13
Seraut wajah kusut muncul dari balik pintu setelah Alexa membunyikan bel beberapa kali. Bian. Pria itu tampak memicingkan mata karena sangat terkejut melihat sosok yang sedang berdiri di depannya sekarang.
"Umm, sorry." Alexa menggumam pelan. "aku nggak bermaksud mengganggu, tapi, ada sesuatu hal yang ingin kubicarakan denganmu," ucap gadis itu canggung. Kalimatnya pun terputus-putus dan sedikit formal. Ia sadar betul jika kehadirannya merupakan sebuah kejutan luar biasa untuk Bian.
"Masuklah." Bian mempersilakan tamunya untuk masuk meski otaknya masih diliputi kebingungan. Sakit kepalanya sudah lumayan mereda setelah minum obat dan tidur selama beberapa jam.
Alexa masuk sesuai perintah si empunya rumah. Untuk datang ke tempat itu, Alexa sama sekali tidak mendapat kesulitan. Gadis itu lumayan hafal dengan jalan dan nama-nama tempat karena kerap mendapat tugas lapangan dari kantor. Apalagi rumah Bian terletak di tepi jalan besar dan tak perlu masuk ke dalam gang sempit.
Rumah Bian tak terlalu luas. Berdesain minimalis, didominasi warna abu-abu dan krem pada dindingnya. Memiliki pelataran yang tak begitu lebar, sebuah garasi mobil, dan rumah itu berlantai dua. Interior ruangan didalamnya pun berdesain minimalis. Tak terlalu memajang banyak perabot atau hiasan dinding. Juga tak banyak memakai warna-warna cerah pada sofa maupun meja.
Alexa menempati sebuah sofa empuk dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu dan ruang lain yang mampu dijangkau ekor matanya. Terkadang dengan melihat hal-hal baru bisa memunculkan inspirasi atau ide-ide baru dalam pikirannya.
"Silakan diminum."
Ucapan Bian mengembalikan pandangan Alexa ke arah fokus yang seharusnya. Bian datang dan meletakkan sebuah cangkir berwarna putih ke atas meja kayu di depan Alexa. Dari mulut cangkir itu menebarkan harum khas kopi berpadu dengan latte ke sekeliling hidung Alexa.
Bian menempati sofa di seberang tempat duduk Alexa. Pria itu memakai sehelai kaus abu-abu tipis dipadukan dengan sebuah celana panjang mirip celana olahraga berwarna hitam pekat dan bergaris putih pada bagian kedua sisinya. Ia masih tampak tak begitu sehat. Tapi, tentu saja tidak mengurangi pesona khas seorang pria yang dimilikinya.
"Maaf kalau malam-malam begini aku berkunjung ke rumahmu," ucap Alexa kikuk. Mengingat semua yang pernah terjadi di antara mereka berdua, terutama saat Bian menyelamatkan harga diri Alexa dan 'lamaran' itu.
Bian tersenyum tipis.
"Ada perlu apa? Apa sangat penting?" desak Bian sejurus kemudian. Ia tampak begitu ingin tahu apa maksud kedatangan gadis itu malam-malam begini ke rumahnya.
Alexa menarik napas dalam-dalam.
"Apa tawaranmu masih berlaku?" tanya gadis itu ragu. Ia terbata saat mengucapkannya.
Bian mengerutkan kening. Kenapa tiba-tiba gadis itu bertanya soal tawarannya beberapa malam yang lalu? Mungkinkah?
"Kamu berubah pikiran?" tanya Bian mulai bisa membaca ekspresi yang tergambar di wajah Alexa.
Alexa mengangguk. Berat rasanya untuk mengakui hal itu. Tapi, hanya ini satu-satunya jalan yang terpikirkan olehnya. Karena dengan begitu, Donna bisa segera melangsungkan pernikahannya tanpa perlu berdebat dengan Mami. Mami juga tak perlu takut Alexa akan sulit mendapatkan jodoh.
"Aku mau menikah denganmu."
Bian tersentak mendengar sebaris kalimat yang terlontar dari bibir Alexa.
"Kenapa tiba-tiba kamu berubah pikiran?" tanya Bian penasaran. Tidak mungkin seseorang berubah pikiran dalam waktu singkat tanpa memiliki sebuah alasan yang kuat.
"Karena aku harus menikah secepatnya," sahut Alexa. "demi adikku. Mamiku nggak akan mengizinkan dia menikah sebelum aku menikah dan aku nggak mau menjadi beban untuk keluargaku." Alexa mengutarakan alasan sesungguhnya pada Bian. Entah apa penilaian Bian nantinya, ia tidak peduli. Ia tidak punya pilihan lain sekarang.
