Delusion
Aku menatap danau buatan di depanku sambil menenteng tas dengan erat ditangan. Sesekali angin semilir menghembus ke rambut panjangku, seakan-akan meniupkan seluruh rasanya untuk membelai rambut lembut yang aku miliki. Dengan mengenakan dress peach selutut dan jaket jins berwarna biru laut hadiah dari seseorang, aku berdiri dipinggir danau menunggu si pemberi hadiah dengan sumringah.
Rasa tidak sabar untuk bertemu dengannya semakin menjadi-jadi. Ya, karena beberapa hari ini kami jarang bertemu, dia hanya menemuiku sesekali saja karena sibuk. Dia adalah seorang dokter.
"Apa kau sudah menunggu sejak tadi?"
Aku merasakan seseorang menggenggam tanganku, aku yakin dia adalah Eric, tunanganku tercinta.
Kepalaku menoleh kearahnya, aku berikan senyum termanisku. "Kau lama sekali, aku kedinginan menunggumu," protesku mencebikkan bibir.
Dia terlihat gemas, tangannya terulur mengelus pipiku yang sudah kemerahan diterpa udara. Hujan cukup deras mengguyur bumi, membuat partikel-partikel udara menjadi sangat dingin.
"Pipimu seperti es," ucapnya dengan senyuman yang selalu mampu membuatku luluh. Padahal, justru tangannya lah yang sedingin es.
Aku menyentuh tangannya yang masih mengelus pipiku. "Aku lapar."
"Baiklah, ayo kita pergi ke restoran dekat sini," katanya mengandeng tanganku, menarikku untuk berjalan mendekat disampingnya.
Aku tersenyum dalam tundukkan, Eric adalah laki-laki paling lembut dan paling perhatian yang pernah aku kenal.
Setelah aku dan Eric berpacaran lebih dari empat tahun, akhirnya kami memutuskan untuk bertunangan, lima bulan yang lalu. Dan kami berencana menikah bulan depan.
Kami bergandengan tangan tanpa rasa malu, menyusuri trotoar, langkah demi langkah sambil terdiam. Kendaraan lalu lalang tidak terlalu ramai. Banyak orang yang juga berjalan bersama kami, ntah itu searah atau berlawanan arah.
Eric masih menggenggam tanganku erat. Bahkan aku sudah tidak peduli, jika orang-orang melihat kearah kami dengan pandangan yang aku tahu pasti, jika mereka akan membicarakan kami di belakang sembari berbisik-bisik.
Aku masih tidak peduli, yang aku tahu aku bahagia bersama Eric saat ini.
Akhirnya aku memutuskan untuk makan disalah satu restoran fast food terdekat. Aku memesan dua buah cheese burger dan dua gelas minuman bersoda berwarna hitam. Ku lihat Eric sudah duduk di kursi paling pojok dekat jendela, tempat aku meletakkan tas tadi. Setelah aku selesai membayarnya, aku buru-buru menghampirinya, duduk di depannya.
Eric memandang keluar kaca jendela dengan pandangan sayu, dia melipat tangannya ke depan dada, sungguh keindahan yang luar biasa melihat tubuh kekar Eric berbalut kemeja putihnya. Dia nampak lelah, mungkin karena dia sangat sibuk bekerja untuk biaya pernikahan kami akhir-akhir ini.
Aku berdeham. Eric mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Kau memesan dua porsi?" tanyanya.
"Tentu saja," jawabku pelan
Dia menghela napas. "Kau tau bukan kalau aku tidak bisa memakannya?"
Aku tertawa, cukup keras hingga beberapa pasang mata menatapku heran.
Aku balas menatap mereka satu persatu dengan perasaan malu, lalu menutup mulutku sendiri, karena aku pikir mereka terganggu dengan suara tertawaku yang berlebihan.
Setelahnya, aku mulai memakan burgerku.
.
Hari sudah mulai gelap, aku mengajak Eric ikut ke rumahku. Kami menaiki taksi, karena aku dan Eric tidak membawa kendaraan sendiri.
