29. I Want to Have A Courage

Ada saatnya ketika SD, aku berpikir tiga kali datang ke rumah Maya karena canggung ketemu pengunjung tetap baru di sana. Dia adalah cowok berseragam putih-biru yang suka mondar-mandir membawa kotak susu dan main game sendirian di ruang tamu. Yang setiap kali kusapa, jawabannya hanya menoleh dengan wajah datar. Mentok senyum tipis-tipis.

Namanya, Dirga. Kala itu, kepindahannya baru terhitung beberapa minggu.

Pun, kehadirannya yang asing bukan satu-satunya yang membuatku canggung. Di hari pertamanya di sini, aku menemaninya menangis di depan rumahnya. Seharusnya dengannya terbuka menampilkan emosi membuat kami mudah akrab, namun saat kami bertukar nama caranya memandang seolah dia tidak mengenalku.

Kupikir, mungkin dia hanya malu. Jadi, di suatu sore, aku mencoba bersikap akrab dengan mengambil stick yang nganggur dan menemaninya main game. Namun, ternyata itu tidak menyenangkannya. Dirga berhenti membanting orang setipe badan John Cena pada layar dan merampas stick game lalu mengusirku dengan ketus, mengatakan aku menganggunya main game.

Waktu itu, kekesalan mulai bersemayam di kepalaku. Aku mulai menilai-nilai kesalahan dan kebiasaannya yang menjengkelkan. Tak tahunya, itu menjadi bekalku untuk tahu semua kesukaan, ketidaksukaan, dan kebiasaannya. Saat aku mencintainya.

****

Dari segala informasi yang kukumpulkan selama lima tahun, harusnya aku sadar perubahannya sejak melihat Dirga di bioskop waktu itu. Dirga adalah orang yang simpel, yang lebih suka memakai hoddie ketimbang kemeja biru dongker dan jeans ketimbang celana chino, jarang menata rambutnya dengan gel karena dia tidak suka kalau rambutnya jadi kaku, dan dia tidak pernah menonton film lebih dari sekali di bioskop karena menurutnya buang-buang waktu menyimak sesuatu yang hasil akhirnya sama.

Tapi di malam kencan 'pura-pura' kami, dia tidak terbungkus dengan kenyamanannya yang biasa. Dia mengenakan kemeja biru dongker, celana chino, menata rambutnya dengan gel dan poni dibelah bentuk koma, dan sengaja datang menonton film Suicide Squad untuk kedua kalinya. Kemudian, alasan bodoh yang dibuatnya soal Mark. Kubilang bodoh, karena itu tidak masuk akal. Mark tidak punya adik apalagi yang kesehatannya terganggu dan harus dibawa ke rumah sakit.

Bagaimana bisa aku tidak menyadari semua kejanggalan itu sampai sekarang?

Kuedarkan pandang sekali lagi ke ruang kelasnya. Kembali mendapat jawaban yang sama, seperti perjalananku mengitari lorong-lorong, ruang klub catur, beranda lantai lima, kantin, perpustakaan, dan semua tempat yang mungkin ada Dirga. Dia tidak ada dimana-mana seolah keberadaannya telah lama ditelan bumi.

Peruntungan terakhirku kupertaruhkan di lahan parkiran motor. Kalau motor vespa anak itu tidak ada di sana, maka kuputuskan keberanian yang meledak-ledak di dadaku ini akan kupendam sampai entah-waktunya-kapan.

Takdir mencium pipiku dengan manis, aku melihat motor vespa hitam dengan plat yang kukenal menyembul dari antara motor-motor pada deret kedua di lapangan parkir.

Dirga masih ada di sekolah!

Dengan semangat membumbung, kulakukan panggilan cepat ke nomor Dirga. Suara tut tut tut berulang, yang lalu ditutup kembali menjadi jawabanku. Lagi-lagi tidak angkat.

Aku duduk lunglai di atas motor, namun waktu sepertinya tidak ingin membuatku berlama-lama meratap. Seorang cowok dengan tas menggembung menghampiriku dan meminta memindahkan motornya Dirga karena menghalangi jalan motornya.

Dengan malas, kulakukan perintahnya. Menggiring motornya Dirga ke tempat yang lebih luas dengan susah payah. Aku sudah lari keliling sekolah tiga lantai, lutut dan tanganku mulai lemah seperti jelly.

