14. Do You Ever Feel Love?

Malam sudah mulai larut ketika kami selesai makan. Dirga menyuruhku menyimpan piring-piring makan bekas kami dan pulang saja, tapi aku tidak mau. Di mana hati nurani kami sebagai tamu tidak diundang, membiarkan orang sakit mencuci piring dan merapikan meja?

Jadi, pukul setengah sembilan malam, aku berniat pamit pulang pada Dirga di kamar. Karena panasnya sudah turun, bajunya basah karena keringat, jadi aku menyuruhnya berbersih dulu sebelum tidur supaya tidak masuk angin lagi.

Sebenarnya, aku agak canggung untuk masuk ke kamar cowok sendiri, walau ini memang bukan kali pertamaku. Aku ingin mengajak Maya pamitan, tapi kondisi Maya sedang tidak bisa dan tidak ingin kuganggu.

"Kita tutup sama-sama, ya." Dengarku, mengintip dari pintu beranda. Maya berdiri memunggungiku bersandar pada pinggir beranda, ponsel ditelungkupkan di kupingnya. Sudah sejak dua puluh menit lalu dia telponan dengan pacarnya. "Satu, dua, tiga! Ihhhhh. Kok nggak ditutup?" pekiknya dengan suara gemas-manja dibuat-buat.

Seketika, tulang-tulangku ngilu dan merasa ingin muntah. Kekuatan cinta sepertinya punya efek hebat pada indra manusia, sampai bisa mengubah suara Pikachu sedang sembelit menjadi suara seimut anak bayi yang manis (hanya berlaku di telinga si pacar).

"Dir," panggilku.

Ketukan buku-buku jari pada pintu keropos menggema di dalam. Tidak ada jawaban. Kuketuk sekali lagi dan menunggu lebih lama. Masih tidak ada jawaban.

Apa dia sudah tidur? Tapi, cepat sekali. Obatnya yang kusediakan di meja depan juga belum diminum. Apa mungkin ..., dia pingsan?

Pikiran mencemaskan berkelebat di benakku, lantas kucengkram kenop pintu dan memutarnya.

"Dir?"

Bunyi derit pintu terdengar, bersamaan kupendarkan mata ke sekeliling ruangan lekat-lekat. Tidak ada siapa pun di sana. Sengat kejutku pudar ketika melihat lampu kamar mandi menyala dan suara air mengucur terdengar. Rupanya, dia sedang mandi.

Kutarik kenop pintu menutup. Berhenti, ketika sudut mataku menangkap pigura yang tak asing.

Di meja pendek, di samping kasur Dirga, terpajang foto kami. Aku, Maya, dan Dirga dalam versi kami yang lebih kecil. Itu malam perayaan penyambutan kepindahan keluarganya Dirga. Aku ingat, di malam itu Maya mengenalkan cowok yang kutemani menangis di depan rumahnya sebagai kakak sepupunya. Waktu kusalami, muka Dirga semerah tomat karena malu. Kurasa, baik aku dan dia tidak menyangka kami akan bertemu begitu cepat.

Orang tua kami yang tidak paham situasi, menganggap itu momen yang tepat untuk diabadikan sebagai awal dari pertemanan anak-anak mereka. Dia menyuruh kami berfoto di bawah pohon bugenvil. Maya bergaya di tengah-tengah memeluk kami berdua-berpose jari peace, sedang aku dan Dirga memasang muka kecut.

Aku terkekeh, menyentuh pipi gembul milik Dirga di foto. Dia terlihat seperti hamster garang, sorot mata tajamnya masih sama. Aku penasaran ke mana lemak pipi menggemaskan itu pergi. Kuturunkan foto, melihat pigura lebih kecil tersembunyi di balik lampu meja.

Foto seorang wanita sekitar umur tiga puluhan, sedang menggendong anak balitanya. Sang ibu yang sadar kamera, tersenyum lebar, sedang anaknya mencoba meraih hiasan bola warna merah digantung di pohon natal.

Aku tahu pasti wanita itu siapa. Dari bentuk mata, hidung, dan bentuk mukanya yang lebih lembut dari punya Dirga. Derilla Subagio Wahyu. Mamanya Dirga.

