18. Me, Him, First Date

I got this feeling on the summer day when you were gone

I crashed my car into the bridge, I watched, I let it burn

I threw your shit into a bag and pushed it down the stairs

I crashed my car into the bridge

"I DON'T CARE, I LUV IT! I DON'T CARE!"

Aku bernyanyi penuh penghayatan di cermin, hair dryer di tangan kugunakan sebagai mic. Aku meloncat-loncat mengikuti alunan lagu disco ber-bass yang kental, berjoget, dan mengibaskan rambutku kiri dan ke kanan. I Love It milik Icona Pop sedang berputar di ponsel.

Kuulas pemerah pipi ke pipiku dengan kuas, menyentak kaki di bawah. "I threw your shit into a bag and pushed it down the stairs. I crashed my car into the bridge."

Tepat saat itu, pintu kamarku yang ternyata tidak tertutup rapat, menjeblak terbuka. Seseorang masuk dengan senyum menyeringai.

"I don't care-EHHHH?!" Kubuang kuas blush ke depan, tepatnya pada Kak Nara di cermin, yang bersandar di pinggir pintu yang terbuka di belakangku. Kuas itu memantul di cermin, dan jatuh ke suatu tempat di lantai.

Kak Nara menyeringai nakal. "Lanjutkan saja, nikmati konser tunggalmu. Anggap aja aku nggak ada."

Kuambil ponselku di atas nakas dan mematikan lagu. "Se-sejak kapan Kakak ada di kamarku?" ucapku gagap.

"Mmm ... kalau diingat-ingat, sejak kamu menari goyang pantat kali ya. Tarian apa tadi? Simpanse ngajak kawin?"

"KAKAK!!!" Seluruh wajahku merah padam.

Kak Nara tertawa keras-keras, menggelegar dan mungkin menggema sampai ke rumah tetangga. Kuseret dia keluar dengan paksa, tidak ingin lebih merasa terhina dibanding sekarang. Namun, untuk ukuran orang yang kena kram perut akibat terlalu banyak tertawa, tenaganya cukup kuat untuk memberatkan badannya tetap berada dalam kamar.

"Nggak aku ledek, nggak aku ledek." Ia mengangkat tangan, membuat gerakan 'aku menyerah'. Aku memicing padanya, meragukan kesepakatan yang ia tawarkan. Pasti besok-besok dia akan mengungkit kejadian ini lagi.

"Nggak usah terlalu malu. Ini lebih mendingan dari keliling kompleks dengan make up Anabelle," hiburnya kemudian, yang dalam telingaku menafsirkannya sebagai ledekan.

Ini cerita tentang aku yang pertama kali belajar di Youtube cara memakai make up. Sudah bisa dibayangkan seamburadul apa, tapi kakakku menenangkanku bilang mukaku cantik sekali. Jadi, aku pede saja jalan keluar rumah, keliling kompleks diikuti tatapan dan kikikan orang-orang yang kulewati. Lalu, satu bocah lugu berteriak ke arahku, "Ma! Ada Anabelle!"

Kenapa sih, semua kakak selalu menyengsarakan adiknya?

"Kamu mau ke mana dandan kayak gitu?" tanya Kak Nara, sudah sepenuhnya dirinya, ia duduk di kasur, mengamatiku di belakang meja rias.

"Kencan."

Matanya membeliak. "Ada yang mau sama kamu? Siapa?"

Aku menoleh padanya, menyipitkan mata tapi baru berselang tiga detik membuang tatapan. Sadar tidak bisa mengaum pada seekor singa.

"Ada deh." Kujepit bulu mataku dengan penjepit. "Mama mana? Sudah pergi rumah sakit?"

"Belum. Dia nggak jadi pergi. Katanya papa sudah cukup mewakili keluarga kita."

"Tapi yang sedang dioperasi sekarang itu kakaknya." Aku memberitahunya.

"Ntah. Mungkin supaya kita nggak tambah khawatir. Mau gimana juga, Tante Farah cukup dekat sama kita." Kak Nara menyipitkan mata. "Rambutmu nggak mau di-curling?"