"Apa ini? Kamu mau mencuri motorku?"

Kuinjak standar motor dan mendaratkan ke tanah. Cowok tas gembung tadi sudah keluar dari parkiran. Aku celinguk kanan, kiri, lalu pada diriku sendiri yang sedang memegang setang motor dan besi penyangga duduk. Kemudian, membalas dengan tersinggung, "Pencuri ... maksudmu, aku?"

"Nggak ada yang lebih mencurigakan selain kamu di sini, Nola."

"Ha ha ha ha. Nggak lucu, Dir." Aku mencebik.

Cowok bulu mata lentik itu menyengir, menerangkan ucapannya sebagai gurauan. Memandang wajah yang lama kucari menimbulkan efek gelombang kelegaan yang mengharukan dan menggelisahkan. Kuselip seutas rambut ke belakang telinga dan dengan senewen bicara, "Aku sudah meneleponmu berkali-kali."

Dirga melakukan gestur mengecek sesuatu dalam kantungnya, yang harusnya ponsel, tapi tidak betul-betul melihatnya. "Sorry. Baterai ponselku habis." Dia membaca wajahku, seperti yang selalu ia lakukan kalau aku sedang dirundung masalah. "Kenapa? Apa terjadi sesuatu?"

Sebelum sempat menjawab, seseorang muncul dari belakangnya Dirga. Menepuk pundak Dirga dengan cara akrab dan melenggang ke sampingnya. Dia adalah cewek bertubuh ramping, rambut cokelat gelap, mata besar, dan perawakan manis. Aku yakin namanya Febby.

"Terjadi sesuatu lagi, ya?" tanya Dirga menarik perhatianku. Ada kemarahan dalam nadanya. "Perbuatan Clara lagi?"

Aku menggeleng. "Tenang. Sekarang aku sudah nggak apa-apa."

"Kapan cewek itu bisa dewasa, apa-apa mainnya keroyokan. Maya juga sama. Perkelahian mereka seharusnya sudah berhenti kalau saja dia nggak memutar video itu di kelas dan memancing Clara." Dirga mendecak kesal. "Sekarang, kamu yang kena imbasnya."

"Mereka akan terus begitu sampai salah satu mengalah. Kita lihat saja nantinya gimana." Kenapa Febby ada di sini bersama Dirga?

Febby mengalih pembicaraan kami dengan bertanya tentang video apa yang Dirga maksud dan Dirga menjelaskannya. Baik Febby dan Dirga mulai kehilangan aku di antaranya. Aku harus menegaskan tempatku.

"Aku mau bicara sesuatu," potongku.

"Soal apa?" Dia membaca wajahku dan ada kebingungan dan was-was di sana. "Sesuatu yang lebih penting dari perbuatan Clara? Apa itu ada hubungannya dengan baju yang kamu pakai?"

Dia menunjuk dengan matanya kaos hitam panjang sepaha dan jaket bisbol milik Mark yang kebesaran di tubuhku.

"Nggak, ini lebih penting." Aku mengerling pada Febby dengan tatapan yang bisa diartikan, 'aku mengawasimu'. "Aku mau kita bicara berdua saja."

Alis on fleek-nya Febby terangkat. Dia menjaga kontak mata denganku, dan aku tahu itu sama sekali bukan tatapan ramah.

"Kita bicara di luar sekolah," usul Dirga.

Aku memakai helm yang dikasih Dirga, dan selama itu merasa seseorang memandang tajam belakang kepalaku. Begitu berbalik, aku menemukan Febby. Namun, kepala cewek itu telah beralih ke Dirga. Dia menyentuh pundak Dirga dengan cara genit yang paling tidak enak dilihat untuk bilang, "Kita lanjutkan pembicaraan kita tadi di whatsapp." Nadanya sok misterius.

Ia melirikku setelahnya, menegaskan kalimat itu bukan diperuntukkan untuk Dirga saja tapi juga untuk aku dengar.

"Kamu sejak tadi jalan sama Febby?" tanyaku saat Febby telah pamit pergi. Dia menunggu jemputannya di dalam sekolah.

