31. That I Like You, D

Untuk Dirgantara Wahyu,

Pertama-tama, aku ingin memberitahu kalau aku sudah menyiapkan hadiah Secret Santa lain untukmu, tapi setelah tahu kapan hari kepergianmu, aku sadar ada sesuatu yang lebih mendesak untuk kusampaikan. Mungkin kamu sudah menduga-duga tentang isi surat ini sebelum kamu membacanya, tapi biarkan aku bicara sampai akhir.

Sejak saat kamu menangis di depan rumah di hari kepindahanmu ke sini dan aku menemanimu sampai air matamu habis, aku tahu sesuatu akan terjadi pada kita.

Aku merasa semesta secara sengaja membuat jalan kita bersinggungan. Kita adalah payung dan hujan yang saling menemukan. Aku, ada ketika kamu butuh hujan agar bisa menangisi kedukaan dan ketakutanmu memasuki dunia yang baru. Kamu, ada ketika aku butuh payung menangisi luka-lukaku.

Walau kita tidak sependapat soal itu selama beberapa waktu ketika kamu sengaja mengacuhkan keberadaanku selama di rumah Maya, anehnya kamu ada di saat-saat ketika aku butuh seseorang. Hari itu adalah saat dimana perasaan istimewa ini berawal.

Di sore hari, ketika aku kabur dari rumah. Kamu menemukanku terjatuh dari sepeda. Petuah-petuah sok bijakmu terdengar sangat menyebalkan dan kamu lebih menyebalkan saat menggendongku pulang. Tapi, saat aku melihat punggungmu yang basah oleh keringat, badan kurusmu yang anehnya terasa hangat dan tidak menjijikan, caramu menenangkanku dengan cerita-cerita basa-basi agar aku melupakan tangisku, juga resep es krim penelan sedihmu. Ada satu waktu kepalamu berbalik dan kamu menenangkanku saat aku mengeluh takut dimarahi karena kabur dari rumah, "Aku akan menemanimu di depan pagar."

Di saat itu, aku tahu kalau aku menyukaimu.

Bukan.

Aku mencintaimu.

Aku kira perasaan ini akan cepat berakhir. Tak tahunya berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar. Kamu tidak tahu kalau ada banyak bagian darimu yang mudah untuk disukai. Kalau tahu, mungkin kamu tidak akan terlalu perhatian kepada banyak wanita. Kalau kamu ingin bersikap cuek pada mereka, jangan memberi celah sedikit pun untuk bersikap hangat. Walau sejujurnya itu salah satu bagian yang kusukai darimu. Sikap tegas dan kata-kata sepahit realita yang kamu ucapkan terasa lebih hangat dari pelukan.

Saat di atap waktu itu, untuk pertama kalinya aku tahu kalau selama ini kamu trauma dengan cinta. Aku merasa gagal sebagai sahabat. Aku tidak tahu soal luka yang kamu pendam dan apa yang telah kamu alami. Tapi, aku senang saat kamu mulai terbuka padaku dan memberiku kesempatan menemanimu menangis. Walau yang kuinginkan adalah kesempatan-kesempatan lainnya ketika kita berbagi lebih kenangan. Yang baik dan buruk. Lebih dari sisa minggu ini.

Aku tidak tahu apakah cinta ini abadi, ataukah setelah kamu pindah aku bisa melupakanmu. Aku juga tidak bisa menahanmu atau papamu untuk tidak memaksamu pergi, seperti yang sangat ingin kulakukan.

Yang bisa kujaminkan adalah kamu memberiku kisah cinta pertama yang sangat berarti. Dan, aku tidak bisa membiarkan cerita ini berakhir begitu saja jadi itulah sebab aku menulis surat ini untukmu. Kuharap, kamu pun turut merasakannya.

