13. Like Me, Like You
Bagaimana cara membuat seseorang menyukaimu?
Aku berjinjit mengambil buku pada rak paling atas. Seseorang menempatkan buku itu tidak sesuai nomor bukunya. Sebagai seseorang yang bertugas beres-beres perpustakaan, aku harus mengembalikannya. Jariku gemetaran di atas seperti sedang sakit tremor, itu karena aku memaksa seluruh tubuhku meninggi dalam sekejap, ujung jariku sesenti lagi hampir menyentuh punggung bukunya.
Belum sampai kugapai, seseorang menggenggam buku itu lebih dulu. Dia berdiri di belakangku. Badannya menyentuh punggungku. Hangat. Aroma tubuhnya samar-samar tercium, seperti sabun wangi citrus yang kukenal.
Sinar matahari terang yang tembus dari kaca jendela, memancar mukanya. Aku tidak bisa melihat wajahnya dari sudutku. Yang dapat kulihat adalah dagu perseginya yang terangkat, lehernya yang jenjang, dan jakunnya yang bergerak naik turun ketika menelan ludah. Tidak ada yang spesial dari tonjolan tulang rawan pada leher, kecuali saat itu aku menganggapnya seksi. Tuhan memberi kecacatan pada leher pria untuk mengeluarkan pesonanya.
Momen ini seperti suatu adegan klise yang dicomot ke luar dari drama romantis. Saat-saat ketika pemeran utama jatuh hati pada pria random yang membantunya mengambilkan buku yang terlalu jauh untuk ia gapai. Kadang-kadang, perhatian terkecillah yang membuat hati seseorang tergetar.
'Oh, dia lebih mengerti apa yang aku butuhkan, dibanding memberi bunga yang tidak ada manfaatnya untuk tubuhku. Aku bahkan tidak makan bunga,' perasaan seperti itu. Jantungku berdebar cepat, seperti seorang ahli medis membelah rongga dadaku dan meremas jantungku.
Ia menurunkan pandangan, membuat mata kami bertemu.
"Ini bukumu." Ia menyodorkan buku itu, mengumbar senyum ramah padaku. Tangannya yang dipenuhi bulu-bulu halus, mengelus rambut kecoklatannya yang tertata kaku berdiri karena gel. "Kukira perpustakaan sedang menanam bunga mawar, ternyata wangi bunga yang aku cium berasal darimu."
Dan, debaranku berakhir sia-sia. Orang ini bukan Dirga.
"Hai, namaku Mark." Dia menyodorkan sebelah tangannya. "Kutebak namamu. Kamu pasti ...," ia menyipit genit, "... Mawar, kan?"
Kuakui nama Nola tidak bagus-bagus amat, tapi itu lebih baik dari nama samaran tukang bakso yang menyuntikkan boraks ke dagangannya, yang biasa dipakai di acara TV. 'Mawar', katanya.
Kurampas buku di tangannya dengan cara yang jauh dari kata halus. Menghindari tangannya yang disodorkan minta dijabat karena jari-jariku menekuk keriting dan sedang menahan mual. Ucapan chessy barusan terngiang-ngiang di kepalaku.
"Kayaknya Kakak salah orang, deh. Di sini juga nggak nanam mawar, adanya bau debu," kataku, sengaja bernada sinis.
Aroma lemon dan rose honey yang terlalu semerbak, mendadak membobol masuk. Menyerang hidungku, dan menyentrum setiap indraku hingga tanpa sadar aku menahan napas dan melompat dua langkah mundur.
"Kamu nggak apa-apa?" Matanya selebar ikan mas koi itu melebar khawatir.
Aku menggeleng, menahan napas dalam-dalam, sebelum melempar bukuku ke meja dorong dan berlari secepat pelari sprint ke lorong sebelah.
Kulepas jepitan jari di hidungku ketika berada di lorong lain. Menarik napas banyak-banyak, membersihkan paru-paruku dari wangi parfum citrus-floral menyengat tadi. Cowok itu pasti merendam dirinya di kolam parfum selama berhari-hari, baunya seperti itu. Bisa-bisanya aku menyamakan pipet parfum cheesy itu dengan Dirga.
Kutatap diriku di cermin lipat bulat yang kubawa, menghapus lipstik di bibirku yang terlalu merah, juga pipiku yang terasa berminyak karena foundation. Melepas lipatan pada mulut rok di pinggangku yang tidak nyaman, membuat rokku kependekan dan kakiku dingin.