"Nggak. Aku mau kelihatan natural." Kak Nara berjalan ke sampingku, mengecek penampakkanku lekat-lekat di cermin seperti seorang stylist professional. Dia menyisir rambutku dengan jarinya.

Aku sejenak menimbang-nimbang untuk bicara. "Kakak nggak ngerasa mama agak aneh? Hubungan Tante Farah sama mama kan dekat banget, tapi pas dapat kabar Tante Farah meninggal, mama sama sekali nggak nangis."

"Mungkin dia cuma berkepala dingin. Banyak kan, kasus telepon penipuan kayak gitu, mengabari kabar buruk terjadi sama anggota keluarga terus ujung-ujungnya minta transfer uang. Mama cuma mau semua pasti dulu, baru lanjutannya dia pikirkan nanti."

"Begitu?"

Mama memang tipe orang yang susah mengungkapkan perasaan. Aku belum pernah melihatnya menangis, bahkan pas nonton The Pursuit of Happiness sekalipun. Tapi, ini lebih serius. Tiba-tiba saja, saudaranya yang sakit jantung yang sehari-harinya mengosumsi obat saja, dinyatakan dokter mengalami penyempitan pembuluh darah dan harus segera dioperasi. Kabar yang begitu mendadak, diterima langsung oleh mama dengan lapang dada. Dia bahkan bersiul saat mengurus laundry-nya pagi ini.

Kak Nara memegang rambutku. "Buat ombak besar kayaknya cantik."

"Lebay, ih! Kayak ke kondangan saja!"

"Kencan pertama memang harus dandan ekstra. Itu wajar. Mukamu juga, jangan bedakan saja, pakai blush kek, atau lipstick."

Kupandangi dia dengan tatapan, "sudah kupakai semua masa nggak kelihatan?"

"Ngapain tatap-tatapan? Pakai lipstick, noh!" Dia memegang pipiku dan menyodorkan lipstick warna peach.

Aku melepaskan tangannya di pipiku. "Kemeja putih punya Kakak sudah dicuci? Kupinjam buat bentar, ya? Oh! Sama jeans robek-robeknya juga!"

"Langkahi dulu mayatku!"

Aku terus mencerocos, "Sekalian tas CK warna biru dongker. Kayaknya cocok dipasangin. Sneaker putih di rak sepatu boleh kupakai, kan?"

"Kamu sebenarnya mau minjem atau merampok, sih?"

****

Siapa pun pencetus ide kencan pertama harus diawali dengan nonton di bioskop, harus mendapat penghargaan Nobel. Pertama, karena kegiatan ini secara universal dilakukan semua orang yang sedang pedekate atau pacaran. Kedua, ini menguntungkan bioskop dan dunia perfilm-an. Ketiga, bisa mencairkan suasana canggung antara dua orang yang mau menjalin hubungan tapi masih malu-malu kucing bicara berdua, dalam waktu dua jam.

Karena ini kencan pertamaku, aku jadi gugup. Kutenangkan diriku dengan bilang berkali-kali, "Nola, ini cuma dia. Nggak ada yang perlu kamu takutkan." Perutku berkata lain, bereaksi berlebihan dan membuatku mual.

Kudorong pintu bioskop lalu mengedarkan pandang ke seluruh ruangan bergaya retro vintage, yang dalam istilah sederhananya, stasiun kereta api luar negeri yang disulap menjadi bioskop. Malam minggu pengunjung sangat banyak, lihat saja antriannya, para pasangan yang duduk menunggu di kursi-kursi yang disediakan, dan segerombolan anak muda berdiri di dekat pintu masuk lorong studio.

Hakku berkelotak menghantam lantai marmer, mengitari bioskop pelan-pelan. Bunyi kelotak berubah melambat saat aku menemukan orang yang kukenal berdiri di depan salah satu pilar dekat loket tiket. Sebelah tangannya dimasukkan di saku jas garis-garis pink neon-hitam-nya, sebelahnya lagi memegang hape yang saat ini ia tatap serius. Kedua alisnya masih menukik ke bawah sampai aku tiba di depannya.

"Sorry, Kak. Jalanan depan agak macet."

Mark mengangkat wajahnya dari hape, agak kaget, tapi setelah beberapa detik dia mengembangkan senyum lebar yang membuatku lega.

