28. The Untold Story
Pagi tiga minggu lalu, got di depan rumah kami tersumbat hingga menciptakan genangan selebar akuarium ikan mas yang tidak dalam. Hujan turun lebat pada tengah malam, jadi udaranya lebih dingin. Kuambil ancang-ancang melompati genangan air di depan pagar rumahku, melompatinya seperti atlet lompat jauh. Berdiri di sebelah pagar Maya yang tertutup sambil menjejalkan tangan ke saku jaket untuk mengambil dua bungkus roti kacang hijau.
Satunya kulahap sendiri. Satunya lagi untuk Maya yang kebetulan keluar saat aku tengah menggerus roti dalam mulut.
"Aku sudah nggak apa-apa," katanya otomatis, paham betul arti kedatanganku.
Malam kemarin aku meninggalkan pesan padanya untuk meneleponku kalau-kalau dia butuh pendengar keluh kesah atau pendukung keputusannya putus dengan Rangga. Maya membacanya, tapi balasannya tak kunjung datang.
"Kamu yakin? Kamu nggak perlu memaksakan diri ke sekolah. Kabar kamu dan Kak Rangga masih heboh diperbincangkan dan aku yakin mereka nggak bakal melepasmu sampai kamu mengakui gosip itu. Terlepas apakah gosip itu benar atau nggak, mereka cuma mau melihatmu terganggu sama omongan mereka."
Aku tidak bisa membayangkan kejadian sebulan pertama kami SMA terulang kembali. Masa-masa awal Maya pacaran dengan Kak Rangga, ketika para senior mendatangi kelasnya hanya untuk marah-marah agar Maya berhenti bersikap ganjen pada cowok-cowok terutama pada idola mereka, Rangga, dan anak-anak pengagum Kak Rangga menganggunya dengan mencuri buku cetaknya atau menyembunyikan baju olahraganya.
Dengan suara ringan ia berkata, "Makanya, aku harus pergi sekolah untuk memperlihatkan kalau aku baik-baik saja. Itu cara yang paling tepat untuk membuat gosip ini cepat selesai."
Aku manggut-manggut. Diam-diam meliriknya yang menaikkan jembatan kacamata bulat yang membingkai mata bengkaknya. Kemarin, dia pasti menangis semalaman.
Saat kami berjalan ke tempat pemberhentian angkutan umum, Maya bicara lagi seolah sedang meyakinkan diri.
"Lagian, memangnya berapa lama satu gosip bisa bertahan?"
****
Pada pelajaran olahraga, William Walandouw kelas XI IPS 1, memamerkan tendangan jarak jauh ala Captain Tsubasa pada teman-temannya. Bola memelesat melewati tiang gawang, keluar jauh ke koridor lantai satu yang ramai, menyepak kepala Pak Samsul dan menampar jatuh wig-nya. Nampaklah kepala plontos mengilap Pak Samsul, beranglah ia. Ia mengambil sapu yang disandarkan di sebelah pintu X-2, mengejar William yang berlari terbirit-birit menghindarinya.
Video William dikejar Pak Samsul mengitari lapangan bola tersebar cepat ke seluruh ponsel siswa, dan sepanjang minggu berita itu nangkring di puncak. Menggeser turun gosip Maya dan Rangga tiga peringkat. Dan begitulah bagaimana gosip tentang Maya meredup setelah lima hari lewat.
Satu titik yang kami yakini menjadi bom yang bisa meruntuhkan satu gedung pencakar langit dan mengakhiri segalanya, daya ledaknya ternyata tidak sekuat itu. Kekuatan rumor ternyata hanya terjadi pada satu titik waktu, yang lalu perlahan memudar terbang menjadi debu.
Puing-puing hasil ledakannya masih tertinggal, bersamaan satu per satu kebenaran mulai terkuak. Rangga, diketahui telah menjalin hubungan dengan Intan, anak kelas XI IPS B selama beberapa minggu, sebelum kabar putusnya Maya.
Pendapat publik pun terbagi dua. Beberapa mulai menyangsikan kepolosan Kak Rangga dan kebenaran dari gosip yang beredar. Membuat kemungkinan kalau bisa jadi, semua gosip itu hanya karang-karangan Clara and the gank yang diketahui publik tidak menyukai Maya. Perlahan, image Maya sebagai wanita jalang mulai membaik.
