09 : Don't Want Him To Go

"Bagaimana dengan Taylor, Harry?" Robin bertanya kepada Harry saat keduanya tengah sarapan berdua.

Harry menelan rotinya terlebih dahulu, meraih segelas susu dan meneguknya hingga habis, sebelum menjawab pertanyaan Robin, "baik, Robin. Kami sangat baik."

"Apa kau mulai menyukainya?" Robin kembali bertanya.

Harry diam dan berpikir keras sebelum mengedikkan bahu. "Siapa yang tidak menyukai Taylor Swift, Robin? Dia cantik dan cukup menyenangkan."

"Bukan begitu. Maksudku, apa kau mulai mencintainya? Apa kita bisa melanjutkan perjodohan ini?" tanya Robin dengan penuh semangat. Harry menarik nafas dan menghelanya perlahan.

Harry bangkit dari kursinya dan berkata seraya berlalu pergi, "aku akan kembali dua jam sebelum pesawat berangkat, Robin."

****

Aku tak mengerti kenapa aku bisa bangun sepagi ini. Padahal, aku tak punya jadwal apapun hari ini. Aku bebas melakukan apapun yang aku mau. Biasanya, saat aku bebas, aku selalu tidur dan tidur. Bangun hanya saat hendak makan atau hanya karena Meredith membangunkanku. Sekarang? Bagaimana mungkin aku bisa bangun pagi?

"Pagi, Mom!"

Aku menyapa ceria Mom yang tengah menyiapkan menu untuk sarapan. Mom tampak tersentak melihatku. Aku memicingkan mataku. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa ada yang salah denganku?"

Mom menggelengkan kepala dan mengalihkan perhatiannya ke arah jam yang tergantung di dinding. Kemudian, dia merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya sebelum menatapku kembali. "Astaga, Taylor. Kau tahu, jam berapa saat ini? Jam tujuh pagi dan kau sudah bangun? Bagaimana bisa?" Mom memasang wajah terkejut yang sangat dilebih-lebihkan. Aku memutar bola mataku dan menarik salah satu kursi meja makan untuk duduk.

"Mom, sebegitu aneh, kah, jika aku bangun sekarang?"

Mom terkekeh dan menggelengkan kepalanya. Dia meraih sebuah piring dan meletakkan piring itu di hadapanku. Kemudian, dia meraih roti dan mengoleskan selai kacang di roti tersebut sebelum meletakkannya di atas piring yang ada di hadapanku.

"Jam berapa kau pulang, kemarin?" tanya Mom.

"Jam sepuluh, sepertinya." Jawabku.

"Apa saja yang kalian lakukan berdua?" tanya Mom memasang wajah penasaran.

"Mom, come on, jangan bicarakan ini. Kami tak melakukan apapun. Kami hanya mengobrol. Ya, mengobrol." Aku mencoba meyakinkan Mom yang menatapku menggoda. Aku meraih rotiku dan melahapnya secara perlahan dengan tatapan Mom yang masih mengikutiku.

"Bukankah Harry pemuda yang manis, Tay?" tanya Mom. Aku hanya diam.

"Aku akan sangat senang jika dia menjadi menantuku. Bagaimana menurutmu, Tay?" Mom bertanya lagi dengan pertanyaan yang sontak membuatku tersedak.

Baru saja aku ingin mengambil segelas air minum, tiba-tiba saja, seorang pelayan masuk dan berkata, "maaf, Mrs dan Miss. Swift, ada seseorang yang mau bertemu dengan Miss. Swift di luar."

Aku mengernyitkan dahiku. "Siapa?" tanyaku.

Pelayan itu tersenyum tipis. "Pemuda tampan berambut curly yang akhir-akhir ini sering ke sini, Miss. Swift."

Aku tersenyum tipis dan menganggukkan kepalaku. "Baiklah. Suruh dia tunggu di ruang tamu. Aku akan ke luar beberapa menit lagi." Perintahku. Pelayan itu menganggukkan kepala sebelum melangkah menjauhi ruang makan.

Aku segera bangkit berdiri dan Mom menatapku menggoda. "Lihat, siapa yang sudah datang untuk menjemput Tuan Putri pagi ini? Sang Pangeran." Aku menggeleng-gelengkan kepala seraya beranjak menuju kamarku untuk mengganti pakaian.

Butuh waktu lima menit untukku mencari pakaian yang akan kukenakan dan butuh sepuluh menit untukku berdandan. Setelah memastikan penampilanku sudah jauh lebih baik, aku segera melangkah ke luar kamar, menuju ke ruang tamu, menemui Harry yang sudah menungguku di sana.

"Hei, Harry." Aku membuat Harry yang sepertinya tengah melamun, tersadar.

"Oh, hei, Tay. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" tanyanya seraya bangkit berdiri dan menghampiriku. Dia memelukku singkat sebelum kembali duduk di sofa. Aku menarik nafas dan duduk di sofa dekatnya pula.

