16. Counter Attack (I)
Bola ditendang pemain seragam biru-putih. Seperti semut yang mengikuti arahnya gula, pemain berseragam mengikuti pergerakan bola. Mendekati kotak gawang, si pemain penyerang mengambil ancang-ancang menendang bola, hendak menembak sudut atas kiri gawang. Ia tidak menyadari pemain lawan, berseragam putih-merah, sudah siap menggepur pertahanan lawan ketika ruang sebelah kirinya kosong. Ia menjatuhkan diri bagai peluru miring ke tanah, mencuri bola dan menendangnya ke belakang kanan, tempat temannya dengan sigap menangkap bola. Bola berhasil direbut, pemain putih-merah itu berlari menendangnya melintasi lapangan hijau.
"Bagus, Rizky!" sorak papa dengan kedua tangan terangkat di udara.
Kakak berdiri di belakang sofa, memegang mug di sebelah tangannya, mengintip pertandingan sepak bola yang sedang papa dan aku tonton. "Permainan hari ini seru?" tanyanya. "Wahhh, yang tadi itu counter attack?"
Pertandingan bola Indonesia melawan Thailand telah mencetak skor 1-0. Aku duduk melantai, sedang mengerjakan tugas presentasi Ekonomiku. Setelah kujelaskan kalau Clara and the gank tidak bisa diajak kerja sama, Bu Hasita mengerti situasiku dan memindahkanku ke kelompok sisa yang kebetulan kurang satu orang. Anggota kelompok baruku tidak menyambut dengan baik, tentu karena mereka harus merombak pembagian tugas lagi dan harus mengajariku tentang case yang mereka ambil. Selebihnya, kami baik-baik saja.
"Apa itu counter attack?" tanyaku, nimbrung.
"Artinya serangan balik." Kak Nara menjawab. "Dalam sepak bola, counter attack itu strategi mengecoh lawan dengan membiarkan lawan menyerang sampai masuk ke wilayah pertahanan. Pada saat itu, biasanya lawan lalai dan melupakan pertahanannya. Bola harus diupayakan untuk direbut, lalu dilanjutkan dengan gerakan menyerang."
"Jadi, maksudnya, itu perangkap?"
"Tepat sekali!" sahut papa, tanpa memindahkan mata dari layar TV. Ia mengepalkan tangannya ke atas dan menggeram waktu bola yang ditendang masuk ke gawang memantul di tiang gawang.
Aku mengangguk-angguk, hanya untuk mengakhiri percakapan ini. Beralih pada ponselku yang kuselipkan di bawah meja.
Dirga tidak menghubungiku. Aku tidak berharap dia menanyakan tentang kejadian di lorong kemarin siang, aku hanya mau kami mengobrol seperti biasa.
Tidak. Sejujurnya, aku ingin tahu secara jelas ada hubungan apa dia dan Febby. Apa mereka temanan, sudah berapa lama, dan kenapa aku tidak tahu. Kemudian, hati kecilku bicara kalimat yang membuat tertampar, terhuyung lemas ke tanah: Kamu bukan apa-apanya, Nola. Sadar!
"Berhenti mendengkus. Itu memperpendek umurmu," tegur Kak Nara, dia duduk bersila di sofa belakangku. Menonton TV dengan bungkus Cheetos terbuka di pahanya.
"Minta, dong." Ia menampar tanganku yang terulur mengambil Cheetos. Melotot seperti tupai ganas kepada semut-semut yang datang mencuri kacang dari lumbungnya.
Aku kembali duduk. "Dasar pelit," gerutuku pelan.
"Aku dengar itu," sahutnya di belakang.
Kutatap kakak di matanya, tidak mau terlihat lemah. "Ini cuma pendapatku. Tapi menurutku, kakak harus bisa lebih sabar kalau mau jadi dokter. Dokter ramah lebih laku, daripada dokter pintar yang suka bicara sarkastik dan galak. Percuma pintar, tapi nggak dapat pasien." Aku berbicara lebih pelan, "Sama halnya kalau jadi guru les. Mana ada murid les tahan dibentak-bentak gurunya?"
Ia melempariku dengan bantal. Sebenarnya empuk, tapi karena mendadak bikin kepalaku pening juga.
