5. Too Sweet To Forget
"Lalu siapa yang kamu sukai?"
Gema suara desakan wanita menghentikan kakiku memijak anak tangga kedua menuju lantai tiga. Dari sudutku, aku bisa melihat pemiliknya sedang bercakap dengan seorang pria di depan pintu beranda.
Sama sekali kedatanganku bukan untuk menguping, Dirga mengajakku makan di beranda lantai tiga karena di sana sepi. Area lantai tiga hanya diisi aula indoor dan letaknya beda gedung dengan kantin. Meski harus jalan agak jauh dari kelasku dan melewati lorong anak kelas dua belas-aku selalu gugup lewat depan kelas senior apalagi kalau mereka bercokol di lantai koridor, aku menyanggupinya karena tidak mau berdesakan dengan singa-singa kelaparan di kantin. Dirga juga menawarkan diri membelikan makanan, jadi aku tinggal datang dan menyiapkan perut.
Aku bersembunyi di belakang pegangan tangga, walau badanku terlalu besar untuk disembunyikan besi sebesar batang pipa. Akan sangat canggung mendapati seseorang sedang menguping pernyataan cintamu. Lebih memalukan lagi, kalau kamu kedapatan ditolak. Dan, malangnya, kedua hal itu sedang dialami wanita ini.
Jengah tak dihiraukan, si wanita kembali bicara dengan nada menuduh, "Kalau orang itu beneran ada, harusnya kamu bisa bilang namanya."
Wajah pria jangkung itu tidak tampak dari sudutku, terhalang pucuk kepala si wanita. Tapi, entah kenapa figurnya tidak asing.
"Kenapa kamu pikir aku mau memberitahumu?" katanya tajam. "Menyebut nama orang yang kusukai sama saja melanggar privasiku dan orang itu. Kita nggak sedang negosiasi, mengertilah posisimu. Kamu sudah ditolak."
Tamparan mendarat di pipi pria itu, tanpa aba-aba. Itu membuatku bergidik. Si wanita turun dengan muka geram. Sepatunya menghentak-hentak keras menuruni tangga, seperti ingin mengumandangkan pada dunia, teristimewa pada pria yang menolaknya, kalau ia benar-benar murka. Harga dirinya baru saja tercoreng, tersayat bersama hati dan harapnya.
Segera kurapatkan diri ke pegangan tangga, tak mau mendapat serangan membabi buta karena ketahuan menguping. Ketika hentak-hentakkan kaki berlalu di belakangku dan menghilang saat menginjak dasar tangga, kulirik pria di lantai atas. Pria itu sudah pergi.
Merasa situasi sudah aman, aku menaiki tangga.
Angin kencang membelai depan wajahku ketika masuk ke beranda. Tatanan rambutku rusak, terbang ke belakang karena angin. Kalau dilihat dari depan mungkin mukaku tak ada bedanya sama telur.
Aku tidak menemukan pria brengsek tadi dimana-mana. Hanya Dirga yang memunggungiku, sedang bersandar di dinding pembatas. Matanya memandang ke luar gedung yang dihujani sinar matahari.
"Tok, tok, tok." Kuketukkan buku-buku jari di dinding sampingnya. Ia menoleh. "Apa benar tempat ini menyediakan makan siang gratis?"
Sudut bibirnya tertarik. "Lama amat. Ayam geprekku sudah hampir dingin."
Aku menyengir, lalu duduk di lantai sambil mengeluarkan isi plastik bening yang dibawa Dirga. Nasi ayam geprek. Sudah lama sekali aku mengindamkannya. Tiap kali mau membeli ini di kantin selalu saja kehabisan. Penggemar ayam geprek memang banyak.
Aroma cabai pedas bercampur bawang menguar ketika aku membuka tutupnya. Nasinya masih hangat. Sedap sekali. Cacing-cacing perutku makin berteriak minta diisi.
"Kamu bawa discman?" Dirga mengeluarkan benda bentuk bulat dengan tali earphone melilit menancap di belakangnya, dari dalam tas bekalku. Aku membawa tas untuk mengisi tisu, botol air, tusuk gigi, dan discman. Kalau soal makan, usahaku harus seratus persen.
