6. A Hole Between What We Believe

Liburan kenaikan kelas satu SMP tahun 2011 kuhabiskan di rumah, tanpa teman. Selama sepekan Maya berkunjung ke rumah neneknya di Surabaya. Jadi, rencana petualangan kami keliling kota Mojokerto dengan angkot, gagal. Akhirnya, aku menyibukkan diri dengan menonton TV. (Kala itu, Cinta Cenat-Cenut sedang hype dan karena liburan sekolah, tiap pagi channel TV menayangkan film Doraemon)

Seperti biasa, aku bangun pagi-pagi untuk menonton film Doraemon, ketika tidak sengaja dari jendela lantai dua kulihat dua mobil boks melintas dan berhenti di depan rumah seberang. Sejak ditinggal meninggal pemiliknya-Eyang Pandhu-tiga bulan lalu, kudengar rumah itu dilelang keluarganya karena tidak sanggup mengurus.

Eyang Pandhu adalah pria tua yang baik, suka anak-anak, dan senang bercerita kisah patriotnya semasa penjajahan dahulu. Dia akan mulai dengan, 'Zaman kalian enak. Dulu Eyang ...," lalu anak-anak akan berkumpul di depannya dan diam mendengarkan. Sekarang, bukti keberadaannya hampir menghilang. Sebelum itu benar-benar terjadi, aku harus berkunjung ke sana untuk terakhir kali.

Aku menaruh beberapa tangkai bunga asoka yang baru kupetik ke bawah pagar rumahnya. Lalu, berdoa kepada Tuhan memohon ketenangan beliau di atas sana.

"Siapa yang kamu doakan?"

Seseorang menyahut di belakangku saat aku selesai berdoa. Dia, anak cowok berambut cepak, tidak terlalu tinggi, dan suaranya cempreng. Roda koper hitam menghantam tanah di belakangnya sampai ia berhenti di depanku.

"Pemiliknya yang lama. Dia meninggal di sini tiga bulan lalu," jawabku.

Anak cowok itu mengangguk. Membaringkan kopernya di depan pagar dan duduk di sana.

"Di rumah lamaku, aku menaruh bunga yang lebih besar," gumamnya, sambil lalu.

Kutegakkan sepeda pink keranjang putih yang disandarkan ke dinding. Berniat untuk pergi karena canggung berduaan dengan anak cowok. Setelah tahu ada keluarga yang akan pindah ke kompleks kami, aku berharap ada anak perempuan yang pindah. Namun, melihat anak cowok ini betah di sini, sepertinya dia orang yang kutunggu.

"Kenapa kamu nggak masuk?" tanyaku. Pekerja-pekerja berbadan besar lalu-lalang masuk rumah, memindahkan kardus-kardus besar dan perabotan rumah dari mobil boks.

"Karena tempat ini bukan rumahku."

"Terus, rumah siapa?"

"Rumah papaku. Aku tinggal puluhan kilo dari sini."

Aku mengedip-ngedip, tidak mengerti. "Kamu dan papamu beda tempat tinggal? Kata mamaku, keluarga harus tinggal serumah, karena itu aku nggak boleh sering-sering nginap di rumah Maya."

Anak itu mendongak, hanya untuk melepas napas ke depanku. Seperti mengatakan kalau aku terlalu cerewet untuk percakapan pertama kami sebagai orang asing.

"Kalau papaku masih menganggapku keluarga, harusnya dia tidak meninggalkan rumah lama untuk memulai hidup baru di sini," gerutunya. "Ini bukan yang aku mau."

"Lalu, apa yang kamu mau?"

Lagi-lagi, dia membuang napas. Ingin membuatku berhenti bicara, tapi aku terlanjur penasaran. "Tinggal sama Mama."

"Kalau begitu tinggal saja sama mamamu."

"Itu nggak bisa."

"Kenapa?"

Dia terdiam dan ragu, matanya menerawang ke suatu tempat yang tepat pastinya berada jauh dari sini. "Karena mamaku sudah meninggal."

Dari suaranya yang serak dan bindeng, dan dari gelagatnya yang seakan menyembunyikan muka-memandang tanah, kukira dia akan menangis. Tapi waktu dia mengangkat wajah, tidak ada tangis di sana.

"Kalau kamu sudah selesai berdoa, pulang sana. Kamu mengganggu."

Dia mengibaskan tangan mengusirku. Namun, aku tidak tersinggung. Pada saat mengatakannya, aku bisa melihat putih matanya diselubungi guratan merah.

"Kamu baik-baik saja?" tanyaku.

Dia terdiam. Untuk sesaat mulutnya menukik ke bawah, tapi ia berusaha mengatur wajahnya tetap tenang.

"Iyalah. Sudah besar juga, masa mau nangis karena ditinggal orang tua. Lagian, gimana juga caranya kami tinggal sama-sama? Masa aku masuk ke kuburnya?" Ia tertawa getir. Matanya berkaca-kaca.

