Bab 6: Lebih dekat pt.2

Malam itu, Minho berjalan di depan sedangkan wanita asing yang diselamatkannya itu berjalan beberapa langkah di belakang membuntutinya. Ketika Minho menengok ke belakang, dia menemukan seorang wanita yang berjalan riang disertai senyum lebar sampai menampilkan deretan giginya.

Minho menggelengkan kepala. Apa aksi menolongnya barusan adalah hal yang keliru?

Jika dilihat dari tingkahnya, wanita itu tampak biasa saja meski hampir menjadi santapan para pria mabuk. Dari raut wajahnya tidak tersisa rasa ketakutan sedikitpun. Bahkan saat Minho menanyakan keadaannya tadi, wanita itu justru tersenyum lebar ke arahnya kemudian memeluknya.

Mengingat wanita itu sempat memeluknya. Minho kembali menggelengkan kepala. Benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang wanita asing memeluk pria asing di hari pertemuan pertama mereka? Alasan apa yang membuat wanita itu memeluk si pria?

Coba kalian pikirkan. Minho masih belum mengerti.

Minho berjalan sampai pada tangga menuju kediamannya yang berada di atap. Minho menghentikan langkah tiba-tiba dan dia merasakan sesuatu menabrak punggungnya---lebih tepatnya seseorang.

Minho mendengar suara kekehan kecil di belakangnya. Dia berbalik. Minho menatap tajam wanita itu, sedangkan yang di tatap tetap menampilkan cengirannya yang masih belum Minho mengerti.

Selain menatapnya tajam, Minho juga memerhatikan penampilan wanita di depannya itu. Wanita itu mengenakan hanbok putih dengan pita keemasan yang terikat di bagian dada, ujung pitanya menjuntai. Tatapan matanya turun dan menemukan ujung kaki si wanita menyembul dari balik roknya. Meski terlihat hanya sebagian, Minho yakin wanita itu mengenakan sandal yang terbuat dari jerami.

Minho menggelengkan kepalanya untuk kesekian kalinya. Benar-benar kuno----pikirnya. Bagaimana bisa ada seorang wanita modern mengenakan hanbok lengkap dengan sandal tradisional di zaman modern seperti ini? Kecuali dia tengah mengikuti sebuah peragaan atau pesta kostum.

Ya. Mungkin seperti itu. Minho mengangguk mantap.

"Ini rumahku. Aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya membantu karena ini sudah malam dan kau bilang rumahmu jauh dari sini." Minho cukup kikuk saat menjelaskan.

Dan wanita itu mengangguk mantap. "Aku tahu. Tuan tidak jahat," ujarnya seraya tersenyum lebar.

Minho mengangguk kikuk kemudian mengajak wanita itu menuju rumah atap tempat ia tinggal.

Sesampainya di sana, Minho mengeluarkan tas tenda lipatnya dari lemari. Minho secara cepat merakit tendanya yang diletakkan di ruang depan yang sebelumnya memang kosong.

Sebenarnya rumah atap Minho tidak memiliki sekat antar ruangan kecuali kamar mandi dan gudang kecil. Jadi tenda itu dibangun tidak jauh dari ranjang Minho.

Tenda kecil itu telah selesai terpasang. Ra yang sedari tadi hanya mengamati langsung berseru riang.

"Wahhh, aku tidak percaya Tuan bisa membangun gua," ujarnya seraya mengelilingi tenda kecil itu dengan mata berbinar takjub.

Minho tidak ambil pusing dengan perkataan wanita asing itu, dan mempersilahkannya untuk beristirahat sedangkan dirinya pun sudah kembali mengantuk. Masih ada beberapa jam lagi menuju pagi hari.

Minho kembali ke ranjangnya dan mulai terlelap. Tanpa ia ketahui wanita itu terus mengamatinya dari celah resleting tenda yang sedikit terbuka. Senyumnya benar-benar merekah lebar.

"Aku berhasil," gumamnya di malam yang sunyi.

***

Satu malam kembali berlalu. Ra melihat gelang manik-maniknya yang sudah menghitam sebanyak tiga manik. Ra keluar dari tenda yang dibangun Minho dan berjalan-jalan mengamati seisi rumah yang tidak begitu besar maupun kecil. Perabotannya tidak terlalu banyak kecuali bagian rak buku yang menyatu dengan meja kerjanya.

Ra yang menangkap deretan buku di sana langsung menghampiri rak tersebut seakan menemukan harta karun.

"Buku! Ini benar-benar buku. Mungkin saja buku Lee Hwan ada di sini." Ra mulai mengambil buku itu satu persatu, membacanya secara cepat dan melemparnya jika sudah memastikan itu bukan buku yang ia cari.

"Sepertinya buku-buku ini menggunakan aksara Hunminjeongeum, tapi jauh lebih rapih. Lee Hwan pernah bilang kalau aksara Hunminjeongeum akan digunakan Joseon secara seterusnya karena lebih mudah dibanding aksara Tiongkok. Sekarang aku percaya itu. Mereka benar-benar menggunakannya."

Ra terus melempar buku-buku yang tidak dibutuhkannya membuatnya berserakan di mana-mana. Bahkan salah satu bukunya tanpa Ra sadari terlempar mengenai wajah Minho yang masih terlelap.

Tak!

Hantaman itu begitu keras membuat Minho yang masih beristirahat di alam bawah sadar spontan tertarik ke dalam kesadarannya.

"Argh!" teriaknya sontak membuat Ra terkejut dan berhenti mengacak-acak buku Minho.