"Iya. Ada satu adegan di film yang kutonton, mereka makan di atap sambil dengar lagu. Kebetulan cuaca cerah, jadi aku mau mencobanya."
"Kamu punya banyak sekali keinginan," katanya, ketus lagi.
Setiap kata yang ke luar dari mulutnya selalu jatuhnya ketus, pantas saja orang mengira dia dingin. Nyatanya, dia sama seperti orang biasa. Sekarang, dia memasang earphone ke telinganya dan sebelahnya lagi padaku. Suara piano dengan melodi yang kukenal mengalun.
"Bryan Adams ...." Dirga mencetuskan nama itu ketika aku sedang menebak-nebak nama lagu.
"Everything I Do, I Do It For You!" seru kami bersamaan, lalu menyemburkan tawa karena merasa situasi itu lucu.
Dirga yang pertama berhenti tertawa.
"Lagu-lagu jadul memang terbaik. Sayang sekali, orang-orang yang terjebak musik Justin Bieber, Shawn Mendes, atau Lady Gaga. Mereka tidak tahu musisi legend."
"Kalau ngomong soal legend, pasti Queen, Bob Marley, Michael Jackson, Brian McKnight, Backstreet Boys ...."
"Backstreet Boys?" ulang Dirga. "Lagu-lagunya memang bagus, tapi aku nggak suka konsep pria-pria nyanyi sambil nari."
"Kenapa?" Aku keberatan. "Mereka keren, bergaya, dan romantis. Nggak selamanya cowok keren itu yang bawa gitar atau nyanyi dalam band. Mereka punya pesona."
Dirga mencibir. "Terserah kamulah."
Aku meliriknya tajam. Jawabannya sangat tidak tulus. Tapi, kumaafkan kalau dia memang mau memberiku itu.
"Katanya, kamu punya sesuatu buat aku? Mana?"
Kalau ini komik, pasti akan ada bohlam lampu menyala di atas kepalanya. Ia meraih kantong plastik satunya. Aku mengintip dari balik punggung saat dia mencari. Berharap melihat helai bunga jatuh atau kertas pembungkus buket bunga. Sejak pembicaraanku dan Maya tadi siang, pikiran tentang sosok penerima buket bunga, penyebab kenapa Dirga menujukkan sisi melankolisnya, masih berputar di pikiranku. Apa mungkin ... itu hadiah ulang tahunku?
Tepat ketika kalimat itu mencetus di kepalaku, Dirga menjawabnya dengan memberi sebuah kotak plastik tiga warna. Itu ... kotak es krim?
"Supaya mood-mu membaik." Dia menyerahkan kotak es krim itu padaku. "Aku menyelinap ke luar sekolah khusus untuk membeli ini. Kamu harus berterima kasih."
Aku masih bergeming. Sedang mengambang antara khayalan dan kenyataan.
"Kok bengong?" Dirga melambai di depan wajahku, aku tersentak.
Kucoba menenangkan diri agar tidak menampakkan kecewa. Jadi, buket bunga itu untuk siapa?
"Nggak. Nggak nyangka aja dapat ini." Kugoyangkan kotak es krim, menambah senyum 'baik-baik saja'. "Makasih."
Dirga bergeming. Alisnya mengerut, seperti sedang berusaha membaca arti rautku. Agar usaha penerjemah wajahnya tidak berhasil, aku memalingkan muka. Mencari-cari topik lain.
"Tadi, waktu kamu menungguku, kamu lihat ada cowok datang ke beranda, nggak?"
Usahaku berhasil. Dia mengedip, tatapannya lepas dariku.
"Nggak ada, tuh. Daritadi aku sendiri."
"Masa? Aula sekolah kalau nggak dipake pasti kekunci, jadi harusnya dia ada di sini," gumamku.
"Mungkin memang dia masih di sini."
"Nggak, nggak. Kalau bukan kamu, masa yang kulihat itu han ...."
Kalimatku terputus, meliriknya horror saat mendadak mendapat pemahaman atas semuanya. Pantas saja aku seperti mengenal figur pria tadi.
"Jadi, orang itu kamu."
Matanya mengedip cepat, tanda bingung. "Siapa?"
