Bab 7: Bulan sabit

Dan benar saja, Minho tidak main-main dengan kata 'pulang' yang dikatanya itu. Minho mempersilahkan Ra keluar rumahnya tepat setelah ia selesai sarapan. Ra bahkan tidak ikut makan sama sekali. Alasannya karena dari semua makanan yang Minho tawarkan tidak ada yang biasa ia makan.

Ra mau tak mau keluar saat Minho membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Ra diam sejenak di depan rumah Minho seraya berpikir. Kira-kira setelah ini dia harus ke mana? Apa dia harus kembali bersembunyi di dekat rumah Minho?

Ra mengeluarkan beberapa lembar kertas bergambar yang Minho berikan padannya. Minho bilang itu ongkos untuk pulang jika Ra tidak punya uang. Intinya Minho memberinya uang.

Ra memandang lesu teras kediaman Minho. Ia sempat menoleh ke belakang menerawang dari balik jendela tetapi tidak menemukan Minho di sana. Samar-samar Ra mendengar suara aliran air dari dalam rumah.

Ra yang hampir putus asa pun memutuskan untuk kembali bersembunyi di sekitar rumah Minho. Dan mungkin, sembari mencari buku Lee Hwan adalah ide yang bagus.

Langit di atas sana berwarna biru terang. Udara yang berhembus menyentuh kulit pun terasa hangat menandakan telah memasuki musim panas.

Ra menggunakan indera penciumannya untuk mencari aroma buku di sekitar sana. Setelah memastikan keadaan aman dan tidak ada manusia yang akan melihatnya, Ra meloncat dari atap ke jalanan dengan cepat.

Dia berjalan melewati rumah-rumah. Ra dapat mendengar aktivitas penghuninya dari balik pagar. Ada suara beberapa manusia yang tengah bercakap, suara air, suara hewan peliharaan, dan suara-suara lain yang tak dapat Ra jelaskan secara pasti.

Ra berbelok dan menemukan lampu jalan yang tidak bersinar di siang hari. Ra teringat kejadian semalam di mana Minho datang padanya lebih dulu. Senyumnya merekah jika mengingat kejadian itu. Sangat disayangkan, karena sekarang Ra kembali jauh dari kelerengnya.

Ra kembali melangkahkan kakinya menuju sumber aroma buku yang ia tangkap. Tanpa disadari, ia melangkah semakin jauh dan semakin jauh.

Sesampainya di ujung jalan besar yang sepi Ra menemukan terowongan. Saat dirinya memasuki terowongan itu, tiba-tiba saja aroma buku menghilang kemudian datang kembali—menghilang—dan datang kembali tetapi begitu samar. Ra pun merasakan energinya melemah.

Apakah ini efek Ra jauh dari kelerengnya?

Setelah beberapa saat berdiri di dalam terowongan. Mata Ra menerawang dari balik terowongan menuju ujung jalan sana. Tampak banyak benda-benda bergerak begitu cepat di sana. Beberapa kali, Ra telah melihat benda-benda itu di sekitar kediaman Minho, tapi tidak sebanyak itu, hanya satu dua yang melewatinya.

Ra memutuskan untuk melanjutkan jalannya sampai ujung jalan. Dan sesampainya di sana, Ra merasa tengah memasuki dunia baru. Mulutnya terbuka lebar sama dengan matanya yang membulat sempurna.

"Wah, apakah ini benar-benar Hanyang di masa depan? Cantik sekali. Cantik." Ra meloncat-loncat riang sampai bertepuk tangan, tanpa sadar tingkah dan penampilannya diperhatikan beberapa orang yang berpapasan dengannya.

"Wah...." Ra memandangi beberapa bangunan yang begitu tinggi dan menyilaukan matanya. Bisa jadi bangunan-bangunan itu setinggi perbukitan atau bahkan jauh lebih tinggi, pikirnya.

Ra berjalan dan tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang. Ra yang terkejut langsung menunduk meminta maaf tapi orang itu hanya meliriknya sekilas kemudian melanjutkan jalannya.

"Apa-apaan itu?" Ra menoleh ke arah orang tersebut terheran-heran. Meski dirinya hampir menghabiskan seluruh masa hidup di hutan belantara, Ra sempat belajar tatakrama manusia jika saling bertabrakan di jalanan—Lee Hwan yang mengajarkannya.

Ra jadi ingat kenangannya berjalan-jalan di pusat Kota Hanyang bersama Lee Hwan. Pria itu mengajak Ra berkeliling melewati banyak pedagang. Lee Hwan mengajak Ra ke sebuah toko buku. Tiba-tiba saja perasaannya berubah kelabu. Ra merindukan momen itu beserta Lee Hwan yang begitu baik padanya.

Bagaimana pun Ra harus menemukan buku Lee Hwan demi dirinya dan juga Lee Hwan. Ra juga tidak ingin sahabat baiknya itu dikenang sebagai pria yang dimangsa Gumiho. Benar, itu bukan cerita yang baik bagi pria sedermawan Lee Hwan.

Ra berjalan-jalan lagi semakin jauh. Namun ia merasa indera penciuman tajamnya sudah benar-benar tidak berfungsi. Ra sudah tidak dapat mendeteksi aroma buku, dia hanya dapat mencium aroma-aroma di sekitarnya.

"Bagaimana ini?" Ra mengangkat kedua telapak tangannya dan mengamatinya. "Aku rasa, saat ini aku tidak berbeda dengan manusia. Aku tidak dapat merasakan kekuatanku." Ra mengeluh kecewa.

Ra terdiam di tempat membiarkan orang-orang melewatinya dari berbagai arah. Dalam kepalanya ia berpikir bahwa tidak ada cara lain selain membujuk Minho untuk selalu bersamanya sampai kelerengnya menyembuhkan pria itu secara total.

