4. Namanya Keanu

Aku membina hubungan dengan Leon sebelum hubunganku yang kandas dengan Mike saat ini. Leon adalah pria menjijikan dengan senyum playboy yang kuakui memang bisa membuat celana dalam para wanita terbakar dengan mudahnya. Aku pikir, menakhlukan Leon hingga dia tidak akan berpaling dariku adalah sebuah bentuk pembuktian diri bahwa aku tidak sesial terkaan Mei. Dan ketika aku melaporkan mengenai periode patah hatiku saat berakhir dengan Leon, Mei kembali tertawa dengan terpingkal-pingkal sampai air matanya keluar.

"Untuk apa kita kesini?" tanya teman Kilua yang ternyata masih mengikutiku.

Kami mendongak. Menatap bangunan tinggi yang adalah sebuah kelab dengan kamar-kamar terselubung di dalamnya.

Kening teman Kilua berkerut-kerut. Hidungnya mengernyit tidak suka dan matanya menatapku bolak-bolak dengan bangunan di depannya.

"Ini masih siang. Lo nggak malu sama matahari di atas sana?" tanyanya lebih ke arah sarkatis daripada kebingungan.

Aku memutar bola mataku, menghela napas dan menunjuk dadanya.

"Kamu cukup menemaniku sampai di sini!" perintahku tegas. Lalu aku membuka ponselku, menghubungi bodyguard bayaran yang pernah kusewa untuk urusan pribadiku.

"Aku membutuhkan kalian untuk datang secepatnya kesini. Lima belas menit dan bayaran tiga kali lipat," desisku cepat sebelum menutup sambungan. Aku menyeringai lebar. Dengan percaya diri masuk ke bangunan itu dengan teman Kilua yang tetap mengikutiku.

"Gue ikut karena Kilua bisa bunuh gue kalau tahu sepupunya pergi ke tempat seperti ini seorang diri," gumamnya di sampingku.

Aku tersenyum kepadanya. Menepuk bahunya dan merasa senang karena setidaknya, dia adalah teman yang baik untuk Kilua.

"Aku tidak selemah itu, Boy. Tenang saja, oke?" kataku dan mengedipkan sebelah mataku. Teman Kilua- ehm, kurasa aku harus tahu siapa namanya, terlihat membeku untuk sesaat. Mungkin dia merasa ngeri dengan perilakuku saat ini.

Aku mengedikkan bahu tak peduli. Berdiri di depan sebuah kamar dengan pintu berwarna merah menyala. Melihat jam tanganku, aku tahu bahwa bala bantuan akan datang sekitar lima menit lagi dan jika aku membuka pintu di depanku, pemandangan yang menyakitkan mata pasti yang aku temui.

"Apa yang mau lo-" kata-kata pria tampan di sampingku terhenti ketika aku membuka kenop pintu. Leon yang sedang menungging dan wanita di bawahnya yang menjerit membuatnya melongo.

Aku terkikik melihat reaksinya. Tapi lalu berdeham cukup keras yang nyatanya tidak berhasil menghentikan apa yang kedua orang itu lakukan. Melihat ada vas tak jauh dariku, aku menyenggolnya dengan sengaja dan membuat bunyi pecahan yang cukup keras.

Pasangan mesum di depanku langsung tersentak dan memisahkan diri. Leon mengerjap kaget dengan mata yang membelalak ketika menatapku di bibir pintu.

"Hey, Darling!" katanya dengan mata yang tampak mencari-cari sesuatu di belakangku. Dia lalu segera membungkus bagian pinggang ke bawahnya dengan boxer berwarna hitam sementara wanita yang tampak setengah jalan itu terlihat kesal.

Leon mengedikkan dagunya ke arah pintu kepada wanita itu. Membuat wanita dengan rambut keriting dan bibir semerah darah itu mendengkus kesal namun segera mengumpulkan pakaiannya. Memakainya dengan cepat dan menabrak bahuku ketika melewatiku.

"Well, kamu tidak berubah, Leon," ujarku sambil mengernyitkan hidung. Merasa aroma di dalam kamar ini bisa saja membuatku muntah.

"Selamat datang juga, Darling. Jika aku tahu kamu akan datang, aku pasti akan lebih siap dari ini," ujarnya dengan mengulas senyum miring.