Hidup di rumah berlantai dua bergaya minimalis monokrom ini, dengan fasilitas lengkap, berdua dengan papanya yang sibuk kerja, pastilah sangat bebas. Rumahku terlalu ramai untuk bisa paham rasanya menjadi Dirga, tapi ketika melihat ruang tamu yang terlalu rapi buat tempat tinggal, kulkas dengan bahan makanan minim, dan lebih banyak lukisan abstrak daripada foto keluarga. Aku tahu pasti hidupnya tidak nyaman. Dirga pasti sangat kesepian.

Aku mulai menjelajah kamar. Melihat poster The Beatles di sisi kiri kamar, mading yang berisi jadwal pelajaran-agenda penting, foto pemandangan belakang bukit berlatar langit senja-lalu pada rak bukunya.

"Clean freak," kekehku melihat buku-buku berderet sesuai abjad.

Kami memang sudah lama saling kenal, tapi perasaanku meletup-letup sepanjang berkeliling kamar. Seperti dibawa masuk ke liang White Rabbit yang mengantarmu ke Wonderland. Ini dunia Dirga. Kehidupan sehari-harinya di sini, dia belajar di meja itu, tidur di kasur itu, menghirup udara bercampur harum citrus-baunya-ini, dan membaca buku-buku ini.

Kutarik satu buku bersampul biru yang menyembul ke luar dari deretan. Selfish Gene karya Richard Dawkins. Kubuka halaman pertama buku, saat dari sisi kamar lain terdengar bunyi pintu dibuka.

Dirga ke luar dari kamar mandi, berbalut kaos biru dan celana katun yang nyaman dan bersih, ia mengusap rambutnya dengan handuk kecil. Lalu, mengangkat pandangan mengamatiku dengan datar. Pada kedip keduanya, entah sebab apa, matanya melotot.

"JANGAN DIBUKA!!!" teriaknya.

Sangat terlambat. Aku sudah membuka bukunya. Sesuatu jatuh terjerembab ke lantai dengan keras. Buku bersampul hitam mengilap.

Dirga lari terbirit mendekat, mukanya gelagapan, ekspresi itu jarang kulihat di mukanya. Sisi kepo diriku buru-buru memungut buku itu lebih dulu, hanya sedetik berselang dari Dirga. Membalik cover-nya dengan semangat. Lalu, aku tercengang.

Dirga memukul buku itu terlepas dari tanganku selayaknya sedang menyelamatkanku dari serangga mematikan yang bisa menyedot habis darahku. Keringat bercucuran di dahinya.

"Ka-kamu lihat?" ucapnya gelagapan.

Aksi penyelamatan itu sebenarnya tidak perlu. Aku masih hidup, hanya otakku yang sedang error. Pemrosesan informasi otakku terjeda karena tidak dapat menampung banyak informasi dalam satu waktu. Satu kalimat yang mencetus dan terngiang-ngiang di kepalaku ini penyebabnya, Majalah PLAYBO ....

****

"Waktu Maya bilang, penulis-penulis majalah itu cenayang masa kini, aku meledeknya dan bilang itu sangat konyol. Mereka cuma mahir memakai informasi di google. Wahhh, tidak kusangka cowok terdekatku malah mengelabuiku."

Dirga menyembunyikan majalah itu kembali dalam rak, menundukkan kepala, rambutnya yang basah turun menutupi dahinya sehingga aku tidak bisa membaca raut mukanya. Tapi, dari gesturnya yang kikuk, pastilah dia merasa terhina.

"Semua cowok itu biadab. Itu nature mereka," ucap Dirga, seakan dia diberi kehormatan mewakili suara semua pria di dunia bukan baru saja kepergok mengoleksi majalah dewasa. Dia bahkan belum dalam umur yang mampu untuk membelinya. Bagaimana bisa?

Ia menyediakan jawabannya, "Tapi, aku perlu mengklarifikasi kalau majalah itu bukan punyaku, itu punya Edo. Aku cuma pernah beberapa kali menonton videonya sama teman-tem-"

"Kalian saling pinjam-meminjam majalah begituan dan nonton film biru sama-sama?" serangku, memberinya tatapan jijik.