"Cuma setelah menunggumu di kantin dan kamu nggak datang. Dia memintaku mengajarinya catur jadi kuajari saja," jawab Dirga menyalakan mesin motornya.

Walau masih sedikit curiga, aku menerima penjelasannya. Aku harus fokus sama apa yang akan terjadi setelah keluar dari parkiran. Aku harus mulai merencanakan apa yang ingin kutanyakan soal Mark, kencan, dan semuanya.

Kalau yang Mark bilang benar, berarti Dirga benar menyukaiku, dong? Karena itu juga dia bertingkah di luar kebiasaan, dan segala kejanggalan sikapnya yang lalu menjadi masuk akal. Tapi kalau salah, bagaimana dengan kami?

Ugh. Jangan jadi pengecut, Nola! Kamu sudah sampai di sini!

Bayangan rencanaku lenyap saat kami berada di belakang Febby yang berjalan, lalu melewatinya. Sekilas, pun jelas di mata, aku melihat sesuatu yang janggal dan akrab darinya. Ada gantungan serupa permen putih-yang sepertinya pocong-menggantung di tas ranselnya Febby.

Gantungan yang sama dengan milik Dirga.

****

Telah kuyakini kami dalam perjalanan ke rumah sampai Dirga membelokkan motornya di pertigaan tiga blok dari lorong rumah kami. Dengan suara terperangkap kaca helm, aku bertanya kami mau ke mana. "Ke tempat yang kamu sukai," teriaknya, di antara bunyi desing angin menerpa.

"Kamu bilang ini tempat yang kusukai."

"Ini tempat yang kamu sukai."

"Kamu nggak tahu isi pikiranku."

Dirga mendengkus geli. "Aku temanmu, aku mengenalmu. Di sini cantik, kan?"

Sama sekali di luar dugaanku, kami berdiri di samping pohon angsana hijau yang bunganya telah gugur berkubang di bawah pohon. Memandang pada langit berselimut gradasi oranye keemasan yang cahayanya memusat pada matahari yang perlahan menyembunyikan rupanya hilang dalam batas langit, rumah-rumah liliput berderet acak di bawah, pohon-pohon mengerubunginya, mobil-mobil serupa barisan semut saling berkejaran di jalan, dan jalanan aspal membingkai semua pemandangan kota di sore hari yang tenang.

"Cantik."

"Pemandangan dari atas sini memang keren." Dirga menyetujuinya. "Kamu lihat," dia menunjuk, "Sekolah kita ada di sana. Lapangannya sudah sepi, orang-orang pasti sudah pulang." Telunjuknya pindah ke arah lain. "Itu rumah kita yang berderet atap biru-merah. Yang seperti cetakan kue bulat itu Sunrise Mall."

"Semuanya ada di sini." Aku melepas napas takjub.

Walau semuanya berukuran miniatur, aku bisa mengenali dengan baik gedung-gedung ini. Seperti restoran pecel tempatku dan Dirga sering makan, rumah Maya, Indomaret, di taman Bugenvil itu tempat aku dan Maya dulu main jungkat-jungkit sama-sama, dan semua-semuanya. Sangat aneh menyadari kehidupanku terangkum dalam satu gambar yang tampak sama sekali berbeda dari yang selama ini aku kenal. Lebih hidup dan tentram.

"Dari jauh, semua selalu tampak lebih baik. Sangat berbeda kalau dilihat dari dekat. Sangat ..., palsu." Dirga menyandarkan kedua pergelangan tangannya di tralis besi.

Aku meliriknya. "Kamu nggak palsu."

Dirga menahan senyuman. "Kamu bicara begini karena kamu mengenalku." Dia berkata pada langit kota di depannya, "Sama seperti aku yang nggak kenal siapa-siapa, aku awalnya menganggap kota ini seperti kuburan. Walau kamu hias secantik apa pun, kamu nggak bisa mengubah apa yang ada di dalamnya."

Aku mengulum senyum sedih. Teringat kembali dengan hari ketika Dirga menangis di depan rumahnya, meminta pulang ke rumah lamanya. Namun, rumah dan mamanya adalah hal yang sama. Dan papanya waktu itu, (dikiranya) telah beralih dari sana.

"Itu awalnya. Sekarang gimana? Apa semuanya masih buruk?"

