25. Reconcile
Jam digital di dashboard menunjuk pukul 20:30 malam ketika mobil kami melintasi ruas-ruas kota yang sunyi.
Kusandarkan kepala pada kaca yang setengah terbuka, mengekspos bagian dahiku ke atas pada tiupan angin malam yang dingin. Anak-anak rambutku menari-nari mengikuti arah angin berembus.
Ada banyak yang harus kuhadapi setelah ini. Omelan mama, ada rencana balas dendam Maya pada Maria, Clara dan antek-anteknya-yang Maya percaya bertanggung jawab atas rumor yang tersebar, ada kuis kelas Bahasa Inggris, penentuan jurusan IPA/IPS, ujian akhir semester, dan kuliah, dan masa depan.
Namun, entah mengapa, seluruh anggota badanku ingin rileks selama perjalanan pulang. Di waktu ini aku ingin menikmati momen ini: pendar lampu oranye menghampar di sepanjang jalan, pohon-pohon berjajar berkelebat mundur di jendela, pekikan klakson pengemudi tak sabaran karena Maya berkendara di bawah kecepatan 20 km/jam, badanku yang diayun-ayun karenanya, lagu Wonderful World milik Sam Cooke di radio disetel dalam volume rendah, bau rokok tipis-tipis bercampur parfum wangi vanilla di seluruh mobil Ignis ini, dan udara kemenangan tercium ketika menarik napas bercampur partikel debu halus.
Seolah-olah aku berada dalam ruang dan waktu terpisah dengan dunia. Tidak ada masa depan yang perlu dikhawatirkan. Tidak ada bayang masa lalu yang mengikuti. Atau bahkan, khawatir lintasan jalan lurus di depan kami akan habis. Kami adalah bajak laut yang mengarungi lautan bebas untuk mengejar harta karun emas di pulau-pulau tak berpenghuni.
Selamanya tinggal dalam waktu ini, itu harapanku.
Namun, kata 'selamanya' berlaku dalam perjalanan ini, hanya berlangsung tujuh menit. Kami tiba di depan rumah Maya.
"Makasih buat hari ini," kata Maya kepadaku dan Dirga ketika kami turun dari mobil.
Garis-garis bekas air mata masih membasahi pipinya. Usai dia menonton hasil rekaman yang Dirga rekam diam-diam saat kami berhadapan dengan Rangga-videonya melibatkan banyak krasak-krusuk, kamera goyang, juga bisik-bisik warga tempat Dirga menyelip dalam kerumunan-Maya menunjuk Rangga yang merengek dipukul sendal oleh ibunya dan mencelanya, "Dia menangis seperti bayi." Ia cekikikan keras. Sebelum segaris air mata meluncur jatuh ke pipinya, tak terbendung.
Walau menyakitkan, perpisahan tetap tidaklah mudah.
Maya menghapus bekas-bekas air mata, dan untuk pertama kalinya dalam hari ini mengembangkan senyum tulus, "Kalian mengesalkan, jahat, dan berguna," pujinya.
"Itu padanan kata yang aneh," balas Dirga disambut kekehan kecil ceria dari Maya.
Dirga menyodorkan kunci mobil papanya Maya. Hari ini, Maya berhasil membuktikan dirinya sebagai pengemudi yang cukup 'aman' walau tidak berlisensi, kami bisa sampai dengan selamat di rumah, kecuali mobilnya yang mungkin mengidap trauma karena berkali-kali hampir menabrak dinding karena Maya tidak bisa parkir mobil. Kondisinya menjadi semakin tidak memungkinkan setelah Maya tersedu menonton videonya Rangga. Atau, tertawa. Dia melakukan keduanya.
Jadi, Dirga menggantikannya memarkir mobil. (yang adalah aneh, aku tidak tahu Dirga bisa mengemudi)
"Apa menurutmu Maya akan baik-baik saja?" tanyaku setelah mengantar Maya masuk rumah.
