15. Attempt

"Wulan benar-benar bodoh. Kusuruh menelepon kalian bilang aku baik-baik saja jadi tidak usah khawatir, dia malah mengirim sms kalau aku sudah meninggal?!"

Tante Farah menggeleng dan mencak-mencak, sembari menegakkan tubuhnya untuk duduk, namun agaknya kesusahan karena selang infus yang menancap di tangannya. Mama membantunya, menarik tuas di bawah kasur untuk menaikkan kepala kasur. Kemudian, memberinya sepiring apel untuk meredakan amarah, mata mama terus memastikan selang infusnya tidak mengeluarkan darah karena sang kakak terlalu banyak bergerak.

"Dia tidak bilang Mbak meninggal. Dia suruh kami jenguk Mbak karena kondisimu kritis," jawab mama.

"Sama saja!"

Tante Farah mendengkus, menusuk apel dengan garpu seakan sedang membayangkan wajah pembantunya yang berwajah baik dan dari daerah Timur itu, orang yang secara tidak sengaja memberitakan kabar hoax tentang dia 'masuk rumah sakit' dan sedang 'kritis' di grup keluarga. Dengan suntikan fakta bodong, fotonya terbaring di rumah sakit, dan lagi-lagi miskomunikasi, kabarnya berkembang menjadi Tante Farah berada di rumah sakit dan sudah meninggal, tersebar secepat penyakit menular yang tidak bisa dicegah, ke grup-grup keluarga lain.

Kakak kedua mama, Tante Firda dan suaminya masuk kamar. Dia yang mengabari keluargaku tentang kondisi Tante Farah-suara orang menangis di telepon ternyata darinya. Tante Firda duduk di kursi sebelah kasur pasien, sedang suaminya bergabung dengan papa duduk di sofa pendek dekat jendela. Melihat Wulan tidak masuk bersama mereka, pastilah wanita itu disuruh pulang untuk mengambilkan Tante Farah baju bersih, sekaligus mengusirnya secara halus karena majikannya sedang muak melihat wajahnya.

"Sudahlah, Mbak. Jangan salahkan Wulan." Tante Firda menenangkan. "Salah Mbak juga mendaki gunung sendirian. Untung, ada pendaki lain yang lihat Mbak pingsan dan membawa ke rumah sakit."

"Aku wis menek gunung dari orok." (Aku sudah mendaki gunung dari bayi)

"Nggeh, Mbak, tapi umur kan sudah tidak muda."

Mama mengusap pundak Tante Farah, membujuknya ketika melihat beliau masih berkeras hati, "Ingat jantungmu, Mbak. Ini bukan sekali dua kali Mbak kena serangan jantung karena kecapekan. Mungkin sudah waktunya pensiun dan lebih banyak istirahat."

Garis-garis kerut tampak makin tegas di wajahnya karena gusar. Watak kerasnya memang tidak pernah pudar. Kali ini, alasannya sangat jelas, dalam tubuh berumur enam puluh tahun lebih tersimpan jiwa wanita umur dua puluhan. Aku mengerti itu, tapi menurut orang dewasa ada yang lebih penting.

Papa yang sedari tadi diam mengamati semuanya, menyahut dari sofa, "Yang dibilang Febri betul, Mbak. Sudah waktunya lebih merawat diri. Yang kita punya pas kita tua kan cuma keluarga sama tubuh sehat."

Tante Farah berpindah mengamati papa dengan tatapan menuduh.

"Mbak bisa sering-sering datang ke rumah kami."

Mama diam-diam mengulas senyum tipis pada papa layaknya bicara makasih.

Agaknya perkataan papa masuk ke telinga Tante Farah, rahangnya yang dikencangkan mulai mengendur. Tanpa perlu dikumandangkan, Tante Farah memang paling mendengar ucapan adik iparnya itu.

Tante Farah berdeham segan. "Kulakukan karena ingin lebih sering ketemu Nara dan Nola." Lalu melempar tatap padaku dan Kak Nara yang bermain ponsel di samping papa. "Kenapa kalian membawa anak-anak manis ini ke rumah sakit malam-malam?" katanya, memelas. "Nara, kenapa kamu tambah kurus? Kamu diet?"