Love,

Athalia Nola

****

Malam sebelum hari Natal, keluarga kami memiliki kebiasaan menghabiskan sepanjang hari di rumah. Ibu akan memasak banyak sekali makanan seperti ayam rica-rica, sup asparagus, mie goreng, sate ayam, dan es sirup dari sari buah. Kami banyak menghabiskan hari di ruang keluarga untuk melakukan kegiatan masing-masing atau sekedar menonton film Home Alone yang diputar ulang setiap tahun di TV, lalu pada malam hari kami pergi ke gereja untuk beribadah.

Mama dan kakak akan berdandan dan mengenakan gaun barunya, memakai heels pendek yang cantik, dan tas yang hanya mereka pakai sesekali pada hari-hari spesial. Sedangkan aku dan papa menunggu mereka di ruang tamu sambil makan nastar atau kue puteri salju buatan Mama yang diperuntukkan untuk tamu. Pada hari Natal, keluarga dan teman dekat saling berkunjung untuk bersilaturahmi.

Kami tiba di gereja tiga puluh menit lebih awal agar bisa kebagian tempat duduk. Telat lima menit saja kami bisa duduk terpisah-pisah. Hampir semua bangku di barisan tengah ke depan sudah terisi. Papaku punya rabun jauh dan badannya yang kurus rentan kedinginan jadi kami selalu duduk di barisan tiga dari depan kursi paling ujung agar tidak diserang dinginnya AC ruangan secara langsung.

Walau gereja kami termasuk kecil dan jemaatnya tidak banyak, gereja selalu lebih padat pada malam natal. Itu mungkin karena ibadah yang dilaksanakan dua kali sehari dipadatkan pada malam natal menjadi sekali sehari, atau beberapa dari mereka mengajak sanak saudara dekat. Hari Natal memang identik dengan kebersamaan. Sungguh menyenangkan rasanya melihat wajah-wajah baru atau kenalan yang menyempil di antara suatu keluarga, yang membuatmu bereaksi, "wah, ternyata dia sepupu dari keluarga itu", "anak keluarga itu jadi lebih trendi setelah belajar di luar kota, akhirnya dia pulang juga".

Hari Natal selalu memberiku perasaan spesial, seperti ada sumbu api kecil terbakar di dalam dadaku dan membuatku sepanjang tahun menanti-nantinya. Terutama pada hari ini.

"Rangga sama pacar barunya, arah jam lima," bisik Kak Nara, menghalangi gerak bibirnya dengan telapak tangan. Rangga dan Intan duduk di barisan kelima dari depan, mengenakan baju biru denim yang serasi. Popularitas Kak Rangga sebagai idola sekolah makin menurun setelah kabar perselingkuhannya sebelum putus dengan Maya.

Sumber terpercaya bilang, mereka sudah menjalin hubungan selama dua minggu dan kabarnya telah libur berdua di Malang. Aku tidak mau membayangkan apa yang terjadi padanya setelah mengingat yang dialami Maya. Cowok brengsek itu harusnya tobat, bukannya mencari mangsa baru.

Aku memendarkan pandang mencari sosok Maya di antara kepala-kepala berbanjar di kolom bangku tengah. Keluarganya belum datang. Tante Amelia pasti terlambat lagi karena harus menggulung rambutnya serupa roti croissant itu.

Fabio dan Fabiola melambai padaku saat masuk sebelum keduanya kembali adu mulut tentang siapa yang duduk di kursi dekat lorong dan siapa yang di dalam. Sepasang kembar itu bertengkar setiap saat.

Setelah pesta perpisahaan Dirga kami membuat grup chat yang beranggotakan kami berenam. Isinya pembicaraan random. Pernah Fabiola memamerkan foto dirinya sedang memanggang muffin dan Fabio mengejeknya untuk tidak membuat image wanita rumahan ketika yang ia lakukan adalah mengambil muffin jualan toko dan mengenakan celemek. Group chat kami lalu berisi perang stiker dan chat marah-marahnya Fabiola. Tapi kami semua tahu itu bukanlah perkelahian yang serius. Keduanya selalu bertengkar dan sepuluh menit kemudian rujuk. Sepertinya, bertengkar adalah bahasa mereka menunjukkan keakraban.