Aku jadi sedikit menyesal menolak tawaran Maya menginap di rumahnya. Dia pasti kesepian, tapi dengan aku berada di rumahnya, kami akan cerita sampai larut malam. Lalu, ketika aku tertidur di sampingnya, bagian otak yang terjaga memutar kenangan masa lalu, membuatnya semakin kepikiran dan tambah sedih. Tidur cepat dengan badan lelah, lebih baik.
Dirga menggantungkan helmnya di spion motor. Hendak memindahkannya dari halaman rumah Maya selepas mengantarku pulang. Kaki-kaki kami mengikuti jalan setapak menuju pagar.
Dirga menggeleng. "Dia sudah terluka, tapi tentu ada banyak kenangan baik selama lima bulan mereka sama-sama. Itulah yang membuat hubungan mereka bertahan sampai sekarang. Itu juga yang membuatnya lebih sengsara berpisah."
Dirga membukakanku pintu pagar. Aku masuk ke sana. Derit gesekan engsel besi berbunyi.
"Perpisahan memang menyebalkan," desahku. "Padahal butuh usaha banyak membuka hati pada seseorang, tapi dengan mudahnya perpisahan mengambilnya kembali. Meninggalkan luka, kenangan, patah hati. Disuruh belajar mencintai lagi. Itu, tragis."
"Kita nggak bisa memilih gimana hubungan berakhir. Kalau kita mempersilakan seseorang masuk dalam kehidupan kita, kita juga harus siap sama masalah yang dia bawa. Karena setiap orang berbeda, dan semua yang berbeda perlu waktu penyesuaian."
"Mereka pasangan yang manis," aku terbayang betapa senangnya Maya sore itu di rumahku ketika dia datang memberi kabar sudah ditembak Kak Rangga, dia memelukku, kami bersahutan memekik sambil loncat-loncat, "setelah semua ini, mereka bahkan nggak bisa jadi teman. Apa memang hubungan mereka harus berakhir seburuk ini?"
"Untuk membuat anak kecil sadar nggak boleh lari sembarangan, mereka butuh pengalaman jatuh. Nantinya, kalau Maya melihat ini semua dengan kepala jernih, dia tahu sejak awal mereka memang nggak cocok."
Aku menoleh pada Dirga. Dia sedang menerawang ke pohon di belakangku, entah sedang mengamati mangga matang yang terbungkus plastik tergantung di batangnya, atau mungkin berniat mengusirku masuk rumah. Kami cukup lama berdiri di depan pagar rumah. Ruang tamu rumahku masih menyala.
"Ternyata, kamu memang menyebalkan," desahku.
Kedua alis tebal itu bertemu, kerutan muncul di pangkal hidungnya.
"Kamu menganalisa semuanya pakai logika, nggak bisa memikirkan perasaan orang yang mengalaminya. Apa karena itu, sampai sekarang kamu nggak pernah punya pacar?" Aku mengakhirinya dengan tawa mengejek, benar-benar hanya menganggap itu lelucon.
Namun, agaknya Dirga tidak memandang begitu. Dia memandangku lama seolah berusaha mengatakan apa yang ada dalam pikirannya tanpa berucap. Kebetulan aku tidak punya telepati, jadi aku tidak mengerti maksud sikapnya dan malah keki. Setelah lewat lima detik dengan jantung bergejolak, aku menghindari tatapannya.
"Cuma belum ketemu saja. Tapi kalau dikasih kesempatan sekarang, aku mau coba memahami dia," jawabnya.
Kata-katanya yang rancu membuat kepalaku refleks menoleh. Kami bersitatap. Tidak cukup tiga detik sebelum ia memisahkan manik mata kami, ia menegakkan kepala dan berdeham pelan.
"Masuklah, sudah malam."
