16

"Ngapain, Lex?"

Bian menghampiri Alexa yang sedang berdiri memunggunginya. Gadis itu sedang sibuk di depan wastafel, mencuci piring bekas makan malam mereka.

"Nyuci piring."

Bian melongok dan mendapati gadis itu sedang membasahi piring bekas makan malam mereka dengan busa sabun.

"Ngapain kamu nyuci piring segala, biar aku aja."

Alexa menghentikan aliran air yang keluar dari keran dan melirik Bian yang saat ini sudah berdiri di sebelahnya. Pria itu berusaha mengambil alih tugas yang sedang dikerjakan oleh Alexa.

"Kenapa? Memangnya aku nggak boleh nyuci piring?" tegur Alexa dengan rasa heran yang meluap di kedua matanya.

"Nggak, bukan seperti itu. Aku kan sudah biasa melakukannya," ucap Bian. Tangannya sudah basah saat mengambil piring yang sudah dilumuri busa sabun oleh Alexa.

Tubuh Alexa seketika menegang ketika lengannya bersentuhan dengan lengan milik Bian tanpa sengaja. Insiden kecil yang seharusnya tak membuat gadis itu membeku selama dua detik lamanya.

"Apa kamu akan membiarkan aku makan dan minum tanpa melakukan sesuatu?" Alexa segera menyadarkan dirinya sendiri. Gadis itu mengalihkan kedua tangannya pada tepian wastafel dan membiarkan Bian melakukan aktifitas mencuci piring sendirian. Toh, ia hanya perlu membilas piring dan pekerjaan selesai.

"Selama aku bisa mengerjakan segala sesuatunya, kenapa nggak?" Bian menyahut tanpa menoleh sedikitpun pada gadis di sebelahnya. Ia mengerjakan pembilasan terakhir pada piring-piring di depannya.

Alexa tersenyum kecut.

"Kenapa pria sebaik kamu masih ditinggalkan juga?" gumam Alexa. Ia mengeringkan kedua tangannya dengan lap kering yang menggantung tak jauh dari tempatnya berdiri.

Samar-samar Alexa mendengar tawa renyah keluar dari bibir Bian. Memaksa gadis itu memutar tubuh dan kembali menatap pria itu.

"Takdir," jawab Bian pendek. Ia meletakkan piring-piring yang baru saja ia bilas di rak yang terdapat di atas meja dapur. Setelah itu ia menghadap ke arah Alexa yang sedang berdiri dan menyandarkan tubuhnya pada dinding. "lalu kenapa kamu ditinggalkan Alka?" tanya Bian seperti ingin menjebak Alexa.

Gadis itu menelan ludah. Bian berhasil membuatnya kelabakan dengan pertanyaan.

"Bukannya kamu sudah tahu jawabannya?" Alexa memberi pertanyaan kali ini.

Bian mengangkat bahunya.

"Aku nggak tahu."

Alexa tergelak mendengar jawaban Bian yang baginya tampak sangat bodoh.

"Kamu kenal Jessica Hwang, kan?"

Bian mengangguk pelan.

"Sekarang coba kamu bayangin dia berdiri di sebelahku," suruh Alexa sembari mengangkat kedua tangan ke sebelah kanan tubuhnya. "banyak sekali perbedaan antara kami kan? Jessi yang super kaya, cantik, terhormat, berasal dari kelas sosial yang tinggi. Apa aku masih pantas dibandingkan dengannya? Wajar jika Alka lebih memilih dia. Lagian, jika Alka terus bersamaku, dia nggak akan pernah bisa memperbaiki kehidupannya." Suara Alexa kian melemah dan wajahnya juga setengah tertunduk. Sebuah kekalahan yang harus ia terima dengan lapang dada.

Bian tersenyum tipis mendengar uraian dari bibir Alexa.

"Kurasa nggak semua orang berpikiran seperti itu. Hanya sebagian orang aja yang berpikiran kalau cinta dinilai dari fisik dan materi," tandas Bian menanggapi ucapan gadis itu.

"Tapi, sayangnya Alka masuk dalam kategori sebaliknya," sahut Alexa seraya mengulas senyum kaku. Gadis itu tahu jika Bian sedang menguatkan hatinya.

"Kamu masih mencintainya?"

Alexa tersentak. Berani-beraninya pria itu menanyakan perasaannya pada Alka. Tapi, ia menggelengkan kepalanya beberapa saat kemudian.

