10. Fire Burning (I)
Keesokan paginya, aku bangun dengan mata bengkak. Niatku pergi sekolah sudah setipis helai tisu. Walau begitu, aku memaksa tubuhku merangkak ke dapur, mengeluarkan wajan, dan memasak nasi goreng ayam kampung. Mama turun dari lantai atas ketika aku sedang menatanya dalam kotak bekal. Matanya melebar melihat pemandangan dapur yang berantakan.
"Kamu bangun pagi-pagi bukannya bawa berkah, malah bawa celaka. Ini habis Perang Dunia III atau apa?"
Aku cengengesan dan sukarela menawarkan diri merapikan dapur, tapi Mama menolaknya karena katanya keberadaanku di sana bikin dia tambah pusing. Tak lupa mengingatkanku acara peringatan setahun Nenek sebentar malam, menambah kalimat 'ingat jam 6' dan 'jangan telat' tiga kali. Kuduga ia masih marah karena kemarin aku pulang telat dalam keadaan basah, bunga lily pesanannya pun tidak sempat kubelikan.
Berbicara soal kejadian kemarin, aku mengikuti nasihat Dirga dengan mengirimkan pesan singkat berisi 'tas kalian ada di perpustakaan' dan 'fyi, perpustakaan tutup jam empat'. Lima detik kemudian mereka membacanya, lalu mencercaku dengan pertanyaan penuh kepanikan kalau mungkin aku sedang bercanda dan soal aku di mana. Kutunjukkan keseriusanku dengan ke luar dari grup.
"Mereka pasti menggila." Dirga tertawa licik, seakan sudah menunggu momen ini sejak lama. Meski memang, pembalasan kami sangat rendahan.
Aku memandangnya gugup karena tahu mulai saat itu grup tugasku resmi bubar. Dirga menenangkanku dengan bilang, "Tenang saja. Kamu tinggal bilang sama Bu Hasita kalau anggota kelompokmu tidak mau diajak kerja sama. Dia pasti mengerti."
Ada suatu momen yang membuatku tersentuh. Ketika selepas menangis dan tahu dia masih ada di sisiku. Tanpa bicara kalimat menenangkan, hanya ada saja dan menyelimutiku dengan jaketnya. Wangi sabun mandi lemon yang menguar darinya, membuatku tenang.
Ketika aku bertanya kenapa dia masih ada di sekolah jam segini, dia bilang, "Aku belum pulang."
Anehnya, seragamnya basah. Dan tadi pagi kami berangkat naik angkot, tapi motornya sekarang terparkir di halaman sekolah, sedang diguyur hujan tepat di depan kami.
"Apa kamu seperhatian ini sama cewek lain?" Aku menggerakkan mata menunjuk jarak antar kami ketika dia memandangku bingung. "Memberikan jaket ini, menungguku menangis."
Dia bicara sambil lalu, "Nggaklah, ngapain." Lalu melebarkan payungnya, yang sebenarnya cukup kecil untuk melindungi kami berdua dan sebuah motor. Hujan masih turun deras di luar.
Aku memukul lengannya. Dia terlonjak kaget.
"Berhenti menggodaku," kataku. "Aku tahu aku kelihatan gampangan, tapi aku nggak bodoh. Aku tahu kamu lagi suka sama seseorang."
Matanya melebar, tapi mulutnya terkatup tidak mau menanggapi.
"Cewek yang kamu kasih buket bunga itu. Dia nggak akan suka kalau kamu seperhatian ini sama cewek lain." Aku melepas jaketnya di bahuku dan mengembalikannya. "Terlalu baik dalam pertemanan menjadikanmu kacung, tapi dalam percintaan, sikap baik menjadikanmu brengsek. Kamu nggak brengsek, kan?"
Raut Dirga yang tadinya menegang berubah tenang, malah sudut bibirnya bergetar. Dia bertanya dengan sebelah alis terangkat, "Cewek yang aku kasih buket bunga?"