Aku mengangguk. Gerak-gerik selanjutnya, kulakukan di luar kuasaku. Otakku masih belum berpindah dari kalimat yang baru saja ia ucap, dan kenapa dia memakai kata 'sekarang', apa dulu dia tidak pacaran karena belum ketemu yang cocok dan sekarang dia sudah temukan? Dan, yang paling penting, apakah orang itu aku?
Lidahku sudah siap mengucapkan pertanyaan yang telah kususun peringkat prioritasnya, saat segaris cahaya kuning menyorot tempat kami berdiri, agak jauh, tepatnya di ujung sisi kanan jalan. Perlahan-lahan cahaya itu menjadi makin besar dan dekat. Mobil sedan melaju di belakang kami. Angin lembut mengipasi kami saat lewat. Dan, selama itu, aku melihat Dirga menolehkan kepala mengikuti gerak mobil sampai buntut plat mobilnya menghilang. Lalu, mengecek jam tangannya. Ini mungkin sudah waktu papanya pulang.
"Kamu sudah bicara sama papamu?" tanyaku hati-hati. "Gimana?"
"Sudah," dia menarik senyum tipis sambil menggeleng, "Dan, berakhir buruk. Waktu aku pulang, Pemilik Rumah menjelaskan kalau wanita itu cuma rekan seprofesinya, dan mereka cuma makan sebagai teman biasa. Nggak ada hubungan spesial. Tapi, dari apa yang kulihat, aku ragu itu benar."
Aku menggigit bagian dalam bibir bawahku. "Kalau itu benar, kamu nggak apa-apa?"
Pertanyaanku agaknya membangunkannya, pupilnya melebar ketika ia menatapku, lalu beralih kepada aspal. Bahunya bergerak naik-turun seakan mencoba mengucapkan sesuatu.
"Aku bahkan nggak tahu apa boleh merasa apa-apa." Dia menelan ludahnya sebelum bicara, "Kami selalu memunggungi kehidupan masing-masing. Dia memberiku uang jajan dan tempat tinggal. Aku cuma ada saja di rumahnya."
"Kayak ..., Pemilik Rumah dan Penyewa?"
"Ya, semacam itu."
Aku menyatukan kedua alis. "Kalian keluarga. Bukan Penyewa, atau Pemilik Rumah. Kamu boleh merasa apa-apa kalau kamu keberatan ada orang yang mau masuk dalam keluargamu."
Dirga melipat tangannya di depan dada. "Jadi, menurutmu, aku boleh melarang papa berhubungan sama orang lain, karena aku anaknya? Walaupun, itu mungkin akan membuat hubungan kami tambah buruk?"
"Maybe." Aku mengambil jeda, tidak mau menggurui, tapi tatapan Dirga menuntutku. "Ada konsekuensi dari setiap keputusan. Semuanya tergantung mana yang menurutmu lebih penting. Karena kamu dan papamu berhak bahagia."
"Dia, menemukan kebahagiaannya dengan mencari pengganti mama."
Aku menyesal mengangkat topik ini, padahal sepanjang hari ini aku mulai melihat Dirga yang kukenal. "Dir, aku yakin-"
"Kita harus sering minum-minum sama-sama." Suara berat agak kebapakan yang dibunyikan santai itu terdengar di suatu tempat, derap kaki sepatu pantofel menyertainya.
Setiap inci tubuhku mengenali suara itu selayaknya aku mengenali punggung tanganku. Tubuhku cepat bereaksi dengan menarik lengan seragam Dirga, menyeret cowok itu masuk ke pagar rumah Maya yang terbuka.
Kami sembunyi di semak-semak, di bawah pohon samping pagar.
"Ngapain kita di sini?" Dirga berbisik.
"Sstt!"
Aku mengintip dari sela-sela jeruji pagar besi, melihat dua sosok jalan bersisian. Satu dengan tas kantornya, dan satunya membawa kantung plastik. Itu Papa dan Om Tara.
"Kita keluar saja," bujuk Dirga tepat di telingaku.
