11. Fire Burning (II)

"Padahal mereka yang pertama menyerang, kenapa kita yang disuruh bersih-bersih perpustakaan?"

Itu omelan ketiga Maya dalam sepuluh menit ini. Usai ceramah panjang dari Bu Hasita tentang pengetahuan kesucian sekolah bagi siswa-siswi, disisipi pertanyaan-pertanyaan guna penyelidikan tentang siapa yang memulai pertengkaran, mengapa perkelahian terjadi, dan alasan kenapa perkelahian fisik bukan jalan keluar dari perdebatan. Kami disuruh menulis refleksi diri sebanyak tiga lembar dan menerima hukuman membersihkan perpustakaan selama seminggu.

Aku mencelupkan kain pel lantai dalam baskom dan memelintir ujungnya. Rintik-rintik air berjatuhan.

"Ini lebih baik daripada bersih-bersih toilet. Kita beruntung Bu Hasita tahu rekam jejak kejahatan gengnya Clara."

Sebagai informasi, ini bukan kali pertamanya gengnya Clara berbuat ulah. Valerie, anteknya, sudah dua kali kedapatan mencuri. Melly dan Clara pernah kedapatan merokok di halaman belakang sekolah. Bu Hasita adalah guru yang gemar bergosip, dia tahu masalah itu semudah mengingat telapak tangannya. Kantor guru memang tempatnya gosip-gosip murid tersebar.

"Tapi, kita korban."

"Kamu yang menjambak rambut Clara duluan. Dari sisi mana pun, kita penyerangnya."

"Dia mengataimu duluan!" sergah Maya, tidak mau kalah. "Kamu nggak tahu bagaimana perasaanku bersembunyi di toilet, mendengar semua bacotan murahannya. Dia psyco. Aku nggak bisa bayangkan gimana rasanya selama ini kamu temanan sama dia. Kalau kamu nggak datang dan meneriaki mereka, aku sudah siap melemparkan gayung ke mukanya."

Aku tertawa puas. Keberadaan Maya adalah kejutan terbaik dari perkelahian tadi siang. Kalau dia tidak ada, aku pasti akan mempermalukan diriku sendiri lagi. Aku pasti memasrahkan diri dihujat sedemikian rupa, lalu kabur karena tidak tahan, sambil menangis meraung-raung. Clara dan gengnya akan merasa menang.

Kupeluk leher Maya.

"Makasih, karena telah ada di sana membelaku," kataku, segenap hati. "Maaf sekali, kamu jadi mendapat hukuman ini."

Maya memegang tanganku yang melingkari lehernya. "It's okay, Sis. Dari dulu aku memang ingin sekali memukul muka Clara. Aku sering memikirkan akan semenyenangkan apa kalau aku berhasil melakukannya, tiba-tiba kamu datang dan memberiku kesempatan ini."

Aku tersenyum kecil. "Jadi, menyenangkan?"

"Lebih menyenangkan dari khayalanku!" sahutnya heboh dan tertawa jahat.

Aku ikut tertawa, tapi tidak berlangsung lama karena Maya menyambar, "Kamu." Telunjuknya beberapa senti dari hidungku. "Kalau ada orang cari masalah sama kamu atau merisak kamu lagi, tatap mereka tepat di matanya, lalu maki. Ingat!"

Aku mengangguk. "Tatap matanya dan hujat," ulangku.

"Kamu bisa menghujat, kan?"

Aku mengangguk malu-malu. Teringat lagi dengan kejadian di toilet. Hujatanku tadi sangat lembek, jadi malu kalau diingat-ingat. Harusnya aku bisa lebih tegas lagi.

"Baguslah." Ia menepuk tanganku yang merangkul lehernya pelan. Kemudian, seketika membelalak sampai alisnya terangkat tinggi ketika menatap tanganku. "Tunggu. Tanganmu .... Kamu memegang mukaku dengan air bekas cuci!" Ia menggeliat-geliatkan lehernya ke luar dari pelukanku, menyodok pinggangku dengan siku agar aku melepasnya.

Aku tertawa waktu Maya mencium kerah bajunya dan mengeluarkan ekspresi mau muntah.

Dirga yang sejak tadi memajang buku-buku pinjaman di rak buku, turun dari tangga lipat kayu. Ia datang menyodok bahuku dengan bahunya.

"Kalau kamu mau balas budi, kamu bisa mentraktir kita makan pizza habis ini. Gimana?"

Dirga menatapku intens, menunggu persetujuanku. Sebelum kain lap melayang ke mukanya.

"Eyyy, bocah! Aku yang berjasa, kamu yang minta balas budi. Cuma datang majang buku doang, mau minta imbalan!" seru Maya.

Dirga memungut kain lap itu di lantai dan mengembalikannya ke genggaman Maya.