***

Langit telah berubah gelap. Bulan sabit muncul untuk pertama kalinya. Cahayanya tidak begitu menyorot bumi, tapi kehadirannya cukup untuk menemani langit yang seakan kesepian bila tanpanya sama sekali. Bintang-bintang tidak terlihat dikarenakan cahayanya kalah oleh jutaan lampion di bumi, membuat langit terlihat begitu kesepian bila bulan tidak tampak.

Seperti malam-malam sebelumnya, Minho akan duduk di depan leptopnya sepanjang waktu untuk melanjutkan seri ceritanya. Meski jadwal rilis episode selanjutnya beberapa hari lagi, Minho tetap menyiapkannya mulai malam ini. Alasannya adalah, agar ia tidak terburu-buru saat mengupload bagian ceritanya dan dapat memeriksa kembali serta memperbaiki bagian-bagian yang kurang atau keliru.

Setelah selesai mengetik, Minho sempat membuka laman platform tempat ia mengupload ceritanya. Lagi-lagi tatapannya tertuju pada daftar sepuluh cerita misteri paling laris dibaca. Begitu menakjubkan. Minho selalu berpikir itu begitu menakjubkan karena semua cerita di daftar tersebut berasal dari satu penulis dengan nama pena, Angma.

Setiap melihat itu, Minho selalu termotivasi bahwa dia juga bisa seperti penulis tersebut jika ia berusaha dan bekerja keras. Minho tiba-tiba saja mendapat ide cerita baru.

"HAHAHA...." mungkin karena mendapat ide baru, Minho tiba-tiba tertawa puas. Ia kembali membuka laman tempat ia mengetik. Dipakai atau tidak, jika ada ide baru harus langsung ditulis agar tidak lupa---itu prinsip Minho.

***

Minho tiba-tiba berada di atas bangunan tinggi. Langit gelap memayunginya.

Oh tidak, mimpi ini lagi.

Tanpa bisa Minho kendalikan, tubuhnya tiba-tiba saja melayang ke bawah dengan kecepatan tinggi. Jantungnya seraca mau copot. Beberapa detik kemudian tubuhnya menimpa tanah dengan keras. Minho merasakan tubuhnya sulit untuk digerakkan. Napasnya tersenggal-senggal.

Oh tuhan, tolong aku dari mimpi buruk ini.

Pandangannya yang kabur mulai melihat bayangan putih mendekat. Minho berusaha menajamkan pandangannya.

"Dia akan mati. Manusia ini akan mati."

Sebuah suara asing memasuki indera pendengarannya. Meski tidak dapat bergerak, Minho seakan baru saja mendapat anugerah. Suara dan kalimat itu. Baru kali ini ia melalui bagian ini.

Tak lama kemudian tampak cahaya kebiruan yang menyilaukan. Setelah itu Minho terbangun dengan napas yang berburu dan keringat dingin membasahi wajahnya. Minho baru sadar ia tertidur di kursi kerjanya.

Minho berusaha untuk mengingat-ingat kalimat dan suara yang muncul di mimpinya barusan. Ia mengulang-ulangnya di dalam pikiran agar tidak hilang.

Minho melirik jam yang ternyata sudah pukul satu dini hari. Minho beranjak dari kursi kerjanya seraya meregangkan tubuhnya yang nyeri akibat posisi tidur yang salah. Bukannya beralih ke ranjang, entah mengapa Minho ingin menghirup udara segar terlebih dahulu seperti kemarin.

Ia keluar rumah mengenakan kaos santai berlengan pendek dan celana longgar sebatas lutut. Nyatanya udara malam di musim panas terasa cukup hangat.

Minho berjalan di daerah perumahannya dan tak disangka telah sampai di bawah lampu jalan tempat ia menyelamatkan wanita asing bernama Ra kemarin. Minho jadi kepikiran akan wanita itu. Apa dia sudah sampai di rumahnya dengan selamat? Semoga begitu. Minho harap begitu.

Mata Minho menangkap sebuah bayangan bergerak-gerak tak jauh dari tempatnya. Lagi-lagi Minho penasaran dan mendekati bayangan tersebut.

Sesampainya di sana Minho mengamati bayangan itu. Seperti gerakan kaki manusia. Tapi, mana mungkin ada manusia yang malam-malam begini duduk di atas tembok sambil menggereak-gerakkan kakinya. Tidak mungkin.

Tiba-tiba saja Minho merasa bulu kuduknya mulai berdiri. Dia mulai membayangkan sesuatu yang kurang nyata.

Minho menggeleng cepat. Sambil memeluk kedua lengannya, ia berniat berbalik sampai mendengar sesuatu.

"Tuan! Tuan mau ke mana?"

Minho sontak membalikkan badan dan matanya membulat saat menangkap sekelebat putih terbang ke arahnya. Bukan hanya karena sekelebat putih yang membuatnya mematung, melainkan wajah seorang wanita yang ia kenal tengah tersenyum lebar ke arahnya.

"Tuan, kau datang lagi untuk mencariku?" kini wanita itu tepat di hadapan Minho.

Minho masih mematung. Otaknya memutar beberapa memori begitu cepat sampai ia teringat dengan pengalaman menyeramkannya beberapa waktu lalu.

"Aku di sini, Tuan. Aku sudah menolong Tuan dari kematian."

"Dia akan mati. Manusia ini akan mati."

"Aku tahu. Tuan tidak jahat."

Kalimat-kalimat itu tiba saja bermunculan. Dan fakta yang ia terima adalah. Bentuk suara ketiganya sama persis seolah berasal dari satu orang yang sama.

Pandangan Minho terangkat dan menatap wanita itu tajam. "Siapa kau sebenarnya?"

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #mitologi