3. Blood isn't Thicker Than Water
[DISCLAIMER!
Disarankan baca sambil duduk. Part ini lebih panjang dari kemarin-kemarin, jadi posisikan diri Anda santai saat membaca.
Selamat menikmati cerita ^^]
Suara tawon terjebak dalam kaleng membawa kesadaranku yang belum terkumpul semuanya, naik ke permukaan. Aku menyangka itu suara tawon asli, jadi kutepuk sebelah telinga untuk mengusirnya. Sayangnya, tepukan itulah yang membuatku sadar.
Kamarku gelap. Garis-garis putih yang menembus tirai gulung pada jendela, menjadi satu-satunya sumber cahaya.
Tidak. Satu lagi dari benda kotak yang menelungkup di lemari samping kasur. Kubawa benda itu ke depan muka dan menyipitkan mata karena merasa terlalu silau. Kuangkat panggilan masuk dengan malas.
"Apa?" Suaraku serak ala orang habis bangun tidur panjang.
"Kamu habis tidur?" sambarnya, terheran-heran. "Baru jam setengah delapan juga. Nenek-nenek saja masih main poker di panti jompo!"
"Kalau mau ganggu tahan besok aja, deh, May. Aku capek, beneran."
Suara kresek-kresek radio yang hilang timbul terdengar-sepertinya dia menutup speaker-nya. Samar-samar dapat kudengar suara seseorang berbisik di antara jeda singkat antara kami.
"Kamu sama siapa?" selidikku.
"Sama cowokku," katanya. "Pinjam duit, dong. Mama dan papaku nggak ada. Duit Kak Rangga juga nggak cukup buat nginap di Malang."
Aku menumpuk bantal kepala dan menegakkan badan. Kemarahan membuatku sadar sepenuhnya. "Kita sudah bicara tadi pagi soal itu. Sekarang, kamu bersikeras lagi pergi berdua sama Kak Rangga? Dan, bermalam di sana? Berdua?"
Maya memang agak bodoh. Tapi aku tidak tahu dia sebodoh ini. Bisa-bisa, malam ini dia habis.
"Nggak bakal terjadi apa-apa, kok. Skeptis banget." Maya berdecak. "Jadi, kamu mau aku naik atau kamu yang turun? Aku di depan rumahmu, nih."
Kulangkahkan kaki cepat ke jendela. Menarik tali penggulung tirai, lalu jelajatan ke bawah, mencari Maya. "Kulapor Dirga sekarang, kamu habis ...."
Maya melambai-lambaikan tangan di bawah dan melompat-lompat girang. Tas ranselnya memukul-mukul punggungnya tiap ia lompat. Tidak ada mobil SUV hitam milik Rangga di depan rumah. Malahan ada pemuda kaku itu. Dirga mengangkat kotak kue warna putih. Tersenyum tipis ketika melihat raut wajahku masih takjub dengan kehadiran mereka.
Suara Maya yang pertama menyadarkanku, "Kejutan ulang tahun! Cepat turun! Perutku sudah lapar!"
****
Pemandangan terbaikku malam ini adalah kue cokelat lembut dengan taburan mini chocochips dan lelehan sirup cokelat yang menetes ke dasar kotak kue. Seperti ledakan magma gunung merapi cokelat yang manis. Bagian terbaiknya adalah ketika kue itu masuk ke mulut dan meleleh di mulutmu. Lidahmu dipuaskan dengan cokelat, cokelat, dan cokelat!
"Kita sangat berdosa memakan ini," komen Maya, mengingat dietnya. Dia kembali menggigit kuenya besar-besar dan memejam penuh kenikmatan pada tiap kunyahannya.
Kucabuti butiran chocochips dan menggigitnya. "Kalau ini dosa, biarkan aku tetap melakukannya."
"Coba saja tiap hari kamu ulang tahun, La."
Aku mendeliknya tajam. "Kamu mau aku cepat mati?"
Maya tertawa sambil menghapus kumis cokelat yang tercipta di atas bibirnya. "Paling nggak aku bisa bikin alasan buat batal diet."
Aku pura-pura berpikir. "Alasanmu bagus juga. Apa aku harus mengubah akta lahirku besok, yah?"
Aku dan Maya kompak tertawa dengan gigi berlumuran cokelat. Setelah melakukan ritual ulang tahun-menyanyi lagu selamat ulang tahun-tiup lilin-potong kue-mulut kami langsung gatal untuk menghabisi makanan. Kue cokelat di tanganku bahkan sudah potongan kedua.