Ini kedua kalinya aku melihat cowok menangis. Yang pertama adalah teman kelasku yang menangis karena jatuh tersandung. Wali kelasku berhasil menenangkannya dengan mengucap, "Anak cowok nggak boleh cengeng. Malu kan, dilihat sama teman-teman cewekmu."

Kulepas jaket merah yang kutaruh di keranjang sepeda dan menjatuhkannya ke atas kepala cowok itu. Dia meraba atas kepalanya dengan panik.

"Jangan copot," perintahku saat ia hendak mencopotnya. "Nggak usah malu kalau kamu mau menangis sekarang. Nggak ada yang bisa melihatmu."

"Siapa yang nangis juga?" Dia mencoba menyingkap kain lagi tapi kutahan. "Astaga. Kenapa kamu berlebihan sekali, siapa juga yang menangis karena hal kayak gini ...."

Kata-katanya terputus oleh keheningan. Kukira dia marah, namun selanjutnya kudengar ada isakan kecil. Isakan-isakan terputus itu kemudian berubah menjadi tangis. Cowok itu menangis sejadi-jadinya. Dari jaket merahku kering sampai hampir seluruh bagian basah dengan air mata.

Saat itu, aku belum memahami ditinggal pergi oleh seseorang yang dicintai rasanya semenyakitkan itu. Aku tidak tahu perasaan hampa ketika kamu bangun dan memanggil nama orang itu, tapi tidak mendapat jawaban. Kemudian, dalam hening kamu kembali diingatkan kalau dia telah tiada.

Aku masih terlalu kecil untuk paham itu semua. Yang kutahu saat itu adalah anak cowok ini sedang sedih mengingat orang tuanya, tapi aku punya film Doraemon yang harus kutonton.

Yang ia tahu saat itu adalah walau dia menangis di depan orang asing, dia tidak perlu malu karena besok tidak perlu menemuiku. Yang kami tidak tahu adalah jarak tiga rumah cukup untuk membuat dua orang berteman. Dan, yang tidak kuketahui adalah suatu saat aku akan menyukai manusia itu dan perasaanku berakhir dengan penolakan.

****

"Alasan penolakan wanita bisa jadi bermacam-macam. Yang pertama, dia pria beristri dan sedang tidak ingin menambah masalah pacar atau istri kedua. Kedua, kamu terlalu jelek buat dia, jadi dia nggak tahan melihat wajahmu di sampingnya lima menit ke depan. Yang terakhir, mungkin saja kamu bukan tipenya karena pada dasarnya orientasi seksualnya bukan kamu."

Maya menutup buku catatan matematikanya, seperti mengatakan kalau kasusku sudah selesai. Nyatanya, sama sekali tidak. Barusan itu penjelasan ter-absurd yang pernah kudengar. Kalau dia adalah dokter, barusan itu resep obat untuk membuat pasien muntah darah.

Kami sedang duduk di kamarku, dengan buku-buku berserakan terbuka di meja dan dua gelas cola-pemanis untuk mempermulus otak bekerja. Sepulang sekolah tadi, Maya menungguku di depan kelas, merengek minta diajari persamaan linear. Kebetulan aku butuh pendapat orang berpengalaman di bidang percintaan untuk masalahku, jadi aku mengajaknya mengerjakan tugas matematikanya bersama sekaligus konsultasi cinta.

"Jadi, yang mana alasan temanku ditolak?"

Maya memoles kuku kakinya dengan cat warna ungu terang. "Mungkin, semuanya."

"Apa?"

"Cowok itu memang bukan pria beristri, tapi jelas dia sedang dalam fase nggak mau berhubungan." Maya memberi jeda untuk mencelupkan ujung kuas catnya lagi dalam botol. "Dia juga nggak bilang alasan klise seperti, 'kamu terlalu baik buat aku', 'aku nggak pernah melihatmu sebagai cewek', atau lebih ekstrem, 'kamu terlalu jelek buat aku'. Dia malah mengatakan, 'karena aku nggak percaya cinta'. Itu alasan terbodoh dan paling kuat untuk menolak seseorang."

"Jadi, intinya?" tekanku.

Dia meniup kuku ibu jarinya yang sudah dipoles, menatapku iba, tidak enak mengucapkan kalimat selanjutnya, "Dia benar-benar nggak suka sama temanmu."

Aku bisa mendengar bunyi gemeretak dari hatiku yang patah dilindas truk pengangkut. Pecah berkeping-keping. Padahal aku sudah tahu akhir pembicaraan kami akan ke mana, tapi saat Maya mengucapkan kalimat 'benar-benar nggak suka', ini semua mulai terasa nyata. Dirga benar-benar telah menolakku. Aku bahkan belum sempat menyatakan perasaanku.

"Benar-benar nggak ada harapan?"

Maya menggeleng.

"Gimana kalau cowok itu beneran nggak percaya cinta?"

"Berarti dia bukan manusia, mungkin alien atau psikopat yang nggak punya hati." Maya mendengkus setengah tertawa. "Kuharap, mukanya nggak secakep Ted Bundy, kalau iya, dia pasti sudah membunuh banyak cewek dengan pesonanya yang mematikan dan pisaunya yang tajam."