"Iya. Dia yang kamu kasih buket dua minggu lalu." Kedua alisnya terangkat tinggi. Aku mendengkus. "Nggak usah pura-pura lagi bilang kamu nggak suka siapa pun. Aku tahu dan paham semuanya. Jangan memaksa dirimu menahan kehendak hatimu."
Dirga masih belum bicara. Kukira dia syok, tapi setelahnya dia mengatupkan mulut dan kelepasan menyemburkan napas geli. Dia tertawa terbahak-bahak. Tangannya sampai memeluk perut saking lucunya. Entah, dia habis kesambet setan atau memang otaknya lagi rusak.
"Apanya yang lucu?"
Ia menghabiskan tawanya dulu, lalu menjawab, "Kamu. Kamu bilang aku brengsek dan penggoda. Dari mana kamu belajar kata-kata itu? Maya?"
Aku memutar bola mata. "Nggak penting aku belajar di mana. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus memperbaiki sikap baikmu yang bermasalah ini."
"Sikapku nggak bermasalah."
"Bermasalah!"
"No." Dirga tidak mau kalah. "Karena orang yang aku kasih itu sudah meninggal."
Ribuan jarum tak terlihat lantas menghunjam menusuk hatiku. Aku terdiam seribu bahasa. Menatapnya syok. "Apa dia ...?"
"Apa tergolong brengsek kalau kasih bunga ke Mama?"
Aku mengedip-ngedipkan mata. Merasa pipiku memanas dengan sendirinya karena malu. Pipiku mungkin sudah semerah tomat. Makin merah ketika Dirga mendekat dan menatapku dengan senyum jahil itu.
"Kukira matamu kena penyakit filter positif. Ternyata kamu orangnya curigaan juga. Aku belum pernah lihat Nola yang ini sebelumnya."
Kuberanikan diri menatap manik mata hitamnya, tentu dengan perasaan tidak karuan dan jantung berdebar.
"Buruk?"
Dia menggeleng. Menyamakan jarak mata kami dan bicara dengan suara tenang, samar seperti angin berbisik, "Kamu mengesankan."
Kuperhatikan kotak bekal warna hijau di atas meja. Ada post-it kuning menempel di tutupnya, tulisan tangan, 'Kamu mengesankan'. Aku tersenyum pada hasilnya. Kemudian, sisi objektifitasku datang, merobek kertas itu menjadi delapan bagian. Barusan norak sekali.
Kutulis ulang di kertas baru kalimat, 'Aku tahu kamu suka nasi goreng, jadi ini sisa makan malam kami kemarin. Semoga suka'. Sedetik kuanggap hasilnya bagus sebelum merobek kertas itu juga.
Kubaringkan kepala di meja, memikirkan lagi kata-kata bagus yang normal untuk ditulis di atas kotak bekal. Harus menunjukkan rasa terima kasih, tapi tidak norak. Tidak terkesan spesial, tapi tidak juga kelihatan 'sama sekali tidak berusaha' misalnya menganggapnya tempat sampah untuk makanan sisaku.
Setelah beberapa menit berpikir, kuputuskan tidak menulis apa-apa dan pergi ke kelasnya. Mengajaknya makan bersama di beranda adalah langkah paling tepat. Lagi pula, aku cukup tahu Dirga orangnya praktis. Dia tidak butuh tahu niatku memberi, dia hanya mau makanannya.
Aku naik ke lantai dua, melawan arus orang-orang mengalir ke kantin, ramainya seukuran fans-fans artis yang berburu ketemu sosok idolanya. Waktu istirahat siang baru jalan beberapa menit. Tiba di lantai atas, aku berbelok ke lorong kelas sebelas yang telah lengang. Kelas Dirga dua ruangan dari sini, semoga saja dia belum turun ke kantin.
"Kemarin Nola beneran ninggalin tas kalian di perpustakaan?"