Dirga mengambil sepotong pizza ukuran large dan mengerutkan alis terganggu seolah kami berdua adalah orang udik yang baru merasakan kenikmatan makanan kota. Omong-omong, itu pizza keduanya dan dia sudah makan ayam goreng tiga potong.
Papa dan mama sudah pulang waktu aku pamitan ke luar bersama Dirga dan Maya. Raut wajah mereka mengatakan, 'hari sudah malam, jangan menganggu tetangga istirahat', tapi mereka mendiamkannya dan berpesan untuk cepat pulang.
Tempat tujuan kami juga tidak jauh-jauh amat. Di sebelah rumah, tepatnya di rumah Maya. Di halaman belakang rumahnya, ada gazebo kecil beratap rumbia yang sekitarnya ditumbuhi pepohonan hijau. Kalau malam, kita bisa melihat langit berbintang dengan jelas sambil ditiupi angin sepoi-sepoi yang menenangkan. Hari ini udara lebih dingin, mungkin pengaruh hujan tadi siang.
Aku mengeratkan jaketku sambil mengamati pendar lampu pijar oranye yang digantung di langit-langit, ada kesan sentimental tiap menatapnya.
Om Arief membangun gazebo ini sebagai ganti tenda yang aku dan Maya buat waktu kami kecil. Dulunya, itu gua pribadi kami. Kami sering main tebak hewan apa-menggambarkan hewan lewat media bayangan tangan-di sana, atau hanya bersembunyi dari dunia.
Maya selalu bersembunyi di sana tiap kali papa dan mamanya bertengkar. Dia akan mengajakku selonjoran di tumpukan selimut, menatap ke langit-langit tenda, lalu bercerita tentang bagusnya dia memakai kuteks kuku kaki warna apa besok, obrolan penting seperti kalau seandainya papa dan mama pisah siapa yang akan kami pilih, atau tentang apa saja.
Tenda itu berakhir dengan terbang ke langit Selatan ketika suatu malam hujan badai menerjang kota. Aku dan Maya menangis berminggu-minggu karenanya, juga setelah menemukan tenda itu tersangkut di pucuk dahan teratas pohon pisang rumah Pak Rahmat. Tenda kami tidak terselamatkan, namun sisi baiknya, sejak saat itu hubungan orang tua Maya membaik.
Maya mengibaratkan tenda itu sebagai kesialan. Mungkin bagus, tenda itu dibuang. Hidupnya jadi lebih baik. Kemudian, di suatu pagi ia melihat papanya memukul-mukul kayu dengan palu dan berjanji dia akan menggantikan tenda kami yang hilang.
Satu-satunya peninggalan tenda lama adalah lampu pijar di atas kami ini-bukan yang lama tapi tipenya sama. Juga, kami sebagai bukti hidup. Kuharap, kami masih dan seterusnya sama.
Maya kembali dari dalam rumah membawa sebotol cola satu setengah liter, lalu membagikan gelas plastik pada aku dan Dirga. "Tadi aku lihat kakakmu lewat depan rumah. Kayaknya dia diantar cowok. Gebetannya?"
"Semoga." Aku menyodorkan gelasku pada Maya untuk diisi cola. Ia mengisi gelas Dirga lebih dulu. "Setelah dia putus sama yang lama, berminggu-minggu dia uring-uringan." Dia bahkan pernah pulang dalam keadaan basah kuyup, lalu tidur dengan baju basah.
Maya bergidik. "Itu minggu-minggu paling menyeramkan. Aku lebih suka diceramahi daripada ditatapi kosong sama kakakmu yang galaknya ampun-ampunan."
"Jangan jadi kayak gitu ya, kalau kamu dan Kak Rangga putus."
"Kamu mendoakanku putus?" teriak Maya protes. Matanya yang besar melotot, hampir melompat ke luar.
"Astaga. Lebay.com," sindir Dirga.
Maya membalasnya dengan pandangan membunuh. Ia bisa saja memukul wajah Dirga dengan semburan cola, tapi hatinya masih baik. Ia mengisi gelasku. Dalam sekali kedip, matanya kembali bercahaya, ia mendekatiku dengan senyuman usil.
"Gimana dengan kejutan pesta ulang tahunmu, suka?"
Kutarik tali pengekang topi kerucut di daguku karena terus melorot. "Aku nggak pernah suka pesta atau kejutan. Ini norak."