"Aku nggak lagi bercanda, May," tegasku. "Dan, kasus pembunuhan orang bukan bahan candaan."

"Okay, okay. I'm sorry." Maya mendecak. "Kamu serius amat, padahal persoalan temanmu juga."

Aku meminum cola-ku yang esnya telah mencair, tidak berani mengatakan kalau objek pembicaraan kami memang aku. Kalau Maya tahu aku suka Dirga dan baru saja ditolak sepihak, entah mau ditaruh di mana mukaku nanti.

Maya bicara lagi, "Mereka mungkin bisa bohong, tapi kenyataannya nggak ada orang yang bisa nggak percaya cinta. Perasaan bukan lampu yang punya tombol on-off yang bisa kamu pilih semaumu. Walau dibilang, manusia itu makhluk yang punya kehendak bebas, manusia tetaplah makhluk terbatas yang nggak punya kendali kalau bicara soal hati."

"Jadi, menurutmu, orang yang bilang dia nggak percaya cinta berarti berbohong?"

"Bisa jadi begitu, bisa jadi dia cuma cowok brengsek yang nggak mau berkomitmen sama satu cewek-"

"Dia nggak brengsek!" sahutku, menyela.

Kelewat keras sampai membuat mata Maya melebar kaget dan memegang dada sebelah kirinya. "Ya, iya, maap. Aku kan, nggak tahu. Aku cuma kasih kemungkinan-kemungkinan."

Alisnya yang masih berkerut menatapku membuatku kikuk dan pipiku menghangat. Aku mengalihkan pembicaraan. "Selain itu, apa?"

"Selain dua itu, mungkin dia punya kondisi lain, misalnya dia mengalami-"

"Trauma masa lalu," potong seseorang di belakang kami.

Tepatnya, wanita berambut sebahu dan piyama kotak-kotak, kacamata bulat bertengger di pangkal hidungnya. Kak Nara bersandar di pinggir pintu yang menjeblak terbuka dan bersedekap.

Kak Nara melanjutkan, "Mungkin ada kejadian buruk yang dialami keluarganya atau malah dirinya sendiri. Apa pun penyebabnya, dia mengalaminya berkali-kali hingga membuatnya kecewa dan patah hati. Lalu, mengalami trauma. Seperti ketika pasien kanker menolak prosedur radioterapi karena lelah menanggung efek samping benda itu ke tubuhnya, meski resikonya kematian."

"Atau, kayak kamu yang nggak punya pacar karena trauma diputuskan pacar lamamu," tambahku sambil menyengir lebar. Kak Nara membalasku dengan pelototan.

"Daripada kamu sudah enam belas tahun, tapi masih jomblo," celetuk Maya, lalu meledakkan tawa.

Aku gantian melotot padanya. "Aku memilih jadi jomblo, bukan karena nggak laku."

Maya mengangkat bahu. Lalu, melirik Kak Nara dan mereka tersenyum penuh arti. Kalau soal mengejek saja, mereka satu kubu.

Kak Nara mengintip meja kami. "Persamaan linear ... Pelajaran matematika anak kelas satu masih mudah. Dua tahun lagi kalian akan dibuat pusing sama statistika."

Mata Maya berbinar seperti anjing melihat tulang ayam. "Kakak pintar matematika?"

"Menurut raporku, nggak cuma matematika," katanya sombong.

Walau ia patut berbangga karena memang sudah dua tahun berturut-turut Kak Nara memegang peringkat satu seangkatannya. Katanya, sudah sepatutnya orang yang ingin jadi dokter belajar keras kalau tidak ingin salah membedakan jantung dan hati.

"Minggu depan aku ada ujian remedial. Apa Kakak mau mengajariku matematika?" Ia merangkak mendekati Kak Nara, mendongak seperti anjing minta makan. "Kapan pun waktunya, aku bisa. Sesuai jadwal Kakak saja."

Untuk komunikasi, Maya bisa mendapat bintang lima, tapi kalau soal matematika atau pelajaran lain, nilainya merah semua. Mamanya berinisiatif menyewa tutor, tapi wataknya Maya memang keras kepala. Dia tidak mau diajar orang asing. Kalau aku, walau tidak punya pilihan lain, aku tidak akan memilih kakakku. Kakakku memang amat sangat pintar, pintarnya setara chef Juna di bidang culinary. Kekejamannya juga. Terakhir kali dia mengajariku, sepanjang pelajaran dia tidak berhenti menyumpah dan membentak.

Aku menyilangkan tangan di dada, berkali-kali memberinya sinyal untuk berhenti meminta. Tapi, usahaku resmi gagal ketika Kak Nara menyambarnya dengan, "Berapa banyak bayaranku? Aku mau dibayar per jam."

Maya tersenyum cerah. "Sebanyak yang Kakak mau."

"Lima puluh ribu per jam. Deal ?" Kak Nara menyodorkan tangannya.

Maya menjabatnya. "Deal!"

Dalam genggaman tangan yang dijabat itu, aku bisa mendengar suara tangis Maya masa depan dari kejauhan. Maya benar-benar akan menyesali permintaannya.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top