Aku menggeleng. Melangkah semakin masuk dan melihat parfum tergeletak di atas meja. Langsung saja kusemprotkan parfum itu ke seluruh penjuru ruangan. Dan setelah selesai, aku mengambil bangku tinggi. Duduk di sana dengan kaki yang disilangkan.

"Kamu tahu kan mengapa aku ada di sini?" kataku sinis. Mataku memicing menatapnya yang tampak salah tingkah.

"Karena kamu merindukanku?" jawabnya ringan.

Aku mengembuskan napas lelah. Mengulurkan tangan dan membuat satu alisnya naik. "Berikan ponselmu," desisku dengan mata menatap tajam ke arahnya.

Dia lalu tertawa. Menyugar rambutnya yang berpotongan undercut dan mengambil tempat duduk berhadapan denganku. "Kamu sangat lucu, Darling."

"Kamu tahu kan kalau sebaiknya kamu menjaga mulutmu agar tetap selamat?" desisku lagi.

"Itu kan hanya video singkat. Hanya sebuah candaan," matanya terlihat tidak percaya. "Apa kamu dan teman-temanmu tidak punya selera humor, ya?"

Aku tetap bergeming. Menyipit kepadanya dan mendongakkan daguku. "Tidak, jika kamu menyebut nama Gumala dalam apa yang kamu posting."

Dan kejadiannya sangat cepat. Tiga bodyguard yang kuhubungi menerobos kamar Leon. Membongkar kamarnya hingga menemukan ponselnya. Memaksanya menghapus video apapun itu dengan sedikit intimidasi. Well, Leon memang bajingan katrok yang pengecut.

"Kau gila. Kau tahu itu?" katanya sarkatis ketika ketiga bodyguard itu selesai dan berdiri di belakangku.

"Menggunakan tukang pukul untuk mendapatkan apa yang kau mau?" Leon berdecak.

"Mereka belum memukulmu dan kamu sudah kalah. Bagian mananya yang tukang pukul dari mereka?" ujarku sinis.

"Tapi mereka akan melakukannya jika aku menolak," balasnya kesal. "Itulah mengapa para pria tidak bisa lama bertahan denganmu Alisa. Selain tubuh dan hartamu, memangnya apa lagi yang bisa kau banggakan?"

Aku mengatupkan rahang. Bangkit berdiri dan memerintahkan ketiga tukang pukul itu untuk memberi sedikit pelajaran tentang tata krama yang harus Leon lakukan. Oh hell... Aku sama sekali tidak berniat memukulnya. Sumpah! Ketiga bodyguard itu memang kusewa hanya untuk mengintimidasi.

Namun apa yang Leon katakan membuatku kesal. Jadi jangan salahkan aku jika bibirnya robek atau dia punya luka memar di badannya beberapa saat lagi.

"Lo gila, ya?" tanya teman Kilua begitu kami sudah keluar dari kamar itu. Mata biru kehijauannya membelalak lebar dan menatapku dengan.... Takjub?

"Aku memang semengerikan itu, Boy. Karena itu, lebih baik kamu cari mainan yang lebih penurut," ujarku sambil menepuk pipinya. Mengecupnya singkat sebelum berjalan menuju bar. Aku butuh mabuk dengan segera.

Tidak ada yang perlu kutakutkan bahwa Leon akan melaporkanku atau adanya tuntutan hukum. Well, saham milik keluarganya berada di tangan Alfa dan kakakku yang sempurna itu, sangat posesif kepadaku.

Dengan apa yang menimpa Arlinda, kakak perempuanku, dulu rupanya membuat Alfa sangat menjagaku layaknya aku adalah putri yang terbuat dari guci terbaik. Padahal, dulu aku yang selalu melindungi kedua saudaraku dari balik layar. Dan ketika tiga tahun yang lalu semuanya terungkap, aku hanya ingin menikmati hidup dan menyerahkan segalanya kepada Alfa.

Katakanlah aku wanita yang egois. Dan itu memang benar adanya. Hidup selama ini dengan mengekang diri untuk menjadi putri kesayangan ayahku sangat melelahkan. Karena itulah, kupikir tidak apa-apa jika pada akhirnya aku mendapatkan kebebasanku, kan?

"Setelah memukuli orang, kamu lalu mabuk-mabukan?" suara dari teman Kilua terdengar. Membuatku mendengkus kesal tanpa menghentikan satu sloki bir yang kuminum.

"Aku tidak selemah itu untuk mabuk karena bir, Boy!" ejekku lagi.

"Keanu."

"Huh?"