Namun, apakah itu cukup untuk membuat Maya tenang dan duduk menikmati pencapaiannya? Sayangnya, tidak.
Saat presentasi tugas Ekonomi di kelas, Evi menekan mouse untuk menampilkan lembar presentasi kelompoknya, bukannya penjelasan definisi pendapatan, yang muncul di layar proyektor malah video meme. Itu adalah gif apel bergambar mata dan bibir Clara dengan tambahan tahi lalat di atas bibir, duduk di kursi panas ala Feni Rose dalam program Silet. Menjilat bibirnya yang mengilap seakan berbalur madu berulang-ulang kali, yang harusnya seksi bukannya mesum. Batang apel disisakan sedikit di kepalanya, dan di atasnya tertulis, 'If there's no gossip, I can make one'.
Semua orang memekik, tertawa, dan bersahut-sahutan. Bu Firda melompat ke meja guru, menekan-nekan sesuatu di laptop, dan layar mati. Antek-anteknya Clara bangkit membelanya, namun siswa-siswi lain terlanjur menganggap itu candaan yang lucu dan meledeknya. Satu-satunya siswa yang tenang duduk di bangkunya hanyalah Clara. Dia memandang benci Maya yang sengaja mengintip lewat jendela kelas untuk menonton momen fenomenal itu.
Itulah awal mula peperangan antara kubu Maya dan Clara.
Siraman air dingin mengguyur deras ke tubuhku dari atas bilik toilet. Serupa ombak tinggi yang menelanku masuk ke lautan dan membuat seluruh tubuhku melengket di kloset duduk seperti rumput laut. Kusingkap rumput laut yang jatuh di depan wajahku-ternyata itu rambutku yang lengket dan basah. Lalu terbatuk-batuk karena sebagian air tidak sengaja kutelan. Rasanya seperti menelan air comberan. Baunya sama amisnya.
Sorak sorai terdengar di luar. Milik wanita-wanita ceking dengan suara melengking, yang nada dasarnya berada di Sol, bukan Do. Sekarang, kalau guru kesenian mengukurnya, teriakannya pasti berada di Do Tinggi.
"Gimana rasanya air comberan? Manis-manis asem? Atau malah baunya sama dengan baumu?" sahutnya, diiringi tawa mengejek cewek-cewek lain. Maria, suara melengking seperti tikus berdecit, pasti dia.
"Yah, bunga berbau busuk memang harus disiram dengan air yang bau. Itu kan nutrisinya mereka!"
"Sudah aku bilang sejak awal, kunci anak ini saja di toilet dan siram dia supaya dia takut sama kita. Sekarang, temannya sudah terlanjur buat ulah, baru nyadar."
"Clara terlalu baik. Itu masalahnya."
"Anak ini pasti mendecit ketakutan di dalam. Cit. Cit. Cit. Cit. Kedinginan seperti tikus got!"
"Tikus got! Hahaha!" pekik seseorang.
Aku mengabaikan tawa dan ejekan lain di luar, cepat-cepat memperbaiki rok dan bangkit mendekati pintu.
"Buka!" Kugedor pintunya keras-keras. "Buka pintunya, Maria!"
Intensitas tawa di luar semakin hebat, yang lalu memuai pada satu waktu dan hening terjadi. Aku dapat merasakan seseorang mendekati pintu di luar dari bayangan di bawah kakiku.
"Ini balasanmu karena sudah membuatku membersihkan toilet selama dua minggu. Makanya, lain kali jangan salah pilih lawan," kata Clara.
Lalu kudengar suara suatu barang disandarkan di depan pintu toilet. Kuputar kenop pintunya berkali-kali, namun selalu berhenti setengah putaran, sepertinya tersangkut sesuatu.
"Kalian sudah cukup menghukumku, jadi biarkan aku ke luar." Tidak ada pergerakan di luar, jadi kuhamtamkan buku-buku jari lebih keras. "Kumohon, keluarkan aku!"
"Jangan mohon-mohon padaku, Nola. Salahkan temanmu. Kalau dari awal dia bersikap manis, aku nggak bakal menganggu kalian," ucapnya. "Selamat bermalam di sini."
Gumaman bye-bye dari luar saling bersusulan. Kupukul pintu toilet dengan putus asa, yang menjadi sia-sia saat derit pintu membuka terdengar dan gema tawa mereka semakin menjauh dan lenyap.
