07 : Watching Horor Movie
Harry kembali beberapa menit kemudian dengan beberapa CD berbau horor, yang membuatku langsung merasa ngeri. Harry menyeringai saat sampai di hadapanku. Dia menunjukkan cover CD-CD horor—aku langsung mual melihatnya—dan bertanya, tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Kau mau menonton yang mana terlebih dahulu? Insidious II atau The Conjuring atau Anabelle atau..."
"Aku tidak mau menonton satupun CD-mu itu!"
"Loh, kenapa? Takut?" Harry memasang wajah meledek. Aku menggelengkan kepalaku dan melipat tangan di depan dada.
"Sama sekali tidak. Aku sudah menonton semuanya. Sangat membosankan jika menonton film-film itu ulang." Aku berasalan. Harry memutar bola matanya.
"Bukankah itu bagus? Aku belum menonton film-film ini. Aku baru membelinya semalam. Kau bisa menemaniku menonton, kan? Sejujurnya, aku kurang berani menonton film horor sendirian," Harry berbisik dan membuatku terkikik kecil sebelum kembali memasang wajah datar dan judesku.
"Aku tidak bisa, Styles. Kenapa kau tidak menonton bersama teman-temanmu saja? Atau gadis-gadismu?"
"Bukankah aku sudah bilang kepadamu jika aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu dalam minggu ini?" Harry mengangkat sebelah alisnya.
Aku menarik nafas. "Terserah kau saja. Jika kau mau menonton, silahkan menonton di ruang tengah. Aku akan tidur siang di kamarku."
"Jadi, kau akan meninggalkanku sendiri?"
"Ya. Selamat menonton, Styles. Jika kau butuh teman, Meredith sepertinya mau menemanimu." Aku berkata sarkastik sebelum mulai melangkah menuju ke kamarku. Aku mengunci pintu kamarku dan melemparkan tubuhku di atas ranjang.
Aku menatap langit-langit kamarku yang berwarna putih bersih. Aku menghela nafas dan bayangan tentang hal-hal yang terjadi padaku selama seminggu belakangan mulai berputar. Hampir semua hal itu berhubungan dengan pria berambut curly itu. Astaga. Kenapa harus dia yang muncul dalam pikiranku saat ini, sih?
Baiklah. Harus aku akui, dia memang punya daya tarik yang cukup tinggi. Lihat saja fisiknya. Dia tinggi, lebih tinggi dariku. Kulitnya putih bersih. Dia punya rambut cokelat curly yang lucu. Dia punya mata dengan iris berwarna hijau indah. Dia punya lesung pipi. Lalu, bibirnya sepertinya sangat menyenangkan untuk di...
Berhenti, Taylor. Apa yang kau pikirkan saat ini? Aku mengingatkan diriku sendiri.
Intinya, secara fisik dia memang dapat dikatakan nyaris sempurna. Andai saja dia bukan seorang penggoda dengan gadis di mana-mana, andai saja dia berusia seusia denganku, andai saja dia tidak bersikap menyebalkan, dan banyak sekali pengandaian yang membuatku berpikir dua kali untuk menerimanya di hidupku.
Lagipula, sejujurnya, aku masih trauma untuk menjalin sebuah hubungan. Masih terekam jelas dalam pikiranku, saat Joe memutuskan hubungannya denganku melalui telepon dalam waktu dua puluh tujuh detik dan keesokan harinya, beredar foto mesra pria itu dengan aktris bernama Camila Belle. Menyakitkan, sungguh.
Sudah lebih dari tiga puluh menit aku berada di dalam kamar tanpa melakukan apapun selain melamun. Akhirnya, aku tersadar akan satu hal. Hey, aku meninggalkan pria itu di ruang tengah, menonton film horor bersama kucing kesayanganku! Sampai sekarang, tak terdengar suara apapun di luar sana. Apa yang terjadi?
Aku bangkit dari ranjang dan mulai berjalan ke luar kamar. Aku menuruni tangga menuju ke ruang tengah dan sesampainya di sana, aku tak mendapati sosok pria berambut curly itu. Aku menggerutu pelan saat menyadari jika film horor itu masih berputar dengan tampilan gelap di sana. Aku meneguk ludahku sendiri melihat tampilan yang ada di layar.
Aku menoleh ke kiri kanan, mencari keberadaan pemuda itu namun, tak ada dia di manapun. Aku hendak meraih remot untuk mematikan DVD player yang masih memutar film horor, seraya menutup mata. Mendengar suara jeritan dari film itu saja sudah membuatku panik, apalagi jika aku menonton film-nya?
Sial. Kenapa Harry pergi tanpa mematikan film ini dan tanpa memberitahuku?
Tanganku masih meraba-raba atas meja sebelum akhirnya, menyentuh sesuatu dan di saat bersamaan, jantungku nyaris copot saat menyadari sesuatu menyentuh pundakku. Sontak, aku berteriak keras, seraya menutup wajahku dengan tanganku.
"KYAAAAAA!!!"
Bayangan akan wajah seram Slenderman, Boneka Chucky dan hantu-hantu lain itu berputar-putar dalam pikiranku. Aku masih menutupi wajahku dan terus berteriak ketakutan sampai aku menyadari seseorang meraih tanganku dan berusaha membuatku tenang.
"Hey, Taylor! Ini aku, Harry!"
Mendengar suara itu, aku menyingkirkan tangan yang menutupi wajahku dan secara refleks, aku berhambur memeluk Harry erat.
"Aku takut!"
