21. Dirty Little Secret

"Sudah lega?"

Bocah laki-laki yang berjongkok di sampingku mengintip dibalik tangan terlipat di atas lutut. Cuma sebentar, sebelum kembali menidurkan kepala di lengan dan mengusap bekas air matanya.

Awan-awan gelap mengumpul lagi di atas dalam jumlah lebih banyak. Aku memandangnya harap-harap cemas. Kami berjongkok di depan mobil boks. Petugas pindahan tidak lagi mondar-mandir di sana. Perlengkapan rumah sudah dibawa semua dan sepertinya sedang diatur tempatnya di dalam.

"Mau balik?" tanyaku ragu-ragu.

Anak cowok ini terus diam sejak ia selesai menangis. Entah dia malu menangis meraung-raung di depan anak cewek atau diam memang kepribadiannya. Kami baru ketemu beberapa menit lalu dan ini kali pertamaku melihat langsung cowok menangis. Daripada merasa kasihan, aku lebih prihatin pada alasan dibalik semua tangisnya. Membayangkan sesedih apa kehidupannya sebelum ini sampai tangisnya mirip bendungan yang pecah, dan apakah ini kali pertamanya menangis. Rasa-rasanya ia sudah memendam kesedihan cukup lama. Sampai hari ini.

"Ke mana?" Dia menyeka ingus dengan lengan jaketnya-maksudku jaket merahku yang kupinjamkan padanya saat menangis. "Aku tidak punya rumah."

Aku menunjuk rumah di belakang.

"Itu rumah papaku."

Dia masih saja bersikeras rumahnya ada belasan kilometer dari sini.

"Kamu bisa tinggal di rumahku. Aku yakin mama pasti tidak akan keberatan kalau tambah anak cowok satu." Aku meringis saat teringat, "Kakakku galak sih, tapi dia cukup murah hati untuk kasih cemilan."

Dia mendongak, keningnya terlipat-lipat. "Aku anak tunggal dan selamanya berencana tetap seperti itu," tolaknya, keberatan.

Dan itu kali terakhir aku mencoba mengusulkan sesuatu pada cowok bebal ini. Dia tidak punya rumah, tapi setiap kali aku menawarkan ide, cowok ini selalu menolaknya. Maklum, pindah ke lingkungan baru memang selalu tidak mudah. Aku saja selalu deg-degan tiap kenaikan kelas, takut tidak bisa berbaur dengan teman dudukku yang setiap tahun selalu berubah-ubah.

"Kamu merindukan mamamu?"

Dia melamun sebentar, menerawang ke bawah kakinya, tempat aspal berdebu yang kotor. "Kadang-kadang. Aku masih kadang menganggap mama hidup, sampai ada hal yang membuatku sadar, dia sudah nggak ada."

"Apa yang kamu lakukan kalau kamu merindukannya?"

Dia membuka tutup mulutnya, tapi tidak mengeluarkan kata. Membiarkan pertanyaan itu kadaluarsa dengan sendirinya, mengambang di ruang antara kami. Pada saat itu, kurasakan rintik hujan menyentuh kepalaku. Gerimis akhirnya datang.

Kuseret sepeda pink-ku lambat-lambat setelah pamit pulang padanya. Mengintipnya diam-diam, masih ragu meninggalkan. Aku sudah menyuruhnya masuk rumah, tapi dia masih mematung duduk di atas koper. Intensitas hujan makin menjadi-jadi. Kondisinya agak mengkhawatirkan.

"Anak kecil," panggilnya tiba-tiba. Kami baru berpisah setengah meter. "Kamu tahu di mana bukit dekat sini yang punya pohon berbunga kuning?"

****

"Dirga!"

Teriakanku bergema sepanjang jalan, tak cukup lama dikalahkan paduan suara derik sekelompok jangkrik yang berisik. Kudengar sayup-sayup lolongan panjang anjing serigala yang menembus masuk ke gendang telinga dan mengaktifkan seluruh inderaku yang lain lebih tajam, memberi efek merinding dan membuatku mempercepat langkah. Entah nyata atau itu hanya paranoiaku, tidak ada yang tahu pastinya.

