Bab 2

Rindu tinggal bersama pamannya, Larso. Semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia, ia tidak memiliki siapa-siapa selain pamannya.

Awal mula tampak berjalan seperti biasa, namun semakin hari berjalan pamannya sering memukul, bahkan berbuat tak senonoh, seperti saat ini.

“Lo jangan ngelawan kalo orang tua lagi ngomong. Di sini, gue jadi orang tua lo, yang harus ngerawat lo.” Larso tampak emosi. Ia sudah melayangkan tangannya ke punggung Rindu.

Memang nasibnya yang sial, atau memang dirinya yang tidak beruntung mempunyai paman seperti Larso. Rindu terus menahan kesakitan yang ia rasakan ketika tangan besar itu terus memukulinya.

Dulunya, Rindu anak yang ceria. Bisa dibilang bawel saat masih ada orang tuanya. Namun, kini, ia menjadi sedikit pendiam. Pendiam karena merasakan sakitnya dipukul, juga mendapat perbuatan tak senonoh.

Larso mendekat, ia menyentuh wajah Rindu, membelainya dengan lembut. “Kalo lo nurut sama gue, gue nggak bakal kasar sama lo.” Pamannya terus saja menikmati aksinya. Ia tidak peduli bagaimana perasaan keponakannya.

“Jangan, Paman!” lirih Rindu sambil menitikkan air mata.
Ucapan Rindu seperti angin lalu bagi Larso. Baginya, bisa mendekat, apalagi menyentuh bagian tertentu tubuh Rindu itu adalah candu baginya. Meskipun sudah dilarang pemilik tubuh ini, Larso terus bergerilya menyusuri wajah cantik keponakannya.

Rindu terus menangis menghadapi pamannya yang bisa dibilang perusak generasi anak muda. Mungkin pamannya butuh seorang psikolog yang bisa memperbaiki perbuatan terlarangnya.

Rindu terus menangis melihat dirinya sudah tidak seperti cewek lain yang merasa aman saat di rumah, merasa nyaman saat dipelukkan orang tuanya, merasa tenang meskipun besok adalah latihan ujian sekolah.

Perasaan bersalah pada orang tuanya terus mengikis dirinya. Membuat Rindu semakin deras mengalirkan air yang membasahi mata dan juga pipinya.

“Jangan nangis mulu! Kayak udah nggak perawan aja. Setidaknya gue masih punya otak buat nggak nidurin elo!” Larso langsung menutup pintu kamar Rindu dengan kencang, seperti membanting kayu ke lantai.

Rindu membersihkan seluruh kecupan pamannya di tubuhnya menggunakan selimut. Membuat pipi tirusnya semakin memerah. Tak cukup sampai di situ, Rindu pergi ke kamar mandi, membasuh seluruh tubuhnya menggunakan air.

Ia tidak ingin tubuhnya mendapat jejak dari orang yang paling ia benci saat. Orang yang sudah merawatnya lima tahun terakhir ini. Tidak lebih tidak lain seperti binatang baginya.

“Aaarghh....” Rindu berteriak melawan rasa bencinya pada diri sendiri dan juga pamannya.

Tinggal dalam satu rumah tidak bisa menghentikan perbuatan Larso pada Rindu. namun, tidak mungkin dirinya harus pergi dari ini. Apa yang akan dikatakan orang lain jika dirinya meninggalkan rumah? Semua harta telah dipegang Larso. Ia tidak memiliki apa-apa saat ini.

Hingga pagi menjelang, perbuatan yang terus Larso lakukan terekam jelas diingatan Rindu. Semalam bukan hal pertama yang Larso lakukan, si penjahat itu seringkali memaksa Rindu meladeni nafsu buasnya.

Jika Rindu menolak, maka pukulan demi pukulan terus mendarat halus di tubuh malangnya. Untung saja semalam hanya satu pukulan yang ia terima.

