27. Are You My Secret Santa?

 "Kita kumpul tanggal 25 di basemen rumahku, seperti lima tahun lalu. Sampai saat itu, Secret Santa harus merahasiakan dirinya. Di hari H, sang penerima kado harus menebak identitas si pemberi. Untuk budget hadiahnya bebas, yang penting bukan benda sekali pakai." Maya membereskan pulpen dan kertas-kertas di meja dan memasukkannya ke gelas plastik. "Sampai sini ada pertanyaan?"

Fabio menggiring sepiring mie instan dari nampan meja sebelah kepada bagian meja Kak Nara. Kak Nara duduk melantai bersama kami.

"Apa ada hadiah kalau berhasil menebak?" tanya Fabio.

Maya menerima piringnya, berpikir sambil mengangkat mie memakai garpu dan uap panas mengudara. Samar-samar tercium bau micin dan kecap yang sedap.

"Gimana kalau yang berhasil menebak akan diberi uang?" usul Maya.

"Kesannya terlalu serius kalau pakai uang. Kita kan bukan sedang main judi."

"Aku kurang setuju sama pendapat Fabio, soalnya aku suka uang. Tapi karena ini buat seru-seruan gimana kalau hadiahnya seperti menuruti perintah si pemberi atau diberi hukuman konyol kayak menggambar nama pemberi dengan pantat?"

"Setuju!" sahut Fabio kekencengan. Kak Nara sampai menyumpal telinganya dengan tangan dan menyipit risih. Fabio terlalu bersemangat hari ini.

"Gimana?" tanya Kak Nara, sekali lagi.

Maya mengusap bawah dagunya dan berucap, "Boleh juga idenya. Oke, jadi ...," dia mengambil ponsel dan mengetik cepat, "hukuman : menggambar nama pemberi dengan pantat."

"Tambahkan juga 'menuruti perintah si pemberi'," tambah Fabio.

"'Menuruti perintah si pemberi'." Maya terkikik sambil mengetik. "Aku punya banyak ide lucu buat jadi hukuman, bisa menelepon kepala sekolah bilang kepalanya menyala hari ini seterang lampu taman atau menyebarkan foto jelek di instagram dan mendiamkannya selama sehari penuh?"

"Sial sekali orang yang mendapat Secret Santa-nya dia."

Fabio menyeletuk dengan mata berbinar menatap Kak Nara, "Orang yang jadi Secret Santa-ku pasti akan sangat bahagia."

Kesepakatan tentang peraturan Secret Santa masih diperdebatkan di meja dan belum menemukan titik temu. Kuteguk air mineral dan mulai menyendok mie, tidak sengaja melirik tempat kosong di sebelahku. Itu punya Dirga dan Fabiola. Fabiola pergi toilet dan belum kembali. Dirga ke dapur, dipanggil mama membagikan toples-toples kue ke tetangga sebagai hadiah natal.

"Banyak mulut-mulut yang bisa dikasih kue," kata mama saat aku mengeluh melihat empat tray keping cokelat yang baru keluar dari pemanggangan. Jumlahnya tidak sanggup ditampung lambungku atau lambung kakak dan papa. Belakangan ini mama sering memasak dalam jumlah besar. Itu bukan karena mama dermawan. Aku tahu mama suka memanggang kue kalau sedang stress.

Sumber stress barunya adalah kakaknya mama, Tante Farah. Sejak Tante Farah pulang dari rumah sakit, beliau menginap di rumah kami. Dulunya, aku senang tiap dia datang menginap karena Tante Farah sering membelaku di depan mama. Sekarang, entah mengapa Tante jadi sangat suka mengomel. Soal rasa masakan, letak meja di ruangan-atau tentang semuanya. Aku menganggap itu efek samping obat atau karena pekerjaan menjahitnya berkurang jadi dia mudah bosan.

Hari ini, Tante Farah mengunjungi rumah Tante Firda, jadi rumah lebih tenang.

Kususuri lorong rumah, ke arah toilet. Cemas pada Fabiola yang tak kunjung datang. Toilet ada di ujung lorong dan rumah kami hanya berlantai dua. Ini terlalu mudah untuk tersesat.

Aku mendengar bunyi kelontang dan laci-laci dibuka dari arah dapur, percakapan riuh rendah menyelinginya. Kukira mama, jadi aku mengintip sekilas. Namun, yang kulihat adalah Dirga tengah mengambilkan suatu barang di rak paling atas untuk Fabiola. Posisi mereka sama-sama membelakangiku. Fabiola berdiri di depan Dirga, terhimpit meja batu tempat kompor gas dan tubuh Dirga. Jaraknya hanya sepanjang gapaian tangan, Fabiola bisa memeluk pinggang Dirga kalau dia mau. Untungnya, itu tidak terjadi. Wanita itu hanya berdiri di sana, mendongak di bawah dagu lancip cowok itu, dan terpana.

****

Aku mengantar orang-orang ke pintu depan saat kami selesai bersantap siang. Fabiola terus membujuk Dirga mengantarnya keliling kota. Dirga menolaknya. "Kamu baru lima tahun meninggalkan kota ini, kamu bisa pergi sendiri."

