlalu menekan dirinya bekerja." Papa menimpali sambil menyuap nasi ke mulutnya. "Kita juga tidak bisa bilang apa-apa, mungkin dia begitu karena masih kepikiran sama mendiang istrinya."
Mamanya Dirga meninggal karena kecelakaan mobil. Itu yang kudengar dari Papa dan Mama waktu aku menguping percakapan mereka lewat pintu kamar yang setengah terbuka pada hari pertama keluarganya pindah kemari.
Om Tarantio dan Papa telah saling kenal sebelum Papa menikah. Papa sempat kerja beberapa tahun di Surabaya sebelum memutuskan menjalankan bisnis toko kelontong sendiri. Lucunya, aku tidak tahu itu. Jadi, saat mereka bertemu kembali, ketika Papa sedang mengelap motor barunya di depan rumah untuk pamer ke tetangga. Dia membuka lengannya dan berteriak "Taraaa!" pada Om Tara yang tidak sengaja lewat. Aku malu sendiri karena kukira saking senangnya, otak Papa yang senantiasa lurus jadi koslet. Dia sampai sebangga itu memamerkan motor barunya pada orang yang baru ia kenal.
Mama beringsut mendekat pada Papa. "Gimana kalau aku kasih kenal Tara sama sepupunya Gayatri? Kamu ingat, Lami, yang kita ketemu di pasar? Dia anak kedua dari saudaranya yang belum menikah dan sudah hampir kepala empat. Mama dan papanya sudah mendesaknya menikah, tapi dia belum ketemu jodoh."
Mama membagikan opor ayam ke piringku. Aku mendapat ayam bagian sayap, padahal kakakku mendapat bagian paha. Bahkan, orang tuaku pun lebih memilih memberi bagian terbaik pada anak favoritnya. Kenapa aku tidak pernah menjadi spesial bagi seseorang?
"Dek." Mama memegang pergelangan tanganku dan aku tersadar.
"Iya, Ma?"
"Tante Delima ngadain pesta mengenang satu tahun kepergian Nenek. Nanti Adek datang bantu-bantu, ya?"
Aku melirik Kak Nara sekilas, dia sedang menguliti paha ayam bumbu kuning dengan sendok dan garpu. Kepalanya menunduk, pura-pura tidak mendengar, tapi aku tahu dia sedang menahan senyum.
"Aku saja?" tanyaku, agak keberatan.
"Iya. Kakakmu sedang sibuk-sibuknya belajar persiapan ujian nasional. Besok Kakak kursus lagi, kan, ya?"
Kak Nara menjawab. "Mmmhm." Ia menelan makanannya. "Besok ada kuis di kelas Biologi. Katanya, senior yang pernah di tempat kursusku, soal-soal di kuis itu banyak muncul di UN."
"Oh ya?" Mama menusuk bakwan jagung, memindahkan tatap pada Kak Nara penuh antusias. "Daripada itu, Mama penasaran sama hasil konsultasimu. Jadi, gimana hasilnya?"
"Bu Melinda merekomendasikanku ikut SNMPTN. Katanya, profil dan raporku cukup untuk itu. Aku cuma menarget kedokteran UGM, tapi kata Bu Melinda aku tetap harus membuat pilihan kedua ...."
Bla, bla, bla, bla. Aku dan persoalan bantu-bantu acara peringatan kematian Nenek telah resmi dilupakan. Merengek pun aku tidak sempat. Aku tidak mengerti kenapa Mama perlu menanyakan kesediaanku membantu kalau tidak mau mendengar pendapatku. Buatnya, studi dan Kak Nara selalu lebih penting dari anak bungsunya.
"Aku nggak bisa bantu-bantu ke acara peringatan Nenek," selaku, di tengah pembicaraan jalur masuk perguruan tinggi yang sedang dibahas di meja. Keheningan dan tatapan mereka membuatku merasa dituntut punya penjelasan yang bagus untuk memuaskan mereka. "Lusa ..., mmm, aku ada ujian harian."
Sebenarnya, bukan ujian harian. Hanya kuis kecil untuk tambahan nilai, tapi mereka tidak perlu tahu itu.