Harry tak membalas pelukanku, aku yakin dia pasti bingung harus melakukan apa. Tapi, aku benar-benar takut saat ini. Aku takut horor. Aku takut hantu.
Setelah memeluk Harry selama beberapa puluh detik, Harry akhirnya balas memelukku. Dia mengelus lembut punggungku seraya berkata, "sshhh, tak apa-apa, Taylor. Tak ada yang perlu kau takutkan. Aku di sini. Aku akan menemanimu."
Aku diam selama beberapa saat untuk menenangkan pikiranku. Namun, saat aku kembali mengingat perseteruanku dengan Harry, sontak aku mendorong Harry yang balas memelukku. Harry tampak terkejut. Dengan wajah garangku, aku berkata, "jangan memanfaatkan keadaan, Styles!"
"Memanfaatkan seperti apa? Kau yang memelukku terlebih dahulu, Taylor." Harry membalas santai lalu, dia menatapku mengejek. "Aku pikir, kau berani menonton film horor tapi, fakta berkata lain."
"Diam, Styles! Aku hanya terkejut tadi. Itu gerakan refleks!"
Harry terkekeh. Tuhan, dia sangat manis.
"Aku akan kembali ke kamarku!" ujarku kesal, merasa di remehkan.
Baru beberapa langkah menjauh, aku mendengar suara Harry. "Hati-hati dengan atap kamarmu, Taylor. Mungkin ada Slenderman di sana atau di kolong ranjangmu! Semoga tidak ada Chucky di sana."
Aku memutar balik langkah kakiku, mendekati Harry yang tertawa puas. Aku memukul lengannya keras. "Jangan menakutiku, Styles dan itu sama sekali tidak lucu!"
"Jadi, kau tak punya pilihan lain sekarang, kan, selain menemaniku?"
Aku mendesah pasrah.
****
Sudah hampir dua belas jam aku menghabiskan waktu bersama dengan Harry di apartemenku. Kami bermain Scrabble. Aku tau itu konyol tapi, setidaknya, inilah satu-satunya hal yang dapat kami kerjakan bersama, tanpa harus adu mulut dan tanpa harus menonton film horor bodoh itu.
"See? Aku menang lagi. Sudahlah, kau kalah, Styles." Aku berdecak seraya melayangkan tatapan angkuh ke arah Harry yang mulai terlihat sangat kesal karena tak pernah menang sekalipun dariku. Ya, jelas saja. Aku memang sangat pandai bermain Scrabble. Hampir semua teman-temanku mengetahuinya. Aku bahkan selalu membawa Scrabble kemanapun aku pergi, termasuk saat aku harus konser di segala penjuru dunia.
"Baiklah. Sesuai perjanjian. Aku akan mengabulkan tiga permintaanmu." Harry berujar pasrah. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dan aku mulai terkekeh geli. Lihat muka pasrahnya! Dia sangat lucu dan menggemaskan. Kenapa aku baru sadar, sih?
Aku menarik nafas dan menghelanya perlahan sebelum mulai berkata, "permintaan pertama, aku memintamu berhenti mencoba untuk menarik perhatianku. Berhenti datang kepadaku. Berhenti mengambil hati orangtuaku. Berhenti..." ucapanku terhenti saat Harry tiba-tiba saja bangkit dari sofa dan meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibirku.
"Maafkan aku, Miss. Swift. Bukan permintaan seperti itu yang akan aku kabulkan. Lagipula, kau menyebutkan lebih dari tiga permintaan. Bukankah sejak awal, perjanjian kita hanya tiga permintaan?" Harry mengedipkan sebelah matanya kepadaku, membuatku membeku sesaat sebelum akhirnya sadar jika jari telunjuk pria itu masih menempel di depan bibirku. Aku segera menepis tangan Harry agar menjauh.
"Jangan sembarangan menyentuhku, Styles! Kau bukan siapa-siapaku!" ujarku kesal.
Harry tersenyum nakal. "Tapi, cepat atau lambat, kau akan menjadi pasanganku, kan?" Dia kembali mengedipkan satu matanya kepadaku. Aku sempat membeku lagi namun, tak lama karena aku langsung tersadar. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan mendorong bahu pemuda itu.
"Lebih baik kau pergi sekarang dari hadapanku, Styles. Kau membuatku kesal," Harry sempat menahan langkah kakinya hingga aku kesulitan mendorong pemuda itu. Akhirnya, aku menyerah. Aku bingung harus bagaimana membuat pemuda ini menjauhiku. Aku sedang tak berminat untuk menjalin hubungan lagi dengan pria tapi, bukan berarti aku tidak normal.
Harry menganggukkan kepala tanpa raut wajah marah sedikitpun. Dia tersenyum.
"Baiklah, permintaan pertama akan segera terkabulkan. Aku akan pergi sekarang dan aku akan kembali besok. Hey, tenang saja, dua hari lagi, aku akan kembali ke London dan tak akan menganggumu." Harry mengangkat kedua alisnya sebelum melangkah ke luar ruangan namun, saat melihat Meredith yang tengah duduk di sofa tempatnya duduk semula, pemuda itu sempat menghentikan langkahnya, mengelus lembut puncak kepala Meredith sambil berkata, "aku akan kembali besok, Mer. Sampai jumpa."
Harry melangkah benar-benar ke luar ruangan. Meninggalkan aku yang masih berdiri dengan tangan yang terlipat di depan dada. Aku masih bingung, kenapa aku harus dijodohkan—walaupun, orangtuaku mati-matian menyebutnya bukan perjodohan—dengan pria yang terlewat percaya diri dan ceria sepertinya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top