Kakiku berhenti melangkah. Mendengar sayup-sayup suara yang menyebut namaku. Suara itu merembes ke luar dari dinding toilet yang baru saja kulewati.
Seseorang yang bersuara lebih rendah dari cewek sebelumnya menjawab, "Iya. Pas banget lagi hujan, dan pas banget nyampe perpustakaan sudah tutup. Sial banget deh, kemarin. Untung dompet sama hape aku bawa."
Walau aku baru bicara beberapa kali sama Clara, aku cukup tahu suara tenang, anggun, agak intimidatif, itu dia. Bayangan soal dia dan gengnya berdiri di depan pintu perpustakaan yang sudah terkunci dengan seragam basah, cukup membuatku terhibur. Untung, aku meninggalkan tas mereka di sana.
Lawan bicaranya tertawa. "Kamu terlalu baik sama si kacung, makanya dia ngelunjak. Kalau aku jadi kamu, setelah ini aku pasti akan membawanya ke ruang kosong dan mengurungnya semalaman. Pembalasan minimal harus kayak gitulah."
"Kupertimbangkan."
Cewek itu mendesah kesal, agak tidak percaya usulannya tidak diterima. "Astaga. Clara yang kukenal sudah jadi lembek, ya? Kalau kayak gini kamu nggak akan pernah tepati janji. Katanya, mau buat Nola nggak datang ke sekolah lagi, buat dia ngejauh dari Dirga," katanya, lalu dia mengeluarkan suara orang merinding. "Geli deh, lihat keledai jelek itu deketin Dirga. Dia kira dia pantes?"
"Masih belum move on, Mar?" Clara tertawa. "Dirga sudah terang-terangan nolak kamu, masih kamu harapin juga."
"Belum nolak! Maya saja yang nggak niat aku deketin temannya. Tahulah, sifat ganjen dia suka kumat."
"Ugghhh. Dengar nama Maya jadi ingat pengalaman buruk. Kamu yang sebarin gosip dia ganjen, kok aku yang dapat sialnya?"
"Nasibmu jadi adik sepupu," cemoohnya. "Tapi, beneran deh, sejarahku sama Nola bisa dibilang ada ya. Tapi, kok kamu kayaknya semangat banget bully dia? Dia pernah punya salah sama kamu?"
"Nggak ada." Aku mendengar air mengucur, kemungkinan dari wastafel. "Dia cuma punya aura orang yang menjengkelkan. Kamu ngerti kan, perasaan melihat muka satu orang bawaannya pengen hidupnya menderita? Sok baik, sok polos banget lagi. Sekarang aslinya ke luar. Aku tahu pasti dia akan menjelek-jelekkan aku di mata orang lain. Karena itulah dia. Si mental korban."
"Mental korban? Astaga." Cewek yang dipanggil Mar itu tertawa kencang.
"Cewek bodoh. Senang banget aku kibulin buat piket. Dia bahkan terharu pas aku kasih parfum gratisan. Mengira kami temanan. Siapa juga yang mau temanan sama pecundang kayak dia."
Tawa kencang mereka menggema di telingaku. Menyadarkanku kembali pada kenyataan yang harus kuhadapi. Kutahan cairan yang hendak tumpah, mengencangkan rahang, dan memutar balik kembali ke lantai bawah. Pada langkah ketiga, aku berhenti. Teringat pada kalimat penenang Dirga kemarin.
Benar, tidak ada seorang pun yang akan peduli pada masalahku, jika aku sendiri membiarkannya. Aku harus memaki mereka sekali saja, demi diriku.
Sebelum keberanianku sirna, kugenggam kenop pintu, membukanya pelan-pelan hingga derit halusnya terdengar jelas di telingaku. Kubusungkan dada ke depan, menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan niat dan tenaga ke mulut. Lantas, berteriak.
"BERHENTI MEMBACOT, BAJINGAN TENGIK!!"