Selama setengah jam aku mendaki, satu makhluk pun belum tampak dalam jarak pandanganku yang memang minim dalam kegelapan bukit, kecuali bayanganku yang kuinjak-injak di tanah. Langit di atas mendung, menyembunyikan bintang dan bulan dibalik awan. Lengkaplah sudah.

Kuikuti jalan diterangi cahaya putih dari ponselku, menapaki jalan setapak tak terurus yang banyak ditumbuhi rumput liar sepanjang paha manusia. Tak berani menoleh kemana-mana. Takut sewaktu-waktu menangkap sosok halus mengintip dari balik pohon. Gelapnya malam saja sudah sangat menakutkan. Pencobaan lebih hebat lagi tidak sanggup kutanggung.

Kenapa aku ada di bukit malam-malam ketika sebelumnya tengah kencan di restoran dengan Dirga?

Jawabannya hanya satu.

Dirga.

Setelah kejadian tatap-menatap mencengangkan antara Dirga dan Om Tara, Om Tara mencoba menjelaskan sebisanya. Dirga bersikap defensif karena masih syok. Dia menjatuhkan nampannya, isinya terburai mengerikan di lantai-susu milo mengenai sepatunya dan nasi bertebaran. Tanpa ba bi bu cowok itu berjalan tegas ke pintu keluar.

Kami mengejarnya, menemukan motornya tidak ada di parkiran. Kami mencoba mencari di sekitar. Di sepanjang jalan, sekitaran kompleks rumah kami, rumah Maya, rumahku, dan rumahnya. Cowok itu tidak ada di mana pun. Berkabar pun tidak, aku sudah menelepon Edo dan cowok itu mengaku kali terakhir mereka chatting adalah kemarin. Dirga seakan hilang ditelan bumi.

Sambil menempelkan ponsel ke telinga, Om Tara berpesan, "Pulanglah, Nola. Nanti Om kabari kalau Dirga ketemu." Lalu pergi ke ruang tengah, sepertinya masih berharap Dirga menjawab teleponnya. Aku pun masih berharap, jadi kuperiksa setiap sudut kamarnya. Membuka buku-buku, laci-laci meja, atau di mana pun, mencari setidaknya satu clue yang menyiratkan keberadaan Dirga sekarang.

Kemungkinan itu datang dalam sebuah foto menancap di antara kertas-kertas memo pada papan pengingat. Foto pemandangan langit senja dari atas bukit. Di bawah pohon angsana mekar berbunga kuning, ada tulisan 'pengecualian dari semua yang terburuk'.

Intuisiku mengatakan kalau dia ada di bukit belakang kompleks. Dan benar saja, sosok yang kucari sedang berdiri di bawah pohon angsana, membelakangiku. Kerlap-kerlip pemandangan malam kota menyilaukan terhampar di sana. Kelopak bunga kuning berguguran pertanda musim gugur telah tiba tampak seperti hujan bunga yang tenang.

Lima tahun lalu aku pernah mengunjungi tempat ini. Kali itu bunga angsana bermekaran dan langit semendung sekarang. Dirga mengambil batu runcing dan mengukir sebuah nama di pohon. Aku terus bertanya-tanya siapa itu tapi Dirga terus bungkam.

"Kalau mau kabur, harusnya langsung ke tempat jauh, ke Pacet sana kek. Ini malah milih ke yang dekat." Aku memegang tralis besi dingin, menempati tempat di sebelahnya. Dia menoleh padaku. "Hai," sapaku.

Responnya tidak hangat. Sesuai yang kuduga. Matanya melotot mengamatiku dari atas ke bawah seakan meyakinkan diri kalau sosok di depannya ini bukan hantu.

"Kamu kenapa di sini?" Dia masih tampak kebingungan. "Ini tengah malam, Nola!"

"Aku tahu, makanya aku datang ke sini." Sengaja berkelakar, "Aku ditinggalkan teman kencanku untuk yang kedua kali. Ya mau gimana lagi aku harus menjemputnya."