Menurut majalah yang kubaca, cara terbaik untuk disukai seseorang adalah menunjukkan sisi dirimu yang mengejutkan. Jadi, hari ini aku berusaha menunjukkan sisi diriku yang lebih seksi dan cantik. Tak tahunya, itu memancing playboy cap tikus.
Kemampuan kognitifku menurun karena jatuh cinta. Lebih buruk lagi setelah ucapan kakak.
" ... seseorang yang mengatakan cinta itu tidak ada, karena dia ingin percaya."
Ditolak secara tidak langsung saja sudah menyedihkan, sekarang aku harus meyakinkan Dirga untuk mencintaiku? Ini sama saja menggali kuburanku dua kali.
Tapi ... apa yang membuat cowok itu tidak percaya cinta?
"Nola!"
"WAAAA!" teriakku, terkejut.
Cermin lipatku meluncur ke bawah, dengan sigap kutangkap saat melewati perutku. Posisiku, jadinya berlutut di lantai.
Kepala Maya menjulur dari rak buku sebelah. Ia tampak puas.
"Kamu lagi ngapain?" kata Maya dengan cengiran kudanya.
Aku menepuk lututku, dengan salah tingkah bangkit berdiri. "Lagi merapikan rak buku. Ngapain sih, datang-datang bikin kaget!"
Maya terkikik. "Cuma mau bilang, Dirga nggak bisa datang piket di perpustakaan bareng kita. Tadi dia pulang cepat karena nggak enak badan. Tahu tuh, kalau itu cuma akal-akalan dia karena males bantuin kita kerja di perpustakaan."
"Dirga, sakit?"
"Iya. Katanya, dia demam."
Waktu ketemu di kantin tadi mukanya memang agak merah, tapi kukira itu karena panas matahari saja.
Mata Maya berbinar. "Gimana kalau kita ke rumahnya buat ganggu dia istirahat? Aku mau melihat wajah menderitanya, jarang-jarang kan ada kesempatan lihat orang sok tahu itu nggak dalam penampilan prima."
Ia mengembangkan seringai serigala licik. "Mungkin, aku bisa mencari kelemahannya. Siapa tahu dia punya kebiasaan jadi anjing kalau sakit atau nonton video porno. Aku bisa memakainya untuk balas dendam sudah melaporkanku berniat ke Malang bareng Kak Rangga."
Aku bergidik. Kalau aku bisa melihat aura orang, pasti kabut-kabut gelap pekat sedang menguar keluar dari Maya. Dia seperti sedang merencanakan membunuh Dirga pelan-pelan, bukan menjenguknya.
****
Sorenya, aku dan Maya memutuskan menjenguk Dirga. Ketika aku bilang pada mama soal itu dan minta izin pulang agak malam, mama langsung bergerak ke dapur. Kukira dia tidak peduli bagaimana keadaan anak orang, namun saat aku memasang sendal untuk pergi ke rumah Dirga, mama datang dengan kotak plastik berisi ayam tim jahe.
"Kamu sama Maya belilah makanan lain. Ini khusus buat Dirga," katanya, sangat mengharukan. Tapi, air mataku tidak jadi jatuh karena mama tidak memberiku uang jajan.
Sesampainya di rumah Dirga, kami berpapasan dengan Om Tara di pintu depan. Ia memakai baju kantor dan sedang buru-buru ke luar. Pekerjaan memanggilnya lagi. Kerja analis kredit suatu bank besar memang sibuk. Ia bahkan harus meninggalkan anaknya yang sakit.
Untungnya, keadaan Dirga sudah jauh lebih baik. Ia masih terbaring lemah di kasur, dengan bekas-bekas tisu bertebaran, dan dahinya ditempeli Bye Bye Fever. Namun, aku tahu dia baik-baik saja karena ia bisa melempari Maya kotak tisu saat Maya masuk ke kamarnya dan menyapanya dengan, "Aelah ... masih hidup."
Ya, dua sepupu itu memang selalu bersemangat.
"Cerita ini payah sekali." Dirga memasukkan sebiji Cheetos ke dalam mulutnya. "Sudah tahu rumah sebesar itu dihargai murah sudah mencurigakan, masih juga nggak milih pindah ke sana. Itu namanya mengumpankan diri sendiri ke hantu."
Credit title bergulir turun dalam layar TV. Kami baru saja habis menonton film The Conjuring di TV ruang tamu. Rencana kami sebenarnya bukan ini. Kami hanya ingin datang menghiburnya, dengan makanan dan obrolan ringan selama belasan menit, lalu pulang agar Dirga bisa beristirahat dengan baik setelah minum obat. Tapi, kami terlena. Apalagi, setelah Maya membuka TV dan tahu kalau Smart TV milik Dirga bisa tersambung ke internet.
