4. Wondering, Wondering
Alarm pagi yang kusetel di ponsel tidak berbunyi. Karena ketiduran tadi malam, aku lupa mengecas ponsel. Ponselku mati. Akibatnya, pagi ini, aku ke luar dari rumah telat tujuh menit dengan kuping panas, hasil omelan Kak Nara karena aku tidak berhenti mengetuk pintu kamar mandi saat dia lagi mandi. "Kamu nggak kenal apa kata sabar? Mau kuajari hukuman orang-orang yang nggak tahu sabar?" sembur Kak Nara, sebelum memukuliku lagi dengan gayung bentuk hati.
Ketika aku membuka pintu pagar, sosok tak terduga berdiri di depan rumah. Dia sedang memanaskan motornya. Deru motor berisik dan asap knalpot samar ke luar tiap dia memutar gas.
"Lama amat," gerutunya, lalu menendang stand motor.
Aku menghampirinya dengan kebingungan. "Kamu ... belum pergi?"
"Mmhm. Telat bangun," gumamnya sambil lalu. Dia membuka jok motor dan melempar helm padaku. "Cepat naik. Ntar kita telat."
Otakku yang dipaksa bekerja di tengah kantuk, mulai merangkai alasan demi alasan kenapa pria ini telat. Dia selalu pergi pukul enam empat puluh, sangat konsisten sejauh yang kupelajari. Kecuali kalau, "Maya mana? Hari ini dia nggak numpang sama kamu?" tanyaku.
"Dia diantar pacarnya."
"Dengan mobil SUV-nya? Wahhh. Punya pacar senior kelas tiga emang beda."
Dirga naik ke atas motor, dahinya berkerut. "Kenapa cewek-cewek suka sekali sama cowok-cowok bermobil, sih? Paling belinya pakai uang orang tua dia juga."
"Nggak suka-sekali. Cowok-cowok kayak gitu kelihatan matang aja. Makin kesesem kalau cowoknya secakep Kak Rangga." Aku tersenyum pada khayalan salah satu cowok di novel yang kubaca, ketika Dirga mendadak mengambil helm di pelukanku dan memasangkannya ke kepalaku.
Itu membuatku terkejut. Aku melototinya protes dari kaca helm.
"Kita hampir telat. Cepat naik," titah Dirga.
Aku naik motor sambil ngedumel dalam hati. Baru pagi-pagi, telingaku sudah panas diomeli dua orang. Ingatkan lagi alasan kenapa tadi malam aku giat sekali stalking media sosial cowok ini sampai begadang untuk mencari tahu siapa cewek yang ia sukai. Siapa pun itu, dia akan dibaweli Dirga tiap hari.
Kupeluk perutnya untuk berpegangan, tapi baru sedetik ia mendadak melepasnya. Ia menolehkan kepalanya sedikit dan mengeluh, "Sesak. Jangan terlalu erat."
Aku mendengkus dan mengulangi perbuatannya yang sama, kini mengurangi tenagaku memeluknya. Tapi, dia melepasnya lagi.
"Kamu nggak kedinginan nggak pakai jaket di motor?" tanyanya lagi.
"Deket kok. Kalau turun ambil lagi, ntar kita telat." Aku memerhatikan Dirga yang terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu, lantas menghardiknya. "Udah ah, buru. Sudah hampir jam tujuh."
Baru saja aku ingin mengencangkan pegangan, Dirga berbalik lagi. "Pulang bentar bareng, ya. Kalau Clara minta tolong kamu yang aneh-aneh lagi, tolak. Oke?"
Biasanya dia mengomel, malas tunggu-tunggu-an pulang, tapi sekarang dia menawariku tumpangan? Apa dia sebegitu mengkhawatirkanku temanan sama Clara? Kenapa dia jadi sangat perhatian?
"Oke. Tapi, pulangnya kamu harus traktir aku telur gulung dan cireng," cetusku. Walau aku tidak melihatnya, aku tahu itu membuat Dirga tersenyum.
"Pegangan erat-erat. Kita ngebut."
Sebelum sempat mengikuti instruksinya, motornya telah lebih dulu dijalankan. Aku tersentak, terdorong gravitasi ke depan dan tanganku langsung melingkari perutnya. Angin kencang menampar kulitku dan yang dapat kudengar hanya suara desingan motor. Klakson panjang berbunyi waktu Dirga menyela masuk mobil yang berjalan lurus di sisi kanan kami.
Ketimbang sampai tepat waktu, aku lebih berharap hidup kami tidak berakhir pagi ini di jalan raya.
****
Kami tiba lima menit setelah lonceng sekolah berdentang. Guru pengawas berbaik hati memasukkan kami dengan syarat lari keliling lapangan sepak bola sebanyak tiga kali. "Paling nggak kita sudah sampai sekolah," ucapku, menenangkan sambil berlari kecil. Namun, itu tidak cukup menenangkan Dirga, dia memberengut sambil mengalungkan tasku di lengannya.
Sisi baiknya, kami masih hidup. Namun, guru matematikaku tidak butuh kalimat penenang. Begitu masuk, dia lantas mengomeliku panjang-lebar soal kedisiplinan.
Aku curhat pada Dirga lewat chat dan bertanya apa dia sudah sampai kelas dengan selamat. Dia sudah sampai, tapi barusan ia dipermalukan di depan kelas karena menjawab 'satu teori soal gaya?' saat ditanya apa itu Hukum Paskal.
Aku tidak tahu teori Fisika macam apa itu, dan lanjut menyinggung ingin makan es krim sebagai penenang. Dirga bilang, tidak ada yang seperti itu di kantin, tapi mereka ada menjual nasi kotak ayam geprek. Semua orang tahu makanan pedas bisa membuat mood lebih baik. Sama aturannya dengan makanan manis. Aku mengiyakan dan kami janjian makan siang bersama.