Kugeser posisi, berhadapan dengan Dirga. "Tadi nggak sengaja, aku mendengar kamu ditembak sama cewek dan kamu menolaknya dengan sadis." Cukup sadis untuk pantas menerima tamparan. "Kayaknya dia cantik, kenapa kamu tolak?"
Dirga menghindari tatapanku, mendesah seperti baru saja mengangkat beban satu ton. "Nggak ada alasan buat terima juga, kan?"
"Alasan cantik saja sudah cukup."
"Buatku, nggak," timpalnya. "Lebih baik tolak sekarang daripada mereka berharap setelahnya."
Walau tidak diperuntukkan untukku, kalimatnya tetap menohok. Teka-teki dari cerita Maya, apa yang kudengar di tangga, keinginanku, dan perhatiannya, membuatku sampai pada satu titik. Titik di mana harapanku melambung ke awan.
"Kamu beneran punya orang yang kamu sukai?"
Matanya melotot. "Berapa lama kamu menguping?"
"Aku punya telinga," jawabku, lalu melumat bawah bibir, gugup. "Beneran, ada?"
Jantungku berdebar kencang. Rasanya lebih kencang dari melodi akhir lagu Bryan Adams di telingaku. Embusan angin dingin membuat bulu kudukku meremang. Cuitan burung menjadi pengantar permainan gitar.
Manik mata hitam dengan khas sorot tajamnya berubah hangat. Matanya menerawang melewatiku, seperti sedang memikirkan sesuatu di dinding.
"Lagu ini," gumamnya, alih-alih menjawabku. Ia menarik senyuman. Yang untuk sesaat membuatku kikuk. Lagu 'Terlalu Manis' dari Slank sedang berputar.
"Ini lagu favorit mamaku. Dia bisa mendengar Papa main lagu ini berkali-kali. Katanya, dengan mendengarnya saja, sedihnya bisa hilang. Sekarang, sudah lima tahun berlalu sejak dia meninggal." Suaranya merendah dan serak, membuatku ingin merengkuhnya. "Kayak, baru kemarin."
Tiap tahun, ada satu hari ketika aku dan Maya sepakat berkunjung ke rumah Dirga. Kami cuma duduk di ruang tamu, makan makanan yang diberi tetangga atau main kartu. Tak menghiraukan apakah pemilik rumahnya akan sepanjang hari berdiam dalam kamar. Tujuan kami ke sana bukan untuk menemuinya. Tujuan kami datang agar bila suatu saat dia ke luar dari kamar, dia akan selalu ingat kalau walau dia bersedih, dia tidak sendirian.
Namun, tiap kali itu terjadi, tiap kali aku merasa menyesal cuma bisa berbuat sebatas itu. Kesedihannya tidak akan pernah berkurang. Dia akan selalu ke luar dengan mata sembab dan diam-diam memandang foto mamanya yang dipajang di dinding ruang tamu waktu kami tidak melihat. Dirga sangat merindukan mamanya.
"Tapi, orang itu bisa lupa semudah ini," desahnya.
"Siapa?"
Dia menggeleng. Tersenyum seperti sedang memberi batas pada keingintahuanku. Anak-anak rambutnya bergoyang ditiup angin.
"Kamu percaya kalau cinta itu abadi?" katanya pada angin di depan mukanya.
Ia melanjutkan, "Siapa pun yang bicara itu cuma bicara omong kosong. Mereka bilang cintanya abadi, tapi ketika orang yang ia sayang meninggal, semua kenangan, perasaan, dan kerinduan bisa hilang dimakan waktu. Pada akhirnya, cinta sama seperti benda lainnya di bumi. Nggak abadi. Bisa punah. Manusia cuma meromantisasikannya saja."
Dia berpaling padaku. Menerbitkan senyuman ramah, yang sangat langka di mukanya. Namun, entah kenapa, jatuhnya getir.
"Kamu tanya, apa aku menyukai seseorang. Jawabannya, nggak. Aku nggak pernah suka sama siapa pun. Buatku, cinta itu nggak ada."
****
[ If you like this story and want to appreciate, click button star on the left corner of your screen to vote ! Atau, add cerita ini ke library kamu supaya jadi yang pertama tahu kalau aku update bab terbaru.
THANK YOU! ❤]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top