Dirga membisu. Memalingkan pandangan ke lain arah karena tidak sanggup menatapku. Ia canggung berat. Aku bisa lihat itu. Dia sengaja duduk di sisi lain bawah kaki kursi-di seberangku.

Okelah. Aku paham pria puber seperti Dirga normalnya akan tertarik pada dunia orang dewasa. Sudah jadi naluri mereka sejak zaman purba kala, untuk berburu babi hutan dan wanita. Tapi, kenapa dia lebih tertarik memuaskan hasrat seksual daripada batiniah? Rasanya tidak adil menolak cinta wanita nyata ketika mereka bisa membayangkan tidur dengan wanita seksi yang hidup di belahan dunia lain.

"Berhentilah memandangiku. Kamu membuatku sengsara," keluh Dirga.

Tanpa sadar aku menatapnya lekat-lekat. Aku berusaha menjaga ekspresiku agar tetap netral, meski pikiranku seperti bola benang kusut.

"Aku cuma merasa ditipu," gumamku. "Aku seperti gadis berkerudung merah yang menyebrangi hutan untuk menjenguk neneknya, tanpa tahu kalau malamnya dia menjadi santapan serigala rakus."

"Paling nggak dia bisa bertemu neneknya yang sakit dalam perut serigala."

Aku memelototinya.

"Astaga. Aku bercanda!"

Keheningan yang menyesakkan terjadi.

"Aku boleh tanya sesuatu?" kataku.

Dirga diam, mempersilakanku bicara.

"Kamu bisa menyukai wanita-wanita itu," pipi Dirga tersipu saat aku mengatakannya, "Tapi, apa yang membuatmu menolak tegas cewek-cewek yang menyukaimu? Aku nggak bilang, kamu harus jadian sama mereka, tapi bukannya lebih baik memberi kesempatan buat kamu dan wanita itu saling mengenal?"

"Setelah itu apa? Memberi mereka harapan palsu?"

Aku mengangkat bahu. "Apa dari mereka nggak ada yang membuatmu tertarik?"

"Nggak ada."

Maria, meski dia jahat, wajahnya rupawan, cewek populer, dan setahuku pernah menjadi anggota kelompok Olimpiade Sains. Cewek yang di atap waktu itu juga, wajahnya manis, tubuhnya tinggi, dan kulitnya putih mulus. Kalau makhluk-makhluk berkualitas tinggi itu saja ditolak, berapa persen kesempatanku?

"Kamu nggak tertarik sama mereka, karena memang nggak berniat mengenal siapa-siapa. Sikapmu pasti beralasan," tebakku.

Dirga memandangiku, wajahnya tidak berubah.

Kulanjutkan, "Setahuku, kamu bukan tipe cowok brengsek yang gampang mematahkan hati cewek, kamu nggak pernah pacaran, juga bukan pembohong yang dengan mudahnya bilang nggak percaya cinta tanpa alasan. Apa sikapmu ini ada hubungannya sama masalah keluargamu?"

Menelaah soal percakapanku, Maya, dan Kak Nara berminggu-minggu lalu, juga apa yang dibicarakan Dirga di atap waktu itu, aku sudah punya beberapa prediksi jawaban. Salah satu jawabannya telah ditandatangani sekarang, lewat kepalanya yang tertunduk dan matanya terpaku pada lantai seolah tidak berdaya membuat-buat alasan yang cukup masuk akal untuk memuaskanku.

"Aku memang nggak pernah bangga sama kehidupan keluargaku," katanya. "Sebelum, dan setelah mama meninggal. Mungkin, itu salah satu penyebabnya."

Argumenku, Dirga menahan keinginannya untuk mencintai karena melihat papanya. Om Tara adalah karyawan baik dan ayah yang bertanggung jawab, namun tidak hangat. Tiap tahun, di hari peringatan mamanya Dirga, ketika kami menemani Dirga mengurung dirinya di kamar karena duka, Om Tara tidak pernah menunjukkan batang hidungnya. Ia akan kerja seharian, lalu pulang tengah malam. Seakan kehadiran dan ketidakhadiran orang terkasihnya, tidak ada bedanya dari hari biasa.