Nara bergeming berdiri di sampingku, hanya membalas Tante Farah dengan senyuman yang amat sangat manis. Sebenarnya itu arti lain dari berhentilah menanyaiku, silakan lanjutkan pembicaraan orang tua. Pembicaraan mereka berlanjut ke pandangan orang tua tentang diet.

****

"Drama keluarga," desah Kak Nara begitu kami ke luar kamar. Papa dan Mama dipanggil dokter untuk bicara soal penyakit jantung Tante Farah.

Bagi mama, Tante Farah adalah ibu, ayah, dan kakak tertuanya. Kudapat cerita itu dari Tante Farida di suatu acara keluarga tahunan karena mama bukan orang yang sukarela membicarakan masa lalunya. Ayah mereka adalah tentara gugur saat bertugas pada perang tahun enam puluhan. Meninggalkan istri hamil besar, anak remaja, dan seorang balita. Tak ayalnya, nasib buruk kembali menghantui mereka ketika Mbak Putri meninggal lima tahun kemudian, sebelum usia mama genap lima tahun. Kondisi itu menjadikan Tante Farah naik kasta menjadi kepala keluarga.

Karena itu juga, mereka tidak pernah mengalami persaingan kesuksesan antar kakak beradik sewaktu dewasa. Hubungan ketiganya sangat dekat. Terutama mama dan Tante Farah. Mama sering kali membujuk Tante Farah untuk tidak lagi bekerja menjahit dan tinggal di rumahnya. Aku cukup mengerti kekhawatirannya, hidup sendiri di usia lanjut, tanpa keluarga, anak, dan mengidap penyakit serius, bukan hal enteng. Pasti sangat sulit dan sepi.

Melihat latar belakang mereka, harusnya wajar kalau mama bersedih waktu mendengar kabar kepergian Tante Farah, sebatu apa pun hatinya. Anehnya, mama sama sekali tidak menangis, sepanjang perjalanan atau saat sampai di rumah sakit.

Kurogoh kantong saat panggilan masuk berbunyi, mengangkatnya, lalu menjepitnya antara pipi dan bahu karena kedua tanganku sibuk menenteng keranjang belanjaan dan membuka kulkas minimarket.

"Kamu belum tidur jam segini padahal lagi sakit. Ini caramu supaya nggak masuk besok?"

Aku mengambil sekaleng kopi. Mataku tinggal setengah watt, dan belum ada tanda-tanda kami akan pulang. Kak Nara sudah pergi membujuk papa dan mama, semoga saja kami mendapat hasil baik.

Desahan geli halus terdengar dari seberang. "Aku ketahuan, ya?"

"Iya. Kentara sekali." Aku menimbang-nimbang mengambil sekotak susu. "Papamu sudah pulang?"

"Sudah. Dia membawakanku bubur."

"Ohhh!"

"Kenapa nadamu begitu? Terdengar menyebalkan. Biasa aja kali."

"Ini nadaku yang biasa," godaku, dengan suara gemas.

"Diamlah," perintahnya dan aku tertawa. "Gimana tantemu? Kalian mengurus pemakamannya hari ini?"

"Nggak. Kami salah paham. Tanteku memang kritis, tapi dia melewatinya dengan baik, sekarang dia sudah siuman dan mungkin rawat inap beberapa hari di rumah sakit."

"Jadi ..., dia belum meninggal ...?" tanyanya bingung, sebelum melepas napas frustasi. "Aku bingung harus bereaksi kayak gimana karena maksud teleponku buat menghiburmu. But, still, that's a relief."

"HAHAHA."

"Serius. Siapa sih, yang ngabarin kalian berita hoax itu. Sejahil apa dia sampai bisa kepikiran tipuan macam itu, atau mungkin, dia ada dendam sama tantemu?"

Aku tertawa lagi. "Itu kebodoha-"

"Permisi. Bisa minggir dari kulkas?" sambar suara di belakangku begitu mendadak.