"Kurasa Fabio menyukaimu," bisikku pada Kak Nara sambil mendelik pada Fabio yang kepergok menatap kami. Ia mendadak tertarik membaca buku kidung jemaat lamat-lamat.

Kak Nara mengedikkan bahunya. "Jangan salahkan dia kalau punya selera tinggi."

"Kakak kasih Fabio hadiah apa?"

Waktu kakak mandi, aku mencuri kertas undian nama miliknya yang ia simpan di saku celana. Awalnya, hanya ingin memastikan dia tidak mendapat namanya Dirga. Aku tidak tahu aku akan mendapat jackpot. Keduanya mendapat nama satu sama lain.

Manik cokelat gelap Kak Nara berbinar jenaka ke kiri, ia tersenyum selebar pipinya. "Mungkin, aku akan menerima kuponnya."

"Kupon?"

Kak Nara membuka tasnya. Dia mengeluarkan dua kupon biru yang bagian ujungnya terdapat garis putus-putus semacam instruksi untuk menyobek kertas.

"Kupon tiket nonton dan kupon traktir makan." Ia membaca tulisan spidol di sana. "Masih ada tiga lagi, tapi kurasa dua ini yang paling berguna. Dia memberiku sebagai hadiah Secret Santa. Kekanak-kanakkan sekali, kan dia?" Kak Nara tertawa renyah seakan kupon itu adalah lelucon paling lucunya 2016. Buatku, cukup mengejutkan. Ekspresi gemas ini sangat jarang kulihat, dan menjadi catatan penting: ini disebabkan oleh seorang cowok.

Kak Nara tidak pernah tersipu atau tergugah pada perlakuan cowok manapun pasca kegagalan hubungannya yang lama. Sepertinya, Fabio memberi dampak yang baik padanya.

"Ini apaan?" Kak Nara menendang papperbag yang kusimpan di bawah.

"Jangan tendang-tendang," tandasku. Segera merebut papperbag dan mengangkatnya ke pangkuan.

"Hadiah buat Dirga?" Jarinya mengintip celah mulut papperbag yang telah kulakban. "Apa yang kamu kasih? Pernyataan cinta?" Kak Nara tersenyum mengejek.

Aku tidak menjawabnya dan segera menyelipkan papperbag ke sandaran punggungku. Bunyi bel berdenting terdengar. Pintu gereja ditutup dan beberapa orang tergopoh-gopoh ke depan mencari kursi. Kucermati tiap-tiap orang yang lewat namun pemilik suratku tidak kunjung muncul.

****

Itu adalah menit kesepuluh sejak aku berdiri di pintu masuk gereja. Orang-orang mengalir keluar seperti satu aliran air kencang ke muara yang terus menggenang tanpa adanya celah menyisip di antara batu. Hujan turun lebat. Itulah akhir dari langkah orang-orang ini. Semua menampakkan raut kecewa yang sama saat berhenti di teras berkanopi, memandang langit bergemuruh dibalik awan dan rintik hujan membasahi halaman, mobil, motor, dan apa pun yang ada sejauh mata memandang.

Semua orang tahu bulan Desember adalah musim hujan, tapi tidak ada yang menduga hari spesial ini harus diwarnai dengan awan mendung. Beberapa yang lebih siap melebarkan payung dan bergabung ke tengah hujan, yang lainnya bermodal tas atau tangan menadah rintik di atas kepala dan berlari menuju halaman parkiran. Aku sendiri berdiri di samping pintu, memandang ke ruang ibadah yang lengang, lalu pada kado bungkus Snoppy di dalam papperbag. Sepucuk surat terbaring miring di dalam.