Kugesek kedua telapak tangan karena mulai merasa kedinginan. Aku meninggalkan jaketku di rumah Dirga karena buru-buru.

Bahuku tiba-tiba merasakan sesuatu yang hangat. Aku menoleh dan mendapati Dirga menyelimutinya dengan jaket kulitnya.

"Dari mana kamu tahu aku di sini?" tanyanya sambil memasukkan tanganku ke saku jaket hati-hati.

"Motormu ada di bawah." Kuraba batang pohon berpermukaan kasar. "Aku ingat dulu kita pernah datang ke sini. Kamu bilang ini tempat favorit mamamu." Mendapatkan dengan mudah ukiran nama 'Derilla Subagio' lalu tersenyum. "Cukup mudah buat aku tahu ini tempatmu kabur."

Harapan agar mamanya selalu bahagia di tempat yang ia sukai, itu yang Dirga jelaskan ketika aku bertanya apa arti ukiran nama itu.

Dirga membuang muka. "Pulanglah. Tante Febri pasti khawatir."

"Mama baik-baik saja di rumah. Dia punya satu anak, satu suami, dan rumah yang nyaman." Kupegang tangannya yang membeku, sudah berapa lama dia ada di sini? "Kamu yang nggak lagi baik-baik."

Dia terpana, hanya untuk sesaat. Ia melepas genggaman tanganku, menunjukkan keengganannya. Ia menoleh ke arah lain.

"Pulanglah," katanya lebih tegas.

"Nggak mau. Kita pulang sama-sama."

"Berhenti keras kepala, Nola. Kamu sudah cukup gila datang kemari malam-malam gini."

"Aku nggak peduli," balasku. "Kamu selalu ada waktu aku dalam masalah, dengan Clara, waktu aku kabur dari rumah. Aku sangat berterima kasih untuk semua itu. Karena itu biarkan aku melakukan hal yang sama sekarang, buat kamu. Sebagai teman."

Dirga mendengkus. Masih enggan memberiku celah, jadi aku meneruskan, "Aku nggak bakal tanya tentang apa pun masalahmu. Itu masalahmu, hakmu buat cerita. Tapi aku mau kamu tahu, apa pun yang terjadi, aku ada di sini. Tepat di sampingmu."

Ia menegakkan kepalanya, mengusap belakang lehernya dengan gusar. Aku tahu betapa keras kepala dan tertutupnya dia, dia akan frustasi kalau ada orang yang tidak mengikuti keinginannya. Kali ini, aku tidak mau menoleransinya.

"Dasar keras kepala," desahnya frustasi.

Aku terkekeh. Menerjemahkan kata-kata itu sebagai sepercik harapan untuknya membuka hati.

Ia menerawang lurus ke depan, pada pemandangan kota. Menyangga sikunya pada tralis besi, lalu hening lama. Aku membiarkannya begitu. Bicara soal personal bukan perkara yang mudah. Sama sulitnya membuka hati pada cinta yang baru.

Setelah kukira dia sedang meredakan emosi atau mengenang masa lalu, dia bicara sambil melamun, "Aku kira aku sudah cukup dewasa, tapi waktu melihat papa kencan sama wanita lain aku kabur."

Dia menyedakkan tawa, getir. "Padahal aku sudah membayangkan kejadian itu berkali-kali di kepala. Aku juga tahu Tante Amel dan mamamu mencoba menjodoh-jodohkan papa beberapa kali. Pas kejadian, aku nggak tahu harus gimana."

Aku tersipu karena mengenali wanita tadi. Dia adalah sepupu Tante Gayatri-teman mama-yang ingin mama jodohkan dengan Om Tara. Aku sempat melihat fotonya saat mama menyuruh papa mengirimkan foto wanita itu pada Om Tara. Dia terlihat muda dan elegan saat memotong steak di sebuah restoran barat yang mahal, mengenakan terusan hitam tanpa lengan, dan tersenyum tipis ke arah kamera.