"Nunggu lama ya?" selidikku, sungkan.

"Nope. Baru datang juga, kok." Dia mengamatiku sebentar. "Kamu cantik banget, Nola." Dia menyembunyikan senyumnya, yang entah mengapa membuatku tersipu. "Semua bunga di sini pasti iri melihat tokoh utamanya malam ini." Ia membuka telapak tangan, menunjukku dengan sopan.

"Biasa aja, kok, Kak."

Penampilanku memang sedikit heboh. Aku memakai dress merah polkadot selutut, memadukannya dengan jaket jeans cutbray yang khusus Kak Nara pinjamkan untuk hari ini, sneaker putih, dan menggelung rambutku menimbulkan efek ombak besar. Ini tidak seperti aku. Menurut Kak Nara, tampak berbeda dari biasa untuk kencan adalah hal yang baik.

Agaknya cowok di depanku ini menelan bulat-bulat kata-kata itu. Dia memakai jas garis pink neon­-hitam, kemeja putih, dan sesuatu yang agak seperti celana chino. Kemarin aku bilang padanya, untuk tidak tampil berlebihan. Kalau begini tampilan biasa-nya, aku tidak ingin melihat tampilan maksimalnya.

Mark mengajakku membeli popcorn sebelum masuk. Aku tersentuh ketika dia memesan popcorn manis dan segelas cola tanpa kuminta. Dia ingat cemilan kesukaanku, tentu saja dari kuesioner palsu itu.

"Aku boleh tanya sesuatu?" tanyanya ketika kami menunggu popcorn disiapkan. "Kenapa kamu nggak mau aku jemput depan rumah?" Dia tersenyum miris. "Kita kencan tapi berangkat sendiri-sendiri. Nggak enak sama orang tuamu, ngajak anak gadisnya kencan tapi nggak minta izin mereka."

Aku tidak ingin menjawab 'karena aku masih belum yakin mau berhubungan denganmu', jadi kujawab dia dengan nada candaan, "Dari Hayam Wuruk lebih cepat ke Sunrise Mall daripada Tambakagung. Aku juga yakin sudah cukup besar buat ke mana-mana tanpa perlu izin mama."

"Kamu baru setengah tahun lulus SMP." Dia meledekku.

"Kakak juga baru dua tahun lulus SMP." Aku membalikkan ucapannya.

Dia melebarkan matanya, terperangah. "Jadi, selama ini aku masih kecil? Aku kira aku sudah tua. Nggak jadi beli pampers orang dewasa, deh. Apa aku harus memotong celanaku sampai di atas lutut supaya sama dengan celana sekolah SMP?"

"Adanya Kakak malah kelihatan kayak om-om mesum. Pakai jas panjang tapi bawahannya hot pants," ejekku.

Dia membelalakkan mata, pura-pura merasa tersinggung. "Itu nggak mesum, sebutan yang betul itu seksi."

Aku memutar bola mata, dan diam-diam tertawa kecil. Yang membuatku bertahan chatting dengan cowok gombal jijay ini karena orangnya bisa diajak bercanda. Celetukan-celetukannya cerdas dan pas denganku. Rasanya kalau kami tidak dalam pendekatan, kami bisa berteman baik.

Setelah menerima pesanan kami, sempat beradu argumen tentang siapa yang akan membayar cemilan-Mark bersikukuh kalau cowok harus membayar semua biaya kencan pertama-kami berjalan masuk ke pintu Teater 1. Kursi-kursi agak kosong karena ini minggu terakhir Suicide Squad diputar.

"Di sini dingin, ya," katanya, lalu menutup pahaku dengan jaketnya. Kutatapi dia yang sedang memandang lurus ke layar. Aku belum pernah diperlakukan semanis ini dengan lawan jenis, jadi perhatian kecilnya membuatku tersentuh.

"Kakak suka film kayak gini?" Aku memancing percakapan karena merasa tidak tenang duduk berduaan dalam keadaan lampu masih menyala ini. Iklan sedang diputar, orang-orang mengantri naik, mencari kursinya.