"Tinggal bersama di satu atap, nggak mesti menjamin kalian akan bahagia. Setiap keluarga pasti punya luka, kecil ataupun besar." Sepertiku atau seperti yang dialami keluarga Dirga.

"Iya. Semua yang menunjuk satu keluarga itu bahagia, cuma sedang memproyeksikan saja, nggak benar-benar paham."

"Mhm, mereka menilai luarnya saja."

Aku mengingat kembali keluarga Maya yang hampir tercerai berai beberapa tahun lalu. Papa dan mamanya tiap malam bertengkar. Aku bisa mendengar dengan jelas, bentakan, teriakan, dan benda-benda pecah dari rumahku. Pernikahan mereka sudah diujung tanduk, lalu beberapa bulan kemudian, pada suatu malam yang biasa, mereka rujuk.

Dirga mengamatiku. "Ketika kamu melihat semua itu, kamu masih bisa percaya cinta?"

Aku mengangguk. "Karena aku bisa merasakannya."

"Pada siapa? Apa orangnya kukenal?" Dirga menyipit padaku.

Ya. Orangnya kamu.

Kutelan ludah, siap mengubah topik. "Apa itu penting sekarang? Yang kutanyakan sekarang itu soal kamu. Jadi, kita kupas dulu semua soal kamu sekarang."

"Kamu membuatku merinding." Dia mengelus kedua lengannya.

Aku tertawa. Dia menyemburkan dengkusan geli yang ikhlas.

Suasana yang tadinya akrab menjadi kembali canggung ketika tawa selesai. Masing-masing kami seperti punya banyak hal untuk disuarakan. Buatku, aku punya banyak pertanyaan, tapi sedang kususun prioritasnya dalam otak sebelum bicara.

"Apa kamu nggak pernah merasakan jatuh cinta? Seumur hidupmu?" Setelah mengucapkannya aku tahu aku memilih yang terbaik, ini yang paling ingin kutahu.

Kulihat dia menyandarkan punggungnya di kaki kasur, tangannya bersedekap, dan alisnya mengerut. Debaran jantungku berpacu cepat selama jeda yang ia buat.

"Pernah," katanya.

Jantungku hampir lepas. Kini aku tinggal memilih dari dua pilihan, "Siapa orang itu?" atau "Jadi, apa kamu masih menyukainya?" Kedua pilihan itu seperti memilih botol putih yang pilihannya racun atau bukan. Namun, aku sudah memantapkan hati.

"Tapi, aku ingin melupakannya," katanya, mendahuluiku. "Buatku, jatuh cinta sedikit menakutkan."

"Kenapa?"

Dia menatapku, tepat di mataku. "Karena semakin dalam perasaanmu pada seseorang, semakin dalam kamu akan terluka ketika dia pergi.

"Perasaan suka, cinta, atau semacamnya, bukan sesuatu yang bisa bertahan selamanya. Bisa jadi, hari ini dia suka, cinta, kemudian, besoknya keberadaanmu nggak lagi penting untuknya. Akhirnya, satu-satunya yang akan terluka dan bodoh cuma kamu yang masih berharap."

Suaranya bergetar. Ia memandang langit-langit, gestur mengatakan kalau dia tidak terguncang. Tapi, aku tahu itu hanya caranya menyembunyikan perasaannya. Matanya berkaca-kaca. Akan lebih baik kalau dia tetap menjadi anak kecil yang menangis ketika bersedih karena mengenang mamanya.

Tanganku terangkat hendak meremas pundaknya, memberinya dukungan mental. Namun, tanganku jatuh ke samping ketika dia mendadak bangkit berdiri.

"Kurasa, aku jadi sedikit melankolis karena sakit." Dia menarik ingus. "Kayaknya, aku harus cepat tidur. Kamu sama Maya nggak perlu diantar pulang, kan?"