Aku mengambil jarak darinya karena embusan napasnya membuatku geli. Tidak bisa terlalu jauh, karena posisi kami berjongkok, mepet ke pohon. Lutut dan bahu kami saling bersentuhan. Udara malam jadi terasa pengap.
Aku berbisik, "Aku masih jadi tahanan rumah jadi nggak boleh pulang malam. Harusnya, aku pulang membawa satu rak telur, tapi itu sudah nggak ada. Kalau aku ketahuan papa dan mama pulang nggak bawa apa-apa, aku pasti dimarahi."
"Biar aku jelaskan semuanya ke Tante."
"Dengan bilang kita melempar telur ke mobil orang?"
"Mungkin, kita bisa bilang alasan kenapa mobil orang itu pantas dilempari telur."
"Itu sama saja bunuh diri!"
Dirga membuka-menutup mulutnya, akhirnya memilih menurut dengan wajah memberengut. Aku meninggalkannya dan kembali dalam pengintaianku. Apa yang Om Tara dan Papa bicarakan sampai selama itu di depan pagar rumah kami?
"Bagaimana hubunganmu dengan Lami?" tanya Papa. Membuat hadirin tidak diundang ini, merasakan semut-semut tak kasat mata mendaki naik ke punggung memakai kaki-kaki kecilnya. Tanpa mengecek, aku yakin Dirga juga ikut memasang telinga.
Om Tara menundukkan kepala, dia menyuging senyum yang kukira dipaksakan. "Tidak berjalan lancar. Aku menolaknya."
Mata papa melebar selebar mataku. Kabar ini benar-benar di luar dugaan. Alih-alih, merasa kasihan hubungan temannya kandas, papa mengulas senyum maklum.
"Aku kira setelah cukup lama berhubungan, kalian jadi tambah dekat. Kayaknya Lami harus menunggu jodohnya lebih lama."
"Dia wanita yang baik, dia bisa mendapat pria lajang yang baik."
Papa mengamati wajah Om Tara. "Masih kepikiran mamanya Dirga?"
Tangan Om Tara berhenti mengusap dasinya yang tidak kusut, aku dapat melihatnya melamun sebentar, sebelum kepalanya mengangguk ragu.
"Sudah lima tahun dia pergi, tapi rasanya semua masih sama." Dia menatap tas briefcase-nya sekilas. "Aku masih ingat jelas omelannya menyuruhku nggak meninggalkan tas di sofa atau tidak menumpuk piring di bak cuci. Aneh, setelah bertahun-tahun mengalaminya, aku jadi rindu diomeli."
"Aku mengerti perasaan itu. Seperti, kaos kaki bolong yang bertahun-tahun dipakai, saat pakai yang baru, kamu merasa jempol kakimu tidak bebas." Papa melipat tangannya di dada. "Kadang-kadang, aku juga merindukannya kalau mamanya Nara pulang kampung. Tiap kali keluar rumah, aku seakan bisa mendengar bayangannya teriak di telingaku untuk mengecek kompor."
"Omelannya memang menyebalkan, tapi bisa bikin rindu juga."
"Semua yang berbeda memang butuh waktu penyesuaian."
Siulan angin terdengar pelan. Deru-deru kendaraan di kejauhan berbunyi lirih. Nampaknya percakapan mereka telah usai. Aku bisa melihat tangan papa sedang memegang pagar. Namun, Om Tara tetap di tempat, menundukkan kepada dengan bahu turun seolah-olah kalah berperang. Asupan alkohol tampak menguasainya, semburat merah muncul di pipi kecoklatannya yang berminyak terpancar sinar lampu.
"Sayangnya, waktu dia masih hidup, aku tidak memperlakukannya dengan baik." Suaranya lalu hilang timbul. "Aku terlalu sering bekerja, terlalu sering marah-marah, terlalu sering menyulitkannya dengan omelan ketidakpuasaanku di kantor, pulang dalam keadaan mabuk. Padahal dia sendiri capek mengurusi Dirga yang masih kecil sendirian. Aku, suami dan ayah yang buruk."
