Bab 9
Setelah berbicara dengan Kepala Sekolah dan Larso, Echa kembali ke kelas. Ia masih tidak menyangka jika CCTV yang ada di sudut lantai 3 sudah lama rusak dan CCTV yang ada di lantai 2 sudah lama tidak aktif.
Echa mendudukkan pantatnya di kursi, menengok ke belakang tempat Anres duduk. Di sana, Anres terlihat tidak melihatnya. Sepertinya Anres memang tidak memercayainya jika ia tidak bersalah atas kasus ini.
Sama seperti Larso tadi di ruang Kepala Sekolah, dia juga melihat Echa seperti mengintimidasi dirinya. Seolah Echa yang melakukan semua ini.
Kembali menghadap papan tulis, Echa menarik napas dalam. Ia ingin segera menemukan tersangka utama yang telah tega membunuh sahabatnya dan menuduh dirinya melakukan semua ini.
“Echa.” Panggilan dari Bu Niken membuat Echa menegakkan tubuhnya.
“Iya, Bu?” Tergagap, fokus Echa pada guru biologinya.
Matanya bertemu tatap dengan gurunya, Echa merasa bersalah karena telah mengabaikan penjelasannya tentang ujian praktek nanti. ia pun menunduk.
“Sudah berulang kali dipanggil, tidak dengar. Kamu ke toilet dulu sana! Kayaknya butuh cuci muka.” Sepertinya Bu Niken tahu jika Echa masih memikirkan masalahnya.
Echa pun berdiri, memundurkan kursinya dan berjalan ke arah pintu setelah mengucap terima kasih dan dibalas dengan sedikit senyum dari guru biologinya.
Anres meliriknya, ia menatap Echa saat berjalan ke arah pintu. Bahkan saat Echa kembali, Anres terlihat menatapnya lama sebelum gadis itu menatapnya. Anres berpura-pura sedang mengobrol dengan sebelah kanannya.
Anres diam-diam mengirim pesan ke aplikasi mysfit.com dan di sana hanya ada Rara yang sedang online.
@Rara Gue tau lo aktif buat nyelidikin kasus lo juga, ‘kan? Di sini, rasanya nggak mungkin kalo pada nggak ada masalah. Sohib gue, yang dibilang tersangka utama baru balik dari ruang KepSek. Apa dia beneran tersangkanya?
Rara sedang mengetik....
Anres langsung keluar dari aplikasi ijo itu dan menaruh ponselnya ke saku celana. Ia langsung melihat ke papan tulis saat Bu Niken mengarahkan pertanyaan ke teman sebelahnya.
Ia berpura-pura sedang membaca soal yang diberikan gurunya di papan tulis, dan mengerjakannya di buku tulis.
Bel berbunyi saat bersamaan dengan ponselnya yang bergetar. Itu adalah pemberitahuan dari aplikasi ijo. Anres yakin jika itu adalah Rara.
“Oke. Pelajaran hari ini cukup. Tidak ada pekerjaan rumah untuk kalian,” ucap Bu Niken sambil kembali ke tempat duduknya dan menumpuk buku-bukunya.
“Yes.”
“Makasih, Bu.”
Suara sorak kebahagiaan terpancar dari seisi kelas. Anres yakin jika ada pekerjaan rumah sekalipun itu banyak, pasti akan menjadi pekerjaan sekolah yang dikerjaan pagi hari sebelum bel masuk. Termasuk dirinya, jika ada soal yang sulit.
“Tapi minggu depan ulangan terakhir kita sebelum kalian menghadapi ujian praktek dan ujian tertulis.”
Semua siswa dibuat terkejut dengan ucapan gurunya. Banyak yang tidak terima karena sebentar lagi ujian, tapi malah ada ulangan. Bukankah seharusnya menjadi minggu bebas dari semua kegiatan belajar mengajar?
