22
Alexa meringkuk di atas tempat tidur saat suara ketukan di pintu kamarnya terdengar samar-samar. Sayangnya suara itu tak berhasil mengusiknya. Kedua mata Alexa masih tertutup rapat dan belum mau terbuka barang sekejap pun. Bahkan saat suara ketukan itu terdengar kembali, gadis itu masih berada pada posisinya semula.
"Lex."
Bian sudah berada di sebelah tempat tidur Alexa beberapa detik kemudian. Karena Alexa masih tak kunjung membukakan pintu kamarnya, maka Bian memutuskan untuk masuk ke dalam meski Alexa belum memberikannya izin. Pria itu baru saja tiba dari kedai dan melihat motor milik Alexa terparkir di halaman. Tapi, lampu-lampu di dalam rumah belum juga dinyalakan padahal senja telah berganti petang dan gelap sudah mulai turun. Lampu di kamar Alexa juga belum dinyalakan. Itulah sebabnya kenapa Bian mencoba mencari tahu hingga naik ke lantai atas untuk mengobati rasa penasarannya. Mustahil gadis itu tidak tahu letak tombol lampu kan?
"Lex."
Panggilan itu terdengar kembali sesaat kemudian dan tangan gadis itu terguncang perlahan. Bahkan ia tertidur dengan masih mengenakan pakaian kerja.
Akhirnya Alexa membuka matanya. Ia terbangun dan mendapati Bian sudah duduk di tepi tempat tidurnya. Gadis itu terkesiap dan nyaris melompat dari tempat tidur karena terlalu terkejut. Tapi, untungnya ia tidak benar-benar melakukannya. Alexa bangkit dan duduk beberapa jengkal dari depan Bian. Dengan jarak sedekat ini ia bisa menghirup aroma tubuh Bian. Berkutat seharian dengan berbagai macam es krim dan donat membuat kemeja putihnya seperti menguarkan aroma cokelat. Harum dan manis.
Sepulang dari wawancara tadi, Alexa langsung pulang. Kepalanya sakit dan ia menyempatkan diri untuk membeli obat saat perjalanan pulang. Gara-gara obat sakit kepala yang diminumnya tadi, ia jatuh tertidur hingga petang tiba. Tapi, untungnya kepala Alexa sudah baikan sekarang.
"Kamu sakit?" tegur Bian sembari menatap gadis itu dengan cermat. Tidak biasanya Alexa berperilaku seperti ini. Tertidur di jam segini dengan pakaian kerja pula.
Alexa mendesah. Tiba-tiba saja ia teringat ucapan Alka siang tadi di teras rumah Veronica Hwang. Tentang Bian dan hubungannya dengan Jessi. Kenapa pria itu tidak pernah mengatakan pada Alexa kalau dia adalah sepupu Jessi? Yang berarti Bian menyeret paksa Alexa ke dalam hubungan kekerabatan Jessi dan Alka. Dan secara tidak langsung Alexa adalah bagian dari keluarga Hwang.
"Aku ingin mengakhiri pernikahan kita."
Entah sadar atau tidak, pernyataan itu keluar begitu saja dari bibir Alexa. Gadis itu tertegun menatap kosong ke arah Bian.
Bian tercekat. Wajahnya tak bisa menyembunyikan jika ia sedang terkejut saat ini. Tanpa angin atau hujan, tiba-tiba saja Alexa membicarakan soal perpisahan. Sesuatu yang terkesan mendadak seperti ini pasti ada alasan penting yang mendasarinya.
"Kenapa?" tanya Bian terbata. Ia masih belum bisa mengatasi keterkejutannya. "bukankah kita masih menjalani pernikahan ini sebulan? Apa kata orang nanti, Lex?"
Bukan, bukan kata orang yang kupedulikan. Tapi, perasaanku sendiri. Perasaan yang mesti kujaga baik-baik agar tidak disakiti. Lagi.