Kakak masih sebal kehilangan sumber uangnya. Minggu lalu, waktu aku pulang dari membeli minyak goreng di toko kelontong, saat hendak masuk rumah, aku berpapasan dengan Maya. Maya bukan tipe gadis cengeng, dia akan melawan kalau disudutkan. Tapi, hari itu dia menangis.
Kakak pasti memaki-makinya seperti, "X itu variabel yang kita cari, bukannya huruf abjad. Kamu lulus SD jalur joki kah, gini aja nggak bisa! Rumus Pythagoras itu rumus dasar matematika! Kalau kamu bodoh, paling nggak gunakan otakmu itu untuk menghapal, jangan cuma jadi pajangan saja!"
Semacam itulah. Aku pernah mengalami lebih parah dari itu padahal aku tahu rumus Pythagoras dan persamaan linear.
Papa marah. Dia melewatkan gol kedua Indonesia karena keributan kecil kami. Aku dan Kak Nara saling menyalahkan, menoyor-noyor kepala, sampai papa menggeram dan kami sukarela memisahkan diri.
Aku dan Kak Nara masih bertahan di ruang tamu, saling memicing mata diam-diam, mengawasi pergerakan meski sudah tidak nyaman di ruang tengah. Ini perang psikologi tentang siapa yang mau mengalah. Pergi atau tinggal. Kalah atau menang. Ah, sial, kakiku mulai kesemutan.
Ponselku berdering. Kuambil kesempatan itu untuk bangkit berdiri. Kakiku mati rasa. Seperti berjalan di atas jarum-jarum yang sengatnya menjalar dari kaki sampai kepala. Dalam kondisi itu, aku sempat memandang sengit Kak Nara sambil menempelkan ponsel di kuping, seperti berucap, "kalau tidak karena panggilan ini, aku pasti menang", lalu tertatih-tatih menuju tangga.
"Halo?" Aku menjawabnya saat naik tangga ke kamar.
"Akhirnya kamu angkat juga," desahnya bahagia.
Aku tersentak. Menjauhkan ponselku dari telinga dan melihat nama pemanggil. Dari kontak Pipet Parfum Citrus. Pantas saja kayak kenal, pemilik suara berat ini ternyata Mark.
Tawa kecil terdengar di seberang, agak terlalu girang. "Padahal aku sudah pesimis, mengira kamu mengabaikanku. Memang, nggak ada salahnya berharap."
Kenyatannya, aku memang mengabaikannya. Bagaimana tidak, dia mengirim pesan singkat sekali dalam sepuluh menit, dan kenapa dia selalu ingin tahu apa yang aku lakukan dan apakah aku sudah makan? Kalau aku belum makan, aku akan pesan antar burger Mc Donald's, bukan mengeluh sama orang yang menjawab, "makan gih, ntar sakit" tanpa membawakanku martabak atau bakso.
"Kakak mau bicara apa?" Aku sudah sampai kamar, meletakkan laptop dan buku di kasur. Mengempaskan badan ke benda seempuk tumpukan kapas terbang, oh tidak, ini hanya busa kempes.
"Aku lagi buat kuesioner tugas Ekonomi, tentang kebiasaan konsumen Cinema XXI. Kamu mau jadi respondenku?"
"Boleh, tapi cepat ya, aku masih ada tugas. Mau kirim link-nya via chat?"
"Nggak. Di sini saja. Cepat kok. Multiple question." Aku mendengar suara barang diletakkan di suatu permukaan keras. "Jawab cepat. Datang telat atau cepat?"
Detik-detik jam khayalan bergema di kepalaku, membuatku gugup. Aku selalu gugup kalau diburu-buru. "... cepat?"
"Film indie atau film Holywood?"
"Indie! Ah, nggak. Hollywood. Nggak, ughh, aku nggak bisa pilih, dua-duanya bagus."
"Bioskop Premiere atau Reguler?"
"Reguler." Uang anak sekolah mah pas-pasan.
"Popcorn asin atau manis?"
"Manis."
"Bawa air dari luar atau beli di dalam?"
"Beli di dalam. Nggak enak ketahuan petugasnya." Diam-diam aku beberapa kali menyeludupkan makanan dalam tas, yang agak kecillah kayak burger.
"Suka duduk di pinggir, tengah, depan, atau belakang?"
Aku menimbang-nimbang. "Ketiga dari atas. Dekat tangga."