Aku bangkit berdiri, mengikuti langkah Dirga ke depan pintu. Ia mengumbar senyum manis, yang dalam pandanganku terasa pahit.

"Dir," panggilku.

Tangannya berhenti pada kenop pintu. Ia menelengkan kepala melihatku.

"Aku nggak tahu banyak soal apa yang kamu alami, soal kehilangan dan masalah keluargamu," kataku. "Tapi, apa kamu mau mendengar pendapatku sebagai orang luar?"

Dirga memutar badannya, berbalik menghadapku.

"Jangan memperumit hidupmu. Yang bisa menahan hal buruk terjadi cuma Tuhan, manusia tidak punya kekuatan sebesar itu," kataku. "Jangan takut seberapa lama perasaanmu atau dia bertahan, karena walaupun kamu mau, manusia nggak bisa hidup selamanya. Tentu, kamu pasti akan terluka karena cinta, sama seperti semua hubungan di dunia. Lukanya memang nyata, tapi itu nggak mengubah kenyataan kalau kamu pernah mencintai."

Dia terdiam. Bergeming di depanku, rautnya tidak terbaca. Sepertinya, aku terlalu banyak bicara. Mestinya aku tidak mencoba menggurui. Kehidupan dan kepercayaannya adalah ranah pribadinya. Tapi, melihatnya tersiksa seperti ini, memendam semua masalahnya sendirian, agak membuatku sedih. Aku ingin sedikit meringankan bebannya.

"Jadi, menurutmu, orang sepertiku juga bisa mencintai?" tanyanya.

"Iya."

Mendadak, Dirga maju satu langkah, mendekatkan jarak kami. Aku menahan napas.

"Kamu tahu. Aku merasa panas," katanya, matanya sayu.

Kutempelkan tangan ke dahinya, mengecek suhu badannya dengan milikku, yang agaknya tidak banyak berbeda.

"Kamu butuh istirahat. Tidur di kasur saja, kuambilkan obat di luar."

Langkahku terhenti karena sesuatu menahanku di belakang. Dirga mencekal pergelangan tanganku.

"Daripada itu, ada hal yang lebih penting," katanya.

Aku menelan ludah waktu ia mendekatkan jarak kami, hingga dapat kurasakan napas hangat yang ke luar darinya waktu ia menunduk dan aku mendongak. Bola matanya hitam dan jernih. Seakan kalau kamu menatapnya lama, dapat menghipnotismu melakukan hal-hal di luar batas. Jantungku berdebar cepat, hingga aku khawatir kapan saja akan meletus. Anehnya, aku mendengar debaran jantung lain, saling berkejaran. Pastinya bukan hanya milikku.

Suasananya berubah menjadi lebih intens, begitu berbeda namun akrab. Hangat dan dramatis. Dirga memegang pipiku, mengkonfirmasi tindakan kami dari sesuatu yang hanya terjadi dalam pikiranku, menjadi sesuatu yang benar-benar akan kami lakukan.

Aku menutup mata saat merasakan jarak kami hampir pupus ....

Drrrtttttt. Drrrttttt.

Suara getar dari suatu tempat, menyentak seluruh indra dan kesadaran kami. Awalnya, kupikir suara itu hanya terjadi dalam pikiranku, namun suaranya terus terdengar dan aku merasakan Dirga menjauhkan kepalanya. Itu membuatku kecewa.

Kuangkat telepon itu agak tidak rela.

"Iya, Ma?"

Dari seberang sambungan, kudengar suara seseorang menangis yang agak jauh. Kucek sekali lagi kontak penelepon. Benar, punya Mama.

Kasak-kusuk bunyi radio yang hilang timbul berbunyi, sepertinya teleponnya di pindah ke tangan lain.

"Pulanglah sekarang," kata Papa, agak bindeng. "Kita harus ke rumah sakit."

****

Tambah hari partku tambah panjang. Maapkeun ya guys 😟

[If you like this story and want to appreciate, click button star on the left corner of your screen to vote ! Atau, add cerita ini ke library kamu supaya jadi yang pertama tahu kalau aku update bab terbaru.
THANK YOU! ❤]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top