Aku terduduk di kloset toilet, kembali pada posisi semula. Mengamati kaos olahraga kelasku yang terus menitikkan air, celana bahan kaos selutut yang kupakai mencetak bentuk paha, kaos kaki lembap, dan sepatu yang kupakai-semuanya basah. Aku merasa lebih hina dari ikan yang terdampar di daratan.
Kubuka pouch yang tergantung di gantungan pintu dan mengambil ponsel. Dadaku lebih lega melihat ponsel tidak basah dan masih berfungsi. Kugulir nama-nama di kontak dan menelepon Dirga.
Aku janjian dengannya ketemu depan kantin. Dirga tidak pernah tertarik menonton pertandingan olahraga, termasuk pertandingan basket babak final yang sedang berlangsung sekarang. Jadi, harusnya dia sekarang sedang bebas. Dia harusnya sedang menungguku.
Tut. Tut. Tut.
Tidak ada jawaban.
Kuulangi panggilan yang sama dan mendapat nada sambung terputus lagi.
Ke mana cowok itu, sampai tidak mengangkat telepon?
Aku berhenti setelah menelepon untuk kelima kali, kepada Maya dua kali, dan mengirim voice mail pada Dirga kalau aku terjebak di toilet sebanyak satu kali.
Aku masih punya dua puluh menit sampai jam pulang. Toilet ini berada di lantai satu dan agak sepi karena terletak di ujung gedung. Kupikir, lebih baik berjalan jauh daripada harus mengantri toilet panjang-panjang saat kebelet pipis. Logika itu selama ini kupandang baik, namun itu juga yang memperburuk situasi sekarang.
Kubenamkan kepala ke paha dan mulai berdoa. Angin toilet biasanya lembap, tapi karena air comberan ini aku mulai kedinginan.
Tolonglah. Satu orang saja datang ke sini. Siapa pun, tolong datanglah.
Layaknya doa yang terjawab, suara kayu dipindahkan bersamaan dengan besi diputar terdengar. Pintu berderit. Angin lembut menghempas menerpa tubuhku saat pintu dibuka. Kuangkat wajah dengan kelabakan, rasanya aku seperti manusia goa yang ditemukan oleh arkeolog setelah bertahun-tahun terperangkap dan untuk pertama kalinya melihat cahaya matahari.
"Nola ... ?"
****
"Nih."
Mark menyodorkan jaket bisbol padaku. Aku mengangkat tangan menolak secara halus. Mark dengan sopan menyelimuti bahuku dengan jaketnya.
Kami duduk di meja kantin yang hampir melompong. Bunyi bel sudah berdentang bermenit-menit lalu. Dari pintu kantin, aku dapat melihat orang-orang seliweran di koridor memanggul tas punggung mereka.
Mark duduk di depanku, menggeser cangkir es teh mendekatinya. Aku sendiri meneguk teh hangat yang ia belikan-walau lagi-lagi tidak kuinginkan karena sungkan-tapi Mark bersikeras tidak tenang melihatku sakit flu karena mandi air comberan. Ada ratusan bakteri dan virus di sana, yang pasti tidak ingin kulihat rupanya dengan mikroskop.
"Apa nggak apa-apa kamu meminjamkanku pakaian?" tanyaku, menunjuk kaos hitam polos sepaha yang kupakai dan celana gombrong yang ujungnya kulipat tiga kali karena kebesaran.
"Nggak apa-apa. Aku gampang keringatan jadi selalu membawa kaos lebih." Matanya mencari sesuatu di tubuh dan wajahku. "Kamu beneran nggak apa-apa? Nggak ada yang luka?"
"Aku baik-baik saja."
"Secara mental?"
"Nggak pernah lebih baik dari saat ini. Setelah aku mencakarnya di toilet waktu itu, aku semakin merasa kalau Clara tidak semenakutkan yang kukira. Malahan, sedikit kekanakkan. Membuat geng-geng-an dan bergerombol melabrak orang, itu hal yang dilakukan anak-anak."
Mark menyengir. "Mengurung seseorang di kamar mandi dan menyiramnya dengan air comberan. Itu sangat nggak dewasa."
"Kekanak-kanakkan," cetusku. "Dulunya, aku pikir yang salah adalah aku yang nggak bisa berbaur sama yang lain. Sekarang, dia menyalahkan aku karena memihak Maya."
"Kalau seseorang punya banyak musuh, bisa jadi yang salah bukan orang lain, tapi dia."