Maya datang sebagai penengah dan bilang akan mengantar si kembar keliling kota sampai malam. Maya tahu banyak tempat dan suka jalan-jalan. Dengan terpaksa Fabiola menjawab, "Ugh. Oke. Fine." Dia membuang napas kesal untuk terakhir kali sebelum masuk mobil.

Dirga mengikutiku masuk. Kukira dia ketinggalan barang. Dia menyambar kunci motor yang tergeletak di pinggir meja. Aku memerhatikan bandul kepala pocong chibi yang menggantung di kunci motornya saat dia memasukkannya ke saku celana. Dia memakainya.

"Kayaknya, Fabio masih suka sama kakakmu," kata Dirga sambil menumpuk piring kotor ke konter samping wastafel.

"Maybe." Aku memutar keran.

"Dia heboh sekali sebelum datang sini. Kurasa, kalau Secret Santa-nya Kak Nara, dia pasti akan membingkai hadiahnya, meski itu cuma kertas tisu."

Sebelum pulang, Fabio menarikku ke teras untuk bertanya hadiah apa yang disukai Kak Nara. Dari wajah malu-malu waktu itu dan semangat menggebu-gebunya tiap Kak Nara bicara selama dua jam kami kumpul, itu sudah menyiratkan perasaan sukanya pada Kak Nara. Dan aku yakin, Kak Nara lebih peka.

"Kamu nggak pulang?" tanyaku, sambil mengenakan sarung tangan cuci piring dan membasahi spons dengan sabun pencuci tiga tetes.

Sejak tadi dia terus membuntutiku. Mengikuti mengangkat piring kotor ke dapur dan membersihkan meja ruang tengah.

"Selesai cuci piring." Kepalanya celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. "Di mana sarung tangan cuci?"

"Di laci tempat serbet, dua laci dari sini."

Dirga menarik laci yang kumaksud dan mengeluarkan sepasang sarung tangan cuci warna pink neon berbahan silikon. Karetnya tidak semelar milikku karena jarang dipakai.

"Apa nggak ada warna lain? Ini sangat ...," ia mengamati benda yang ia jepit memakai dua jari tangannya dengan pandangan ngeri, "... pink."

"Itu tinggal satu. Pakai saja yang ada."

"Tapi ini pink." Dirga protes.

Kugosok piring dengan spons basah. Menggosok cukup lama agar bau makanan tidak melekat. Tante Farah tidak suka kalau piring tidak dibersihkan sampai mengilap atau ada bau kecap mi instan.

"Aku nggak punya warna lain."

"Berikan punyamu." Dia menarik ujung sarung tanganku.

Itu adalah sarung tangan biru yang kubeli di suatu toko online yang menjual peralatan rumah tangga. Semua sarung tangan yang dijual di supermarket warnanya norak.

Kutarik tanganku, melepas genggamannya Dirga.

"Ini punyaku. Pakai saja yang itu, yang ini juga sudah basah."

Dia menariknya lagi. "Aku mau yang itu." Lalu memelas, "Aku sudah berniat membantumu."

Telinga anjing bayangan yang menancap di kepalanya menunduk layu. Kudesah panjang, melepas sarung tangan cuci yang lengket di kulit dan mengibaskannya kuat-kuat di depannya. Cipratan air membuatnya menarik lehernya mundur dan berkedip-kedip.

"Manja," celaku, sambil segera memasang sarung tangan baru.

Dirga mengelap wajahnya dan memasang sarung tangannya sambil tersenyum kemenangan. Dia menyenggol pundakku dengan sikutnya. "Minggir," perintahnya.

Mencuci piring bersamanya mirip olahraga berat. Aku berkali-kali menarik napas panjang, mengisi kantong kesabaranku yang kian hari luasnya makin menipis, dan kuulangi lagi sekarang.

Kugeser badan sedikit untuk memberinya ruang mencuci di wastafel.

"Kakakmu masih berhubungan sama mantan pacarnya?" tanyanya, di sela aku menyabuni piring-piring. "Mantan pacarnya itu Kak Marco, ketua klub tenis kita tahun lalu, kan? Yang kuliah di Ausie?"

Lenganku kembali bertabrakan dengan sikutnya. Tubuhnya terlalu besar untuk dapur minimalis kami dan meja wastafel kami sama mininya denganku. Kutarik napas dalam-dalam, menahan amukan amarah.

"Mhmm," jawabku berusaha tenang.

"Apa alasan mereka putus karena Kak Marco pindah?"

"Mungkin. Cuma mereka yang tahu."

Sebenarnya alasan mereka putus memang karena kepindahan Kak Marco ke negara lain. Berbeda waktu, tempat, kehidupan, itu adalah cobaan besar bagi suatu hubungan yang sedang bertumbuh, walau kadang-kadang orang-orang berusaha menyangkalnya.

Daging alpukat manis yang dekat dengan kulit buah, terasa pahit. Dalam keputusan pahit yang mereka kira akan berbuah manis, kadang-kadang aku masih mendapati Kak Nara uring-uringan tiap mendengar berita tentang kabar negara Kangguru itu.