Maya dan Clara mematung berdiri di depan wastafel, memandangku dengan kedua mata melebar. Wajah mereka percampuran antara kaget seseorang datang membanting pintu toilet dan syok mendadak mendapat makian. Aku tidak tahu pasti, tapi yang kutahu sekarang aku seperti teroris yang menodongkan pistol kertas ke tengah-tengah pesawat yang tenang. Ini agak memalukan.
"M-maksudku, kalian nggak boleh membacoti orang di belakang mereka. Itu nggak sopan," kataku terbata. Memegang belakang leherku canggung, tak tahan ditatap aneh. "Bu-bukan berarti kalian bisa seenaknya mengatakan bodoh atau pecundang di depan orangnya."
Clara berjalan ke arahku. Begitu mendadak, agak membuat kakiku terdorong ke belakang. Namun, kubusungkan dada lagi, tidak mau terlihat terintimidasi, meski mataku terus sembunyi-sembunyi melirik pintu ke luar.
"Po-pokoknya, tindakan kalian itu nggak terpuji. Kalian paham, kan?"
Clara tiba di depanku, bersedekap. Tatapannya mirip elang menemukan mangsa empuknya terbaring di sarangnya. Dia tersenyum.
"Siapa ini? Nola? Kamu terlihat garang sekarang. Kamu berkembang."
Antek-anteknya memasang posisi di belakang Clara. Kutelan ludah, mengendalikan diri agar tidak gentar dan bertolak pinggang.
"Minta maaf." Suaraku terdengar bergetar. "Aku akan melupakan semuanya, jadi minta maaflah."
Untuk suatu alasan, Clara dan antek-anteknya bertukar pandang, lalu seketika meledakkan tawa.
"Memangnya aku ada salah apa sampai harus minta maaf?"
"Kamu tahu alasannya." Kugenggam buku-buku jariku erat-erat untuk mengontrol diri. "Minta maaf," tuturku lagi.
"Nggak mau," katanya. "Aku nggak merasa perkataanku salah. Malahan, kamu yang nggak sopan. Kenapa kamu menguping pembicaraan orang lain? Apa itu juga salah satu sifat burukmu?"
Clara berjalan maju, memojokkanku ke dinding toilet.
"Ini yang kubilang. Orang-orang seperti kamu nggak pernah mau mengakui kesalahan. Selalu berlindung sama muka sok polos dan sikap pura-pura baikmu, lalu menjadikan orang lain orang jahat. Aku nggak pernah mau menjadikanmu kacung atau semacamnya, tapi kamu sendiri yang mau dimanfaatkan. Kenapa sekarang itu jadi salahku?"
Mataku memanas dan sebentar lagi air mataku tumpah. Kukertakkan gigi. Menatapnya tepat di mata.
"Berhentilah," gumamku, hampir tak terdengar.
"Kenapa? Kamu marah? Tunjukkan taringmu sekarang dan lawan aku." Dia mendorong dahiku dengan jari. "Kamu nggak bisa melakukannya? Mau memelas lagi?" Jarinya menyodokku lagi. "Itu kan keahlianmu, berpura-pura baik."
Kepalaku terantuk ke dinding waktu dia mendorongnya lagi. Senyuman puas mekar di mukanya.
"Kamu benar-benar memuakkan."
Air dari suatu tempat menyembur muka Clara. Membuat wajah, seragam, dan sekujur tubuhnya basah. Rambutnya yang selalu tertata sempurna basah serupa rumput laut hitam. Bau busuk serupa air cucian menguar darinya.
Ia menggeram. Menajamkan mata membunuh mencari si penyembur air cucian busuk itu padanya. Sangat mudah mencari orang itu di ruangan ukuran dua kali tiga meter. Maya berdiri memegang ember kosong dalam posisi mengarah ke arah kami.
Maya menarik napas terkejut dan membuang ember. Dia berlari mendekat.
"Astaga. Sorry banget. Aku nggak lihat kamu di sana." Dia menepuk-nepuk seragam Clara yang basah. "Kirain tadi sampah, jadi mau aku siram."