Buru-buru kuambil sekaleng kopi-sembarang, menutup kulkas cepat-cepat, dan bergumam maaf padanya, lalu ke luar dari lorong rak snack & beverages. Kasir masuk ke konternya saat melihatku berjalan membawa keranjang belanjaan. Kembali, suara di belakang memanggilku lagi.

"Kamu, Mawar, kan?" tanya cowok itu.

Kakiku berhenti, lalu kuedarkan pandang ke seluruh minimarket. Jam itu toko sepi pengunjung. Hanya ada aku, kasir, dan pria tadi.

Aku berbalik sambil menunjuk diri sendiri, "Maksudmu, aku?"

"Iya, kamu," jawabnya yakin. "Kamu Mawar kan? Tadi aku pangling karena hari ini kamu nggak make up-an. Kamu cantik banget kalau pakai make up, dan sekarang, tanpa make up, kamu tetap menawan. Semua mawar memang cantik, ya?"

Gombalan barusan sontak membuat hidungku berjengit. Aku pasti tidak kenal orang ini. Aku tidak mungkin tahan kenalan sama seorang penggombal. Tapi tetap, dia memberiku ide, besok aku akan menemui Dirga memakai make up mungkin dia akan terlena seperti cowok ini.

"Maaf, kayaknya kamu salah orang. Namaku bukan Mawar."

"Nggak, dia benar kamu. Kamu nggak ingat aku?"

Aku menyipit, mulai mengingat-ingat. Cowok bertubuh tinggi, ramping, berambut cokelat, rahang persegi, dan logat sok bersahaja ini. Apa aku mengenalnya?

Dia menambah clue. "Kita ketemu di perpustakaan tadi siang. Orang yang membantumu mengambil buku di section Sains? Mark, si puitis tampan?"

"OH! Si wangi citrus!"

"Iya! Yang itu! Tapi, aku lebih suka dipanggil Mark." Dia mencium bau badannya. "Hari ini aku nggak pakai parfum citrus. Ugh. Bau rumah sakit. Harusnya aku bawa parfumku."

Tambahan informasi terakhir kubiarkan mengawang di antara kami. Kututup panggilan dari Dirga karena dia terus-menerus bertanya "Kenapa? Siapa itu". Seharusnya dia sudah tidur jam segini.

"Namamu siapa?" tanya cowok bernama Mark itu.

Mataku tidak berpindah dari layar, jariku sibuk mengetik di bawah, menyuruh Dirga pergi tidur. "Aku nggak membagi informasi pribadi sama orang asing. Maaf," tolakku halus.

Dirga mengetik emo rolling eyes, mengataiku berlagak seperti ibunya. Kubalas dia dengan, "Goodnight too."

Tiba-tiba, kutemukan tangan diulurkan di atas layar ponselku.

"Hai. Namaku Mark. Aku kelas XII IPS 2, SMA Bramantara," sapanya.

Aku menyedakkan napas tidak percaya. Tubuhku bergerak otomatis menjabat tangannya.

"Nola," kataku, tidak ikhlas.

"Karena kita sudah kenalan, berarti kita bukan lagi orang asing."

Dalam pengertianku, orang asing dan sebatas kenalan kedudukannya hampir sama. Aku tidak datang ke rumah Raffi Ahmad dan menyuruhnya menyediakan minum untukku karena aku mengenalnya di TV.

"Karena kita kenalan, apa aku boleh pinjam ponselmu? Tadinya aku datang nyari tempat jualan kopi, tapi akhirnya malah tersesat di sini. Kebetulan sekali aku cuma bawa dompet. Boleh?"

Nah, percakapannya sepanjang tadi akhirnya punya penjelasan. Kukira, dia cuma orang aneh. Kukasih ponselku sukarela, lalu menariknya kembali karena suatu pikiran.

Aku memicingkan mata. "Kakak bisa minta suster arahkan ke kamar kenalan Kakak, itu lebih cepat daripada menelepon."

"Aku nggak hapal nomor kamarnya, dan sekarang bukan lagi jam jenguk, suster-suster pasti lagi nggak ada di tempat."

Kupertajam picingan mataku, berharap menangkap sinyal ketidakjujuran, tapi dia tidak bergeming. "Sebentar saja." Aku memberikan ponselku.