"Aneh sekali," gumam Maya, entah untuk yang ke berapa kalinya.
Pelajaran kedua, olahraga, baru saja selesai. Para wanita berganti baju di toilet sambil menunggu jam istirahat tiba. Aku sendiri masih memakai baju olahraga, menonton pertandingan sepak bola dadakan dengan cola dingin dan keripik kentang. Hasil bujukan Maya yang ingin ditemani sementara ia bolos kelas.
Kututup ruang chatting-ku dengan Dirga dan melirik Maya. Setengah bagian wajahnya dibayangi bayang dedaunan pohon peneduh di atas kami. Ia sedang mengunyah keripik, matanya menerawang ke lapangan. Pastinya bukan melihat cowok-cowok pemuja olahraga yang rela kejar-kejaran bola di tengah panas matahari yang membakar kulit.
Kuambil keripik kentang dan mengunyahnya pelan-pelan. Bumbu baladonya pas. "Apanya yang aneh? Masih enak kok."
"Nggak, bukan keripik." Dia menepuk tangannya, membersihkan bumbu keripik menempel pada jarinya. Alisnya menyatu. "Soal Dirga. Aku yakin sekali dia suka seseorang, tapi kenapa dia terus menyangkal?"
Aku pura-pura tidak tertarik, bicara menatap lapangan. Cowok-cowok berlari ke sisi kiri lapangan, mengejar bola yang dilempar penjaga gawang.
"Paling dia nolak dikenalkan ke cewek-cewek karena malas saja. Dia kan, orangnya cuek banget."
"Kalau alasannya cuma itu sih, bisa jadi. Tapi, gimana dengan buket bunga yang dia bawa pulang kemarin sore? Atau, balasan dari temanku yang ditolaknya; katanya dia menolak karena menyukai orang lain?"
"Beneran?" Nada ingin tahu terlanjur terselip pada ucapanku, tapi aku benar-benar terkejut. Dirga benar-benar lagi suka seseorang?
"Mmhm. Orang paling nggak up-to-date itu juga tiba-tiba posting penggalan lagu 'Terlalu Manis'-nya Slank di path dan hari ini dia pakai parfum ke sekolah. Sangat nggak Dirga banget, kan?" Maya memasang wajah horror.
"Agak nggak wajar, sih."
Saat aku scrolling media sosialnya, aku juga melihat postingan Dirga di path, dalam bahasa Inggris, 'Too sweet to forget'. Itu memang aneh, Dirga bukan cowok melankolis yang suka curhat di media sosial. Tapi, mungkin saja waktu alay-nya telah tiba. Aku berniat menganggunya soal itu, tapi mendengar ini, aku jadi ragu.
"Menurutmu, dia lagi suka seseorang di sekolah?"
"Itu sudah pasti!" seru Maya, lalu dia menegakkan badan. "Tapi, siapa? Temannya cuma sedikit. Kalau nggak kita, ya orang-orang di klub caturnya. Sebagian besar anggota klub catur itu cowok."
Aku mengelus dagu, mencoba mengingat-ingat anggota klubnya. Sedang Maya terus menggumamkan pikiran. "Yang lebih mencurigakan, kenapa dia sangat menentang membocorkan siapa yang dia sukai? Maksudku, sepenting itukah harus dirahasiakan? Kita juga sudah temanan lama. Suka seseorang bukan hal yang memalukan."
"Nggak mungkin orang jauh ...." Ada satu nama yang sejak tadi menyeruduk di benakku, namun sekuat tenaga kuusir pikiran itu. Berharap terlalu tinggi berarti siap lebih banyak kecewa. Aku tidak mau itu.
"Apa jangan-jangan ...."
Maya menoleh, menatapku horror. Aku ikut melebarkan mata, kami seperti ikan yang memaksa melihat dalam air. Jantungku berdegup, tanda gugup. Mungkin saja pendapat kami sama, mungkin saja Dirga suka sama ....
"Dia suka sama aku?"
Bruk.
Bungkus keripik kentang jatuh di tanganku. Kalau aku tidak mengendalikan diri, tamparan kaleng cola bisa mendarat di muka cantiknya. Antisipasiku sia-sia saja.
Maya tampak berada di dunianya dan meneruskan, "Pantas saja tiap aku mau kencan dia selalu melarang-larangku pergi. Kemarin dia bahkan nyulik aku supaya nggak kencan sama Kak Rangga."
Ujung-ujung jariku sangat gatal ingin meremas wajah bersemangat Maya. Semua itu nggak benar, May. Dia hanya nggak mau dimarahin papamu karena menyembunyikan fakta kalau kamu pacaran di tahun pertamamu SMA.
"Semuanya jadi masuk akal sekarang. Dia beneran suka sama aku!" Dia menangkup kedua pipinya, malu-malu. "Kita kan, sepupu-an, masa dia suka aku, sih?"
Sampai saat ini, orang-orang tidak tahu Maya dan Dirga sepupu-an karena Dirga malu orang lain tahu Maya yang dijuluki macan liar karena tidak bisa diam, adalah sepupunya.
Maya terus menggumamkan segala kemungkinan bodohnya, ketika sesuatu di kantong celanaku bergetar. Ada pesan dari Dirga.
Temui aku di beranda lantai lima, dua puluh menit lagi. Aku mau memberimu sesuatu.
****
[ If you like this story and want to appreciate, click button star on the left corner of your screen to vote ! Atau, add cerita ini ke library kamu supaya jadi yang pertama tahu kalau aku update bab terbaru.
THANK YOU! ❤]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top