Papa memiringkan badannya menghadap om Tara. "Kamu sudah merawat Dirga sampai sekarang."
"Dirga merawat dirinya sendiri. Dia selalu begitu. Menjadi anak baik pada papa dan mamanya. Walaupun aku tidak pantas untuk itu."
"Hei. Kamu terlalu berlebihan."
Om Tara menggeleng. "Masa lalu mungkin tidak bisa diubah, begitu juga sama kebenarannya. Sejak kepergian Derilla, Dirga terus-terusan menyalahkan dirinya. Kamu pernah kuberitahukan kan, gimana Derilla kecelakaan?"
Papa terdiam, melamunkan apa pun dalam benaknya, yang sudah kuketahui peristiwa lengkapnya seperti apa. Diam-diam, kulirik Dirga. Merasa tidak enak menempatkannya terjebak dalam posisi ini, pembicaraan ini terlalu intim untuk didengar siapa pun. Dia menyandarkan kepalanya di dinding dengan lelah.
Papa tampak ragu menjawab, "Iya. Kecelakaan itu terjadi karena supir truk mengemudi dalam keadaan mengantuk, bukan karena dia mengejar Dirga."
"Tapi tampaknya Dirga tidak berpikiran begitu," katanya. "Dia terus menyalahkan dirinya. Berandai kalau saja dia tidak kabur malam itu, kejadian itu tidak akan menimpa mamanya."
"Anak itu tidak salah apa-apa," desah papa mengiba.
Om Tara mengangguk. "Aku sudah kehilangan Derilla, aku tidak mau kehilangan Dirga juga. Jadi, daripada melihat anak itu terpuruk, kupikir dengan jauh dari Derilla dia bisa memulihkan luka hatinya." Om Tara mengeluarkan senyum pilu. "Rupanya, aku salah. Dia jadi tambah membenciku."
"Kamu melakukan apa yang bisa kamu lakukan untuk melindungi anakmu."
Om Tara menggeleng. "Kupikir, itu benar. Kupikir, itu kulakukan untuknya. Tapi, ternyata berada dalam rumah tanpa Derilla itu benar-benar aneh. Semua yang berhubungan dengan Derilla selalu mengingatkanku tentang kenangan bersamanya dan berada di rumah itu terasa sesak.
"Karena tidak sanggup, aku melampiaskannya dengan bekerja, dan bekerja. Rupanya, itu malah menjauhkanku lagi dari keluargaku."
Suara om Tara yang serak dan berat berubah sengau. Walau terlalu jauh untuk melihat, aku menduganya sedang menahan tangis. Dia menangkup wajahnya dengan tangan.
"Bagaimana caranya aku bisa mengembalikan keluargaku seperti semula tanpa Derilla? Dia sudah nggak ada."
Papa memegang pundak Om Tara yang hari itu tampak lebih kurus. "Hei, kamu kepala keluarga. Tegakkan kepalamu."
Pria itu menegakkan kepalanya, dalam sekali napas kepalanya kembali tertunduk. Kali itu, aku tahu sekali itu bukan karena alkohol. Itu adalah sikapnya yang sebenarnya.
"Nathan, apa yang kamu lakukan kalau kamu merindukan orang tuamu?"
Papa menjejalkan tangannya di saku celana. Tatapannya menerawang pada dinding rumah seberang yang catnya mengelupas. Seolah dalam rengatnya dia menemukan terowongan kembali ke masa lalu.
"Aku, mengingatnya," jawabnya.
Ada waktu-waktu yang membuatmu merasa seperti berjalan sendirian dalam terowongan gelap tak berujung. Di dalamnya, kamu terbayang, pada hal-hal yang kamu lupakan, hal-hal yang tidak kamu anggap, kegagalan, dan kesempatan yang tidak kamu ambil. Pada akhirnya, tujuanmu keluar dari lorong adalah untuk mengejar kesalahan-kesalahanmu yang lalu.