"Bukannya mau sombong, ya. Tapi, ingatlah kalau aku yang paling berjasa supaya kalian nggak luka parah karena perkelahian nggak bermutu itu."

Mata Maya melebar. "Kamu ...." Ia tergagap. "Jangan bilang, kamu yang memanggil Bu Hasita tadi?"

Dirga senyam-senyum. Sudah cukup menjelaskan maksudnya. Pantas saja dia sukarela membantu kami membersihkan perpustakaan tanpa diminta.

Maya melempar kain lap basah lagi kepada Dirga. Kali ini Dirga berhasil menangkapnya.

"Sialan! Jadi kamu dalangnya?" Maya bernapas seperti gorilla lepas dari hutan. Ia menggerakkan ujung jarinya menunjuk Dirga, berkata dengan geram, "Sini kamu."

Maya melompat menyerang Dirga. Dirga cukup cekatan untuk menghindarinya dan berlari ke lorong perpustakaan. Mereka kejar-kejaran mengitari lorong perpustakaan yang tampak seperti labirin. Satu waktu, tangan Maya mendapat kerah baju belakang Dirga, lantas membuat cowok itu jatuh terjengkang ke lantai, sebelum cepat-cepat merangkak menjauh. Aku tertawa sampai perutku sakit.

Dua sepupu itu memang punya pertalian darah. Mereka selalu bersemangat.

****

Menu pizza untuk makan malam harus kami tahan dulu karena uang sakuku tidak cukup untuk membeli satu pan pizza ukuran large berpinggiran cheesy bites, yang biasa kami pesan. Jadi, kami bergeser ke menu makanan siap saji lainnya, ayam goreng Kentucky.

Waktu aku hendak membayar, Dirga datang ke depan kasir, mengeluarkan dua lembar uang lima puluh. "Simpan saja uangmu buat lain kali," katanya. Aku menolak (pura-pura sungkan) tapi tetap menyimpan dompetku. Bagi Dirga, makan di restoran bukanlah masalah, beda dengan isi dompetku yang sudah setipis kertas. Berteman dengan orang kaya memang punya banyak sisi menguntungkan.

Setelah makan, Maya mengusulkan kami lanjut karaoke. Dirga menolaknya, dia punya janji main di warnet dengan Edo, teman satu klub caturnya. Akhirnya, malam kami berakhir lebih cepat.

"Cowok-cowok memang suka sok sibuk," omel Maya dalam perjalanan pulang.

Karaoke memang kesenangan Maya. Namun, aku tahu ketimbang kecewa harus pulang lebih cepat, dia lebih kecewa pada pacarnya yang lagi-lagi membatalkan kencan mereka. Kehidupan Maya berputar di sekitar pacarnya, tapi Kak Rangga tidak begitu. Ia punya banyak janji dengan teman-teman klub basketnya, tugas, dan kursus untuk anak kelas tiga.

Menurutku, lumrah saja punya kehidupan lain selain dunia pacaran. Sebelum pacaran kita hidup di lingkungan yang kita buat, kenapa harus melepas circle itu demi satu orang?

"Karena itu nggak adil. Dia suka sama aku, kenapa aku nggak jadi prioritas utama dia?" tanya Maya retoris, sebelum memasuki pagar rumahnya.

Hari masih belum terlalu larut, namun tanda-tanda orang rumah minim sekali. Papa yang biasanya lagi merokok di teras tidak ada, ruang tamu juga kosong. Jejak paling relevan kalau mereka sudah pulang hanya tidak ada sendal-sepatu tersebar di lantai depan rumah. Semua tersimpan rapi di rak sepatu. Sudah jadi kesenangan Mama untuk menjaga kerapian setiap sudut di rumah.

Aku bersorak dalam hati, berjinjit naik ke lantai atas pelan-pelan. Takut orang-orang mendapatiku pulang di jam ini dalam keadaan setengah babak belur.

"Baru pulang?"

Kakiku mematung pada anak tangga kedua. Bulu kudukku merinding. Sangat mengenal suara tenang yang kala itu membuat jantungku kebat-kebit. Lewat cermin buram pembatas ruang dapur dan tangga, seorang wanita paruh baya duduk di meja makan. Cahaya jingga dari lampu kepompong di atas meja makan memancar mukanya. Ia tampak seram.

"Iya, Ma," jawabku setenang mungkin. Agak memalingkan sebelah muka. Bekas cakar membekas di daguku.

Mama berdiri dari tempat duduk. "Hape Adek mati? Mama telepon terus tidak dijawab."

Aku mengambil ponselku di kantung jaket. Memencet tombol power. Layarnya tetap hitam.

"Baterai hapeku habis. Memangnya ada apa, Ma?"