Alasanku rupanya tidak cukup baik untuk Mama, dia mengerutkan alis dan berucap, "Cuma ujian harian, kan? Malamnya juga pasti sudah selesai. Acaranya jam enam sore."
"Iya, tapi pulangnya pasti capek lah, Ma."
"Mama sudah kasih ijin kamu pergi sampai larut malam sama Dirga dan Maya waktu Adek ulang tahun. Masa Mama minta segini saja Adek nggak mau?"
Aku baru saja ingin mengeluarkan alasan lain saat Mama mengeluarkan kalimat pamungkasnya, "Mama cuma punya satu anak penurut, berbaik hatilah sama Mama."
Kalah telak.
Mama memang paling tahu cara membuatku merasa kalah. Hati nuraniku sebagai anak berbakti selalu diangkat-angkat tiap perdebatan semacam ini.
"Okelah. Adek ikut," desahku panjang. "Tapi, syaratnya, Adek mau tas C&K. Tas ransel Adek sudah rusak."
"Adek bisa pakai punya Kakak ...."
"Dia pelit!" protesku.
"Tasku bisa rusak!" protes Kakak, bersamaan denganku.
Aku dan Kak Nara saling melempar tatapan sengit, sama-sama tersinggung dengan jawaban kami.
Mama menengahi, "Oke, oke. Besok Mama cari di pasar, siapa tahu ada Ck atau Cek itu."
"Namanya Charles & Keith, dan aku mau yang asli bukan yang KW!" rengekku.
"Nggak ada yang tahu tasmu asli atau palsu. Cuma yang beli yang tahu." Jawaban paling standar semua mama atas segala permintaan mahal anaknya.
"Itu beda sekali!"
Aku mengerang kesal. Bertambah kesal karena tidak punya kendali atas kesediaan Mama mengeluarkan uang dari dompetnya. Papa sebagai saksi dan pembeli potensial pun hanya diam dan menyuap nasinya. Seakan rengekanku tidak berarti apa-apa.
"Jujur saja, aku bukan anak Mama dan Papa, kan? Aku anak pungut, kan?"
Mama terbahak dan Papa hampir menyemburkan nasi dari mulut.
"Kalau kami mau pungut anak pasti kami pilih yang lebih cantik!"
****
Usai mencuci piring, aku membawa naik sepiring apel yang dipotong Mama sebagai makanan pencuci mulut. Kubuka novel dan berbaring di atas kasur, lalu ponselku berdenting di paragraf kedua. Pop up pesan muncul waktu layar menyala.
Hey.
Besok Doctor Stranger tayang perdana di bioskop. Mau nonton bersama?
Kuambil ponsel dan duduk tegak di atas kasur. Menatap lama layar ponsel yang masih menampilkan pop up pesan yang sama. Dari Dirga. Dia mengajakku nonton.
Aku tidak mau terlalu antusias terhadap ajakan ini, tapi sekarang jariku ingin sekali menekan tombol membuka pesan dari Dirga. Sudah lama sejak kami tidak ke luar bersama. Terakhir kali mengobrol juga rasanya di jaman bahula.
Mungkin, tiga hari lalu. Baru tiga hari, tapi rasanya sudah terjadi sangat lama. Waktu berjalan lebih lambat ketika kamu sedang mencoba menghindari sesuatu.
Kubiarkan pesan Dirga mengambang di antara waktu bergulir. Sementara aku menipu diri mengalihkan perhatian menggulir instagram.
Denting pesan kemudian mengagetkanku, bersamaan balon chat-nya muncul di kolom notifikasiku.
Lupakan saja.
Kubuang ponselku ke sembarang arah. Membanting punggungku ke dalam kenyamanan kasur, dan menatap langit-langit kamar berhiaskan stiker bintang dan planet warna hijau. Seandainya saja aku tidak pernah bertanya pertanyaan konyol di beranda waktu itu. Aku hari ini pasti masih terus berharap padanya dan tidak mengalami patah hati. Pertemanan kami pun akan terus berjalan seperti dulu.
Seandainya saja aku tidak menyukainya, hubungan kami akan baik-baik saja.
Mulai sekarang, semuanya akan berbeda.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top