Aku merampas bungkus Cheetos dari pangkuan Dirga, menyipit padanya untuk mengingatkannya untuk tidak makan gorengan ketika tenggorokannya masih sakit. Dirga agak sedih ketika aku menyodorkan ayam tim jahe yang sisa separuh piring.
Maya mengeluarkan kaset dari DVD player. "Kenapa? Mereka kekurangan uang dan tahu rumah bagus. Tentu saja mereka menggunakan kesempatan itu untuk bisa hidup mewah."
"Tinggal di rumah mewah, nggak berarti bisa hidup mewah. Gaya hidup nggak merubah kondisi keuangan." Dirga mendecak. "Makanya, aku nggak suka nonton film horror. Nggak logis."
"Oh, cerita ini sangat payah sampai kamu teriak sepanjang film?"
Dirga memelototinya, kukira karena dia malu mempertontonkan sisi penakutnya pada dua gadis setahun di bawahnya. Dia tidak tahu kalau dia tampak manis saat ketakutan, pura-pura menyelimuti diri sampai ke atas hidung karena kedinginan, padahal berjaga-jaga menutup mata kalau-kalau hantunya muncul. Seperti bocah penakut dengan rasa ingin tahu tinggi.
Aku menaruh mangkuk mi instanku yang telah tandas ke meja. Kulirik mereka berdua bergantian. "Sekarang sudah adil, kan? Nonton film horror sekarang, dan Halloween nanti nonton Purge. Jadi, sudahi pertengkaran kalian."
"Kamu bisa bicara santai sekarang, padahal tadi ada yang jengkel sekali karena kalah suit dari Maya, karena nggak bisa nonton film barunya Sam Claflin." Kini Dirga memancingku masuk dalam pertengkaran babak baru.
"Aku mau nonton Me Before You karena alurnya, bukan aktornya."
"Sebagian besar karena aktornya," goda Dirga.
"Unsur menarik tidaknya cerita, salah satunya karena ketampanan aktornya," timpal Maya, mengangguk-angguk.
"Terserah kalianlah." Aku memutar bola mata sebal. Meski dalam hati membenarkannya. Sam Claflin memang setampan itu, sebelum Ryan Gosling kesayanganku.
"Kamu sudah nggak apa-apa?" tanyaku pada Dirga yang asyik menggigit paha ayamnya. Ia meringkuk dalam selimut, mukanya sudah lebih segar.
Kupegang dahinya untuk mengecek suhu. Tangannya yang sedang memegang paha ayam membeku, menungguku. Untuk beberapa saat, dia menatapku gugup.
"Panasmu sudah turun. Obatnya bekerja. Habis ini, ganti baju dan langsung istirahat. Besok kamu harus masuk sekolah."
"Aku bukan anak-anak," gerutunya, menjauhkan dahinya dariku.
Aku mendengkus mengamatinya menghabiskan makanan. Padahal aku cuma khawatir, tapi dia malah marah-marah. Pikiran cowok memang susah dimengerti.
"Teman-teman." Maya bertepuk tangan, meminta perhatian. "Aku punya pengumuman penting!"
Aku dan Dirga meliriknya, tanpa antisipasi berlebih. Terakhir kali, kami melakukannya, Maya bertanya foto mana yang bagus ia upload untuk memamerkan pada orang-orang kalau Kak Rangga itu pacarnya. "Menurut kalian yang mana bagus?" Kedua foto yang ia gulir bedanya hanya di Maya tersenyum atau duck face, sedang Kak Rangga merangkulnya dengan senyuman tipis yang sama.
Maya memelankan suara. "Minggu depan, aku diajak Kak Rangga main ke rumah orang tuanya di Malang. Ini kali pertamanya aku ketemu orang tuanya! Apa yang harus kulakukan? Bagusnya pakai dress manis atau pakai atasan-celana yang sopan? Aku harus bawa hadiah apa buat mereka? Ahhh, benar-benar nggak sabar!"
Ketemu orang tua pacar, itu berita besar. Butuh banyak persiapan, strategi matang, untuk mendapat kesan baik dari orang tua pacar, tapi ada hal lebih penting.
Aku mengernyit. "Katamu, Kak Rangga orang sini. Kenapa rumah mereka di Malang?"
"Itu rumah nenek mereka. Dia akan memperkenalkanku dengan keluarga besarnya." Kegugupan terlihat jelas di muka Maya. "Aku nggak tahu hubungan kami akan berjalan seserius ini. Awalnya, kukira hubungan kami cuma buat senang-senang saja, sebagai pacar semasa SMA, teman berbagi kenangan saja. Tapi kemudian, aku di sini."
