1. Are You, Gay?

"Hai Babe." Suara Mike terdengar merdu di telingaku yang langsung membuatku menolehkan kepalaku. Dia lalu mengecup bibirku singkat, tetapi kuat. Hal yang membuatku merasa dipuja olehnya. Dia lalu duduk di sampingku. Tangannya melingkar di pinggangku dan menyapa teman-temanku yang duduk melingkar di restoran fast food dengan hidangan penuh lemak dan kalori yang menggoda.

"Kamu dari mana saja?" tanyaku ingin tahu. Sebenarnya lebih ingin memarahinya karena sukses membuatku layaknya obat nyamuk di antara teman-temanku yang datang bersama dengan pasangannya masing-masing. Satu jam bersama mereka dan menjadu jomlo itu rasanya bagai menonton ulang adegan sinetron Cinta Fitri dari season satu sampai tujuh. Membuat perutku melilit namun mau tidak mau harus bertahan.

Mike mengusap lenganku. Memberikan senyuman mautnya yang selalu membuatku kalah. Senyum yang menjadi awal mula aku memperhatikannya dan berakhir menjadi kekasihnya.

Dia memegang kartu truft-ku! Sialan!

"Aku harus mengkover pekerjaan Henry. Kau tahu bagaimana bosku dengan segala sifatnya," jelasnya lembut. Sebelum aku membantahnya, Mike menyapa teman-temannya yang berjumlah enam orang. Well, teman-temannya yang kini menjadi temanku lebih tepatnya.

Saat ini aku berada dalam teritorial milik Mike. Dan sebagai pelancong yang hanya bisa menghabiskan waktu selama beberapa minggu di sini, bertemu dengan orang-orang ramah adalah berkat bagiku.

"Bagaimana perjalananmu ke Venice, Babe?" tanya Mike ingin tahu. Dua hari yang lalu aku memang baru berada di London setelah sebelumnya menyatroni negara air tersebut. Bertemu dengan kakakku, Arlinda, dan menulis jurnal perjalananku untuk aku unggah di blog pribadiku. Katakanlah aku adalah seorang travel blogger yang lumayan terkenal. Senang mengeksplor dan berkeliling dunia, dan ternyata mendapatkan respon yang positif. Bahkan karena blog tersebut, aku seringkali mendapatkan undangan dari beberapa negara yang wisata alam atau kebudayaannya ingin agar kubahas. Dan itu benar-benar layaknya istilah sambil menyelam minum air. Dalam arti kiasan tentu saja. Jika tidak, aku sudah pasti tenggelam dan mati konyol, kan?

Aku lalu menceritakan perjalananku melihat Carnival of Venice atau Carnavale di Venezia kepada Mike. Yang ternyata juga mendapat atensi menyenangkan dari teman-temannya.

Mike sesekali mengelus punggungku, lenganku, dan mencium pipiku. Menunjukkan perhatiaannya sembari aku bercerita. Dia pernah mengatakan bahwa dirinya senang mendengarku bercerita. Aku yang terlihat menikmati hidup dan bebas. Dan itulah sebab lain mengapa aku bisa menyukainya.

Kesampingkan ucapan sahabatku bahwa aku selalu memilih pria ter-bajingan dari pria paling bajingan di sekitarku. Nyatanya, Mike adalah kebalikan dari ucapannya.

Setengah jam kemudian, kami memutuskan untuk berpisah dan menikmati akhir minggu ini bersama pasangan kami masing-masing. Mike menggandengku dengan erat dan mengajakku ke London Eye. Tempat favoritku ketika tengah mampir ke sini.

"Jadi, bagaimana kabar Henry?" tanyaku ketika kami sedang mengantri untuk menaiki wahana raksasa itu.

"Dia baik-baik saja, setidaknya ketika aku meninggalkannya tadi."

Henry adalah teman satu flat Mike. Jangan bayangkan bahwa Mike adalah salah satu CEO atau direktur salah satu perusahaan besar. Dia hanyalah pegawai biasa yang masih memiliki bos di atas bos dan harus rela berbagi flat dengan sahabatnya, Henry. Biaya hidup di London yang besar tidak membuatnya bisa berfoya-foya untuk urusan tempat tinggal. Setidaknya, flat yang mereka tempati cukup nyaman dan bersih.

"Apa Henry masih single?" tanyaku dengan hidung mengernyit. Bukannya aku ingin tertarik kepada Henry. Tetapi aku terkadang merasa bahwa kekhawatiran Mike kepada Henry sangat berlebihan. Maksudku, Henry adalah pria dewasa yang seharusnya bisa mengurus urusannya sendiri. Tidak perlu Mike untuk mengurusnya sehingga waktunya untukku menjadi berkurang.

Mike tertawa. Mendekapku dengan hangat sebelum mengecup pucuk kepalaku. "You know what, Babe? Aku merasa senang karena kau sangat perhatian kepada sahabatku."

Well, sebenarnya bukan itu tujuanku mencari tahu tentang love story Henry. Tetapi jika itulah yang Mike pikir, aku rasa tidak masalah.

"Belum. Dia belum memiliki pasangan, tetapi kau tidak perlu khawatir, Babe," jawabnya dengan sedikit rasa tidak suka di dalam suaranya.

Apakah dia nyatanya cemburu dengan perhatianku kepada Henry ya? Seperti aku yang cemburu karena kedekatan mereka. Tetapi aku tidak akan mengatakannya keras-keras. Ada yang namanya bromance. Dan kurasa, itulah yang terjadi di antara Henry dan Mike. Terlalu konyol jika aku meminta Mike untuk memutuskan persahabatannya hanya karena aku yang merasa menjadi orang ketiga. Aku tidak sepicik itu. Lagipula hubungan kami baru menginjak enam bulan dengan aku yang tidak terlalu sering berada di sini. Bagaimana aku tega membuat Mike kesepian?

