08 : Date
"Mom, Dad, come on! Aku tak bisa menerima pria itu! Dia benar-benar menyebalkan dan mengangguku!" Aku memprotes ucapan Mom dan Dad yang mengatakan jika hari ini, Harry akan kembali datang dan mengajakku ke luar rumah.
"Taylor, kau bisa memutuskan nanti. Untuk sekarang, cukup ikuti saja, tak usah banyak protes." Mom berkata menekankan.
Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak, Mom. Aku tak tahan bersama pria itu. Dia terlalu menyebalkan. Ayolah, hentikan semua ini. Aku mohon," aku memasang wajah memelas kepada Mom dan Dad namun, keduanya tampak sangat keras kepala. Mereka berdua menggelengkan kepala dan di saat bersamaan, suara deru kendaraan terdengar.
Mom dengan wajah semangat mendekatiku dan mendorong pundakku. "Sepertinya, itu Harry. Kau harus menemuinya, Tay. Semoga kalian bersenang-senang."
Aku hanya dapat menurut dan berjalan malas-malasan ke luar rumah.
Sesampainya di luar rumah, aku sudah mendapati Harry tengah berdiri tepat di depan pintu seraya tersenyum kepadaku. Dia mengenakan kaus putih santai dan celana jeans panjang dengan robekan di bagian lututnya.
"Selamat siang, Miss. Swift." Sapanya ramah.
"Siang." Jawabku datar seraya berusaha menghindari kontak mata langsung dengannya.
"Jadi, siang ini, kau akan menemaniku?" tanyanya bersemangat.
"Dengan sangat terpaksa." Jawabku sinis.
"Tak apa. Ayo, cepat! Kita tak punya banyak waktu!" Harry menarik tanganku tanpa malu dan membawaku masuk ke dalam mobilnya.
*****
Untungnya, mobil yang dikendarai Harry mendarat dengan mulus di sebuah restoran. Astaga, baru kali ini aku menaiki mobil dengan pengemudi yang sepertinya tak waras. Dia mengendarai ugal-ugalan dan beberapa kali, nyaris menabrak mobil di depannya.
"Aku sudah menyewa lantai dua restoran ini jadi, tak ada yang bisa menganggu kita," ujar Harry setelah memarkirkan mobilnya. Pria itu menggerakkan tangannya, seperti hendak merangkulku namun, sebelum sempat tangannya menyentuh pundakku, aku sudah melangkah memasuki restoran terlebih dahulu.
Sesampainya di sana, aku dan Harry disambut oleh seorang pelayan dengan mata sipit—khas orang Asia. Pelayan perempuan itu tersenyum manis, membungkukkan tubuhnya dan dengan ramah berkata, "Selamat datang, Mr. Styles and Miss. Swift. Lantai dua sudah kami siapkan untuk kalian."
"Terima kasih," aku dan Harry berujar bersamaan. Aku menoleh ke arah Harry sekilas dan Harry tersenyum. Aku tak mengerti, kenapa pria itu sangat senang tersenyum saat aku menatapnya.
Pelayan itu pun mengantarkan aku dan Harry menuju ke lantai dua. Saat melangkah, ada beberapa pengunjung yang menatap dan menyapaku dan Harry. Aku hanya tersenyum kecil kepada mereka dan meneruskan langkahku. Semoga saja, tidak ada paparazzi di antara pengunjung-pengunjung itu. Jika ada, mati saja aku. Aku tak mau jadi pemberitaan publik bersama pria ini!
Aku duduk di sebuah tempat yang di sediakan. Harry duduk berhadapan denganku. Pelayan itu telah pergi setelah Harry membisikkan sesuatu kepadanya. Tak lama setelah pelayan itu menghilang, Harry bangkit berdiri dan melepaskan jaket berwarna hitam yang dia kenakan. Harry menggantungkan jaketnya di salah satu kursi kayu, sebelum menghampiriku.
"Jaketmu,"
Harry meraih jaket yang sedang aku lepaskan, kemudian menggantungkan jaketku di kursi yang lainnya. Aku sedikit terkesan. Dia sangat manis. Siapapun yang bisa mendapatkan perlakukan seperti ini, pasti akan meleleh. Tapi, jangan kira aku akan meleleh saat ini.
Harry kembali duduk berhadapan denganku. Tangannya terlipat di atas meja. Tatapannya, tajam menusuk.
"Well, sebenarnya, aku sedang tak berminat untuk pergi ke manapun jadi, tak apa, kan, jika kita akan menghabiskan banyak waktu berdua di tempat ini?" tanyanya sopan, seraya tersenyum. Lesung di pipinya terlihat sangat jelas. Aku menghela nafas dan menganggukkan kepala.
"Aku ingin mengenalmu secara jelas dari mulutmu sendiri, Taylor. Apa kau keberatan untuk menjawab beberapa pertanyaanku?" Dia kembali bertanya. Aku mengangkat sebelah alisku. "Baiklah, jika kau juga mau menjawab semua pertanyaanku."
"Aku akan menjawab sejujur-jujurnya. Aku janji," Harry mengangkat jari kelingking kanannya di hadapanku.
Aku terkekeh sebelum ikut mengangkat jari kelingking kananku dan menautkannya di jari kelingking kanan Harry. "Aku juga akan menjawab sejujur-jujurnya. Aku janji."
"Aku yang bertanya terlebih dahulu. Okay. Ehm, apa pendapatmu tentangku?" tanya Harry. Aku terdiam sejenak, berpikir keras. Aku tak mau terlalu jujur dan membuatnya terluka tapi, aku juga ingin dia sadar jika dia menyebalkan untukku.
