PROLOG

Kerajaan sedang sekarat.

Kau tahu betul akan fakta itu. Tahu betul tentang takdir itu. Tahu betul kau menantikan hal itu.

Seluruh kerajaan sedang sekarat.

"Cinta, aku melihatnya. Aku melihat mereka."

Kau menoleh ke arah suara, pada wanita tercantik seumur hidup fanamu. Ke arah kekasihmu. Rekanmu. Ratumu.

"Aku melihat impian mereka. Keinginan mereka. Kehancuran mereka."

Kau melangkah mendekati wanita pemilik hatimu itu. Jemarimu bergerak, menyentuhnya, membelai pipi kirinya. Ia tersenyum, kau tersenyum. Wajahmu mendekat, matanya terpejam. Napas kalian menyatu saat kau mencium bibir lembutnya.

"Cinta," bisik dirinya di sela ciuman kalian. Suara lembut yang membawa otoritas. "Tanah ini akan dipenuhi merah."

Kini, ia menarik diri, membuat desahan rendah keluar tanpa izin dari mulutmu. Sentuhannya menghilang. Hangatnya. Dinginnya. Semua sensasinya lenyap.

Matamu sontak terbuka, pandanganmu disambut oleh punggungnya. Tanganmu perlahan terjatuh, kembali ke tempat semula, mengepal di samping pahamu. Ah, kau baru berpisah sebentar dan sudah merindukannya begitu dalam. Kau ingin menyentuhnya, lagi dan lagi.

Dan, sentuhlah yang ia berikan. Dalam sekejap, ia kembali berada di depanmu, di dalam pelukanmu yang dengan sigap menyelimuti tubuh indahnya. Kini, jemari lentiknya yang menggenggam lembut wajahmu. Sentuhannya membuat sensasi menggelikan yang merayap memenuhi sekujur tubuhmu.

Mata kelabunya berpendar, nyaris putih saat dirinya menarik wajahmu untuk mendekatinya lagi. Hidung kalian nyaris bersentuhan dibuatnya. Jarak yang begitu dekat. Begitu intim. Jarak untuk menatap wajahmu. Menatap dan memperlihatkan. Memperlihatkan jiwanya.

Memperlihatkan visinya.

Cahaya putih memenuhi jiwamu saat ia membukakan pintu jiwanya. Dan, kau melihat semuanya. Kau menelan seluruh gambaran yang terpampang. Gambaran yang akhirnya terlihat dengan jelas. Visimu. Duniamu.

Thersaga.

"Merah akan memenuhi semua." Ia berbisik. "Dari pantai di selatan hingga tebing di timur, gunung tertinggi hingga hutan terdalam. Merah akan memenuhi semua."

Kakimu serasa kehilangan pijakan, membuat badanmu terjatuh dalam pelukannya saat ia melepaskan genggaman di wajahmu. Matamu sontak terpejam, bersembunyi dalam lekukan lehernya dengan napas yang memburu. Penglihatannya terlalu kuat. Terlalu menguras energi. Terlalu ... menggoda.

"Betapa hebatnya, bukan? Merah. Darah. Gairah."

Ia tersenyum seraya mencium keningmu yang basah akan keringat. Senyuman yang begitu senang. Begitu sedih. Senyuman yang indah.

Kau tidak bisa menjawab, entah karena tenaga yang begitu terkuras atau karena pikiran yang masih kacau. Kau diam, dan ia kembali berbisik. Bisikan yang membawa sensasi dingin saat embusan napasnya menyentuh kulit telingamu.

"Warna yang begitu indah, Cinta."

Dan, perlahan, kau merasakan pelukan di tubuhmu menjauh. Sentuhannya memudar. Matamu terbuka lebar, bersamaan dengan hilangnya pujaan hatimu. Ia menghilang meninggalkan kabut kelabu.

Menghilang meninggalkan dirimu.

Kau terjatuh tanpa adanya tangan yang menolongmu lagi. Terjatuh dalam kabut dingin yang menjadi saksi bisu akan kehadirannya. Terjatuh di atas kursi putih yang tiba-tiba muncul di hadapanmu. Seketika, rasa dingin yang menyelimuti tubuhmu sirna saat kulitmu menyentuh dudukan kerasnya.

Menyentuh singgasanamu.

Kau mengerjap. Kabutnya menghilang. Kursimu memanas.

Kau tersadar saat merasakan sensasi menggelikan layaknya ribuan serangga yang merayap di sekujur tubuhmu. Waktumu sudah selesai. Kau kembali memejamkan mata sembari menekan tubuhmu dengan perlahan, membiarkan dirimu tenggelam dalam kursi putih yang menyambutmu dengan hangat. Kau ikut menyambut panasnya, layaknya seorang teman lama yang memeluk tulang-tulangmu dengan erat.

"Cinta."

Kau tersenyum saat membisikkan panggilan sayang kalian. Senyuman yang terlihat begitu menyakitkan. Senyuman untuk menutupi rasa sakitmu.

Rasa kutukanmu.

Senyuman di bibir hitammu melebar. Begitu pula warna merah yang mulai memasuki pandanganmu.

"Aku akan bertahan."

Kulitmu serasa dibakar hidup-hidup. Namun, kau tidak berteriak pun melawan. Kau menerimanya. Kau membiarkan dirimu mencair dengan perlahan. Mencair meninggalkan noda pekat yang mengotori tempat dudukmu.

Noda merah.

"Sampai bertemu lagi."

Akhirnya tubuhmu sepenuhnya mencair. Mencair menjadi darah yang begitu menggoda.

Dan, singgasanamu melahap makanannya dengan rakus.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top