Begitu sampai di depan pintu, aku menekan bel rumah.
Lida, pembantuku membukakan pintu.
Pintu terbuka lebar, dia hanya menunduk dan buru-buru kembali masuk ke dalam.
"Lida, dimana ayah dan ibu?" tanya ku sebelum dia menghilang.
"Mereka sedang menonton televisi, non," ucapnya dan berlalu.
Aku mengajak Eric masuk ke dalam, untuk menemui orangtuaku.
Begitu melihat ayah dan ibu sedang duduk di sofa menatap layar televisi aku tersenyum. Ibu menatapku dengan tatapan sayang, dia terlihat nyaman dirangkulan ayah.
"Ibu, aku dan Eric datang," kataku begitu mendekat.
Aku melirik Eric yang berdiri dibelakangku, dia tersenyum kearah ayah dan ibu yang tengah memandangi kami.
Tatapan ibu berubah menjadi ketidak sukaan, dia bangkit dari sofa, tanpa membalas ucapanku ataupun menyapa Eric, dia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Begitupun ayah, sebelum mengikuti ibu, dia memandangku dengan tatapan yang tidak aku mengerti dan masuk ke dalam kamar yang sama.
Inilah permasalahanku saat ini, ntah kenapa aku tidak tahu alasan mengapa ayah dan ibuku seperti tidak suka jika aku bersama Eric sejak beberapa minggu yang lalu.
Aku mencoba mengabaikan mereka, aku memandang Eric, memberikan tatapan 'tidak apa-apa' padanya sambil tersenyum, kemudian menyuruhnya untuk masuk ke dalam kamarku.
Lida mengintip di balik pintu dapur, aku dapat melihat keterkejutannya ketika mataku menangkap basah dirinya yang tengah mencuri dengar pembicaraan kami.
"Lida, tolong buatkan teh hangat untukku dan Eric," pintaku padanya.
"Ba-baik non." Lida terbata mengiyakan.
Aku memutuskan untuk menyusul Eric ke atas, ke kamarku.
Disana, Eric sudah duduk di sofa single kesukaannya. Dia tersenyum menatapku.
"Ku harap kau tidak tersinggung dengan sikap ibu," kataku menenangkannya.
Eric hanya menggeleng. "Aku memakluminya."
Aku mendekat, memilih duduk di ranjang, berseberangan dengannya. Kami saling berhadapan, kami saling menatap dalam diam untuk beberapa saat.
Sebelumnya, kami selalu tertawa bersama ibu setiap kali Eric datang. Karena sudah terbiasa, Eric datang ke kamarku tanpa rasa sungkan, kami berdua, bersama ibu, bercanda, tertawa, menanti ayah pulang dari kantornya, jika Eric tidak sedang berdinas.
Tapi semua berubah, bahkan ibu tidak mengatakan alasannya kenapa dia merubah sikapnya pada Eric.
"Kau sangat cantik, sayang," ucapnya tiba-tiba.
Aku tersipu malu. Ingin membalas pujiannya, tapi pintu kamarku lebih dahulu diketuk oleh seseorang.
"Masuk."
Lida masuk membawa dua gelas teh hangat, dia terlihat segan saat menaruh teh itu di meja kamarku.
"Terima kasih, Lida," ucapku tanpa balasan darinya.
Bahkan Lida saja berubah. Dulu, dia yang paling senang jika Eric datang, dia selalu menggangguku dengan meminta Eric untuk memeriksa kesehatannya menggunakan alat tensi darah yang selalu Eric bawa. Tapi kini, Lida selalu menghindar, dia terlihat buru-buru pergi menjauh jika aku sedang bersama Eric.
Aku mulai kesal dengan sikap orang-orang di rumahku. Kenapa mereka tidak ada yang bisa menghormati Eric yang notabennya adalah tunanganku? Padahal, dulu mereka sangat menyukai sosok Eric.