Ulang tahun untuk orang lain menjadi momen spesial yang ditunggu sepanjang tahun. Buatku, ulang tahun berarti harus terbiasa dipaksa berubah. Memakai kata mereka, ulang tahun berarti, 'bertumbuh'. Kalau pertumbuhan berakhir pada kematian, maka kenapa harus dirayakan?
Tentu saja ada bagian dari diriku yang merasa senang ketika orang lain mengingat hari lahirku dan memberi selamat. Seakan keberadaanku di dunia membuat mereka bahagia. Tapi, kejutan dan pesta, itu dua hal yang berbeda.
Maya mencebik. "Kamu selalu bilang norak-norak padahal mau nangis waktu orang nggak ingat ulang tahunmu."
Aku memundurkan badan dan memejam beberapa kali. Dari mana dia tahu aku menangis di kamar tadi? Tidak ada orang di rumahku dan aku bahkan hanya menitikkan sedikit air mata. Tidak sesengukan.
Ia mengambil sepotong pizza daging sapi asap dan peperoni, tampaknya melihat tatapan bertanya dariku. "Dirga cerita tadi siang waktu dia menyalamimu. Katanya, kamu hampir menangis."
"Aku nggak nangis!" elakku, kini kepada Dirga.
"Nggak nangis, cuma terharu." Dirga mengunyah makanan di mulutnya, lalu menjelaskan, "Matamu berkaca-kaca."
"Aku nggak nangis!"
"Nggak perlu malu kali, nangis karena alasan itu." Maya menanggapi sebagai penengah yang salah paham. "Lagian, kamu harus jaga sikap sama bapak tertua kita. Dia yang merencanakan semua ini, membelikanmu kue, dan makanan. Aku yang sepupunya saja nggak pernah diperhatikan sebegitunya."
Dirga mendorong badan Maya dengan siku, hingga wanita itu jatuh ke samping. Tapi, Maya tampak menikmati melihat muka Dirga yang memerah dan mencetuskan candaan getir, "Ini namanya air lebih kental dari darah."
"Kalau pun darahku lebih kental, aku lebih pilih Nola dari kamu."
Maya balas menyikut Dirga, sayangnya cowok itu sudah memasang kuda-kuda. Dia tidak terjatuh. Malah, menyikut Maya lagi sampai jatuh lagi ke samping.
"Sialan," umpat Maya, tersungkur di lantai.
Aku menggigit kue cokelatku dalam diam. Menahan diriku tidak mengembang dan mengawang seperti balon udara. Dia lebih pilih aku dari pada Maya. Dia memilihku!
Maya menghambur peluk. "Happy Birthday, Sayang!" Dia mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Benda plastik berbentuk bulat. "Aku tahu kamu suka benda-benda jadul dan pengen punya discman. Jadi, kuminta ini dari Kak Leta. Di dalamnya ada disc miliknya dan tambahan dariku."
Aku bersorak menerimanya dan memeluk Maya erat-erat. "Makasih, makasih banget!"
Sejak aku menonton Architecture 101, aku selalu mengidamkan mendengar lagu dari discman. Rasanya lebih tua dan sentimental. Aku bisa memakainya sambil membaca novel atau menggambar.
Mataku bersitatap dengan milik Dirga. Walau ia tidak bicara, dari manik hitam dan sorot matanya aku bisa melihat kecemburuan di sana. Sambil masih memeluk Maya, aku berucap padanya, "Kamu juga, makasih banget." Lalu, air wajahnya berubah cerah.
Darah memang lebih kental dari air. Walau terkadang kamu tidak bisa menampik ada beberapa orang yang lebih memahamimu dari keluargamu sendiri. Katakanlah, aku terlalu muda untuk bisa paham bahwa jarak dan waktu bisa dengan mudahnya memutus tali pertemanan yang bertahun-tahun telah dibangun.
Namun, di umurku yang keenam belas, aku tahu pada siapa aku pergi ketika butuh pelukan dan telinga untuk didengar. Aku bisa tertawa lepas, menangis sepuasnya, dan mengoceh sampai larut malam pada hari-hari terburukku.
Dan, kutahu, mereka juga merasakannya. Perasaan dan ikatan kami nyata, tanpa perlu kata-kata norak yang buat merinding untuk mendeskripsikannya.
Aku mengemut jariku yang berlumuran cokelat, mulai menarget paha ayam goreng. Kulempar rambutku ke belakang dengan gerak bahu karena helaian rambut hampir menempel di bibirku, saat sebuah tisu disodorkan ke depan mukaku.