"Tepat sekali."
Setelahnya, keheningan yang tidak enak menyelimuti ruang antara kami.
Kucengkram cangkirku, meniup uap panasnya sebelum meneguknya sedikit-sedikit. Rasa panas mengalir ke tenggorokan dan turun sampai dada. Mark juga melakukan hal yang sama, menyeruput es tehnya. Pada saat mata bertemu, kami melepas senyum sopan.
Kekikukkan kami rasanya bukan karena ini adalah pertemuan pertama kami lagi semenjak aku menjadi selingkuhan gelapnya. Sebenarnya, ini lebih karena kekecewaanku yang nampak sangat jelas saat menatap mukanya di pintu toilet tadi.
Aku benar-benar mengira orang itu Dirga. Selama ini, Dirga selalu ada saat aku butuh, hari ini sepertinya dia harus absen.
Mark menyuruhku membersihkan diri di wastafel dan menawariku baju bersih. Aku menurutinya, memanfaatkan sabun pencuci tangan untuk mencuci tangan, kaki, dan rambut. Tak heran, ke mana pun aku pergi aku selalu mencium bau sabun cuci tangan Lifebouy.
"Apa yang kamu lakukan di toilet wanita tadi?" tanyaku hati-hati, tidak mau terkesan menuduh, tapi kedengarannya tetap sama tidak sopannya.
Dia menyedot minumannya dan menelannya.
"Aku melihat Clara dan teman-temannya membawa pel dan ember dari kelasnya masuk ke toilet wanita. Awalnya, aku nggak berpikir macam-macam, tapi mereka keluar sambil tertawa-tawa dan kudengar Maria menyebut namamu. Jadi, aku pergi mengeceknya."
"Ahhh, begitu?"
"Kenapa?" Matanya menyipit dan ia tersenyum jenaka. "Kamu nggak berpikir aku pria mesum yang suka mengintip toilet wanita, kan?"
"Tidak, tidak. Aku nggak akan berpikir begitu."
"Atau, kamu pikir aku sedang menguntitmu?"
"Menguntit? Astaga. Memangnya aku siapa? Elisa Britania?" Jadi, aku salah paham. Untung saja, aku nggak menuduh duluan.
"Aku sudah nggak menyukaimu lagi, Nola, kalau itu yang mau kamu tanya. Meski, memang dulu ada saatnya aku melihatmu lebih sangat cantik dari Elisa. Kamu bahkan lebih cantik dari bunga."
Aku mengerutkan hidung, reaksi alami mendengar kalimat cringey. Agaknya efeknya tidak sampai membuat jari-jariku menekuk. Setelah beberapa kali kami bercakap, efek gombalannya melemah. Manusia memang makhluk yang mudah beradaptasi.
"Bicara kayak gini di depan pacarmu. Aku yakin reaksinya akan lebih buruk dari kata putus." Sendal melayang atau tamparan di punggung, atau ditodong kata 'putus'.
Mark mengangkat gelasnya, rautnya berubah amis.
"Aku yakin dia akan tenang-tenang saja. Kami sudah putus," katanya.
Kalau aku dapat melihat wajahku sendiri, mataku pasti sekarang melebar dan pupilnya mengecil seperti biji selasih. Aku menelan ludah gugup.
"Kalian, putus? Apa karena ...." Tidak ingin melanjutkan kalimat berikutnya.
"Bukan, bukan karena kamu," timpal Mark cepat-cepat. "Kami yang memilih putus."
Penjelasannya masih tidak membuatku merasa baikan. Mereka bertengkar setelah aku kencan dengan Mark, jadi semua alasan mungkin di sini. Dan, yang bisa kuucapkan untuk memperbaikinya hanya, "Maaf."
"Itu benar-benar nggak perlu Nola. Ini sama sekali bukan salahmu," tekannya. "Sejak awal, hubungan kami nggak berjalan baik."
Dia menatap dasar gelasnya, memendam kilas balik sesuatu dalam kepalanya.
"Apa itu alasan kalian break?"
Dia tersenyum kecil. "Mostly, ya. Tapi sebenarnya, masalahnya ada padaku. Aku merasa bosan dengan Ana. Aku tahu ini terdengar bajingan, tapi pasang surut dalam hubungan itu pasti ada."
"Bukan tempatku untuk menuduh apa-apa."