"Film horror, romance, komedi, atau action?"
"Aku suka semuanya, tapi buat sekarang action." Suicide Squad mungkin sebentar lagi turun. Aku belum sempat nonton.
"Sabtu kamu lowong kan, ya?"
Kulirik kalenderku di meja belajar, mengecek agenda. "Nggak ada sih." Hukuman di perpustakaan juga tinggal besok. Aku benar-benar lega semuanya akan berakhir. Dua hari lagi di sana aku dipastikan akan mengidap sindrom babu.
Ini bukan mengada-ngada, ini beneran terjadi. Tadi siang, secara tanpa sadar aku mencuci piring kotor yang ditinggalkan pengunjung lain di meja kantin. Penjaga kantin yang pertama menyadarkanku, menegurku dengan menunjuk kertas bertuliskan 'Dilarang mencuci dan meludah di sini' ditempel di atas wastafel yang kupakai mencuci. Itu sangat memalukan.
Tapi, tunggu, pertanyaan barusan bukan multiple question.
"Oke. Suicide Squad. Jam enam. Seat C7, C8." Suara mouse ditekan terdengar. "Buy!"
Kutegakkan tubuh terlalu cepat sampai belakang leherku tegang. "Tunggu. Jadi, semua pertanyaan barusan buat booking tiket nonton? Sama siapa? Aku?"
"Siapa lagi?" Dia menegaskan. "Nggak ada cewek yang mau aku ajak kencan, selain kamu."
Kata-kata manisnya sesaat membuatku tersipu.
"Tapi, aku belum bilang mau."
"Oke. Apa kamu mau kencan sama Mark Sabtu besok?" Suaranya kemudian sengaja dibuat sedih, "Atau, kamu mau aku menyia-nyiakan tiket ini dan nonton sendiri?"
Kalau mau jujur, aku tidak terlalu peduli apakah Mark akan datang sendirian atau membuang tiketnya, tapi hati nuraniku lemah membayangkan tatapan orang-orang ketika melihatnya nonton sendirian di bioskop dengan busana ala G-Dragon metroseksual gagal yang kehilangan jati diri. Dia pasti menarik perhatian, makanya menyedihkan. Di detik-detik terakhir, logika datang menyelamatkanku dari jebakan manipulasi hati ini, nantinya aku akan menyesal terjebak lebih jauh dengan Mark.
"Ingin dan butuh itu dua hal berbeda. Aku nggak mau bilang ini, tapi ini sesuatu yang kakak perlu tahu."
Aku mendengar tarikan napas dari seberang, tapi dia tidak menyela.
"Aku nggak suka menerima ini semua," kataku. "Roti, tiket nonton, ajakan rumah makan kesukaan kakak," kalau diingat lagi, agak sebal melewatkan mencicipi bakso terenak versi Kak Mark pulang sekolah kemarin hanya karena tidak suka orang yang mengajak, "atau perhatian Kakak yang menyentuh ini. Semua karena satu alasan." Kutelan ludah gugup, menyiapkan hati. "Aku nggak tertarik sama Kakak. Maaf."
Pelatuk pistol sudah ditarik, semua sudah kuungkapkan. Tinggal melihat seberapa dalam bekas luka yang ditimbulkan peluru. Selalu tidak menyenangkan menjadi pihak yang menolak, apalagi secara langsung, kamu akan berhadapan langsung dengan reaksi jujur dari ucapanmu yang memilukan. Kamu akan melihat luka lawanmu, dan tidak bisa berbuat apa-apa karena kamu sendiri yang memilihnya.
Aku tidak siap kalau dia menangis, aku bukan penghibur yang baik. Hatiku juga terlalu lembut kalau-kalau dia marah dan menghujatku. Ini menakutkan. Bagaimana bisa aku dengan sangat berani mengatakannya sekarang?
Sedetik. Dua detik berlalu. Dia tidak menjawab. Apa dia pingsan?
Suaranya terdengar beberapa detik kemudian, "Aku tahu," ucapnya tidak sedih atau gugup. Kalau tidak salah kuartikan nadanya sedikit lega.
"Kita baru kenal beberapa hari. Harusnya aku yang minta maaf karena memikirkan hubungan ini terlalu jauh. Apa aku berlebihan?"
"Sedikit."
"Masa?"