Jari-jarinya mengetik di layar ponsel dengan cepat. "Kamu sadar nggak sih, kalau ini pertemuan kedua kita? Kata orang, kalau dua orang asing ketemu sebanyak tiga kali, namanya bukan lagi kebetulan, tapi takdir. Kamu percaya takdir?"

"Nggak. Itu cuma omongan tanpa dasar," kataku, mengamati ponselku. Dia sedang menelepon nomor tak dikenal lalu menutupnya pada denyut ketiga.

"Omongan bisa jadi betul, Nola. Kita sudah dua kali kebetulan ketemu, apa kamu nggak penasaran sama pertemuan selanjutnya?"

Mark mengembalikan ponselku. Aku selanjutnya bertindak seperti penjaga konter hape, memeriksa ada yang lecet atau kesalahan pada hape ketika dinyatakan rusak. Tadi aku lihat jelas dia menutup telepon sebelum orang di seberang menjawab. Singkat sekali.

Tunggu. Nomor siapa ini? Mark Si Tampan?

"Itu alasan untuk pertemuan ketiga kita."

Mark membubuhi kata-katanya dengan senyum manis. Lesung pipit yang hanya sebelas kanan tampak jelas. Ia berjalan pelan mundur ke pintu keluar.

"Pertemuan kita selanjutnya akan dihadiri senja dan hati bergejolak selama kita bercumbu dengan waktu. Bye-bye, Senorita."

Ia mengedip genit sebelum melewati pintu keluar. Agak tersandung karena dataran di luar lebih rendah. Kurasakan ulat bulu merambat naik di sekitar kakiku, tanganku, dan sekujur tubuhku. Efek kegelian dari kata-kata sok puitisnya memang sehebat itu. Aku harus pulang cepat dan mandi, otak dan badanku butuh dijernihkan.

****

Mark masih menghantuiku. Kemarin malam, sebelum tidur, dia menge-chat-ku untuk tanya apa aku sudah tidur atau belum, game apa yang kusenangi, apa aku suka sound nature atau musik yang calm sebagai pengantar tidur, dan apa makanan kesukaanku.

Sewajarnya anak remaja SMA, minimal telah dua kali, tiga kali, atau lebih, berhadapan dengan apa yang namanya pedekate. Tapi, aku belum. Aku bahkan tidak tahu kalau cowok itu sedang melakukannya padaku. Sampai tercetus kalimat itu dari bibir Nadya, teman kelas dan kelompok baruku aka kelompok buangan, mengucapkannya ketika sekantung roti aneka rasa terhidang tanpa penghuni di mejaku pagi ini.

"Cieee. Yang lagi pedekate sama kakak kelas!" sindirnya, menyodok pinggangku yang terasa ngilu sampai ke rusuk.

PDKT aka pendekatan. Aku yang dulu mungkin akan tersipu tahu kalau seseorang menyukaiku, dan mungkin ini akan jadi awal dari kisah percintaanku yang mendebarkan. Tapi, aku yang sekarang tahu ini bukan saatnya senang. Dia bukan orang yang kuinginkan.

Jadi, saat istirahat siang, aku sengaja pergi ke lorong kelas dua belas untuk mengembalikan kantung roti itu yang belum kusentuh-sebetulnya Nadya sudah menggigit satu bungkus roti tapi aku sudah memastikan gigitannya tidak kelihatan.

Kemudian, sekelebat kulihat seseorang yang kukenal membelah lautan siswa-siswi yang mendesak turun ke kantin. Kira-kira lima meter di depan, depan kelas XII IPA 4. Seseorang yang tepat dan kuinginkan berada di posisi Kak Mark sekarang.

Sejak kemarin, kami belum betul-betul membahas soal ciuman-hampir-terjadi itu. Aku tidak tahu Dirga menganggapnya sebagai apa, tapi di mataku, terlihat seperti dia akan menciumku.

Selesai telepon di rumahnya, ia mendesakku keluar menemui mamaku, mengatakan untuk meneleponnya kalau ada apa-apa. Aku pun terlalu kalut untuk mencoba mengungkit kembali masalah itu dan mengiyakannya saja. Keadaan Tante Farah tentu lebih penting daripada masalah apa-kamu-menciumku.