"Sebenarnya, tempatmu. Aku sudah bersikap nggak sopan padamu di masa lalu. Soal kencan kita."
"Tolong jangan menyebut itu kencan. Bilang saja, itu ... pertemuan resmi."
Mark terkekeh. "Pertemuan resmi."
Aku ikut tertawa kecil, lalu terdiam. Memberinya jarak karena merasa Mark lebih butuh didengar.
"Setiap ada masalah, Ana selalu mengusahakan hubungan kami, sedangkan aku selalu mencari jalan keluar. Aku tahu itu salah, tapi aku lelah. Kamu, salah satu jalan keluarku. Kukira, sekalinya keluar, perasaanku jadi lebih baik, tapi nggak tambah baik."
"Tapi kamu pernah mencoba mempertahankannya, kan? Karena itu kalian bisa bertengkar waktu itu, bukannya langsung mengabaikan."
"Aku melakukannya supaya nggak terlalu merasa bersalah kalau aku memutuskannya. Tapi, setelah benar-benar putus, aku baru mulai mengenal perasaanku yang sebenarnya, teringat padanya, dan menyesal. Memang yah, kamu mulai menghargai keberhargaan seseorang ketika seseorang itu pergi."
Kugenggam tangannya, kalau saja bisa memberi energi memakai osmosis, sudah kulakukan. Jadi, kukatakan kalimat simpatik yang standar, "Aku turut prihatin."
Mark mengangguk-angguk. Kepalanya ditegakkan.
"Kalau saja Dirga nggak datang waktu itu mengajak pacarku, aku sampai sekarang pasti masih mengejar-ngejar kamu, dan hubunganku masih menggantung. Ada untungnya juga didamprat selingkuh," kekehnya, terdengar getir, namun ada yang lebih mengangguku.
"Tunggu. Dirga yang memanggil pacarmu?" gumamku, bingung.
"Huh?" Dia berpikir sejenak. "Oh, itu. Iya, Dirga yang memberitahu pacarku kalau hari itu kamu dan aku kencan. Niat sekali, sampai repot-repot mengantarnya ke depan pintu. Kurasa, dia juga ingin melihatku dipermalukan di depan umum." Dia merutuk, "Bajingan itu."
"Dirga bilang sama aku kalau dia kebetulan ada di sana untuk menonton."
"Dia datang menonton? Nggak. Dia sudah bersama Ana sejak awal. Dia juga yang mengancamku untuk nggak mendekatimu lagi dan menyuruhku bicara padamu yang sebenar-benarnya," jelas Mark. "Jadi, kamu ketemu dia di dalam? Pantas saja, dia mengambil tiketku!"
Sejak awal, aku sudah merasa janggal sama penjelasan Dirga soal adiknya Mark yang masuk rumah sakit. Kalau benar, harusnya Mark yang mengatakan padaku sendiri dan meminta maaf. Mark juga tidak mungkin tahu Dirga temanku, dan bagaimana tepat sekali Dirga duduk di tempatnya Mark seolah sudah tahu sebelumnya aku ada di sana.
Semua potongan-potongan fakta ini menjadi lengkap.
"Cowok itu. Kukira dulu dia picik, sekarang aku tahu kalau dia cuma sedang menjaga orang yang dia sukai," ucap Mark. "Dia ternyata cowok yang lebih baik dari aku. Apa nanti akan ada orang yang mau sama aku? Yang tahan sama gombalan-gombalanku seperti Ana? Yang cantik seperti Ana ... Hey, Nola? Nola!"
Kakiku bangkit berdiri, berlari lebih dulu dari otakku berpikir. Aku bisa mendengar suara Mark memanggil-manggil namaku di belakang. Tapi, kakiku hanya terus berlari.
****
Hai, hai, Thor di sini!
Gimana episode ini? Memenuhi ekspektasi atau tidak? Semoga teman-teman suka ya.
Karena ini sudah hampir sampai di penghujung cerita, aku mau memperkenalkan visualnya Dirga. Aku baru ketemu orang di dunia nyata yang cukup memenuhi bayanganku sebagai Dirga. Mungkin ada dari kalian yang bakal kenal sama orang ini, karena dia memang lagi tenar sekarang. Kalau kalian mau tahu, silakan rame-in kolom komen. Aku akan bocorin di chapter selanjutnya.
See you soon all.
Always stay safe, happy, and healthy ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top