Hati-hati. Mengejar sesuatu sering membuatmu lupa sama apa yang selama ini kamu pegang.
Bahwa, dalam terowongan gelap itu kamu tidak sendiri.
Kamu selalu punya keluarga. Seberapa payahnya kamu. Seberapa letih kakimu berjalan.
Ketika dia yang setia ada di sampingmu, tidak lagi hadir di sana. Kakimu terasa timpang.
Tidak apa-apa untuk berhenti. Menangis sampai kamu tidak mengenal suaramu sendiri.
Karena pada akhirnya, yang ditinggalkan orang-orang pergi, hanyalah kenangan pernah saling memiliki.
Kuamati Dirga yang membisu. Ia tidak baik-baik saja, tampak dari air matanya yang berlinang. Kusandarkan kepalanya ke bahu, sebelah tanganku melingkari punggungnya, menepuk lengannya lembut dalam tempo lambat. Awalnya, badannya menegang, namun perlahan-lahan pundaknya turun dan membiarkan dirinya bersandar di bahuku. Mengungkapkan sisi lemah dirinya, seutuhnya.
****
Kunyalakan keran air mengisi baskom, menggosok perlahan setiap helai daun selada. Mulai dari sisi depan ke belakangnya. Mama memotong cabai merah besar di talenan kayu, di belakangku. Suara tuk tuk terdengar saat dia mengiris.
"Periksa bagian batangnya, Nola. Jangan sampai ada kotoran atau tanah," perintah mama.
Sembunyi-sembunyi kuputar bola mata, lalu meneliti bagian batang selada sesuai perintah Kanjeng Ratu Mama. Kak Nara seperti biasa, duduk di sofa bersama ayah. Sebelah kakinya dilipat di atas sofa, membaringkan bukunya yang terbuka, sedang matanya tertuju ke TV.
Aku sudah terlalu lelah mengeluhkan keadilan dunia persaudaraan ini dan mulai menerima nasib sebagai anak garis miring babu.
"Keluarga pasien melaporkan dokter jantung dari Rumah Sakit Ciputat ke polisi. Dokter diduga malpraktik dan mengakibatkan kakaknya meninggal dalam operasi pemasangan ring jantung. Berikut penjelasannya."
Papa merentangkan tangannya di sofa sambil berkomentar, "Kejadian seperti ini yang membuat orang-orang jadi takut melakukan operasi. Dokter-dokter itu selalu bilang kalau operasi itu pasti aman dan keluarga pasien cuma bisa percaya padanya. Risiko operasi pasti ada, tapi kalau dokter yang menanganinya ternyata tidak kompeten, wah bahaya. Aku tidak bisa membayangkan perasaan keluarganya. Untung saja, Mbak Farah ditangani dokter yang baik."
"Sayangnya, nggak ditangani pembantu rumah tangga yang baik. Wulan hampir membuat kita semua jantungan karena salah memberi informasi," tambah Kak Nara.
"Yang sudah berlalu, biar saja berlalu." Papa menunjuk bahu Kak Nara dengan remote TV. "Yang harus kamu perhatikan adalah belajar baik-baik supaya masa depanmu nggak seperti dokter ceroboh di rumah sakit Ciputat itu."
"Aku bukan orang ceroboh, Pa." Kak Nara mengusap bekas senggolan di lengannya, risih.
Papa tersenyum kebapakan, tangannya hampir mengacak rambut anaknya jika tidak terusik pekikan, "Aw!" bersumber dari belakangku.
Pisau tergolek di telaten. Mama mengisap jari telunjuknya yang teriris. Aku bergegas mendekatinya, ingin melihat seberapa besar luka. Namun, papa menyelipku. Ia melesat dari sofa.
"Kamu nggak apa-apa?" sambar papa, sambil mengeluarkan jari telunjuk istrinya dari mulut dan mengamati darah segar mengalir keluar dari luka iris yang memanjang selebar dua ruas jari.