Kedua keputusan punya sisi baik-buruk. Tapi Dirga tidak perlu tahu semua itu.

"Kalau karena itu saja, kedengarannya menyedihkan. Mereka bisa lebih berusaha sama hubungannya."

Aku menggeleng, agak geli. "Kalau saja bisa cuma dengan usaha. Pacaran dengan seseorang yang terpisah ribuan mil, yang sehari-harinya bukan kamu yang ia temui, yang nggak ada di saat-saat pentingmu, cuma bisa menghubunginya lewat telepon, nggak ada di saat kamu butuh, dan kehidupanmu cuma berputar untuk menunggu waktu kalian bertemu kembali? Kedengarannya mustahil dan sangat menyedihkan."

"Mungkin kalau mereka benar-benar berkomitmen dan nggak pesimis akan ada jalan ke luar."

Dirga mengelap piring-piring. Piring berdenting saat dimasukkan ke rak piring. Pada saat itu, sikutnya mengenai lenganku lagi. Kuelus bekasnya yang tidak sakit tapi menyebalkan.

"Lebih baik mereka berhenti saat hubungan mereka masih baik-baik saja daripada putus setelah saling menyumpah karena nggak bisa saling memahami," kataku dengan nada tajam.

"Seperti yang dilakukan pasangan yang bercerai?" Dia mencoba bercanda. Kutanggapi dengan muka tertekuk-tekuk, dia jadi bingung. "Kenapa? Apa ucapanku nggak sopan?"

"Iya. Sama sekali nggak lucu," ketusku.

Kugosok kuat-kuat mug keramik sampai ke dasarnya, entah sudah berapa kali. Dia mencoba membaca wajahku.

"Apa ada yang salah? Kamu kelihatan marah."

"Aku nggak marah," jawabku, agak membentak.

"Kamu kelihatan marah." Dia memberitahuku. "Aku nggak mengerti kenapa kamu marah."

Aku juga tidak mengerti kenapa aku marah. Apa untungnya kami memperdebatkan masalah orang lain yang penyelesaiannya telah tuntas berbulan-bulan lalu, dan membuat emosiku tambah buruk?

Ah, benar. Aku marah karena tidak bisa berhenti membayangkan apa yang terjadi antara Dirga dan Fabiola di dapur tadi.

Sambil memberengut, aku berkata, "Siapa Secret Santa-mu?"

Dia mengatupkan mulutnya.

"Apa aku?" Aku meneliti reaksinya. "Atau Fabiola?" Dia masih bergeming. "Karena itu kamu membiarkannya memeluk lenganmu, membantunya di dapur, dan menggodamu?" Apa kamu menikmatinya?

Menyebalkannya, yang dikatakan Dirga setelah aku memberinya jeda untuk memikirkan kata-kataku adalah, "Dia nggak mendekatiku. Itu cuma kebiasaannya dari kecil. Kamu ingat, dia sering menggelitiki lehermu dulu karena kamu gampang geli. Dia cuma suka menggoda."

"Itu yang terjadi waktu kecil, tapi sekarang berbeda. Dia jelas-jelas menyukaimu."

Dirga bisa menolak mentah-mentah Maria di atap waktu itu, dan kenapa sekarang semudah membaca sikap gatal Fabiola, ia tidak bisa?

"Atau kamu menyukai Fabiola, makanya kamu membiarkannya?"

"Astaga, dia cuma teman! Kenapa kamu memikirkan ini terlalu jauh?"

Aku menggigit bawah bibirku, menahan untuk tidak mengungkapkan yang lebih tapi ujung bibirku gemetaran.

"Kamu nggak boleh bersikap baik dan perhatian sama semua wanita, bisa jadi mereka mengambil hati. Mereka bisa menangkap sinyal yang salah darimu."

Seperti aku. Dan aku berharap aku berbeda.

Jantungku berdebar dan aku kembali pada piring-piringku yang hampir semuanya sudah dicuci. Kugosok sendok-garpu yang tertinggal untuk kedua atau ketiga kalinya-aku tidak ingat. Aku takut dia sadar aku sedang membicarakan diriku. Pembicaraan kami benar-benar melebar kemana-mana.

"Kamu cemburu?" tanyanya agak tercengang.

"Nggak!" sahutku cepat. Tapi lubang hidungku kembang-kempis.

"Kelihatannya, iya." Dirga terbahak. "Jadi, karena ini daritadi kamu marah-marah soal Kak Nara?"

Kuputar otak dan beralasan, "Aku marah karena tanganmu menyenggol lenganku terus!" Lalu memegang bekas senggolannya di lengan yang tidak sakit.

Dirga mendekatkan wajahnya, dan jantungku menggila secepat kecepatan burung pelatuk mematuk batang pohon.

"Mukamu merah," ucapnya.

Jariku menyentuh pipi yang terasa sehangat pipi pada umumnya. Dirga menyengir lebih lebar. Saat itulah, aku tahu aku sedang dipermainkan. Kupercikan air keran padanya sebagai pembalasan, dan dia mendapat hadiah tambahan busa putih menempel di rambutnya.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top