"Bu, seharusnya, ‘kan, minggu bebas dari belajar mengajar.” Suara wakil ketua kelas, Nanda. Yang diberi dukungan dari teman-temannya.
“Iya, benar. Hari Minggu memang bebas dari kegiatan belajar mengajar karena kalian libur. Jadi belajar sendiri di rumah. Namun, seminggu itu bukan hari bebas dari kegiatan belajar mengajar. Inget, kalian sebentar lagi ujian.”
Penjelasan panjang dari wanita berumur kepala empat itu mendapat sorakan dari murid-muridnya.
Anres pun langsung mengambil benda pipih bermerek apel kegigit itu, dibukanya pesan dari aplikasi ijo yang ia yakin itu dari Rara.
@Rara: Lo percaya kalo pelakunya temen lo sendiri? Dunia ini sangat kejam, banyak tipu-tipu.
Dibacanya berulang kali, ia masih mencerna pesan yang dikirimkan teman online-nya itu.
Setelah beberapa saat, Anres memahami isi pesannya. Ia pun mengetik balasan.
@NobuosAnres: Percaya nggak percaya, sih. Nyatanya, dia yang ada di atas saat kejadian. Gue bukan nuduh, tapi bukti udah ada di depan mata.
@Rara: Lo @NobuosAnres bilang percaya kalo dia pelakunya, terus kenapa nanya ke sini? Yakinin apa yang menurut lo bener! Jangan tanya ke sini kalo lo udah yakin.
Setelah mengirim kalimat itu, Rara keluar dari aplikasinya. Sudah terlihat jika dia sudah tidak online lagi.
Anres meremas rambutnya, ia bimbang antara percaya atau tidak. Akhir-akhir ini, bukti mengatakan Echa pelakunya, tapi ia juga tidak percaya jika sahabat yang juga gadis yang ia cintai membunuh sahabatnya sendiri.
“Aaargh....” teriak Anres tertahan. Hanya sebelahnya yang mendengar Anres berteriak pelan.
Ponsel Anres berdering, ia mengambilnya dan menggulir tombol hijau di ponselnya. “Iya, Mah?”
“Assalamu’alaikum.”
“Ehehe ... Wa’alaikumussalam.” Anres menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Pulang sekolah kita ke rumah Rindu, ya. Jenazah dimakamkan hari ini. Proses otopsi sudah selesai, jenazah sudah bisa dibawa pulang, Res.”
“Iya, nanti Anres ke sana.”
“Jangan lupa ajak Echa, ya, Sayang! Mama tau dia nggak bersalah, Res. Yasudah, mama tutup dulu teleponnya.”
Telepon dimatikan, Anres masih menatap layarnya mencerna ucapan dari sang mama. Tahu dari mana jika Echa tidak bersalah? Apa Mamanya itu seorang cenayang?
Mendengar ia harus membawa Echa ke pemakaman membuat Anres ragu untuk memulai bicara terlebih dulu. Ia pun masih menimbang-nimbang.
Tidak tahu kapan Echa kembali dari toilet, tapi sahabatnya itu sudah terduduk di tempat duduknya sedang mengerjakan sesuatu di buku tulisnya. Anres pun ragu untuk mendekat.
Jika jam terakhir tidak ada guru yang mengajar itu adalah surga bagi para murid, termasuk kelas Anres. Pak Burhan, sebagai guru yang memberikan informasi pun menambahkan informasi tentang anak didiknya.
“Nanti, pulang sekolah kita melayat ke rumah Rindu, ya, anak-anak! Jenazah sudah dibawa pulang hari ini.”
“Siap, Pak. Sudah ketemu siapa pelakunya, Pak?” tanya Bella sambil melirik Echa sekilas lalu melihat ke Pak Burhan lagi.
Pak Burhan pun berlaku demikian. Ia menatap Echa sebentar sebelum menjawab pertanyaan muridnya.
“Belum, doakan saja yang terbaik dan bukan salah satu dari kita.”