Bian bergeming. Ia menatap gadis di depannya lamat-lamat. Mengamati setiap gerak tubuh dan mimik wajah Alexa dengan cermat.
"Jadi, kapan kita akan menikah?" Bian mengurai senyum tipis sejurus kemudian.
Alexa menghirup napas dalam-dalam.
"Tapi, aku punya syarat," sela gadis itu cepat.
"Syarat?"
"Ya," tukas Alexa. "pernikahan kita hanya sebatas status. Nggak ada kontak fisik dan masing-masing dari kita nggak boleh mencampuri urusan pribadi satu sama lain. "
"Apa kamu nggak mengajukan batas kedaluwarsa usia pernikahan kita sekalian?" Pria itu, bukannya kaget mendengar pengajuan syarat dari Alexa, tapi, malah mengajukan ide lain untuk melengkapi syarat tersebut.
Alexa mengedikkan bahu.
"Mungkin kita bisa mengakhirinya suatu saat nanti," tandasnya. "di saat kita sudah benar-benar lelah dengan pernikahan kita," imbuhnya.
Oh Tuhan, aku pasti sudah gila sekarang!
"Bagaimana jika aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku?"
Tuk.
Seakan jarum jam berhenti seketika dan menghentikan waktu yang berputar. Membekukan Alexa dan segala metabolisme di dalam tubuhnya.
Cinta? Bahkan aku sudah tidak berharap akan kata-kata itu. Karena cinta selalu membawa luka di sebaliknya.
"Jangan berharap apa-apa dariku. Bahkan cinta sekalipun." Kalimat Alexa tandas dengan tegas. Ada sisa-sisa luka yang berdiri di balik kalimatnya. Gadis itu masih belum mampu mengobati lukanya sampai detik ini.
Bian melenguh.
"Jangan pernah berpikir pernikahan adalah sebuah permainan, Lex." Bian menatap gadis itu dalam-dalam dan menusuk ke jantungnya. "aku menikahimu bukan untuk main-main. Dan aku ingin menikah sekali seumur hidupku."
"Lalu kenapa kamu memilihku?" tukas Alexa cepat. "apa kamu memilihku secara acak? Atau kebetulan saat itu aku ada di depanmu? Atau aku adalah cewek ke sekian yang kamu temui dan kamu lamar?" Gadis itu tiba-tiba saja memuntahkan apa saja yang mendesak di dalam pikirannya.
Bian tersenyum pahit mendengar cecaran pertanyaan dari Alexa. Rasanya sulit untuk menjawab pertanyaan itu.
"Aku sendiri nggak tahu kenapa aku memilihmu. Tapi, yang jelas kamu bukan cewek ke sekian seperti yang kamu sebutkan tadi. Paham?" Bian mencondongkan tubuhnya dan memaksakan ucapannya.
Alexa tersenyum getir.
Absurd. Semua ini benar-benar konyol untukku. Aku tidak akan berani mengambil resiko sebesar ini jika bukan demi Donna dan Mami. Karena mereka harus bahagia meski aku harus mengorbankan kebahagiaanku sendiri.
"Kamu pernah mikir nggak, kenapa aku berani menawarkan sebuah pernikahan padamu tanpa mengetahui status sosial dan latar belakangmu?" Bian angkat bicara kembali karena gadis di hadapannya larut dengan lamunannya sendiri. "kamu tahu resikonya kan, menikah dengan seseorang yang sama sekali nggak kita kenal? Banyak sekali penyesalan yang menunggu kita di depan sana. Tapi, kenapa aku berani memilihmu tanpa tahu apa dan siapa dirimu? Kamu mau tahu jawabannya?"
Untuk pertanyaan ini Alexa menggeleng sangat lambat. Ia hanya bisa termangu memandangi sosok yang beberapa detik lalu mendominasi obrolan di antara mereka berdua.
"Karena kita sama-sama pernah terluka," lanjut Bian lagi. Sungguh, baru kali ini Alexa merasa tergetar mendengar pengakuan Bian.
"Apa hanya karena alasan itu, kamu memutuskan untuk menikahiku?" Alexa bisa menemukan pertanyaan itu dengan spontan. "sementara orang lain menikah atas dasar cinta, kebutuhan ekonomi, mungkin juga status sosial."
"Buatku pernikahan adalah soal berbagi dan melindungi, " ucap Bian kemudian. "dua orang yang sama-sama pernah terluka, apa akan tega menyakiti satu sama lain? Logikanya nggak, kan?"
Alexa tersenyum pahit.
"Kamu lebih gila dari yang kubayangkan," gumam gadis itu sembari membuang pandangan ke arah lain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top