Setelah lama berpikir, aku tetap memasukkan scrapbook ke dalam daftar hadiah. Kalau saja Dirga ternyata menolakku, paling tidak aku meninggalkannya kenangan indah dengan adanya scrapbook kenangan ini. Meski itu artinya cintaku di tolak, dan hari ini jadi hari terburuk sepanjang tahun ini. Apa sebaiknya kukasih di rumah nanti? Tidak bermoril rasanya menyatakan cinta di gereja. Aku juga bisa kabur setelah memberikannya. Atau, lebih baik jangan kasih?

Mataku menangkap cowok jangkung kemeja biru dongker beraroma citrus samar lewat di sampingku, membuatku mengabaikan buah pikiran lain. Dirga bergabung bersama orang-orang cemas di pinggir teras. Kumasukkan tangan yang kembali terasa sedingin es ke dalam saku jaket bulu kotak-kotak merahku, lalu berdiri di sampingnya.

"Kamu belum pulang?" Itu kalimat pertamanya Dirga saat merasakan kehadiranku.

"Belum. Kakak, mama, dan papaku sudah pulang duluan, naik mobilnya Om Arief. Akunya ditinggal karena kepenuhan." Ini kebohongan. "Tante Amelia bilang, kamu ada di sini. Jadi, kupikir mending aku numpang di mobilmu." Yang ini jujur.

"Papaku memang bawa mobil, tapi dia lagi diskusi dengan majelis soal kepindahan gereja kami. Kamu tahulah, form, data, surat keterangan jemaat dan sebagai-bagainya. Jadi, kayaknya dia bakal telat pulang."

Aku melebarkan mata terkejut.

Dirga melepas cengiran. "Tapi aku bawa motor kok." Dia mengibaskan tangannya di depanku. "Tenang saja, biar aku nggak bisa pulang, aku pasti akan membawamu pulang tepat waktu. Bahkan kalau nggak ada motor. Aku bisa menggendongmu."

"Maaf sekali, Pak Ojek, tapi aku nggak mau pulang dalam keadaan masuk angin. Aku masih punya acara penting besok." Aku berkelakar.

Dia menekan dadanya, berpura-pura terluka. "Wah, sayang sekali, padahal itu tawaran terbaikku."

Aku memukul tangannya yang memegang dada. Ia membuat ekspresi 'aduh', dahinya berkerut-kerut, wajahnya kesakitan, dan ia mengibaskan tangannya yang tidak merah ke depan mukaku. Kalau sifat jahil itu bisa menular, kurasa Dirga harus jauh-jauh dari Fabio. Belum dua minggu, dia mulai piawai memainkan keahlian barunya ini.

Orang-orang mulai meninggalkan gereja, menyisakan beberapa orang di teras dan lainnya berteduh dalam gereja. Dirga diam. Aku mengikutinya. Bunyi kecipak-kecipuk butir air hujan yang jatuh menjadi latar belakang kami, iramanya tidak terlalu cepat pun lebat. Malam itu jauh lebih dingin dari biasanya. Suasana menjadi sangat tenang, hingga yang kupikirkan satu-satunya adalah kapan waktunya menyerahkan papperbag ini pada Dirga. Benda itu mulai terasa sama dengan rongsokan yang telah lama dalam lemariku namun tidak rela kubuang karena menyisakan memori di sana. Kasih, tidak rela. Tidak dikasih, kepikiran.

Tiba-tiba, di antara rintik hujan dan kusut pikiranku, Dirga bicara sendu, "Aku nggak suka hujan. Bawaannya dingin. Aku juga nggak suka sendu yang dibawanya. Anehnya, di antara hujan aku mengingat orang-orang yang hampir kulupakan dan kenangan nggak penting lainnya."

"Kenangan nggak penting?" ulangku.

"Iya. Kenangan yang harusnya bisa kulupakan karena terlalu sederhana. Misalnya, kayak menu makanan apa yang biasa seseorang itu masak, bunga yang membuatnya tersenyum, atau lagu kesukaannya yang selalu ia dengar pas hujan. Harusnya manusia mengingat yang penting-penting saja."