Papa menarik tangan mama ke wastafel, membasuh lukanya dalam air mengalir.
Ketika seseorang yang kamu sayangi merasa sakit atau telah pergi, dan merasa kakimu timpang, kamu kira kamu tidak dapat menanggungnya karena kamu masih muda.
Kamu kira, ketika dewasa, kamu akan berbeda. Orang dewasa selalu tampak tegar. Seolah sudah pengaturannya seperti itu.
Kak Nara datang membawa kotak P3K yang kami simpan di loket atas mesin cuci. Kakinya mematung di pintu masuk, melongo pada sesuatu yang terjadi di depan. Aku mengikuti arah tatapan Kak Nara, berujung ke tempat mama berdiri.
Rintik-rintik air keran mengalir deras. Air menciprat sebutir-butir ke bajunya, menyentuh lengan baju seperempatnya, namun aku yakin jangkauannya terlalu tinggi untuk wajah. Air mata membasahi wajah mama. Garis senyumnya makin nampak jelas saat dia terisak. Hidungnya kembang kempis setiap kali dia menarik ingus. Bahunya bergetar.
Mama menangis.
Papa membuka tangannya bersiap menangkap tubuh mama saat ia jatuh terduduk di lantai. Mama mengepalkan jari-jarinya yang kurus, memukul-mukul dadanya seolah oksigen di sekelilingnya tidak cukup mengisi paru-parunya.
"Aku tidak baik-baik saja .... Sakit .... Sakit ....," isaknya.
"Kena dada?" Tanganku hendak menghentikan tangan Mama yang memukul-mukul dada, tapi Papa menghalanginya dan menggelengkan kepala.
Selama keheningan itu, kami sama-sama tahu rasasakit yang disebabkan telunjuk teriris tidak lebih buruk dari sengatan semut.Ada sakit yang lebih besar dari itu yang dalam-dalam ia pendam setelah sekianlama.
Ketika seseorang yang kamu sayangi merasa sakit atau telah pergi, dan merasa kakimu timpang, kamu kira kamu tidak dapat menanggungnya karena kamu masih muda. Sebenarnya, semua rasa sakitmu sama banyaknya dengan orang dewasa. Mereka hanya pandai menyimpan semuanya rapat-rapat.
Kesedihan yang tidak diselami, tidak mati oleh waktu. Ia akan tetap di sana. Menggumpal bersama perasaan-perasaan buruk dan khawatir, bertumbuh besar menjadi bola perasaan, hingga kapasitasnya melebihi ruang hatimu. Menunggu gilirannya untuk meledak.
Mama selama ini menahan semua kesedihannya. Menghadapi kekhawatiran akan kehilangan kakaknya sendirian. Berlindung dibalik topeng orang dewasa. Sama halnya topeng yang dipakai Om Tara saatkehilangan ibunya Dirga. Padahal lebih mudah untuk melepas topengnyasekali-kali agar orang-orang yang menyayanginya tahu dia juga merasa samakacaunya, lalu mereka bisa menangis bersama-sama.
Papa merengkuh Mama dalam pelukan. Mama membalas pelukannya, menangis tersedu di pundak papa.
Sedewasanya seseorang, mereka butuh merayakan kehilangan dengan peluk dan tangis di hari-hari kehilangan.
****
Awalnya, aku bertekad menulis dua bab minggu ini tapi karena kendala kesehatan, jadinya aku cuma bisa menulis satu bab dan agak kewalahan 😥
Aku akan coba lebih mengatur waktu dan memperhatikan kesehatan, supaya bisa menyampaikan cerita dengan lebih baik lagi.
Kalian juga jaga kesehatan ya, hindari begadang (kayak aku haha). I hope you are staying safe & healthy.
Maaf buat part yang sangat panjang ini, dan masih belum sempurna. Silakan memberi kritik kalau ada, dan kalau suka, jangan lupa klik vote ya 🥰
Makasih !
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top