"Sikapmu nggak kekanak-kanakkan. Papamu gandengan tangan sama wanita yang bukan mamamu. Nggak ada yang normal di sana," balasku.

Dirga menggeleng. "Papaku sudah lama lajang. Nggak ada yang mengherankan dari dia pacaran. Lebih mengherankan lagi kenapa dia belum pernah pacaran? Mama sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Dia nggak pernah ingat mama. Dia punya banyak kesempatan."

"Aku yakin nggak seperti itu, Dir."

"Kamu nggak tahu!" bentaknya. "Bertahun-tahun aku hidup sama papa, dia nggak pernah sekalipun peduli sama mama. Hari kematian, peringatan kelahiran, dia selalu sibuk dengan kerjaannya. Baru tiga hari setelah kematian mama saja, sebelum kuburnya kering, dia langsung memutuskan kami pindah ke sini. Seakan dia sudah lama menunggu datangnya hari itu."

Gurat-guratan merah mulai memenuhi mata putihnya. Dia sejenak diam, mengatur perasaannya.

"Bodohnya, aku selalu pikir dia pasti pura-pura tenang supaya aku nggak sedih. Apanya? Dia cuma merasa bersalah nggak membahagiakan mama semasa dia hidup. Jadi waktu dia sakit, papa pura-pura menjadi suami yang baik, menjadi pasangan setia yang menemani hidup istrinya sampai akhir hayat. Setelah dia meninggal, dia kembali melanjutkan kehidupan mujurnya. Mana peduli sama makam istrinya dikerumuni rumput liar dan terlantar. Mana peduli sama anaknya."

Kurasakan desakan untuk mengucap kalimat penenang, namun semuanya tidak tampak benar. Kuusap lengannya, berharap itu membuatnya lebih tenang.

Dia melanjutkan, "Kamu tahu apa yang terlintas di kepalaku waktu aku melihat papa tadi?" Matanya berkaca-kaca, suaranya agak bindeng. "Daripada rasa benciku sama dia yang bertambah atau takut seseorang mengambil posisi mama, aku lebih takut gimana menghadapi mama nanti. Aku yang merenggut kebahagiaannya."

"Nggak ada yang merenggut kebahagiaan siapa-siapa. Ini sudah takdirnya."

Dia berhenti sejenak, menelan ludah untuk mengendalikan suaranya.

"Aku yang membunuh mama," ucapnya, memanjang menjadi sebentuk garis air mata jatuh ke pipi. Agak mengejutkan, tapi tidak semengejutkan ucapan pelan mirip bisikan barusan.

Dirga mungkin sedang diliputi emosi makanya dia mulai berkhayal yang tidak-tidak, itu tangkapan paling masuk akalku menyikapi momen ini. Aku tahu fakta-fakta tentang kematian mamanya Dirga dari papaku. Tidak ada yang seperti dia sebutkan.

"Mamamu meninggal karena kecelakaan mobil," ucapku setenang mungkin.

Tak diduga, cowok itu terbahak. Setelah berurai air mata, sekarang dia tertawa. Aku benar-benar bisa memungut batu besar di bawah dan melemparinya kalau-kalau ternyata dia kerasukan.

"Itu yang mereka bilang? Payah sekali. Mana mungkin mama tertabrak begitu saja di jalanan depan rumah kami?" kekehnya kegelian.

Lagi-lagi, dia membuatku takut. Namun, aku memberanikan diri untuk menanggapi, "Apa maksudmu?"

Ia menyeka kantong matanya dengan ibu jari, mengembuskan napas dan berbicara, "Mamaku meninggal nggak sepenuhnya karena kecelakaan. Dia tipe orang yang nggak akan keluar jalan malam-malam pas hujan tanpa payung. Hari itu dia melakukannya, karena aku. Kalau saja aku tidak kabur dari rumah di malam sialan itu."

