17. Counter Attack (II)
"Ma! Dirga bawa piring kotor, mau Nara taruh di mana?" seru Kak Nara di bawah.
Untuk suatu alasan penting, kuhiraukan ketidakcocokkan suara rendah cewek dalam konteks kalimat yang agak kekanakkan, milik Kak Nara. Karena satu alasan ini mengapa gema suara naik dari ubin lantai dapat menghapus kabut-kabut nelangsa yang ke luar dari tubuhku, membuatku tersentak bangkit dan lari ke bawah.
Pada saat aku mengintip lewat dinding pembatas yang menyambung pintu ke luar dan ruang tamu, jantungku berdenyut keras. Itu benar-benar Dirga.
Dia berdiri di depan Kak Nara, sedang menyerahkan tumpukan piring kotor, kutebak mama memberikan dia dan papanya makan malam. Mama selalu memasak lebih jadi dia suka membagi-bagikannya ke tetangga.
"Jangan taruh di meja depan. Bawakan ke dapur, mama lagi cuci piring! Halo, Firda! Gimana keadaan Mbak di rumah sakit? Dia jadi dioperasi lusa?" seru mama, suaranya merembes keluar dari dinding dapur sebelahku.
Tumpukan piring Kak Nara goyang ketika ia terkejut melihatku berdiri di anak tangga terakhir. Ia berdecak, melotot tajam padaku sebelum berjalan melewatiku sambil sebisa mungkin menyeimbangkan piring di tangannya. Lalu, suara pintu depan dibuka terdengar. Berderit, berayun. Dirga sudah keluar rumah, aku harus segera mengejarnya.
"Dir!"
Dirga turun dari teras depan, keningnya berkerut ketika melihatku berlari mengejarnya. Kutelan ludah gugup dan menutup pintu di belakang, supaya tidak ada yang menguping.
"Nola." Ia mengamati penampilanku sejenak, kaos oblong dan cardigan juga celana training bulukku yang mengerikan. "Sendalmu beda warna."
"Ini tren," jawabku asal.
Sebelah kakiku kusembunyikan ke belakang dengan camggung dan mengeratkan cardigan. Harusnya aku menata tampilanku dulu sebelum keluar. Kusisir rambutku yang kusut bekas cepolan, sebagai usaha terakhir untuk terlihat pantas.
"Mau bicara apa?" tanya Dirga.
"Oh iya, itu. Hmm ...." Karena terlalu senang melihatnya, aku datang tanpa persiapan. Pikirkan satu topik menarik, Nola. Basa basi sesuatu.
"Dikasih mama opor ayam?" Aku menunjuk tumpukan piring khayalan yang tadi ada di tangan Dirga. Good work, Nola. Basa-basi barusan sangat hoammm.
"Nggak. Piring kemarin. Hari ini pemilik rumah bawa pulang pizza. Katanya buat merayakan dia dipromosikan."
"OM TARA DIPROMOSIKAN?!"
Dirga menutup sebelah kupingnya, terganggu. "Kagetnya nggak sampai teriak kali. Memangnya se-wow itu papaku naik jabatan?"
Aku merendahkan adrenalinku, menenangkan hati, emosiku lagi tidak stabil.
"Nggak, cocok banget malah. Itu kabar baik banget! Congrats!" Aku menepuk bahunya riang. "Nggak sabar bilang kabar ini ke papaku."
"Ini masih kemungkinan." Dirga memberitahu. "Belum ada keputusan dari direksi, tapi dari tiga kandidat yang dibocorkan jadi kepala cabang, katanya kemungkinan papaku lebih tinggi." Dirga memutar matanya jenaka. "Yah, kalau itu membuatnya nggak sering di rumah buatku sih, kabar baik banget."
Aku memicingkan mata saat dia meniru nada ucapan 'kabar baik banget'-ku. Reaksi yang kukira dia inginkan karena dia menyengir lebar, setengah kuinginkan sekarang agar membuat percakapan kami tetap nyaman. Dia pasti sedih papanya akan lebih sibuk kalau naik jabatan.
Selanjutnya, Dirga tidak bicara apa-apa, aku pun mengikutinya, dengan kikuk. Mengamati pemandangan halaman yang hari itu rumputnya tampak lebih segar dan menarik dilihat daripada masuk dalam rumah. Desingan angin mewakili kami bicara. Malam itu tidak terlalu dingin atau panas untuk memakai cardigan, sejuk, persis seperti cuaca peralihan sebelum musim hujan datang bulan depan.
Tadinya, aku sangat senang ketika akan menemui Dirga, perasaanku seperti lemari sesak yang menunggu seseorang membuka pintunya dan menghujaninya dengan isi lemari. Aku ingin segera mengatakan perasaanku padanya. Sekarang, saat berhadapan dengan Dirga, aku malah terlalu gugup. Pikiranku menumpuk dan melebar ke mana-mana.
