12
"Papa Ozy sakit, Mi."
Langkah Alexa berhenti pada satu titik di balik tembok dapur. Suara Donna berhasil membuat gadis itu urung melanjutkan gerakan kakinya. Dada Alexa berdegup tak karuan.
"Mi." Sekali lagi Donna memanggil Maminya, berharap wanita itu mau membalikkan tubuh dan berdebat soal permohonannya untuk menikah dengan Ozy dalam waktu dekat. Tapi, Mami masih berdiri membelakanginya dan sibuk dengan ikan kembung goreng yang sedianya untuk makan malam mereka sekeluarga. Mengabaikan Donna yang berdiri kaku di balik punggungnya.
"Donna dan Ozy tetap akan menikah... "
"Meski Mami nggak mengizinkan kalian, begitu?" Pada akhirnya Mami bersedia memutar tubuh dan menyela pembicaraan putrinya yang masih kukuh pada keputusannya. Untuk sejenak ia mengabaikan masakannya demi meladeni kalimat putrinya. Sorot mata Mami mendelik tajam menunggu jawaban Donna.
"Please, Mi. Mengertilah posisi Donna," pinta gadis itu penuh dengan permohonan. Tatapan matanya mengiba. "Donna nggak bisa nunggu Kak Alex. Lagian Kak Alex sama sekali nggak keberatan Donna menikah duluan. Kami takut terjadi apa-apa dengan Papa Ozy... "
"Terjadi apa-apa bagaimana maksudmu?" Kedua alis Mami naik ke atas. "kamu tahu, hidup mati seseorang bukan di tangan kita." Meski Donna tidak menyebutkan maksudnya, wanita itu tahu apa yang sedang dipikirkan putrinya.
"Begitu juga dengan jodoh, Mi." Donna memberanikan diri menyela pembicaraan Maminya. "gimana kalau jodoh Kak Alex masih setahun, dua tahun, atau lima tahun lagi? Apa Donna harus menunggu selama itu? Donna nggak bisa menunggu lagi, Mi." Nada suara Donna meninggi pada akhir kalimatnya.
Mami tampak bergeming menatap putri cantiknya. Gadis itu sudah tumbuh semakin dewasa sekarang. Ia bukan gadis kecil yang masih suka bermain dalam dekapannya, yang suka minta dikepang rambutnya. Ia bukan Donna yang akan menangis saat Carlos merebut barang-barang miliknya. Donna yang sekarang adalah gadis dewasa yang sudah siap membina kehidupan baru bersama pria yang dicintainya. Dia adalah gadis yang penuh dengan pemikiran dan ide-ide kreatif.
"Dengerin Mami," ucap Mami sembari mencengkeram kedua pundak Donna. "tunggulah sebentar lagi. Apa kamu nggak kasihan pada kakakmu?"
"Mi." Donna berusaha menepis kedua tangan Maminya dengan paksa. "apa Mami juga nggak kasihan pada Donna? Bagaimana jika Ozy ninggalin Donna gara-gara masalah ini? Mami mikir dong," lanjutnya. Donna sudah sampai pada puncak kesabaran.
"Pokoknya Mami nggak ngizinin kamu melangkahi kakakmu," tegas Mami seraya memutar tubuhnya kembali ke arah kompor sebelum ikan kembungnya hangus dan tak bisa dikonsumsi lagi.
"Mami takut Kak Alex nggak laku?"
"Donna!" teriak Mami keras. Wanita itu seketika memutar tubuh dan melayangkan sebuah tamparan keras ke arah pipi putrinya. Membuat Donna tercekat bukan kepalang. Gadis itu berdiri kaku tak percaya apa yang telah dilakukan Mami padanya.
"Mami jahat!"
Cukup!
Alexa hanya sanggup berteriak dalam hati menyaksikan adegan drama antara adik dan Maminya. Gadis itu tak sanggup melihat lebih lama lagi penggalan pertengkaran itu. Ia segera angkat kaki dan berlari keluar rumah.
Motor matic miliknya masih terparkir di halaman. Siap mengantarnya pergi ke mana saja termasuk saat ini. Meski ia masih belum tahu arah tujuan, gadis itu tetap menaiki kendaraan pribadinya dan meluncur pada kecepatan sedang di jalanan yang sudah menggelap. Hanya diterangi lampu-lampu mercury yang berdiri megah di pinggir jalan dan berjarak sama satu dengan yang lain.
Jika aku hanya akan menjadi beban untuk Donna dan Mami, kenapa aku mesti hadir di tengah-tengah mereka?
Alexa menghirup napas dalam-dalam udara malam yang berhembus ke wajahnya. Ia terburu-buru dan tak sempat memakai masker penutup wajah tadi. Pandangannya masih lurus ke depan, di mana ia berada di tengah-tengah jalan dan sedang melaju bersaing dengan kendaraan lain. Tapi, ia sama sekali tak ingin menitikkan air mata. Sepatah apapun hatinya saat ini.
Alexa menghentikan motornya di depan ROYAL ICE CREAM & DOUGHNUT. Entah setan mana yang menuntun pikirannya ke tempat itu. Setelah berhasil memarkir motornya di pelataran kedai yang sudah sepi, gadis itu berangsur masuk ke dalam dan mendapati para pelayan sedang sibuk membersihkan tempat itu. Jam sudah menunjuk angka sembilan dan tampaknya kedai akan ditutup sebentar lagi.
Gadis itu melayangkan pandangan ke seluruh ruangan, tapi, tidak menemukan sosok yang dicarinya, Bian. Pria itu tak tampak batang hidungnya.
"Maaf, Mbak. Kami sudah mau tutup."
Sebuah sapaan sopan menyentak lamunan Alexa. Gadis itu tersenyum setelah berhasil mengembalikan kesadarannya.
"Apa Bian ada?" tanya gadis itu kemudian.
"Oh, Mas Bian sudah pulang dari siang tadi. Katanya sedang sakit kepala," tutur pelayan laki-laki itu dengan memegang gagang pel di tangan.
Alexa mendengus kecewa.
"Apa kamu tahu alamat rumahnya?"
"Sebentar, Mbak." Pelayan itu berlari ke meja kasir dan menuliskan sesuatu di atas secarik kertas lalu kembali ke hadapan Alexa. "Mbak bisa datang ke alamat ini."
Alexa menerima secarik kertas dari pelayan itu lalu membaca alamat yang tertera di atasnya. Ia tahu daerah yang di maksud.
"Makasih, ya." Alexa memutar tubuh setelah mengucapkan terima kasih namun ia urung untuk mulai melangkahkan kakinya. "apa Bian sudah menikah?" Gadis itu membalikkan badannya kembali.
"Belum."
Satu jawaban yang cukup memuaskan bagi Alexa. Gadis itu berpamitan dan mengucapkan terima kasih untuk yang kedua kalinya lalu melangkah pergi dari kedai. Ia meremas secarik kertas yang diberikan oleh pelayan itu dan melenggang ke arah motor matic-nya yang menunggu Alexa dengan setia. Ia akan meluncur ke alamat yang tertera di sana secepatnya. Alamat rumah Bian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top