Dirga mulai bercerita tentang kehidupan keluarganya dulu yang tidak harmonis, sebagian karena papanya yang workaholic dan selalu tidak ada ketika keluarganya membutuhkannya. Mamanya yang mengurus anaknya sendirian sering dibuatnya kesal. Mereka sering bertengkar, memaki-maki, dan kalau sangat buruk bisa tidak bicara berhari-hari. Pertengkaran terakhir mereka terjadi di malam itu.

Dirga muak dengan semuanya, membentak papanya untuk tidak terus berdalih pada semua kesalahannya dan mulai berkaca diri. Papanya yang sudah tersulut emosi menamparnya. Dirga berlari keluar dari rumah. Tanpa peduli apakah saat itu cuaca hujan lebat atau ke arah mana ia akan pergi. Sejauh-jauhnya pergi dari sana, itulah keputusannya saat berlari.

"Papa mengejarku. Itu membuatku ketakutan dan tidak mau berhenti. Toh, kalau aku kembali aku pasti dimarahi habis-habisan, kenapa aku harus pulang? Aku juga sudah SMP, sudah cukup besar buat mandiri. Daripada terkekang terus di rumah mending kabur. Kemudian, aku mendengar suara tabrakan dari belakang."

Dirga berhenti untuk mengendalikan dirinya. Matanya mulai memerah lagi.

"Orang-orang menghampiri korban. Mereka berbisik-bisik soal 'wanita yang tertabrak' dan itu membuatku tambah takut." Dia diam sejenak, suaranya bindeng. "Aku terlalu takut untuk menoleh. Dan dengan pengecutnya, aku lari dari sana. Besoknya semua orang menyuruhku memakai baju hitam."

Butir-butir air mata berjatuhan dari pelupuk matanya, yang dengan cepat ia usap. Ia menggigit bibirnya, mengumpulkan sisa-sisa kesadaran diri karena tidak ingin tampak payah. Aku memandanginya dengan mata berkaca-kaca.

"Aku nggak tahu kalau mama ikut mengerjarku. Kalau saja ..., kalau saja aku nggak marah hari itu ...." Dia mendesah dalam-dalam. "Kalau saja aku nggak kabur malam-malam .... Kalau saja, aku menoleh sebentar saja untuk melihatnya ...."

Aku menariknya ke dalam pelukan. Isakannya pecah di belakangku. Kesedihan menggelegak hebat menaunginya, tubuhnya bergetar.

"Aku selama ini sangat membenci papa karena perbuatannya pada mama. Kenapa ..., kenapa, aku tega berbuat begitu?"

"Ini bukan salahmu." Kuhapus air mata yang ikut jatuh ke pipiku. "Kamu nggak tahu."

Air mata mengucur deras dari matanya membasahi punggungku. Aku belum pernah melihat Dirga sekacau ini. Dirga yang kukenal adalah sosok dewasa yang dingin. Sekarang, dia menangis. Melihatnya begini, dunia tempatku berpijak rasanya perlahan runtuh.

Dia menyedot ingusnya. "Aku merindukannya, La," gumamnya pelan sekali, pun bagai belah pisau menusuk hatiku. "Tapi dia sudah nggak ada."

Menyayangi seseorang katanya anugerah terindah dari Sang Pencipta. Keberadaannya membuatmu bahagia, perhatiannya membuatmu merasa disayang, memilikinya membuatmu mengerti apa artinya cinta. Jadi kenapa anugerah terindah itu juga bisa menjadi alasan yang sama membuat manusia tersakiti seperti ini?

Kutepuk punggungnya dengan upaya agar dia bisa mengeluarkan kesedihannya segera seperti batuk. Remasan di pinggangku makin mengerat, tangisnya tidak kunjung berhenti.

Pada saat itu, bunga di pohon angsana tinggal sedikit. Kelopak-kelopak bunga yang jatuh pelan dan lembut berguguran jatuh di atas kami, tidak lagi tampak indah.

****

[If you like this story and want to appreciate, click button star on the left corner of your screen to vote ! Atau, add cerita ini ke library kamu supaya jadi yang pertama tahu kalau aku update bab terbaru.
THANK YOU! ❤]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top