"Kalau kayak sekarang?" Mulutku bergerak lebih dulu dari kerja otak. "Apa sama aku sekarang termasuk kenangan nggak penting?"

Dirga menarik sudut bibirnya, manik matanya yang seakan selalu bisa melihat ke dalamku, seperti sumur hitam berair jernih, membuatku gugup.

"Semua yang penting kadang mudah dilupakan karena dia selalu ada. Kamu adalah kenangan yang layak diingat dan nggak mau aku lupakan."

Kuhela napas kasar di depanku dan menggerutu. "Daripada layak diingat dan dilupakan, aku lebih suka kita nggak berpisah."

"Jangan maruk jadi orang." Dirga terkekeh.

"Aku serius!" tekanku. Lagi-lagi, mengembuskan napas kasar tertampar realita. "Itu permintaanku, tapi aku tahu itu nggak mungkin kejadian. Daripada berjanji mengingatku, aku lebih suka kamu sering berkunjung, atau paling nggak rajin balas chat. Kamu harus kurang-kurangi main game online dan rajin-rajin beri kabar, oke?"

Dirga melepas tawa geli lagi. Yang tentu sangat bisa membuat kupu-kupu dalam perutku berterbangan beribu kali.

"Oke, oke," katanya setelah habis tertawa.

Aku mengacungkan jari kelingking.

"Ingat saja aku sekali-kali, tapi jangan melupakanku. Dengan cara yang sederhana, walau mungkin nggak seperti yang kuharapkan. Kalau kamu kelelahan atau terlalu senang, kabari aku, nggak apa-apa kalau bukan yang pertama. Sekali-kali kunjungi rumah dan jangan menghindariku apa pun yang terjadi." Terutama setelah pernyataan cintaku.

"Aku akan selalu jadi Athalia Nola yang sama seperti yang kamu kenal. Begitu pula, kamu buatku," lanjutku.

"Apa setelah ini kita akan saling bersumpah atau janji pramuka?" tanyanya.

"Janji saja!"

Dia mengaitkan jari kelingkingnya dengan jariku. Kulitnya hangat seakan hawa dingin malam tidak punya daya padanya.

"Aku, Dirgantara Wahyu pasti akan selalu mengingatmu sebagai apa adanya aku, dan apa adanya kamu," sumpahnya.

Walau janji bisa saja menjadi omong kosong, kata-katanya mengangkat beban berat di pundakku dan aku mulai bernapas lega. Setidaknya aku tahu pada suatu waktu Dirga berniat untuk menyenangkanku.

"Sumpah jari kelingking! Kalau dilanggar, makan seribu paku!" sahutku.

Jalinan jari kami lepas dan Dirga memprotes sumpah itu. Intensitas hujan menjadi lebih ringan dan tersisa rintik-rintik. Dirga mulai mengeluhkan lapar dan ingin segera pulang. Ia mengajakku makan mie instan di warmindo. Aku mengiyakan, lalu ia pergi meminjam payung dan mengambil helm yang ia letakkan di rak samping gereja. Motornya diparkir di luar gereja-di belakang gereja-karena padatnya parkiran tadi.

Kupandangi jari kelingkingku, masih bisa merasakan bekas sentuhannya. Kemudian teringat janji kami, suratku, dan malam kencan kami terakhir di Mc Donalds. Senyumku sukarela melengkung.

Malam Natal harus dihabiskan dengan orang terkasih, begitu ucapanku di McD waktu itu. Sekarang secara tidak sengaja, dia mengajakku menghabiskan malam natal bersamanya. Kalau Dirga mengingat ucapan itu, apa dia juga menganggapku orang terkasih? Terserahlah bagaimana. Aku hanya ingin menikmati waktu sekarang. Pada akhirnya, manusia hanya bisa menikmati waktu yang ada sekarang, kenapa terlalu memikirkan menit-menit ke depan yang membuat otak puyeng?