"Jawablah dengan jujur. Bukankah kau sudah berjanji? Tenang saja, aku akan menerima semua jawabanmu dengan lapang dada." Harry menambahkan.
"Menurutku...kau adalah pria paling menyebalkan yang pernah kukenal."
"Bagaimana kau bisa menilai aku sebagai pria yang menyebalkan?" Harry mengernyitkan dahinya.
"Pertama, saat di studio pemotretan, kau mengabaikanku di saat personil One Direction lainnya, setidaknya tersenyum kepadaku. Kedua, kau adalah seorang womanizer dan senang memainkan hati para gadis, salah satunya adalah temanku, Kendall Jenner." Jawabku.
"Kau berteman dengan Kendall?" tanyanya.
Aku berpikir. Aku sebenarnya tak pernah berteman secara serius dengan Kendall tapi, tetap saja. Dia menghargai karya-karyaku dan bersikap baik denganku jadi, tak salah, kan, jika aku menyebutnya sebagai temanku?
"Ya, aku berteman dengannya." jawabku menekankan.
"Ada alasan lain yang membuatmu kurang menyukaiku, Miss. Swift?" Harry bertanya lagi.
"Kau menyebalkan dan penggoda yang payah. Seharusnya kau tahu itu." Aku memicingkan mata kucingku menatapnya.
Harry terkekeh. "Itu hanya penilaianmu sesaat, Miss. Swift. Sebenarnya, aku tak seperti itu. Kau bisa bertanya kepada orang tuaku, kakakku, teman-temanku atau bahkan temanmu, si Kendall, mungkin?"
Aku memutar bola mataku. "Ya, terserah. Itu hanya pembelaan darimu, Styles. Penilaianku jelas berbeda." Harry tertawa kecil. Diam-diam, senyuman kecil terukir di bibirku melihatnya tertawa tapi, sedetik kemudian, setan di kepalaku berbisik agar aku tidak terlalu tertarik dengannya.
"Sekarang giliranku! Apa pendapatmu tentangku?" Aku balik bertanya dan sontak, membuat Harry berhenti tertawa. Dia tersenyum manis, sangat manis dan menatapku lekat.
"Kau cantik. Sangat cantik, bahkan. Aku suka mata biru cerahmu." Ucapannya membuatku diam. Semoga saja tidak ada rona merah di pipiku saat ini.
"Kau berbakat dan aku adalah salah satu penggemar karya-karyamu. Ya, itu penilaianku, sebelum aku mengenalmu lebih dekat, seperti saat ini." Senyuman di wajah Harry lenyap. Kini, dia memasang wajah menyebalkan yang ingin rasanya aku memukulnya.
"Tapi, setelah aku mengenalmu, ternyata, aku baru sadar: kau penakut, kau sangat sombong, dan sepertinya, aku menggambarkanmu sebagai aku yang ada di dalam pikiranmu." Harry berkata santai. Sepertinya, dia mau membalas dendam denganku!
"Karena pendapat kita sama, aku dapat menyimpulkan jika kita adalah orang menyebalkan. Orang menyebalkan, bertemu orang menyebalkan, pasti akan membuat orang-orang disekitarnya sebal." Aku terkekeh mendengar kesimpulan yang Harry ucapkan.
Tak lama setelah itu, tiba-tiba saja, beberapa orang pelayan datang, membawakan pesanan untukku dan Harry. Pelayan itu meletakkan makanan pesanan kami dengan telaten sebelum kembali pergi meninggalkan aku dan Harry hanya berdua, lagi. Saat aku hendak makan, aku bisa mendengar Harry, bergumam dengan sangat jelas.
"Sebenarnya, aku berniat untuk benar-benar mengenalmu lebih dekat, Tay."
****
"Well, terima kasih untuk hari ini, Styl—uhm, maksudku Harry." Aku segera memperbaiki ucapanku. Aku sudah membuat perjanjian dengan pria berambut curly ini. Kami setuju untuk memulai sebuah hubungan dari yang paling awal, bisa dikatakan tahap perkenalan. Tapi, bukan berarti kami setuju untuk melanjutkan perjodohan bodoh ini. Kami hanya mencoba untuk saling membuka diri.
"Sama-sama, Taylor. Semoga kau mimpi indah dan selamat malam," Harry mengedipkan satu matanya dan aku membalas dengan anggukkan kecil.
"Kau juga. Selamat malam. Hati-hati dan sepertinya, kau harus ikut kursus mengemudi." Aku membuka pintu mobil Harry dan baru berniat ke luar dari mobil namun, Harry menahan lenganku dan menarikku agar kembali duduk.
Saat itu pula, aku bisa merasakan sesuatu yang lembab menyentuh pipiku lembut. Semua berlangsung sangat cepat dan rasanya, sangat sulit dijabarkan dengan kata-kata. Aku baru sadar kembali saat mendengar suara Harry.
"Selamat malam sekali lagi, Taylor." Ujar Harry. Ragu-ragu, aku menganggukkan kepala dan segera melangkah ke luar dari mobilnya.
Beberapa detik setelah aku ke luar dari mobilnya, Harry melajukan kembali mobil itu menjauhi area rumahku. Aku masih berdiri di sini, mulai menggerakkan tanganku tepat ke dadaku. Merasakan detak jantungku yang benar-benar aneh. Aku menarik nafas dan mencoba menghembuskannya perlahan. Sesaat kemudian, aku tak mengerti kenapa aku harus tersenyum bodoh seperti ini sebelum memutuskan masuk ke dalam rumah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top