"Bukankah hal ini sudah pernah kita bicarakan?" Alexa mencoba mengingatkan Bian tentang apa saja yang pernah mereka bicarakan sebelum menikah. Bahwa tidak ada batas waktu untuk mengakhiri pernikahan mereka. "cepat atau lambat kita pasti akan mengakhiri pernikahan ini. Sekarang atau nanti akan sama aja, bukan?"
Bian menghela napas panjang dan sejenak membuang pandangan ke arah lain. Mencoba mencerna dan mendalami perkataan Alexa dengan baik.
"Ya, kita memang pernah membicarakan hal ini," ucap Bian kemudian. "tapi, kenapa tiba-tiba seperti ini? Bukankah kita nggak ada masalah?"
Alexa menahan napas sejenak.
"Aku rasa aku telah melakukan kesalahan besar dengan menikahimu," gumam Alexa pelan. Setelah berpikir selama 3 detik lamanya. "sebaiknya kita berhenti sampai di sini dan kembali pada kehidupan awal. Seperti nggak pernah terjadi apa-apa. Dan... sebaiknya kita berpikir seperti kita nggak pernah ketemu sebelumnya," tandas Alexa tersendat. Berat.
Bian mengerutkan kening. Apa gadis itu sadar dengan apa yang baru saja dia katakan? Dua orang yang pernah bertemu, tinggal di bawah atap yang sama, apa bisa bersikap seolah-olah tidak pernah bertemu sebelumnya? Omong kosong!
"Kurasa kamu punya alasan lain untuk masalah ini," tebak Bian. Alasan yang baru saja dilontarkan Alexa terlalu dibuat-buat. Pasti ada hal yang sangat serius di balik kalimat Alexa.
"Bener kamu mau tahu alasan sebenarnya?" pancing Alexa sejurus kemudian. Rasanya ia harus berterus terang sebelum mengakhiri semua ini. Agar Bian tahu di mana letak kesalahannya dan permasalahan di antara mereka jelas. "karena kamu nggak pernah jujur dari awal, Bian. Tentang hubungan kamu dengan Jessi, juga Vanessa. Bukankah dia datang dan memintamu kembali padanya kan?"
Bian terbelalak mendengar pengakuan Alexa yang benar-benar di luar dugaannya. Pantas saja, Alexa menghindar pada hari di mana Vanessa datang ke rumahnya. Jadi, Alexa melihat semuanya?
"Ya, dia memang datang," aku Bian kemudian. Rasanya tidak ada gunanya menutupi soal Vanessa dari Alexa. Toh, ia sudah tahu tentang kedatangan Vanessa. "dan kamu juga benar kalau dia memintaku kembali. Apa kamu sedang kecewa padaku?"
Giliran Alexa yang terbelalak mendapat pertanyaan Bian. Kecewa? batin Alexa gamang. Apakah yang dirasakannya sekarang adalah sebuah bentuk kekecewaan pada Bian? Jika perasaannya itu disebut sebagai kecewa', lalu kenapa ia mesti merasa kecewa pada pria itu? Atas dasar apa ia bisa kecewa pada Bian?
Alexa menggeleng pelan.
"Apa aku pantas kecewa padamu?" Alexa membalikkan pertanyaan pada Bian. "kamu bukan siapa-siapa buatku dan sebaliknya. Lalu buat apa aku kecewa?"
Bian tersenyum pahit. Padahal ia sempat mengira jika gadis itu sedang merasa kecewa padanya.
"Lalu pernikahan kita? Apa itu juga nggak berarti apa-apa buat kamu?" tanya Bian mencoba mengorek isi hati Alexa.
"Bukankah pernikahan kita hanya pelarian kamu dari Vanessa?" kilah Alexa memutarbalikkan pertanyaan. "bukannya dari awal kamu sudah tahu kalau dia akan datang dan kamu memperalatku untuk balas dendam padanya?" serang Alexa mengutarakan kesimpulannya sendiri.