“Sarapan, terus berangkat sekolah! Hari ini, gue nggak masuk kerja bukan berarti lo bisa seenaknya cerita ke temen lo, apalagi deket-deket sama cowok selain Anres.” Larso sedang menyeduh kopinya di meja dapur.

Tanpa menjawab, Rindu terus mengunyah agar cepat selesai dan berangkat sekolah. Ia tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama orang yang telah menodai dirinya.

“Rindu berangkat.” Tanpa bersalaman, ia hanya mengucap lalu meninggalkan meja makan dengan tergesa-gesa.

Jangan salahkan Rindu jika ia menjadi kurang  sopan terhadap pamannya. Ia hanya tidak ingin pamannya akan menggelora jika menatapnya lebih dari satu menit.

Saat sore hari, selepas kerja kelompok. Echa dan Anres langsung pulang dan Rindu membereskan meja ruang tamu selesai digunakan untuk meletakkan camilan juga minuman. Mereka selalu bergilir saat mendapat tugas kelompok, dan saat itu giliran rumah Rindu.

Rindu sedang membersihkan meja, Larso menatapnya dengan intens. Memperhatikan pergerakan Rindu dari dapur ke ruang tamu. Ia tidak mengerti saat Larso terus menatapnya. Ia mengira jika Larso sangat senang melihat Rindu belajar dengan teman-temannya seperti orang tua yang akan senang jika teman-teman anaknya datang ke rumah.

Namun, saat Rindu akan menaruh kain lap ke dapur tangannya dipegang Larso. “Kenapa? Paman mau dibuatin kopi?”

“Enggak.” Larso menariknya ke kursi. Ia langsung melakukan aksinya meskipun mendapat penolakan beberapa kali dari Rindu. Ia terus memaksa hingga nafsunya terpuaskan.

“Neng, udah sampe. Sekolah Mentari, ‘kan?” Pak Sopir mengagetkan Rindu dengan suaranya.

“Eh, iya. Makasih, Bang.” Rindu turun dari angkot dan memasuki gerbang sekolahnya.

Tiba-tiba Echa menggandeng lengannya dari belakang. “Baru sampe juga? Ntar pulang sekolah Anres ngajak latihan lagi katanya.”

“Emang boleh izin lagi kerjanya?” Rindu memegang tali tas gendongnya yang berada di pinggang.

“Boleh. Dia, kan, anak bosnya.” Cengiran Echa membuat Rindu menarik sudut bibirnya meskipun hanya sedikit.

Keduanya memasuki lorong kelas, menuju tangga untuk ke lantai 3. Banyak siswa sudah berangkat dan berdiri di depan kelas menunggu bel masuk. Masih ada sepuluh menit untuk bercengkerama dengan teman.

“Makin kurus, nih, gue kalo setiap hari di sini. Naik turun tangga dua lantai.” Echa terlihat ngos-ngosan naik lantai satu ke lantai dua.

Rindu berhenti sebentar, menikmati pemandangan pagi dari lantai dua. “Gue kayak ngerasa di sini udah lama banget, dan sebentar lagi nggak di sini.”

“Nggak di sini lah, kan, kita bentar lagi lulus. Gimana, sih, lo?”

“Ya, makanya, bener, kan, gue bilang?” Rindu melanjutkan jalannya menuju lantai tiga.

“Iya. Rindu, mah, selalu bener.” Mereka telah sampai di lantai tiga. Di sana, Anres sudah mengadangnya di depan kelas.

“Nanti kita latihan lagi, ‘kan? Pak Burhan udah ngomong sama gue tadi, suruh ngelatih lo. Setidaknya ada satu olahraga yang buat lo nggak remed.”

“Tenang, Mas Bro. Nanti kita bakal on time, asal dapet izin cuti kerja dari lo.” Echa berdiri antara Rindu dan Anres di depan kelas mereka.

“Gampang itu, mah. Ntar gue bilang sama yang masuk pagi lewat pesan.”

Melihat Anres akan berjalan ke dalam kelas, membuat Echa menggandeng Rindu menuju kelas.