Ra berdiri mematung dengan mata membulat was-was dan tangan disembunyikan di balik badan. Dia memerhatikan Minho yang beranjak duduk di ranjangnya dengan tangan memegang tulang hidungnya yang tinggi. Matanya masih terpejam dengan kening serta halis berkerut ke tengah. Seolah menahan sakit dari pusatnya.

Ra diam tidak dapat berkutik. Perlahan Minho menggosok tulang hidungnya kemudian membuka matanya. Beberapa saat sampai pandangannya jelas, di sanalah Minho menemukan rak bukunya sudah kosong setangah dan buku-buku yang tadinya tersusun rapih kini berserakan memenuhi ruangan rumahnya.

Pandangan Minho menyapu seisi ruangan sampai akhirnya berhenti pada seseorang yang tengah berdiri tak jauh dari ranjangnya. Matanya membulat sempurna.

"SIAPA KAU?!" teriaknyanya panik.

Ra hendak bergerak mendekati Minho. Apakah kejadian pada malam ia dikira hantu akan kembali terulang.

"Tuan, jangan sal—" kalimatnya belum selesai, Minho memotongnya.

Tangan kanannya menyentuh kening seolah teringat sesuatu. "Ah, aku baru ingat. Aku menolongmu semalam dari pria mabuk dan mengajak kemari."

Ra seolah menghela napas lega. Ra pun menampilkan senyum lebarnya. "Benar Tuan. Tuan benar-benar manusia yang sangat baik." Ra memuji.

"Jangan panggil aku Tuan, ini bukan zaman Joseon. Aku Minho dan namamu?" tanya Minho tanpa basa-basi. Dari awal Minho memang berbicara santai padanya seolah-olah teman akrab.

Entah mengapa, tiba-tiba saja Ra merasa gugup. Ia merasa tubuhnya memanas sampai ke wajahnya dan membuat pipinya bersemu merah seperti bunga mugunghwa yang tengah mekar.

Alasan mengapa Ra sampai seperti itu ..., adalah perasaan ini persis seperti dulu ia berkenalan dengan Lee Hwan. Dulu pun Lee Hwan menanyakan namanya lebih dulu dan kemudian mereka berteman.

Apakah ini tandanya Minho mengajak Ra untuk berteman?

Ra berusaha mengendalikan dirinya sedangkan Minho menatapnya penuh selidik. Mungkin ia penasaran alasan Ra memberentakkan bukunya. Minho berusaha membuang pikiran mengira bahwa Ra berniat mencuri di rumahnya.

"Namaku Ra," diikuti senyum yang merekah sempurna, pipi merah merona, dan mata berbinar membuat Minho terpana beberapa saat.

Segera Minho mengusir bayangan menyimpangnya. Minho beranjak dari ranjangnya dan memungut beberapa buku di dekatnya.

"Äku tidak tahu alasan kau memberantakan buku-bukuku, tapi bisa bantu untuk membereskannya?"

Minho tak ingin terjadi keributan di pagi hari. Dia berniat menanyakan maksud Ra baik-baik setelah ini.

Setelah semua buku itu kembali rapih di raknya. Minho hendak mengajak Ra berbicara. Namun, pandangannya sempat melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Sudah waktunya sarapan.

"Kau mau sarapan?" tanyanya membuat dahi Ra berkerut.

"Sarapan?"

"Tunggu sebentar." Minho pergi keluar rumah tanpa menjelaskan kebingungan Ra.

Tak bersalang lama, Minho kembali dengan beberapa kotak di pankuannya. Dia membawa meja kayu di sudut ruangan dan memasangnya di depan Ra. Kemudian Minho meletakkan kotak-kotak itu di atas meja.

Ra masih terheran-heran sampai Minho membuka tutup kotak-kotak tersebut. Aroma beberapa makanan manusia itu begitu menyengat membuat Ra menutup hidungnya segera.

Minho yang kini terheran-heran dengan Ra, "Kau tidak suka Hongeo? Bibiku yang tinggal di bawah baru saja menerima kiriman ini. Jika kau tidak suka tidak perlu di makan, yang lain saja." Minho mulai menyendok nasinya.

Hongeo merupakan makanan yang berbahan dasar ikan pari yang difermentasi. Memang baunya begitu menyengat, bahkan untuk manusia yang tidak memiliki indera penciuman tajam seperti Ra. Sejak tutup kotak itu belum dibuka pun Ra telah mencium kuat aroma-aroma tersebut, tetapi saat salah satu tutupnya dibuka aromanya yang begitu kuat spontan menyerang indera penciuman Ra.

Ra pun melepaskan tangannya dari hidung berniat menghormati Minho yang dengan baik hati mengajaknya makan. Sejujurnya, Ra masih tidak percaya. Minho benar-benar mengira dia seorang manusia. Ra memerhatikan wajah Minho yang mulai mengunyah makanan di mulutnya.

Ra tidak henti-hentinya tersenyum menyaksikan pemandangan itu, sedangkan Minho kembali menatapnya terheran-heran.

"Kau tidak makan? Kau harus mengisi perut sebelum pulang," ujar Minho.

Seketika senyum Ra redup. "Pulang?" tanya Ra ragu.

Minho mengangguk. "Kau bisa pulang setelah makan. Selagi hari masih pagi, kau akan pulang dengan aman." Minho kembali menyumpit makanannya sedangkan Ra berubah panik.

Pulang? Dia tidak bisa meninggalkan kelerengnya. Bagaimana ini? ternyata usahanya mendekati Minho belum berhasil.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #mitologi