"Sekarang?" Dia membeo, berpikir lagi. "Aku melihat kehidupan di sini. Aku ketemu dengan orang-orang yang mengajarkanku kalau baik-buruknya dari mengenal sesuatu dari dekat, itu tergantung kacamata mana yang kamu pakai. Kalau selamanya ingin memakai kacamata rabun dekat selamanya pandanganmu akan kabur untuk melihat sesuatu sebagaimana adanya.

Aku bertopang dagu, menghadapkan setengah badan kepadanya.

"Omonganmu berbelit-belit. Kalau kamu mau berterima kasih dengan 'kacamata'-mu, harusnya bicara saja to the point. 'Makasih sudah datang ke kehidupanku, Nola. Aku beruntung memilikimu'," godaku sambil terkekeh. "'Orang-orang' yang kamu bicarakan itu termasuk aku, kan?"

Dirga menyentil dahiku. Aku sampai terpaksa mengedip saking kagetnya.

"Makasih, Nola. Tapi aku tahu dari lubuk hatimu, yang paling merasa beruntung itu kamu." Dirga menunjukku, "Kamu," lalu menunjuk dirinya, "ketemu aku."

Aku memutar bola mata risih sambil mengusap dahiku yang terasa panas dengan ujung rambut. Sebenarnya, tidak terlalu sakit. Aku hanya bertingkah dramatis supaya dia minta maaf.

Satu yang kusadari dan yang membuat dadaku terasa hangat ini adalah Dirga tidak menyangkal perkataanku. Dia pun merasakan perasaan yang sama.

Buatku, Dirga adalah kado natal santa rahasia yang tidak kutahu kubutuhkan dan paling ingin kumiliki. Walau aku kecewa dia mungkin memberikan gantungan pocong itu ke sembarang orang, tapi itu hanyalah sebuah benda tanpa arti. Karena yang paling berharga adalah yang tidak bisa kamu lihat secara nyata, tapi bisa kamu rasakan.

Bertemu dengan Dirga membuatku merasakan perasaan paling spesial yang bisa dirasakan manusia. Dan sudah saatnya, perasaan itu memiliki jawaban.

Tunggu. Enam atau lima detik lagi. Aku masih gugup! Lima .... Empat .... Tiga ....

"Kamu ingat kali terakhir kita ke sini?" Dirga menyusulku. "Kamu mengejarku dan aku mengusirmu? Sebenarnya, waktu aku sedang menunggu."

Dua ... Satu ...? "Menunggu siapa?"

Dirga menggeleng. "Mamaku, papaku, kamu, atau siapa pun. Entahlah. Waktu itu aku sengaja ke bukit karena muak sama semuanya. Di saat yang sama, aku juga berharap setibanya di sana ada seseorang yang menungguku, siap mendengarkanku. Sudah terlalu lama sejak aku ingat bagaimana rasanya bergantung sama seseorang dan membutuhkan seseorang. Aku jadi sedikit merindukannya," katanya. "Apa aku terdengar lemah?"

Aku pura-pura mengeluarkan muka masam. "Kamu masih terdengar menjengkelkan seperti Dirga yang biasa."

Dia menyedakkan dengkusan geli dan aku tahu itu membuatnya lebih baik.

"Bergantung nggak membuat kamu lemah. Itu cara manusia untuk tetap waras saat semua bebannya terlalu berat," kataku.

Dirga berkata sambil melamun, "Sekarang tempat bergantungku hampir hilang."

Aku menoleh sepenuhnya padanya, melebarkan mata penuh tanya.

Angin menembus sela-sela dedaunan dengan bunyi gemerisik. Daun-daun pohon angsana melayang jatuh di atas kami seperti hujan, Dirga memanjangkan tangannya untuk menangkapnya.

"Aku punya satu permintaan," katanya.

"Apa?"

"Kalau aku berhasil menangkap satu helai daun, kamu harus mengabulkan permintaan itu. Sebaliknya, kalau kamu berhasil, aku akan mengabulkan permintaanmu. Kita taruhan. Gimana?"

"Eh? Masa aku harus-"

Dirga berhitung mundur. "Di hitungan ketiga. Satu ... mulai!"

"Kamu bahkan belum berhitung!"