Dirga terkekeh. "Kupikir kamu menghindariku." Dia menunduk, menatap lekat mata dan wajahku, berusaha membaca arti rautku. "Ternyata, nggak kan?"
"Menghindar?" Aku mengerutkan kening. "Kenapa kamu berpikir aku begitu?"
"Karena semua sikapmu itu. Mengabaikanku di lorong waktu aku menyapa padahal aku tahu kamu melihatku, mengabaikan chat ajakan siangku, dan pulangnya, waktu Maya ngajak pergi kamu mendadak nggak bisa setelah tahu aku ikut." Dia memasukkan tangannya ke saku celana, mengangkat bahunya yang menegang. "Kamu benar-benar membuatku frustasi, La."
Aku bersandar di dinding, tercengang. Aku memang sempat menghindarinya karena Febby, tapi kesalahanku yang kedua semua karena Mark. Mark mengajakku ke warung pangsit yang berada di sebelah restoran kesayangan Maya. Tapi, aku tidak tahu, Dirga begitu memikirkannya.
"Aku memang melihatmu," akuku. "Tapi kupikir, kamu sedang asyik mengobrol dengan Febby jadi aku nggak mau menganggu." Senyuman menyebalkan milik Febby saat berbisik di telinga Dirga membayang lagi. "Aku nggak tahu kamu dekat sama anggota cheerleader," gumamku getir.
"Sama Febby? Nggak, kami nggak dekat. Cuma kenalan sesama kelas IPA."
Cuma kenalan sesama kelas IPA. Cuma kenalan sesama kelas IPA. Cuma kenalan sesama kelas IPA!
Febby dan Dirga cuma kenalan, Saudara-Saudara! Dipersilakan Bapak Kembang Api menembak kembang api ke langit. Tembak! Mekarlah, mekarlah! Wuhhhhh! Ini kabar terhebat! Beban batu bertumpuk di pundakku rasanya terangkat semua sekarang. Aku perlu Dirga mengatakannya sekali lagi di depan Febby. Recorder. Mana recorder.
"Jadi, kita cuma salah paham?" Cahaya lampu membayangi wajahnya ketika menunduk. "Kupikir kamu menghindariku karena perbuatanku malam itu."
Deg.
Benar. Yang terjadi di malam itu. Kami belum membahasnya. Aku ingat kemarin aku berniat mendatangi Dirga untuk bertanya soal itu, tapi aku lupa. Bayangan apa yang terjadi di malam Dirga sakit, ketika kami di kamar, kembali berputar di kepalaku. Lengkap dengan tambahan musik mengentak dan penerangan lampu kuning remang-remang yang lebih dramatis.
Dia hampir menciumku, dan bukan aku satu-satunya yang beranggapan begitu.
"Kita lupain semua yang kita lakukan malam itu," katanya.
Napas di sekelilingku layaknya hilang dan menekan paru-paruku mengempis.
"Itu kesalahan. Aku selalu sendirian tiap sakit, lalu tiba-tiba kamu datang dengan sangat perhatian, dan aku luluh. Kita cuma terbawa suasana, jadi tanpa sadar melakukannya," jelas Dirga, bicara seolah itu yang terjadi. Aku tahu persis apa yang terjadi, penjelasannya konyol.
"Aku nggak mau hubungan kita jadi canggung cuma karena alasan itu."
"Cuma karena alasan itu?" ulangku. Aku menyesap bibir bawahku, menahan diri untuk tidak bersikap emosional, dan bicara, "Buatku, itu bukan kesalahan."
Dirga mengerutkan kening seperti barusan yang kukatakan adalah bahasa manusia planet lain yang tidak bisa ia terjemahkan dengan google translate. Daripada terjemahan, kusadari yang ia butuhkan sekarang sama seperti yang kubutuhkan.
Aku berjalan selangkah mendekat. Cukup dekat untukku dapat melihat warna bola matanya atau menghitung jumlah bulu matanya, kalau aku mau. Jika aku berjinjit, aku bisa saja mengecup bibirnya, menyatakan perasaanku padanya, meyakinkan perasaannya. Keberuntunganku kalau dia membalasnya.
Tapi, tidak kulakukan. Belum saatnya.
"Kamu tahu cowok yang bersamaku di koridor kemarin?"
Dirga sejenak terdiam. "Nggh. Mark." Matanya memicing. "Dia nggak menganggumu, kan?"
Aku menggeleng. "Dia memang aneh, tapi dia nggak menganggu."
Ketika kamu menyukai seseorang, yang kamu lihat lebih banyak tentang perasaanmu daripada dirinya. Gerak-geriknya menjadi sinyal samar yang kamu anggap kuat sebagai bentuk afirmasi sikapnya ketika menyukaimu. Kita terkadang terlalu bodoh larut dalam harapan semu.
"Mark bilang suka sama aku." Matanya membeliak. "Dia mengajakku kencan," kataku.
Selama ini, aku bersembunyi dari perasaanku. Aku tidak mau kabur lagi.
"Apa aku boleh pergi?"
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top