"Lumayan. Kau sendiri?" Aku balik bertanya.

"Tidak begitu. Aku mulai nyaman ada di sini dan besok pagi-pagi sekali, aku harus kembali ke London." Harry menghela nafas pasrah. Dia menyatukan jari-jari tangannya.

Aku diam. Jadi, besok pagi dia harus kembali ke London? Setelah aku mulai merasa nyaman berada di dekatnya, dia harus pergi? Kenapa harus seperti ini, sih?

"Kenapa kau harus pergi besok pagi? Apa tidak bisa lusa?" Aku bertanya ragu-ragu, berusaha menutupi rasa kecewaku atas rencana kepulangan dia.

"Manajerku menelepon, aku harus mulai mempromosikan album terbaru bandku di sana." jawabnya menundukkan kepala. Aku mulai merasa benar-benar kecewa tapi, aku tak mungkin menunjukkan rasa kecewaku di hadapannya. Bisa-bisa, dia besar kepala dan menyangkayang tidak-tidak.

Secara perlahan, tanganku mulai bergerak menuju punggungnya. Aku tak mengerti apa yang aku lakukan! Yang jelas, aku mengelus lembut punggungnya, seakan mencoba membuat perasaan pemuda itu lebih tenang.

"Apa kau punya waktu luang hari ini?" tanya Harry, mengangkat wajah dan menatapku dalam. Aku menganggukkan kepalaku.

"Mau menemaniku berkemas? Ehm, aku akan mengenalkanmu kepada kakakku, Gemma. Dia sangat menyukai lagu-lagumu." Harry memasang wajah sedikit lebih ceria.

Aku tersenyum. "Boleh. Ayo, ke sana!"

****

"Apa kau sudah menghubungi Tom untuk menjemputmu? Aku tak bisa pergi sebelum memastikan ada orang yang menjemputmu dan mengantarkanmu dengan selamat kembali ke rumah," ujar Harry kepadaku.

Aku menganggukkan kepalaku. "Tom akan datang. Sebentar lagi. Tenang saja."

"Taylor, sekali lagi terima kasih. Kau sudah membantuku berkemas tadi. Aku tak percaya, kau bisa sangat cepat akrab dengan kakakku. Jika kau butuh teman, kau bisa menghubunginya. Dia masih akan berada di New York sampai awal bulan depan." ujar Harry. Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku lagi.

Aku memang sudah berkenalan dengan kakak Harry yang bernama Gemma. Dia sangat cantik dan baik. Aku bahkan tak tahu, bagaimana bisa aku cepat akrab dengannya. Dia sangat menyenangkan dan ramah. Sayangnya, dia tak bisa mengantarkan Harry saat ini. Gemma ada janji untuk bertemu dengan kekasihnya malam ini jadi, dia tidak bisa mengantarkan Harry ke bandara. Robin dan Anne—nama orangtua Harry—juga tak bisa mengantarkan Harry ke bandara karena sebuah alasan yang tak mereka beritahukan kenapa. Intinya, Harry pasti akan pergi ke bandara seorang diri, jika saja aku tak mau ikut mengantarnya.

"Apa kau sudah memeriksa semua barang bawaanmu?" tanyaku seraya memperhatikan tas Harry,

Harry mengangkat ibu jarinya dan tersenyum lebar. "Bukankah kau yang membantuku berkemas? Semuanya sudah lengkap, kan?" Dia balik bertanya.

Aku mengedikkan bahu seraya terkikik kecil. "Maaf, aku tak memeriksa ulang. Aku hanya memasukkan barang-barang yang kau katakan."

"Tak apa. Jikapun ada yang tertinggal, setidaknya, aku punya alasan yang tepat untuk kembali ke sini, kan?" Harry berkedip dan memasang wajah nakal. Aku tertawa dan memukul lengannya.

Tak lama kemudian, Tom muncul menghampiri aku dan Harry, bersamaan dengan pengumuman keberangkatan pesawat yang akan membawa Harry kembali ke London. Memperingatkan jika seluruh penumpang harus segera memasuki pesawat karena pesawat akan berangkat.

"Tom, pastikan Taylor sampai di rumah dengan selamat." Harry mengancam Tom yang langsung menganggukkan kepalanya. Harry beralih menatapku. Dia berjalan mendekat dan secara mengejutkan, meraih tanganku. Dia menggenggam tanganku erat, tersenyum dan menatapku lekat.

"Sekali lagi, terima kasih atas waktu yang kau berikan untukku, Taylor. Aku sangat menghargai semua itu. Aku akan terus menghubungimu. Aku akan kembali, sungguh. See you soon and have a nice day."

Untuk kedua kalinya, Harry mengecup lembut pipiku sebelum berbalik dan melangkah pergi. Meninggalkan aku yang masih berdiri menatapnya tanpa kata-kata dan dengan mata yang berkaca-kaca.

Aku tak ingin dia pergi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top