Seorang pengendara motor keluar dari parkiran. Lalu, yang kedua dan ketiga menyusul. Sudah lewat lima belas menit, Dirga belum datang-datang juga. Kuputuskan menyusul dengan berjalan lewat pinggiran teras. Air hujan menciprat di kaki dan ujung celanaku saat berjalan, tapi tatapanku lurus ke tempat parkir. Motor-motor sisa hitung jari. Di belakang pagar juga sama.

Di antara jeruji pagar, kuamati motor vespa hitam parkir di bawah pohon. Motornya serupa milik Dirga, tapi orangnya tidak ada. Aku mengambil ponsel dan menelepon Dirga sambil berniat kembali ke tempat rak helm. Namun, ketika nada sambungan mulai berdenyut, aku bisa mendengar dering telepon di suatu tempat. Tempatnya cukup dekat karena aku bisa mendengar nada dering Hangsout Call dengan jelas.

Pada denyut ketiga, sambungan diputus. Di waktu itu juga kulihat sesosok pria berdiri di belakang pilar tempat parkiran samping. Sepertinya ia sedang bicara dengan seseorang. Kulangkahkan kaki mendekat, menapaki tanah basah untuk hendak menyapa, namun mendadak suaraku tidak bisa keluar.

Dirga ada di sana. Berdiri di hadapan seorang cewek berambut panjang. Tubuhnya tinggi semampai, cukup untuk tangan Dirga melingkar di pinggangnya. Tangannya cukup panjang membalas pelukan Dirga dengan sepuluh jari, ia merabanya punggungnya.

Aku tidak tahu bagaimana mengartikan sebuah pelukan mesra atau tidaknya, yang kutahu Dirga tidak menolak pelukan itu melainkan ia mengeratkannya. Sekian detik menatapnya bagai meracuni sel-sel otakku dan seluruh bagiannya kehilangan fungsi. Tubuhku kehilangan dayanya. Jari-jariku tidak bergerak walau kupaksa seolah tubuhku bukan lagi milikku. Mungkin nyawaku sudah terhisap dalam blackhole, tempat hal-hal tidak berharga lainnya. Semuanya lantas buyar ketika barang jatuh terdengar.

Bruk!

Suara scrapbook bertemu lantai yang frekuensi bunyinya cukup kencang untuk membuat pelukan sepasang manusia yang tengah bercengkrama di tengah hujan itu mengendor. Mata kucing Febby yang pertama kutangkap, dan di pancaran matanya aku bisa melihatnya memanggilku penguntit.

Aku berlari sekencang-kencangnya. Tak peduli apa yang kutinggalkan, mereka telah melihatku, atau ke mana aku pergi. Aku ketakutan mendengar seseorang memanggil namaku dari jauh. Semakin menyadarinya, semakin jelas suara itu, semakin kakiku lebih cepat memijak.

Telingaku berdengung panjang. Yang kemudian rentangnya kian memendek dan suara hujan turun berlomba masuk ke pendengaranku. Sangat berisik. Sangat memusingkan.

Pandanganku mengabur dan air mataku bercucuran. Kemudian, kudengar suara lain yang begitu kencang. Semacam trompet yang dibunyikan panjang disusul ban berdecit di aspal basah. Saat aku membuka mata, dua cahaya putih menyinariku di ujung kegelapan, lalu kian dekat cahaya itu menyatu.

Tin! Tin!

"NOLA!"

Sebelum aku mengenali rupanya sebagai truk pengangkut, badanku terlanjur lemas, sekujur tubuhku terasa sakit, pandanganku menipis sisa segaris melihat ban menggelincir di atas aspal dengan susah payah. Lalu pandanganku menggelap.

"Ckittttttttt ...."

****

Tinggal satu chapter lagi, guysss !!!
Tidak usah menunggu lama-lama, bakal aku upload besok kok.

Makasih sudah bersama "This is Not A Good Love Story" sampai sejauh ini !
Love you to the moon and back 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top