"Makasih," ucapku pada Dirga, lalu mengelap jari dengan tisu basah. Dia kembali membuatku tersentak dengan memindahkan seutas rambut yang jatuh di depan bahuku ke belakang.
Ia mengikat rambutku dan mengoceh, "Tuh, lebih nyaman makannya, kan. Makanya, kalau nggak nyaman rambut panjang mendingan dipotong."
Kupegang ikatan rambutku dan mengatur wajah marah untuk tidak tersipu. "Karet dari mana?"
"Karetnya kotak ayam."
Aku memelototinya dan dia tersenyum manis sambil menyumpal mulutku dengan sepotong pizza isi daging sapi asap.
"Dir, Dir." Maya memegang tulang ayam paha bawah yang dagingnya telah tandas, tangan satunya memegang ponsel. "Kamu tahu Maria kelas XI IPA I, teman se-gengnya Elissa, ketua klubku?"
"Maria siapa? Elissa juga siapa?"
Rahang Maya jatuh, kalau ini komik mungkin mulutnya sudah jatuh sampai lantai. Entah Dirga terlalu cuek pada sekelilingnya atau di sekolah hidupnya hanya memandang papan tulis. Cewek setenar geng Elissa-ketua cheerleader sekolah kami-saja ia tidak tahu. (Sebenarnya, aku pun tidak tahu banyak, aku cuma tahu sebatas mereka cewek populer dan cantik)
Maya mempersingkatnya dengan, "Ceritanya panjang. Lihat fotonya saja, deh." Ia menunjukkan foto wanita berkulit cerah dan senyuman manis, mirip Michelle Ziudith tapi dengan dagu terbelah. "Dia tertarik sama kamu. Kalau kamu mau kenalan, aku punya nomornya."
Aku membaca raut wajah Dirga dengan gugup, menahan keinginan melempar ponsel Maya ke atap rumah sebelah. Tapi, Dirga telah terlanjur memandang foto itu, cukup lama, lalu dia berkata, "Nggak, ah. Ribet kenalan-kenalan gitu."
Ouhhhh .... Thank God!!!
Maya tampak kecewa. "Kenapa? Dia cantik. Badannya bohay lagi. Mau lihat fotonya pamer belahan dada?"
Dirga menahan tangan Maya yang sibuk mengusap layar, benar-benar mencari fotonya. "Nggak. Tolak. Bilang kamu nggak punya nomorku, atau apalah."
"Kita sepupu bukan orang lain, Pintar," tekan Maya, seolah bisa meremas muka Dirga dengan tatapan.
Dirga mengangkat bahu, tak peduli.
"Ini sudah ketiga kalinya kamu nolak. Serius. Kamu ada masalah apa, sih? Hormonmu terlalu rendah atau karena di bawahmu itu nggak pernah kepake jadinya nggak nafsu?"
Tangan Maya sedang menggapai bagian resleting celana Dirga ketika cowok itu dengan cepat menahan tangannya. Akibat aksi itu, aku tersiksa makanan yang tersangkut di leher, karena tak sengaja melihat dan berandai bagian terlarang itu.
Sialan kamu, May!
Dirga berkata dengan nada mengancam. "May. No."
Namun, Maya melirik bagian itu lagi, dan Dirga menutupi selangkangannya dengan tangan. Pria itu memukul tangan Maya yang kembali bergerak ke bagian yang sama.
Wanita ini benar-benar mesum.
"Kalau bukan karena semua itu berarti alasannya cuma satu," katanya misterius. Ia tersenyum seperti kucing licik. "Kamu ..., lagi suka seseorang, kan?"
Kukira, aku akan mendengar sanggahan, namun pada momen itu Dirga tidak berkata apa-apa. Ia mengambil gelas plastiknya dan meminum cola. Pilihan dari jawaban tidak menjawab selalu 'ya'.
"Beneran?" seru Maya, sebesar rasa ingin tahuku.
Dirga menelan cola-nya. "Nggak ada, nggak lagi suka siapa-siapa."
"Orangnya kayak gimana? Cantik atau seksi? Terkenal atau biasa? Ceritakan, ceritakan!"
"Nggak ada deskripsi karena orangnya nggak ada."
"Apa dia orang yang kukenal? Atau, dia salah satu teman klub catur bodohmu itu?"