Aku menenangkannya. "It's okay. Kamu memang nggak tahu ke depannya kalian kayak gimana, tapi menikmati masa sekarang juga penting."
"Bukan itu maksudku." Maya menegakkan badannya, menghadapku. "Maksudku, aku pacaran sama Kak Rangga karena kami mau membuat banyak 'kenangan'. Kenangan pacar pertama, kencan sebanyak-banyaknya, having rebellious experience as a student atas nama cinta seperti dalam drama-drama remaja, menjadi yang pertama buat masing-masing."
Aku mencerna kata-kata Maya selama beberapa detik. Lalu, bingung pada kalimat terakhirnya. Mendadak, Dirga menepuk punggung Maya keras-keras.
"Bocah kotor ini, pikirannya sudah gila," kutuk Dirga, matanya melotot. "Apa? 'Menjadi yang pertama buat masing-masing'? Kamu terlalu banyak nonton drama tujuh belas tahun ke atas, atau apa?"
Seper sekian detik otakku mencerna, lalu setelah paham, aku ikut menepuk punggungnya.
"Dasar cewek gila!" rutukku.
Maya mengusap punggungnya kesakitan. "Kenapa kalian memukulku? Apa salahku?"
"Menurutmu apa?" tantangku.
"Karena punya pikiran logis sebagai remaja sehat yang punya banyak rasa ingin tahu?"
"Pada hal yang salah!"
Maya menggeser duduknya menjauh, cukup jauh dari jangkauan tepukan tangan di punggungnya. Ia bergantian menatap kami berdua, tatapan simpatik bercampur penilaian negatif.
"Kalian mungkin nggak ngerti karena belum pernah pacaran, tapi wajar untuk membagi perasaan sukamu dengan pacarmu. Aku juga punya cukup pengetahuan untuk tahu kalau cowok harus pakai kondom kalau melakukannya, hari teraman buat wanita, dan apa yang kulakukan kalau kebocoran. Aku nggak berniat tidur bersama, buta-buta. Ini tubuhku juga."
Aku bisa melihat wajah Dirga yang memerah, entah kenapa pertengkaran ini sedikit berbeda dari biasanya. Suasananya lebih menyesakkan.
"Karena itu tubuhmu, makanya kamu harus menjaganya baik-baik. Kamu nggak boleh menyerahkannya pada sembarang orang yang nggak menghargaimu hanya karena rasa suka sesaat."
"Kak Rangga bukan sembarangan orang, dia pacarku." Bawah mata Maya berkedut kesal.
"Dia pacarmu semasa SMA, masa yang lainnya kamu nggak tahu." Dirga tahu kalau dia akan memenangkan pertengkaran ini karena itu dia menjaga suaranya tetap tenang, sulutan emosi tidak penting hanya membuatnya tambah lelah.
"Kamu bersikap seolah tahu segalanya," kata Maya dengan nada mengolok-olok. "Padahal aku tahu kamu nggak ada bedanya dengan cowok lain, yang suka pikiran kotor dan menyimpan majalah porno di balik bantalnya."
"Itu kata Rangga?"
"Kata artikel google!"
"Nggak semua artikel di google itu benar. Kalau ada berita soal bayi lahir secara otodidak apa kamu akan percaya begitu saja?"
"Lahir secara otodidak, apa itu mungkin?" dengkusku, sebisa mungkin mencari celah untuk bercanda. Situasinya sudah sangat keruh dan canggung.
"Turun dari langit begitu saja seperti dalam game The Sims, kalau itu benar terjadi, akan keren." Maya terpancing candaanku, kuharap itu artinya sulut amarahnya mulai reda.
"Hei, itu contoh saja, kenapa kalian malah memikirkannya? Apa kalian benar-benar percaya soal majalah porno itu juga?"
Maya mengangkat bahu. "Nggak ada yang tahu." Lalu, menatap Dirga dengan tatapan penuh arti seolah sedang menuduhnya telah melakukannya sembunyi-sembunyi.
Muka Dirga memerah sampai ke telinga-telinga, dan itu membuatku dan Maya langsung meledakkan tawa. Ia terus berusaha menjelaskan, tapi aku dan Maya sengaja membuatnya jengkel dengan menutup kedua telinga, tidak mau dengar. Dongkol, akhirnya dia menyerang kami dengan bantal kursi.
****
[ If you like this story and want to appreciate, click button star on the left corner of your screen to vote ! Atau, add cerita ini ke library kamu supaya jadi yang pertama tahu kalau aku update bab terbaru.
THANK YOU! ❤]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top