Dirga memanjangkan tangannya saat daun perlahan turun di depan mukanya, dan itu membuatku panik. Kupaksa kepalaku mendongak dan tanganku menadah. Mataku jelajatan mengamati daun-daun melayang turun dengan gerakan yang amat sangat lambat dan menyengsarakan bagi siapa pun yang bertugas menangkap daun. Profesi itu untunglah tidak ada, karena pastinya mereka akan super duper emosi bekerja dengan peruntungan ditentukan arah angin.

Sebagian besar mangsaku telah mati tergeletak di tanah. Aku mulai pesimis, hingga satu helai daun mendarat di ujung jari telunjukku. Yang lalu jatuh di tanganku yang sengaja menadah di bawahnya, mendarat di telapak tangan, dan lekas kugenggam.

"Berhasil!"

Tanganku yang memegang daun menggantung di atas. Kurasakan dekapan melingkupi badanku. Aroma citrus segar masuk dalam jangkauan napasku. Bibirku bertemu pundaknya. Lalu angin bertiup menerbangkan apa pun yang ada, ranting pohon bergoyang, daun gugur lebih banyak, rambutku menampar-nampar pipi, juga daun tangkapanku lepas dari genggaman.

Daunku memang lepas, namun Dirga mendapatku lagi.

"Dir," panggilku. Aku menggeliat dalam pelukannya dengan wajah tersipu. "P-panas."

Dirga mengeratkan kembali pelukan kami, menghalau gerakku yang makin sempit.

"Kamu janji mengabulkan permintaanku. Ini permintaanku."

"Tapi ini-"

"Semenit saja," pintanya.

Detik-detik berlalu, kubiarkan diriku dalam pelukannya. Pikiran-pikiran salah yang tidak boleh kupikirkan bersemayam di otakku. Hangat tubuhnya melingkari pinggang, punggung, badan, dan telapak tangannya memegang kepalaku. Jantungku berdegup jutaan kali lebih kencang sampai aku yakin ada bass stereo di dalam sana.

Dirga berkata, sangat lembut, "Makasih, sudah datang ke kehidupanku. Buat, selalu ada dan nggak pernah pergi. Aku beruntung memilikimu."

Cara dua orang bertemu dan bersama, berjalan dengan sangat ajaib. Dia bisa jadi datang dalam hari-harimu yang membosankan, atau saat kamu tengah menunggunya, atau hadir bersama luka yang dipendam. Tidak ada satu pun cara yang salah atau paling benar karena yang terpenting, hari ini kami saling memiliki.

Kepala kubenamkan di pundak Dirga dan kubalas pelukannya. Kami berdekapan selama kurang dari semenit atau lebih, aku tidak menghitungnya tapi saat dia melepas pelukan kami, aku menginginkannya lebih.

Pipiku membara, masih jelas mengingat jejak pundak dan dadanya Dirga di sana. Aku pun mengira dia merasakan hal yang sama karena tadi samar-samar kudengar degup jantung lain secepat milikku.

Yang kutemukan adalah senyuman Dirga. Kedua sudut bibirnya tertarik, namun matanya sama sekali tidak tersenyum dan mendung mewarnai mukanya.

"Kamu bilang, semua hubungan yang ada di dunia ini cuma sementara dan mengingatkanku jangan peduli sama bagaimana suatu hubungan berakhir. Karena yang terpenting adalah kenangan pernah bersama."

Itu ucapanku saat di kamarnya di malam kami hampir berciuman. Dia mengakuinya.

"Sekarang, aku ingin percaya itu."

Aku terdiam. Agak kebingungan. Walau bukan cenayang, seluruh gerak-geriknya menyampaikan berita tidak baik. Dia menggosok telapak tangan di pahanya dan menelan ludah gugup. Kuharap, sikapnya berubah. Rautnya tidak berubah.

"Papaku diangkat jadi kepala cabang. Dia dipindahtugaskan keluar kota."

Napasku tercekat. Bahuku melesak. Rusukku ngilu.

"Kami akan pindah."

****

Tiga chapter menuju chapter akhir. Gimana? Kalian sudah bisa menebak akhirnya akan gimana?

Thor sih, cuma bisa bilang cekidot di bab berikutnya 😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top