"Nggak," jawab gadis itu pendek. "tugasku untuk mencintai Alka sudah selesai."

"Oh."

"Kamu sendiri? Siapa yang tega ninggalin kamu?" Alexa ganti bertanya soal kehidupan pribadi Bian. Ia sudah menceritakan garis besar hidupnya dan rasanya tidak adil jika Bian masih merahasiakan kisahnya.

"Namanya Vanessa," ucap Bian memulai penuturannya.

"Nama yang bagus. Dia pasti seorang gadis yang cantik." Alexa menggumam sangat pelan. Entah kenapa ia begitu antusias untuk menyela ucapan Bian.

"Ya," sahut Bian. "dia seorang ballerina,"

"Wow," decak Alexa kagum. Dulu saat kecil ia sangat mengidam-idamkan untuk belajar ballet. Tapi, Mami bilang biaya sekolah ballet sangat mahal dan Alexa terpaksa membuang jauh-jauh mimpinya itu.

"Kami sempat berdebat panjang saat dia memutuskan untuk pergi ke Perancis demi karirnya sebagai ballerina," lanjut Bian kembali. "kamu tahu, hubungan jarak jauh nggak selalu berhasil. Terlalu banyak rintangannya. Dan aku nggak mau menjalani hubungan seperti itu. Aku sempat mengancamnya untuk memilih antara cinta atau karir."

"Lalu, apa yang dia pilih?" Alexa menyela kembali. Menurutnya kisah Bian mirip alur cerita sebuah komik Jepang.

"Dia tetap memutuskan untuk pergi."

Oh.

Alexa sudah bisa menduga akhir cerita Bian.

"Dan kamu tetap memutuskannya hanya karena dia memilih untuk pergi?"

Bian tersenyum getir.

"Ayolah, Lex. Ini bukan soal hanya karena dia memilih pergi," tandas Bian seraya menekan intonasi suaranya. "ini soal hati. Apa kamu nggak kecewa saat kamu tahu, kamu bukan prioritas utama hidup seseorang?"

"Kesempatan kan nggak datang dua kali, Bian." Alexa mencoba menanggapi. Mungkin selama ini ia salah duga pada Bian. Nyatanya Bian yang membiarkan gadis yang ia cintai pergi begitu saja. "bisa aja dia kembali suatu hari nanti."

Bian menghela napas panjang.

"Aku nggak melarangnya belajar ballet, Lex. Dia bebas menjadi apa aja yang dia inginkan. Tapi, aku hanya takut dia berubah."

Penuturan Bian nyaris membuat Alexa meledakkan tawa. Dan untungnya hal itu tidak sampai terjadi karena Bian melanjutkan kisahnya kembali.

"Setelah dia pergi, aku berpikir banyak-banyak. Saat itu aku merasa begitu egois dan bersalah padanya. Harusnya jarak bukan penghalang bagi dua orang yang saling mencintai," tutur Bian.

"Lalu?" Alexa kian tertarik dengan penuturan pria itu.

"Aku menyusulnya sebulan setelah itu," tandas Bian. "dan ketakutanku terbukti. Aku melihatnya bersama seorang pria asing."

"Terlalu cepat menyimpulkan dia berselingkuh hanya karena dia bersama pria lain. Bisa aja itu temannya kan?" Alexa memberikan pendapatnya. Ia berlagak sok tahu.

Tapi, Bian malah tersenyum kecut mendengar analisa yang dilontarkan gadis itu.

"Apa jika dia hanya seorang teman, dia akan mencium Vanessa di jalanan?" Bian menatap tajam ke arah Alexa. Mata itu seakan ingin melukis kembali kejadian dua tahun lalu di sebuah jalanan di Perancis. "Vanessa bukan tipe orang yang akan membiarkan orang asing memperlakukannya seperti itu, Lex."

Giliran Alexa yang terpaku di tempatnya. Gadis itu menatap ke sudut lain di bagian dapur rumah Bian, di mana ia tak mendapati sosok pria itu sedang memandangnya lekat-lekat. Ia salah. Harusnya ia tidak terlalu sok tahu dan menyimpulkan semuanya secepat itu.

"Sekarang kamu paham kan?"

Alexa tergagap dan segera menganggukkan kepalanya. Ia merasa sangat malu dengan sikapnya tadi. Ugh. Mulutnya memang terlalu bawel!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top