Aku membaringkan tubuhku diranjang, membelakangi Eric.
Tak lama, aku merasakan tubuhku didekap erat. Aku dapat merasakannya, aroma Eric sangat pekat menguar ke indera penciumanku.
Merasa nyaman ketika Eric memelukku dari belakang, mendekapku dengan kedua tangannya sambil berbaring seperti ini. Aku memejamkan mata.
"Apa kau mencintaiku?" tanyaku padanya.
"Ya."
"Apa buktinya?"
"Bukankah aku akan menikahimu?"
Aku tersenyum, masih memejamkan mata mendengar merdu suaranya.
"Kenapa kau mencintaiku?"
"Tidak tau."
Aku bergerak, menyentakkan kakiku pelan karena tidak suka dengan jawabannya.
"Kenapa tidak tau?"
"Baiklah, baiklah, karna kau cantik," ralatnya.
Aku terkekeh, aku tahu dia terpaksa mengatakan itu.
"Aku juga mencintaimu," balasku.
"Aku tau."
"Darimana kau tau?"
"Dari matamu ketika menatapku."
Aku memang tidak bisa berbohong pada Eric. Mataku memang jelas menunjukkan betapa aku memujanya, betapa aku mencintai Eric dengan seluruh jiwa ragaku.
"Ya, sayang. Aku mencintaimu, aku sangat mencintaimu, Eric," aku menekankan tiap kalimatku.
Dia terdiam, tidak membalas pernyataan cintaku. Eric memang seperti itu, dia tipikal pria pendiam yang hangat.
"Kau sangat hangat, Rachel," bisiknya.
"Kau yang terlalu dingin, Eric,"
"Benarkah?"
"Ya, tubuhmu sangat dingin, apa kau kedinginan?"
"Ya, disini sangat dingin."
Begitu mendengar keluhannya, tanganku meraba-raba ruang kosong ranjangku, berharap dapat menggapai remot air condition, karena aku terlalu malas untuk bangkit, terlalu sayang untuk melepaskan pelukan Eric.
Akhirnya aku mendapatkan remot itu, aku segera mematikan pendingin kamarku agar Eric tidak lagi merasa kedinginan, aku ingin berbagi kehangatan tubuhku padanya.
Sayup-sayup, aku merasa lelah dan mengantuk, begitupun Eric yang tidak mengeluarkan sedikitpun suaranya. Aku rasa dia tertidur.
.
Aku terbangun dengan keadaan linglung, mataku mencari benda yang berdenting yang terpajang di dinding kamar.
Rupanya sudah dua jam aku tertidur.
Aku terduduk, celingukan mencari sosok Eric yang sebelumnya memelukku.
Ketika melihatnya sedang duduk di sofa sambil tersenyum melihatku, aku menghela napas lega.
"Kenapa kau tersenyum dengan aneh seperti itu? Apa wajahku aneh?" tanyaku merapikan rambut. Aku tidak mau terlihat jelek di depan Eric.
"Kau sangat cantik," jawabnya tenang dengan wajah yang pucat.
Aku memperhatikannya lamat-lamat, ada yang tidak beres. Aku bangkit untuk mendekatinya.
"Kau demam?" tanyaku lagi dan memegang keningnya.
Suhu tubuhnya sangat dingin, mungkin dia memang tidak tahan dengan udara dingin, belum lagi aku menyalakan ac sebelumnya dan tidak memberinya selimut.
"Aku akan mengantarmu pulang, dan kita ambil obat di apartemenmu," ucapku akhirnya mengambil keputusan.
Dia menurut. Aku mengambil jaket hitamku di dalam lemari karena pada malam hari udara akan semakin dingin. Tak lupa juga dengan kunci mobilku.
Aku bergegas turun ke bawah, diikuti Eric.
Di bawah, ibu, ayah dan Lida seperti menungguku.
"Kau sudah bangun nak?" tanya ibu bangkit dari tempat duduknya.