Aku mengamati Maya dalam diam. Air mataku yang tadinya tergenang sampai masuk kembali karena kebingungan melihat tingkah baik Maya. Raut wajah Clara tampak amat sangat jengkel, juga kebingungan karena rivalnya tengah menyeka tangan dan rambutnya dengan tisu kering.
"Ternyata, sampah masyarakat."
Maya menjambak rambut Clara, memaksa kepala gadis itu mendongak. Matanya yang besar melotot ngeri.
"Kenapa kamu nggak mau minta maaf? Dia menyuruhmu minta maaf."
"Lepaskan aku, bocah murahan!" Clara menggapai-gapai rambut Maya dengan tangan panjangnya, namun Maya berhasil menghindar ke samping.
"Bocah murahan?!"
Clara memekik kesakitan karena tarikan Maya menguat di rambutnya. Tepat saat itu, antek Clara datang dan menjambak rambut Maya. Kepala Maya dipaksa ke samping.
Aku kebingungan, ingin membantu Maya tapi takut. Jadi, aku menahan tangan antek Maya, menghentakkannya keras-keras.
"Kita pergi dari sini dengan tenang," pintaku pada Maya.
Badan antek Clara lebih besar dariku, jadi tenaganya pun jauh berbeda. Aku perlu perlawanan lebih. Kugigit tangan cewek itu, namun belum sampai kulakukan, seseorang bergabung dalam perkelahian jambak-menjambak ini.
"Lawanmu aku, Keledai Jelek!" sahut Maria, memandangku dengan mata menyala.
Kubalas dia dengan menendang lututnya. Ia mengaduh sebentar, tapi tangannya di kepalaku menarik rambutku lebih kencang. Aku meringis, rasanya akar-akar rambutku hampir tercabut.
Yang kudengar berikut hanyalah suara memekik kesakitan dari segala penjuru, ringisan, gedebuk suatu barang, dan bisikan-bisikan penonton dadakan yang berdiri di mulut pintu toilet. Kami bertengkar seperti hyena memperebutkan mangsa di sabana. Seseorang sudah mencakar tangan dan mukaku, aku mendorong-dorong kepala mereka, memukul apa pun yang bisa kupukul, dan punggungku beberapa kali menabrak dinding.
"BERHENTI SEMUANYA!"
Teriakan panjang itu menghentikan serangan membabi buta yang siap kami gencarkan pada pihak lawan. Tanganku berhenti menarik kuping Clara. Maya sudah ada di ujung toilet, dia memaksa kepala Maria masuk ke bilik toilet dan Maria memegang kerahnya.
Kulihat Bu Hasita berdiri dengan gagahnya di depan pintu. Kerumunan siswa-siswi telah tercipta, membanjiri pintu masuk toilet. Mata-mata penasaran memangsa kami. Rasanya kami seperti dalam arena sabung ayam, di mana kami ayam jagonya.
"Apa yang kalian lakukan di sini? Kalian tidak sadar ada di mana?" Mata Bu Hasita melotot mengamati kami satu-satu. "Apa ini? Pertarungan tinju wanita? Semuanya, menjauh, menjauh!"
Mengikuti kibasan tangan Bu Hasita, masing-masing kami menjauh. Merapat ke dinding toilet. Wajah Bu Hasita yang selalu tertekuk, kini lipatannya berlipat ganda. Ia memelototi kami lagi satu per satu seperti sedang merencanakan metode membunuh apa yang cocok buat kami. Atau mungkin, dalam pikirannya, dia sudah menguliti kami hidup-hidup.
Yang dapat kupastikan sekarang, akhir kami bukan mati berdarah di tangannya, teriakan sambutan dari ruang hukuman telah lebih dulu memanggil kami.
****
Gimana chapter ini? Seru nggak?
Aku nulisnya sambil ngos-ngosan liat pertarungan mereka. Semoga kalian suka chapter ini.
Makasih sudah baca 🥰🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top