Aku baru pertama kali lihat Dirga kelabakan, wajahnya memerah sampai ke telinga. Sepintas, dia melirikku-mungkin meminta tolong, lalu berkata dengan tegas, "Nggak ada. Sudah, sudah, jangan bicara nggak penting."
Kemudian, Dirga beringsut mendekatiku. "Halloween sudah dekat. Bagusnya kita nonton apa? The Purge atau The Omen? Katanya The Purge seru, soal pemerintah melegalkan segala bentuk kejahatan selama dua belas jam."
Aku mengambil bantal dari belakang punggung dan bersandar pada tiang gazebo. Sadar Dirga sedang mengubah topik pembicaraan, tapi tidak ingin membetulkannya. "The Purge yang pakai topeng-topeng freaky itu? Boleh juga. Gimana kalau Halloween nanti kita pakai topeng juga supaya berasa real nontonnya? Aku mau pakai custom The Scream!"
"Jangan mengubah topik. Kita lagi bahas yang lain." Sedetik kemudian Maya bicara lagi, "Tapi, tahun ini giliranku yang pilih film. Tahun lalu kan, film pilihan kamu. Aku mau nonton The Halloween. Titik!"
"Kita vote suara terbanyak." Dirga memberi saran, lalu mengangkat tangannya sambil memerhatikanku dan Maya. "Yang pilih The Purge, angkat tangan."
Aku ikut mengangkat tangan dan diterima pelototan oleh Maya. "Sorry. Aku nggak tahan adegan banyak darah," pembelaanku.
"Dua lawan satu. Kita nonton The Purge!" Dirga mengetok meja dua kali dengan tulang paha ayam.
Maya menggeram sebal. Ia meremas berlembar-lembar tisu menjadi bola dan melemparinya pada kami.
****
Aku pulang ketika seluruh lampu rumah telah dimatikan. Harusnya lebih cepat, kalau Dirga tidak mengeluarkan kembang api sparkles dan Maya tidak memaksa memotret tulisan 'Love' dengan percikan kembang api berkali-kali.
Seluruh orang rumah sudah mendekam di kamar masing-masing, jadi aku berjingkat ke lantai atas dengan hati-hati. Namun, belum sampai kakiku menyentuh anak tangga, sekelebat kulihat sesuatu menyala di dapur. Pastinya bukan lampu karena warnanya kuning. Letaknya kira-kira di ruang makan.
Kue krim putih dengan hiasan bunga cherry membentuk mahkota bunga dan lilin kurus menancap di atasnya, terhidang di atas meja. Tanpa penghuni. Tapi, papan cokelat tulisan happy birthday membuatku tahu kalau itu untukku.
Kutiup pucuk api halus dan asap putih samar mengudara.
Setelah memasukkan kue di kulkas, aku naik ke lantai atas dan bersiap-siap tidur. Kuletakkan ponsel di meja kamar, dan sesuatu menahanku bergerak ke kamar mandi. Buku hijau tebal dari rak buku. Buku Harry Potter and The Goble of Fire.
Kubuka bukunya. Halaman-halaman jatuh ke sisi kiri buku seperti kipas, lalu berhenti pada satu bagian yang diberi penanda foto. Itu foto kami. Fotoku, Dirga, dan Maya, saat hari pertama ospek SMA. Sepanjang pagi, aku mengeluh karena harus menguncir rambutku serupa pohon kelapa dan memakai kantung plastik sebagai tas. Wajah cemberutku terpancar di foto, sedang Dirga dan Maya tersenyum lebar.
Keluargaku tidak pandai mengungkapkan perasaan. Butuh banyak keberanian untuk mengungkap kata-kata sederhana yang norak, atau peluk-kasih. Atau setidaknya, hadir menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan norak. Di hari ulang tahunku, mereka hanya memberiku kue ulang tahun dan lilin untuk ditiup.
Aku menggambar hati melingkari kepala Dirga dengan tinta pink. Memakai tinta yang sama, kutulis di belakang foto, 'The first time I realize my feelings for you'.
Mungkin ketidakpandaian kami dipandang manusiawi. Kami tidak terbiasa atau terlalu malu berkata-kata. Tapi, hari ini aku mendengar orang yang kusukai menyukai seseorang.
Kuharap, untuk kali ini, aku bisa lebih pandai mengungkapkan perasaan.
****
[ If you like this story and want to appreciate, click button star on the left corner of your screen to vote ! Atau, add cerita ini ke library kamu supaya jadi yang pertama tahu kalau aku update bab terbaru.
THANK YOU! ❤]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top