Echa adalah tipe sahabat yang akan setia jika sahabatnya tidak mengkhianatinya. Seperti membicarakannya di belakang atau menusuknya. Mereka bersahabat sudah sejak mereka duduk di bangku sekolah pertama. Echa, Anres dan Rindu. ketiga orang ini sudah mengerti satu sama lain tentang kelemahan masing-masing. Namun, satu yang masih Rindu rahasiakan adalah tentang lebam yang berada di tubuhnya.

Tidak mungkin jika dirinya akan menceritakan tentang pamannya pada orang lain, terlebih pada Echa juga Anres meskipun mereka bersahabat. Ada hal yang tidak harus diceritakan pada sahabatnya jika itu adalah masalah dalam keluarganya.

Seperti saat ini, Echa masih juga menanyai tentang lebam yang ada di leher dan lengannya yang tanpa sengaja Rindu perlihatkan saat membuka lengan bajunya agar mengurangi rasa gerah.

Kemarin, Rindu beralasan jika dirinya jatuh dari sofa dan lehernya mengenai kotak musik yang bentuknya bola salju. Ia tidak mungkin akan jujur pada Echa.

“Rin, lengan lo juga lebam. Nggak sakit?” Dipegangnya lengan Rindu yang membiru. Seperti sudah beberapa hari lebam itu menampakkan diri di lengannya.

“Ah, enggak. Biasalah, capek kerja, jadi gini.” Rindu menutup lengan bajunya kembali.

“Tapi gue heran, deh. Gue sering liat, nggak cuma kali ini lengan, leher, bahkan waktu itu pernah, kan, pelipis lo sampe biru gitu. Ya, kan, Res?” Echa menatap mata elang Anres meminta dukungan atas suaranya. Berharap Anres juga mengatakan iya, karena saat itu ia melihatnya dengan jelas dan Anres seperti tak acuh. “Beneran nggak kenapa-kenapa?”

Echa kembali mengusap lengan Rindu, hingga membuatnya menggigit bibir bawahnya. Echa menatap Rindu, terlihat jika luka ini baru di lengannya.

“Iya. Setidaknya kalo lo ada masalah cerita ke kita, jangan dipendem sendiri! Kita udah temenan lima tahun lebih. Itu lebih dari cukup buat lo percaya ke kita.” Anres mendekat. Ia memberikan botol minumnya yang masih dingin untuk diusapkan di lengan Rindu. “Mudah-mudahan membantu.”

“Betul kata Anres, Rin.” Echa mendekat, membisikkan sesuatu. “Jangan bilang Pak Larso yang ngelakuin semua ini ke elo?” Matanya melirik, menatap Rindu berharap pertanyaannya mendapat jawaban tidak.

“Gi—gila kali lo. Enggak lah. Mana mungkin paman gue kayak gitu. Lo tau sendiri kalo paman Larso gimana sopannya ke yang lain?” Matanya menatap ke arah lain. tidak berani menatap Echa maupun Anres.

Rindu langsung mengambil bola yang dipegang Anres, mencoba menggiring bola tersebut menuju ring.

“Ngapain gagu, gitu, Rin? Setidaknya, kalo emang enggak, ya, ngomongnya nggak usah kayak takut gitu.” Anres mendekat pada Echa.

Rindu sudah memasukkan bolanya, bola basketnya masuk ke dalam ring yang ada di seberang Echa dan Anres berdiri. Ia terlihat kegirangan bisa memasukkan bola.

Sedangkan Echa dan Anres masih mengamati tingkah Rindu yang berbeda. Terlihat menjauh saat Echa mengatakan jika lebam itu diciptakan oleh pamannya.

“Lo percaya kalo lebam itu gara-gara kecapekan kerja?” Anres menerawang jauh, menghadap Rindu yang terus mencoba memasukkan bolanya.

“Entahlah. Gue cuma nggak mau kalo Rindu nggak nyaman tinggal sama pamannya.”

Yeay...
Makasih yang udah mau baca
Ditunggu nextnya ya...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top