"Ah, ibu," aku mendekat padanya dan menggenggam tangannya erat. "Aku harus pergi bu, sepertinya Eric demam, aku harus mengantarnya pulang," ucapku.
Dia melepas genggaman tanganku kasar.
"Sampai kapan? Sampai kapan kau akan seperti ini, putriku?" tanyanya penuh kesedihan.
"Apa maksud ibu?" aku tak mengerti kenapa ibu bertanya seperti itu padaku, aku melihat Eric, dia masih terdiam, tapi wajahnya semakin pucat. Aku semakin khawatir.
"Hentikan nak, tolong hentikan!" Air mata ibu mengalir.
Aku semakin tidak mengerti.
Ibu mencengkeram pundak ku kuat dan mengguncang-guncangkannya.
"Rachel, hentikan semua ini! Demi ibu, tolong hentikan Rachel, kau harus sadar, Eric sudah meninggal dunia sebulan yang lalu! Kau tidak bisa terus menerus seperti ini!" tukasnya penuh emosi dan air mata.
Aku membulatkan mataku tidak percaya jika ibu bisa mengatakan hal keji itu padaku. Ia jatuh luruh ke lantai. Aku melihat Lida ikut terisak, sedangkan ayah mendekat, meraih pundak ibu, menenangkannya.
"Rachel, tolong sadarlah...," isaknya.
Aku menggelengkan kepala. "Ibu, kenapa ibu mengatakan bahwa Eric sudah meninggal? Lihat disana ..."
Sosok Eric menghilang. Aku tidak bisa menemukannya ketika ingin kutunjukkan pada ibu bahwa Eric baik-baik saja sejak tadi bahkan sejak kemarin dan hari sebelumnya, aku masih bersama Eric.
Aku memutar tubuhku kesana kemari mencari Eric.
"Eric! Eric!" Teriakku memanggilnya. Tapi tidak ada jawaban sedikitpun. Eric tidak menjawabku. Dia hilang bak ditelan bumi.
Aku terus memanggilnya hingga aku frustasi. Sedangkan isakkan ibu dan Lida semakin terdengar.
.
Seminggu kemudian ayah dan ibu membawaku ke psikiater, bahkan mereka sampai membawaku ke rumah sakit jiwa, untuk memeriksa kejiwaanku.
Dan ya, mereka mengatakan bahwa aku menderita delusion, halusinasi yang akut karena kehilangan seseorang yang paling aku cintai.
Aku hanya mengiyakan dan menerima segala pengobatan yang disarankan untukku.
Beberapa bulan sudah berlalu. Aku mulai tenang dengan kehidupanku. Ayah dan ibu juga sudah mulai bisa menerima keadaanku yang mulai membaik.
Aku merasa sudah baik-baik saja dan tidak ada masalah dengan kesehatanku.
"Makanlah yang banyak sayang," ibu menambahkan daging ke dalam piringku.
"Ibu, perutku sudah penuh," rengekku manja.
Dia membelai rambutku sayang. "Setelah ini, kau harus berdandan yang cantik, karena kita akan pergi ke rumah tante Shopie, disana banyak pria-pria tampan menunggumu," katanya.
Aku mengangguk bersemangat.
Setelah aku menghabiskan dagingku, aku beranjak ke kamar, menuruti keinginan ibu.
Aku membuka lemari pakaianku lebar-lebar dan memilih dress berwarna peach serta jaket jins berwarna biru laut favoritku.
Dengan segera aku memakainya dan bersolek. Aku tersenyum puas melihat pantulan wajah cantikku dicermin, kemudian berbalik.
"Eric, apakah aku sudah cantik?" Tanyaku tersenyum.
Ya, mereka gila, ayah, ibu bahkan Lida, mereka sudah gila. Bagaimana mereka bisa mengatakan Eric sudah meninggal karena serangan jantung saat bekerja? Padahal sedari tadi dia duduk di sofa kesukaannya sambil memandangiku.
End.
*****
What do you think ??
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top