Apa mungkin dia sebenarnya tidak berpikir begitu? Mungkin saja, dia tidak sedang mau menciumku, mungkin dia sedang pusing dan mau jatuh di pundakku. Seberapa persen kemungkinan itu terjadi? Dan lagi yang terpenting ..., apa dia menyesalinya?

Waktu untuk menata hati dan menyambungkan saraf-saraf di otakku untuk berpikir cepat makin menipis, jarak kami sudah semakin dekat.

Kuangkat tangan untuk menyapa. Kali ini aku mencomot image dalam otakku, laki-laki berperangai sok asik yang bertemu sohibnya. Hanya perlu satu sapaan bersuara husky seperti orang flu, "Hai. Whatsapp, whatsapp" ala Chandra Liow. Rencana itu musnah dalam sekian detik ketika kulihat seseorang berdiri di sebelahnya.

Itu si gadis atap.

"Febby dan Maria sepertinya sudah menentukan siapa pemenangnya," celetuk Nadya, dia bersamaku sejak tadi untuk menemani.

"Maria? Febby?"

"Kamu nggak tahu mereka?" Matanya membeliak. "Bukannya kamu bertengkar di toilet minggu lalu sama anggota klub cheerleaders?"

Aku mengedip-ngedip.

Nadya mendesah putus asa. "Astaga. Kamu hidup sampai sekarang kayak gimana, sih? Orang yang kamu pukuli saja nggak tahu."

"Aku tahu Maria. Yang satunya, aku nggak tahu. Kayaknya dia nggak ada di toilet waktu itu." Atau, ada?

"Dia se-geng sama Elissa, ketua cheerleader. Febri dan Maria dulunya temanan akrab, tapi karena sama-sama flyer jadi mereka suka berselisih. Terakhir katanya, mereka suka orang yang sama dan sama-sama ditolak." Nadya tersenyum puas. "Kayaknya, berita itu setengah bohong deh. Lihat saja mereka."

Dirga dan Febby berhenti di dekat pilar untuk bicara sesuatu. Sesuatu yang cukup rahasia untuk ia bisiki ke telinga Dirga. Mereka terlihat sangat akrab.

Nadya bermonolog lagi. "Dirga pasti memasang magnet buat cewek-cewek populer. Kuakui, dia laku keras. Kak Rangga lebih cakep, tapi sudah ada pawangnya. Sayang sekali."

Aku melotot protes pada Nadya. Dia membeliak bertanya ada apa tanpa suara. Namun, sebelum aku menjelaskan, mukaku hampir menyeruduk bahu seseorang yang ke luar dari pintu ruang kelas, kalau dia tidak berhenti.

"Nola!" teriak orang itu ketika kami hampir bertabrakan.

Orang itu Mark. Bau citrusnya hari ini lebih pekat.

"Hai, Kak," sapaku, mengatur ekspresi wajah.

"Kamu ngapain ke sini?"

"Hm. Nggak ada apa-apa. Cuma datang aja," gumamku, memutar posisi, bersembunyi di balik badan Kak Mark. Mengira-ngira titik buta posisi Dirga.

Mark memandangiku atas-bawah seperti mesin pemindaian. "Kamu khusus datang ke sini untuk ngajak makan siang? Kebetulan sekali Kakak mau ke bawah."

"Nggak. Aku cuma mau ngembaliin ini."

Kuserahkan kantung itu pada Mark. Tak sengaja, sudut mataku melirik Dirga. Dia menangkapku. Kami bertatapan mata.

Otakku segera melupakan sapaan ala Chandra Liow dan aku merasa malu seperti sedang ditelanjangi. Seperti seseorang sedang memergokiku berciuman dengan cowok lain, meski dalam hal ini aku memergoki mereka.

Mark terus mengajakku bicara. Posisi ini benar-benar salah.

Aku berbalik dengan kekuatan penuh tergesa membelah kerumunan orang yang mengantre turun. Nadya meneriakkan namaku, tapi tungkaiku tidak mau berhenti.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top