Eh?

Petugas London Eye lalu membantu kami menaiki wahana itu. Membuat senyumku mengembang lebar. Aku percaya tentang kabar yang mengatakan bahwa ketika sepasang kekasih menaiki London Eye dan berciuman di dalamnya, hubungan kami akan tersegel selamanya. Dan kurasa, untuk menyegel diri dengan Mike tidaklah buruk. Maksudku, dibanding mantan-mantanku yang lain, yang memanglah bajingan dari kumpulan para bajingan, mendapatkan Mike adalah sebuah jackpot. Dia tampan, baik hati, hangat, lembut, memujaku, dan yang penting bukan seorang bajingan. Dia juga menghormatiku sebagai seorang perempuan dengan tidak mengajakku untuk make a love dengannya. Maksudku, ini negara bebas di mana free sex bukanlah hal yang tabu. Tetapi dia sama sekali tidak pernah memaksaku untuk memenuhi kebutuhan seksualnya.

Kerlipan sinar dari lampu-lampu kota London benar-benar memukauku. Memukau kami lebih tepatnya. Menolehkan kepalaku, aku melihat raut wajah bahagia Mike. Tatapan kami terkunci begitu dalam. Aku menatap bibir merah penuhnya yang sudah berkali-kali menciumku. Merasa bahwa ini saatnya aku membuktikan teori tentang segel yang menyelimuti keberadaan London Eye. Perlahan dan pasti, kepala kami semakin mendekat... Dan mendekat...

Napas kami saling bersautan. Bau mint aftershave yang dia gunakan menggelitik hidungku. Hingga kurasakan, jarak kami hanya terpaut oleh sehelai bulu kucing persia, ponsel milik Mike berdering dengan sangat tidak pengertiannya. Benar-benar keterlaluan!

Atmosfer romantis yang terbentuk langsung hancur. Aku menghela napas kesal sementara Mike menarik tubuhnya menjauh. Segera mengangkat telepon dengan senyum meminta maaf yang tersemat di bibirnya.

"Ya, Henry."

Aku memutar bola mataku. Bersidekap dengan kesal dan mencatat dalam hati akan mencarikan Henry pasangan untuk dia ganggu. Setelahnya, mood-ku yang hancur membuat Mike terdiam. Tahu bahwa aku tidak akan kembali menyenangkan karena gangguan dari bromance-nya.

Namun tidak sampai di sana, setelah kami selesai menaiki London Eye, Henry sudah berdiri tak jauh dari pintu keluar seolah menunggu kami. Menunggu Mike lebih tepatnya.

Aku melengos kesal. Mengatakan akan ke toilet dan membiarkan mereka tahu, bahwa aku memang kesal.

Lima belas menit kemudian, ketika aku bisa mengontrol emosiku, aku kembali ke tempat Mike dan Henry tadi berada. Lagi-lagi harus bersabar karena keberadaan mereka yang telah menghilang. Aku menarik ponselku. Melihat apakah Mike meninggalkan pesan untukku atau tidak. Dan ketika tidak ada apapun, aku kembali menghela napas kesal. Berderap untuk mencari mereka dengan ponsel ditelinga yang sedang menghubungi Mike.

Kemudian di sudut ruangan gelap, aku mendengar suara geraman yang kutahu, seharusnya tidak usah kupedulikan. Tetapi instingku mengatakan bahwa aku harus ke sana. Dan dengan langkah seorang pencuri yang kupelajari selama hidupku ketika ingin menyelinap keluar dari kediaman Gumala, aku mendekatinya. Mematikan telepon dan apa yang kulihat kemudian, membuatku tidak bisa berkata-kata.

Di sana, di pojok ruangan, dengan teramat jelas aku melihat kekasihku dan bromance-nya sedang memagut dengan panasnya. Ponselku terjatuh karena aku yang terkejut dan mereka bahkan tidak menyadarinya.

Bisa kurasakan bahwa wajahku menjadi pias karena darah yang surut dari wajahku. Dan dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku menarik napas panjang. Berkata dengan suara keras untuk kutujukan kepada dua insan yang sedang dimabuk asmara itu, "Mike! Are you, gay?!"

Dan mereka langsung tersentak. Memisahkan diri dengan napas yang saling memburu sementara bibir mereka bengkak setelah ciuman panjang itu. Oh God! Bibir bekas pria lain yang digunakan priaku pernah mampir di bibirku!

Dikhianati karena selingkuh dari perempuan lain memanglah menyakitkan. Tetapi dikhianati karena pasangan kita selingkuh dengan pria lain itu menyakitkan dan memalukan!

Kandas sudah pikiranku untuk menyegel diri dengan Mike. Dan kembali aku teringat perkataan sahabatku yang mungkin memiliki turunan cenayang sekelas Ki Joko Bodo, bahwa: katanya, aku memang terlahir dengan banyak berkat. Cantik, pintar, dan kaya. Semudah itu. Sesederhana itu.

Sayangnya, di antara berkat itu, katanya aku juga terlahir dengan bakat untuk menarik perhatian para pria. Dari pria baik hingga bajingan. Dan yang membuatnya lebih parah, aku selalu memilih pria terbajingan dari daftar pria bajingan di sekitarku.

Jadi, apa sebaiknya aku tidak usah menikah saja, ya?

***






Jangan lupa tekan bintang di pojok kiri bawah dan kesan pesannya untuk chapter 1.

Muach 💋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top