"Namaku Keanu. Atau Ken. Yang manapun sama saja. Jadi kamu bisa berhenti memanggilku Boy."

Aku tertawa. Merasa ringan karena efek bir yang sudah kuminum terlalu banyak. Kenyataannya, aku tetap bisa mabuk jika bir yang kuminum sudah melewati kadar toleransi tubuhku.

"Kamu sudah berhenti menggunakan lo - gue?" Aku menunjuk dadanya dan dadaku.

Bisa kulihat Ken meringis. "Aku kira umurmu dan Kilua sebaya. Kamu terlihat sangat muda sekali."

"Oh ya?"

"Hmm," dia tersenyum. "Walaupun perbedaan usia kita tidak cukup jauh. Tetapi aku tidak bisa melihatmu sebagai bocah, melainkan wanita dewasa," ujarnya berbinar. "Dan kamu adalah wanita dewasa yang menarik."

Aku mengerucutkan bibir. "Apa maksudmu, kamu tertarik denganku?"

Keanu tertawa. "Aku rasa, pria normal akan segera tertarik kepadamu begitu kali pertama melihatmu."

"Karena apa?" aku memiringkan kepalaku. "Tubuhku? Wajahku? Atau hartaku?"

"Ketiganya adalah kombinasi yang sulit ditolak. Tetapi sikapmu juga menarik untuk diberi perhatian."

Aku berdecak. "Kamu kan sudah tahu sikapku yang suka menggunakan kekerasan untuk mendapat apa yang aku inginkan..."

Keanu tertawa. Matanya berbinar-binar. "Dan apa alasannya? Mengapa kamu begitu?"

Aku mengedikkan bahuku. "Karena semua orang tidak mau merasakan sakit. Bukankah begitu?"

"Apa kamu tidak pernah disakiti?"

"Secara fisik, tentu saja tidak. Ayahku sangat menjagaku dan dia melakukannya dengan baik," gumamku sambil tertawa. "Tetapi selalu saja banyak pria bajingan yang membuatku patah hati," aku mulai merengek. Terisak dan menelungkupkan wajahku di atas meja bar.

"Apa kamu kesakitan?" tanyanya lagi.

Aku segera menegakkan tubuhku. "Tentu saja iya. Untuk sebentar saja aku memang merasa sakit. Tetapi para pria selalu bisa digantikan dengan mudah." Aku mengibaskan tanganku. Berteriak meminta tambahan satu botol bir lagi.

"Kamu tahu? Sahabat baikku memberiku kutukan, bahwa aku selalu menjalin hubungan dengan pria bajingan dari kumpulan pria bajingan!"

"Benarkah?"

Aku mengangguk kuat. "Kata-kata yang keluar dari mulutnya sebagian besar menjadi kenyataan. Karena itulah aku selalu was-was ketika dia membuka mulut pintarnya."

"Dia seperti penyihir," gumamnya takjub.

"Dia titisan Ki Joko Bodo!" pekikku sebelum tertawa.

"Siapa itu Ki Joko Bodo?" tanya Keanu dengan kening berkerut-kerut.

"Di mana kamu tinggal selama ini?" tanyaku takjub.

"Apa ada yang salah?"

"Karena semua orang di negaraku mengenal sang legenda dengan cambang panjang dari dukun melegenda itu. Kupikir kamu memang dari Indonesia. Bahasa Indonesiamu sangat lancar," pekikku takjub.

"Ayahku orang Indonesia dan ibuku berasal dari sini."

Aku mengangguk-angguk. "Ibumu pasti wanita yang cantik."

"Kamu juga cantik," pujinya yang membuat wajahku tersipu-sipu.

"Well, dan kamu bukannya tidak tampan, Boy," kataku sambil terkikik geli.

Aku kembali berteriak dan meminta bir. Ketika lenganku ditahan oleh lengan tangan yang lebih besar dan hangat dan... terasa benar berada di sana.

Awalnya aku merasa kesal. Mendelik ke arah Keanu yang hanya berjarak beberapa inci dari tubuhku. Sementara wajahnya yang tampan persis berada di depanku.

"Well, jika kamu ingin melupakan apa yang terjadi hari ini, kurasa aku bisa membantumu, Alisa..." bisiknya sebelum ia memagut bibirku. Membuatku lupa dengan rasa cemas, marah, dan tidak berdaya yang beberapa saat lalu kurasakan melingkupi diriku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top