Bahu Mama naik turun waktu ia menghela napas. Mukanya nampak gusar.

"Dari tadi Mama telepon hape Adek terus, mau ingatin datang ke acara peringatan kematian Nenek, tapi, nggak bisa-bisa."

"Itu hari ini?"

"Iya."

Di wajahku nampaknya tertulis, 'aku benar-benar lupa', karena ia menatapku lama seakan ingin berusaha memaklumi. Namun, rupanya sulit.

"Mbak Desy, anaknya Tante Delima saja datang lho, padahal kuliah lagi sibuk-sibuknya. Dia tahu kalau kita pasti kekurangan orang menjamu tamu. Jadi, dia rela datang."

Perasaan bersalah memukulku lagi dan hampir membuatku terpelanting. Kupertahankan berdiri tegak karena akal sehat. Mama sedang marah. Dia butuh samsak hidup untuk dijadikan pelampiasan, bukan mendengar alasan drama remajaku. Aku hanya perlu terlihat menyesal.

Belum sempat kulakukan, Mama mendadak berjalan mendekat. Matanya menangkap sesuatu dariku yang selanjutnya kutahu maksudnya ketika dia memalingkan mukaku.

"Kamu habis berkelahi?" Mama menangkup pipiku dan memalingkannya lagi. Nampaklah lebam merah muda di tulang pipiku.

Kuhentak kepala, melepaskan tangan Mama. "Cuma jatuh," bohongku.

"Apanya yang cuma jatuh?" Mama menangkup pipiku lagi, melihat daguku. "Jelas-jelas ini bekas cakaran orang!"

Kulepaskan tangannya lagi. "Ini beneran nggak apa-apa."

"Mama tidak apa-apa kalau kamu nggak bantu-bantu di acara peringatan kematian Nenek, tapi sekarang Mama kecewa sama kamu. Kemarin pulang basah-basahan, hari ini dapat luka. Besok-besok, Adek mau berulah apa lagi?"

"Adek ada alasannya juga. Gini Ma-"

Mama memotong, "Adek memang masih muda, tapi tidak berarti bisa buang-buang waktu seenaknya. Contohi kakakmu itu. Dia tidak pernah melewatkan satu hari tanpa belajar, tidak pernah pulang malam, nilainya bagus di sekolah, dan hari ini, dia mau merelakan kursusnya untuk membantu Mama melayani di acara Nenek supaya bisa mempertahankan muka Mama di depan saudara-saudara papamu yang selalu meremehkan keluarga kita. Kenapa Adek jadi begini?"

Amarahku yang sejak tadi kutahan, menjalar naik ke ubun-ubun.

"Kak Nara tidak berkorban apa-apa, Ma. Dia membantu karena dia anak Mama, seperti aku biasanya."

"Bukan itu yang Mama bicarakan."

"Jadi apa?" Nada suaraku meninggi. "Apa karena Kak Nara lebih hebat dariku, waktunya lebih berharga buat dipakai daripada aku? Karena Kak Nara lebih pintar makanya dia lebih diutamakan? Apa kasih sayang kalian diukur dari seberapa pintarnya kami?"

"Nola-"

Bola pimpong tak terlihat rasanya turun, mengembang, dan menekan dadaku. Aku mengatur napas berat karenanya, namun itu tidak membuatku lega. Aku mengencangkan rahang.

"Aku juga suka makan di luar, tapi kenapa kalian tidak pernah merayakan ulang tahunku semeriah Kak Nara? Aku tidak mau uang saku atau kue ulang tahun yang kutiup sendiri. Aku mau meniupnya sama-sama dan punya foto ulang tahun. Aku juga punya banyak gaun cantik! Kenapa ...." Suaraku tercekat merasakan amarah lebih besar dari yang bisa kupendam.

"Nola, maksud Mama-"

Pandanganku mulai mengabur. Napasku pendek-pendek, pertanda isakan sebentar lagi datang.

Aku membentak. "Kenapa Mama tidak pernah mau kasih apa yang aku mau? Kenapa selalu aku yang mengalah sama Kak Nara? Aku anak kalian juga. Kenapa kalian memperlakukanku seperti ini?"

Kuhapus air mata yang jatuh dari pelupuk dengan punggung tangan, melangkah mundur, lalu berlari ke pintu ke luar secepat mungkin. Aku mendengar teriakan Mama memanggil namaku, tapi aku tidak berpaling.

Sebanyak-banyaknya aku membenci berada di rumah. Sebanyak-banyaknya aku membenci melihat wajah Papa dan Mama, mengingat ketidakadilan yang kudapat. Daripada itu semua, aku lebih benci diriku yang tidak berdaya.

Kenapa aku tidak pernah bisa sedikit lebih baik?

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top