Aku mengusap dagu dengan jari, berpikir. "Yahhh, agak banyaklah, tapi nggak begitu buruk."
Dia tertawa. "Aku suka kejujuranmu."
Tawanya renyah. Jenis tawa yang bisa menyalurkan kebahagiaan dan kelegaan padamu. Aku tersenyum, dalam artian berbeda. Lega karena dia tidak marah, senang karena aku berhasil mengungkapkan perasaanku. Sekali melakukannya, ternyata tidak begitu sulit. Dirga benar. Pada permulaannya pasti tidak mudah untuk menolak, setelahnya kamu akan merasa bangga telah berani step up untuk dirimu.
Kudengar suaranya agak lebih rendah, sepertinya dia berbaring, "Sebenarnya, aku juga malu ngejar-ngejar cewek kayak gini, sangat memalukan pas sudah terang-terangan ditolak. Tapi gimana lagi, aku sudah terlanjur suka," pipiku bersemu merah pada pernyataan cinta tiba-tibanya.
"Kamu nggak suka sama aku? That's totally fine. Aku berjuang bukan supaya mendapat hati kamu, aku berjuang karena aku menghargai perasaanku."
Mendengar seseorang mengucapkan suka padaku, itu pertama kali. Dadaku terasa penuh. Hangat. Spesial sekali.
"Aku nggak mau mendorongmu menyukaiku, meskipun aku menginginkannya. Tapi, kalau kamu mau kasih aku satu kesempatan. Satu kesempatan saja untuk membuat hatimu luluh, aku akan menggunakan kemungkinan terkecil itu sebaik-baiknya."
Lagi. Mendengar kata-katanya, menyadari nada penting, malu, dan tulus di sana, membayangkannya membiarkan egonya jatuh karena memohon satu kesempatan dariku. Membuatku merasa sangat berharga.
"That's a sweet preach." Menyelipkan nada candaan, "Kukira, Kakak cuma tahu bicara sok puitis."
"Puitis itu cara hatiku menyanjungmu, Mawar kembangku yang tercantik."
Kukedutkan hidung, merasa jari-jari tanganku tertekuk dengan sendirinya. Aku selalu merasa ingin muntah tiap kali mendengar kakak ini bicara, tapi entah kenapa di telingaku terdengar akrab. Tidak terlalu buruk.
"Jadi, bagaimana jawabanmu?"
"Pertanyaannya," tuntutku.
"Apa kamu mau kencan sama aku?"
Kubiarkan detik-detik berlalu dan hening menyerbu ruang antar kami. Meski tak bisa melihatnya, aku bisa membayangkan Kak Mark menunggu jawabanku dengan sabar dan gugup.
"Akan kupikirkan."
Tarikan penuh kelegaan terdengar di seberang.
Cepat-cepat kutambahkan, "Asal jangan pakai baju norak dan parfum berlebihan. Semprot sewajarnya. Dosisnya, tiga kali semprot."
Dia tertawa lega. "Baunya nggak menyengat! Coba cium hapemu." Aku meringis jijik, dia mengikik. "Atau kamu mau kita ketemu dalam mimpi supaya kamu bisa mengendus baunya?"
"Ughhh. Please, don't," erangku, jijik.
Selepas menutup telepon, aku duduk di kursi belajar dan membuka laptop. Saat menyaring informasi-informasi yang mau kumasukkan dalam makalah, terbayang lagi saat-saat ketika Mark mengatakan suka padaku.
Aku tidak pernah merasa begitu didambakan seorang cowok. Maya bilang, rasanya seperti berada di puncak gunung. Dari atas kamu tidak bisa melihat secara jelas benda apa di bawah, tapi kamu tidak takut, di saat itu kamu merasa bisa menggenggam dunia.
Aku berharap punya sebagian keberanian Mark. Aku punya banyak kesempatan mendekati Dirga, tapi sikapku seakan sedang merobek-robek kertas lotre tanpa melihat nomor undian yang tertera. Aku terlalu takut untuk menunggu, takut untuk memutar lingkaran warna-warni berpetak, dan menunggu angka bergulir dan berputar. Terlalu bersandar pada pengetahuanku, tanpa berani bergerak menyambutnya.
Sayangnya kuketahui ini semua terlalu terlambat, aku tidak tahu lagi apa kesempatan itu masih ada.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top