"Biasa-biasa saja. Aku lebih suka film romantis kayak The Vow, AADC, The Notebook. Kamu pernah nonton film itu? Ingat adegan terakhir The Notebook waktu Allie akhirnya ingat Noah tua adalah suaminya?"

"Mereka berbaring di kasur, berpegangan tangan sampai pagi dan meninggal seperti itu. Itu tragis dan romantis. Aku menangis di adegan itu."

Aku, Maya dan Dirga, menonton film itu Hari Valentine tahun lalu. Dirga awalnya menolak tegas karena katanya film romansa itu membosankan. Lucunya pada adegan terakhir film, ketika Maya dan aku sudah bertaburan air mata melihat Allie dan Noah perlahan meninggal di kasur, aku melihat Dirga menutup mukanya dengan bantal, diam-diam menangis.

"Seleramu agak melankolis," ungkapku tulus, tanpa maksud mengejek. "Banyak cowok-cowok cuma suka film thriller atau action. Jujur saja itu sedikit membosankan."

"Betul sekali. Film romantis atau drama, mereka terbaik. Emosinya sangat nyata." Matanya menerawang dan bercahaya. "Karena itu, aku ingin sekali bisa merasakan kisah cinta mendebarkan dan tragis, tidak peduli hambatan yang ada atau bagaimana akhir hubungannya nanti."

"Tragis seperti Romeo dan Juliet atau Noah dan Allie?"

"Aku nggak berencana mati cepat, jadi Noah dan Allie."

Aku tersenyum padanya. "Mereka cinta sejati."

"Mereka cinta sejati," gumamnya lebih pelan. Matanya menerawang ke bawah, rautnya tidak sebercahaya tadi.

Kuduga Mark akan berkata-kata puitis penuh gombalan lagi. Dia punya stok kata-kata manis setebal kamus Bahasa Indonesia yang bisa ia comot tiap kali ada kesempatan, sejauh aku mengenalnya. Tapi sekarang, dia hanya duduk diam di bangkunya dan memandang lurus ke layar.

Lampu bioskop meredup, seluruh ruangan perlahan menggelap. Mark permisi untuk menerima telpon penting, mengendap-endap seperti pencuri karena pergerakannya mencuri perhatian semua orang.

Film sebentar lagi mulai. Aku memfokuskan mata dan otak untuk mengingat adegan-adegan penting yang mungkin Mark lewatkan. Bagian-bagian awal film adalah bagian penting untuk kita tahu latar belakang si tokoh dan masalah apa yang mungkin ia hadapi selanjutnya. Clue-clue terbaik selalu ada di awal.

Film sudah berjalan lima belas menit, dan Mark belum datang juga. Kuketik pesan untuk mengecek keadaannya. Hanya menerima centang satu.

"Kamu baik-baik aja, kan?" Pesanku yang kedua kukirimkan. Lagi, centang satu. Ini sangat tidak seperti Mark.

Terpikir olehku untuk menyusulnya keluar, saat kulihat cahaya terang dari sisi kanan bioskop muncul. Seseorang berjalan masuk dari pintu bioskop, mendaki tangga dalam kegelapan. Dari tingginya dan jalannya yang tenang dan tegas, aku sudah tahu orang itu Mark. Kupersiapkan ceramah untuknya karena membuatku khawatir. Aku benar-benar berpikir dia kenapa-kenapa tadi karena dia mengabaikan chat-ku.

"Kamu dari mana aja? Daritadi chatting-ku nggak dibalas. Kamu sudah kelewat setengah film," bisikku pada Mark saat dia mendaratkan pantat di kursi sampingku.

Aku mengamatinya yang agak berbeda. Sejak kapan dia ganti kemeja biru dongker? Kemejanya tadi putih.

Dia menoleh. Mata kami bertemu. Ponsel di tanganku terjatuh ke lantai.

"Aku sudah nonton film ini minggu lalu sama Edo, jadi tenang saja aku masih ingat."

Mata serupa kacang almond yang ujungnya tertarik ke atas melengkung serupa bulan sabit. Senyumnya manis, melelehkan wajahnya yang kental dengan ekspresi dingin. Aku masih menatap tidak percaya ke arah cowok itu saat dia menawarkan kentang goreng miliknya yang masih hangat.

"Dirga?"

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top