Bian menggeleng pelan. Bagaimana bisa Alexa berpikir sesempit itu? Kenapa memutuskan kesimpulan sendiri tanpa bertanya langsung pada Bian?
"Kamu salah, Lex," sahut Bian cepat. "aku nggak pernah memperalatmu dan nggak pernah tahu jika Vanessa akan datang," tegasnya kemudian.
"Lalu?" tantang Alexa. Separuh hatinya dibalut rasa penasaran.
"Bukankah aku sudah pernah bilang kalau aku serius ingin menikah denganmu?"
"Konyol sekali," gumam Alexa dengan sunggingan senyum getir di bibirnya. "dua orang yang sama-sama pernah terluka lalu menikah, apa bisa menjamin kalau mereka akan bahagia?" desak gadis itu mengulangi sebagian ucapan Bian dulu.
"Karena kamu nggak pernah mencobanya, Lex."
"Mencoba apa? Berbahagia hidup denganmu?" cecar gadis itu mulai tak sabar. "aku nggak bisa."
Bian tertegun menatap gadis di hadapannya. Alexa sedang terluka hatinya.
"Aku hanya ingin melindungi dan menjaga kamu, Lex. Karena sekarang kamu adalah bagian dari rumah ini, tapi, sepertinya kamu selalu menyimpulkan semuanya sendiri," ucap Bian mengutarakan pemikirannya. "aku memang sepupu jauh Jessi. Tapi, aku nggak begitu dekat dengan keluarga mereka. Aku hanya ingin hidup dengan namaku sendiri, bukan dari bayang-bayang keluarga mereka. Dan tentang Vanessa, aku sama sekali nggak pernah bersedia kembali padanya. Sama seperti kamu, bukankah kamu juga nggak mau kembali pada Alka?"
Alexa tersenyum tipis usai mendengar penjelasan panjang lebar dari pria itu. Andai saja Alexa tidak memancing, Bian tidak akan pernah menjelaskan semuanya bukan? Lalu untuk apa mencoba berbahagia dengan sebuah pernikahan yang tidak pernah ia inginkan sebelumnya?
"Lalu, apa kamu bahagia dengan pernikahan kita? Apa kamu sedang berusaha menyukaiku? Apa kamu bisa menerima orang sepertiku untuk hidup bersama kamu?" Serentet pertanyaan keluar dari bibir Alexa dengan tak sabar. Darahnya mulai naik ke ubun-ubun.
"Kalau aku jawab iya, gimana?"
Alexa tersentak. Ingin rasanya ia mengepalkan tinjunya dan memukul pria di depannya habis-habisan. Apa ia sedang mempermainkan Alexa sekarang?
"Apa kamu sedang bercanda?" Gadis itu meledakkan tawa beberapa detik kemudian. Menertawakan apa yang baru saja dikatakan pria itu. Juga ekspresi Bian yang kelewat serius. Alexa ingin menertawakan semua itu sampai puas. "setelah mengalami patah hati sedalam itu, apa kamu masih percaya cinta? Apa kamu masih berharap akan datangnya seseorang yang mencintai kamu dengan tulus?"
"Memang aku pernah terluka, tapi, saat seseorang datang dan mengusik hatiku, apa aku akan membiarkannya?"
"Hei, jangan bilang kalau kamu menyukaiku," ucap Alexa sedikit khawatir. Sebenarnya ia tidak terlalu yakin dengan tebakannya.
Tapi, kekhawatiran Alexa sama sekali tidak terbukti. Nyatanya Bian menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak pernah bilang kalau aku menyukaimu, kan?"
Huh. Alexa mendengus keras. Pria itu sukses membuatnya kesal. Tapi, kenapa ia mesti kesal? Apa ia benar-benar sedang berharap bahwa Bian menyukainya? Andai saja ia punya sedikit keberanian untuk melayangkan kepalan tinjunya ke arah Bian...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top