Setelah Pak Burhan memberikan informasi, kelas menjadi ramai dengan pembahasan siapa dalang dibalik pembunuhan Rindu. Mereka mengira-ngira jika pelakunya adalah orang terdekat, tidak sedikit yang menyindir Echa sebagai pelaku.
Anres pun mengumpulkan keberanian untuk mendekati Echa. Dalam hatinya tidak membenarkan semua tuduhan itu, tapi otaknya selalu menuduh Echa sebagai tersangka utama.
Melihat Echa sebentar, lalu menatap ponselnya, begitu terus hingga beberapa menit berlalu. Anres pun berdiri, melangkah ke meja Echa dengan langkah perlahan.
“Cha,” panggil Anres pelan. Ia berdiri di sebelah meja Echa.
Echa menoleh, kaget, ia tidak menyangka jika yang menuduhnya sebagai pelaku utama memanggilnya. Ia tidak sedang bermimpi, bukan?
Teman-teman yang lain menatap heran, ada yang biasa saja karena sebagian dari mereka menganggap jika bukan Echa pelakunya.
“Kenapa?”
“Ntar pulang sekolah, nyokap nyuruh gue buat ngajak lo ke pemakaman Rindu.”
Saat mengatakan hal itu, Jendra datang di sebelah kiri Echa, berseberangan dengan Anres.
“Cha, ntar bareng gue aja, gimana? Motor gue belum ada yang bonceng.”
Melihat Jendra semakin berani mendekati Echa membuat rahang Anres mengeras. Ia pun memasukkan tangannya ke dalam saku dan mengepal di sana.
Echa menatap Jendra, lalu menatap Anres bergantian. Ia bingung harus memilih bareng siapa akan ke pemakaman. Satu sisi sahabatnya, yang juga menuduhnya sebagai orang yang tega membunuh sahabatnya sendiri, di sisi lain ada ketua kelasnya yang berhati baik ingin memberikan tumpangan.
Echa harus memilih dengan siapa ia akan membonceng ke tempat pemakaman Rindu. Jika saja Anres tidak menuduhnya, ia pasti akan memilihnya. Tetapi, dia mengatakan jika itu suruhan ibunya, bukan? Yang berarti bukan niat dari hatinya sendiri.
Dan saat ini, Echa turun dari motor gede yang terparkir di tempat pemakaman. Dari tempat parkir terlihat kuburan yang akan menjadi tempat peristirahatan terakhir sahabatnya itu.
Tak kuasa menahan kesedihan, air mata Echa sudah menggunung di pelupuk. Jendra yang melihatnya langsung memberikan tisu.
Iya. Echa menolak Anres, dan membonceng Jendra untuk ke pemakaman. Ia belum bisa menerima kehadiran Anres yang sudah menuduhnya.
Echa berjalan ke arah di mana Rindu akan dimakamkan. Di sana, sudah ada Rosa yang duduk di belakang Pak Larso. Ia langsung menemuinya untuk memberikan salam.
Rosa berdiri saat melihat Echa berjalan ke arahnya. “Echa,” panggilnya pelan.
“Iya, Tante.” Echa langsung menumpahkan air matanya ke dalam pelukan Rosa.
Pelukan hangat seorang ibu mampu membuatnya tenang dan nyaman. Bebas untuk menumpahkan segala rasa yang ada di hatinya.
“Kamu yang sabar, ya! Sebentar lagi, pelakunya bakal ketemu. Tante yakin, bukan kamu pelakunya.”
Mendengar hal itu, Anres yang berada di sebelahnya menoleh. Ia tidak menyangka jika ibunya yang seorang ahli forensik mengatakan jika dia bukan pelakunya?
Anres masih memandangi keduanya seperti seorang ibu dengan putri kecilnya. Membiarkan ibunya memeluk gadis itu, Anres mengatakan hal mengejutkan pada Jendra dengan pelan. “Udah sejauh mana kalian deket?”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top