BAB XIII - IKATAN

Cinta adalah kebebasan.

Kebebasan dalam mengekspresikan rasa.

Perasaan adalah hal yang indah.

Keindahan yang tidak terikat.

Ikatan dunia yang tidak abadi.

"Yang Terpuji."

"Iya, Yang Terhormat?"

Cordelia mengangkat kepalanya. Bola mata birunya menatap sang lawan bicara yang jauh lebih tinggi. Bangsawan yang baru saja menginjak usia kesebelas itu menggerakkan jemari mungilnya, memutar buku hingga tinta emas di atas perkamen terlihat terbalik di matanya. Buku dengan isi yang sedari tadi mengganjal hati.

"Seorang dapat mencintai lebih dari seorang," ucap Cordelia. "Itu kesimpulan dari bab ini. Apa ini seperti cinta dalam keluarga, Yang Terpuji?"

Wanita berambut cokelat dengan panjang menyentuh lantai itu menunduk hingga dirinya setara dengan jarak pandang sang bangsawan yang sedang duduk di meja belajar, membuat iris keemasan yang tadinya tersembunyi dari balik kerudung kuningnya, kini terlihat jelas di mata Cordelia. "Hubungan tidaklah harus satu, Yang Terhormat. Itu berlaku secara menyeluruh. Keluarga, teman, pasangan."

Cordelia mengerjapkan mata. Jawaban yang ia terima malah lebih mengganjal pikirannya. "Pasangan, Yang Terpuji?" Ia memiringkan kepala. Jika pikirannya benar, maka bukannya itu berarti perselingkuhan? "Jadi orang yang memiliki pasangan dapat mencintai orang lain selain pasangannya?"

Wanita yang paling disegani di seluruh Kuil Agung Blazera itu tersenyum lembut. Ia paham betul akan pemikiran gadis kecil di hadapannya. "Cinta adalah kebebasan, Yang Terhormat. Kita bebas mencintai siapapun, berapapun, kapanpun hati kita menginginkannya."

Kening Cordelia mengerut, sebelum cepat-cepat ekspresi wajahnya kembali tenang saat teringat akan buku etiket Airez serta penggaris kayu yang selalu berada di dekatnya. Ia menggeleng pelan, berusaha terlihat sesopan yang ia bisa di tengah ucapan tidak masuk diakal yang baru didengar. "Tetapi, Yang Terpuji, bukankah pasangan adalah ikatan suci yang hanya terjadi pada dua orang? Luanios sendiri mengutuk orang yang tidak setia terhadap pasangannya."

Wanita berjubah emas itu masih tersenyum. Luanios, sang Dewa Bulan dan Malam, berseberangan dengan Dewi-nya, sang Dewi Matahari dan Pagi. Tidak salah. Kebebasan adalah hal yang dihormatinya, sesuai dengan ajaran sang Dewi. Kebebasan menjalankan kepercayaan Blazera, maupun memuji ajaran Luanios, itu adalah hak masing-masing jiwa. Kepercayaan kerajaan tetangga adalah hal yang tidak bisa ia nilai sembarangan, meskipun sejarah keduanya berkata lain.

Wanita itu mengangguk. "Itu tidak salah, Yang Terhormat." Dengan lembut, telapak tangan kirinya menyentuh pipi empuk Cordelia. "Namun, ini adalah Porta." Suara tenangnya yang pelan seakan terasa berat dan keras saat mengatakan kalimat itu. Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah jendela kaca Kuil Agung Blazera pun menambah semburat warna-warna keemasan di tubuh sang Begawan Agung. Bersinar. Layaknya matahari.

"Wilayah Dewi Blazera."

Cordelia tahu. Mengetahui dan melihat akan perbedaan pandangan yang terjadi. Dia bahkan sudah berusaha membuang sejauh mungkin perasaan cemburu setiap mendengar kabar gadis-gadis bangsawan yang senang berkunjung ke Istana Albens demi bertemu dan memikat hati Liam, terkhususnya Jilli Ergon yang selalu berbicara akan keberhasilannya dalam menghabiskan waktu dengan sang pangeran Porta. Namun, kenapa hatinya tetap merasa tidak nyaman saat melihat pemandangan di depan matanya?

Seharusnya Cordelia tidak mengikuti pesan misterius yang ia dapat di atas meja riasnya. Seharusnya dia tidak terus melangkah di lorong terpencil itu saat melihat siluet pasangan yang berjalan dengan begitu hati-hati. Dengan begitu, seharusnya dia tidak mendengar pernyataan cinta yang terlarang dan melihat kegiatan percintaan tunangannya ... tepat di malam pesta perayaan pertunangan mereka.

Secepat mungkin Cordelia mengalihkan pandangan. Dadanya bergerak perlahan diikuti dengan embusan napas yang keluar dengan teratur dari lubang hidungnya. Ini bukan masalah yang besar. Benar. Memang tidak jarang bangsawan memiliki ... kekasih lebih dari satu. Benar, tidak jarang dari mereka memadu rasa dengan si kekasih sebelum mereka menikah dengan pasangan resminya. Benar, tidak jarang. Sangat tidak jarang.

Sorot mata sang gadis mendingin. Ini hal yang harus ia persiapkan jika dia akan menghabiskan sisa hidupnya di Kerajaan Tepi Laut ini. Jadi, kenapa Cordelia harus memusingkan ini sekarang? Dia hanya membuang-buang emosinya saja, bukan? Persiapannya selama ini akan sia-sia jika ia membiarkan hal di depannya mengganggu dirinya, bukan? Cordelia siap membalikkan badan, hingga sebuah kalimat memasuki pikirannya, menghentikan gerakan sang gadis.

Sang kekasih dapat naik pangkat menjadi selir.

Cordelia membeku.

Hukum Porta mengakui keberadaan dan kedudukan selir, berbanding terbalik dengan Airez yang mencacinya. Ratu Porta terdahulu memang pernah mengeluarkan titah, mengubah peraturan agar selir tidak tinggal di kediaman yang sama dengan pasangan resmi dan membuat larangan terhadap anak yang terlahir dari hubungan tersebut, seperti tidak akan pernah menjadi pewaris keluarga. Namun, selir tetap diakui dan akan terus diakui. Dan, banyak dari bangsawan Porta setidaknya pernah memiliki seorang selir setelah mereka sudah memiliki pewaris keluarga.

Benar. Pewaris. Hukum menyatakan bangsawan Porta hanya boleh memiliki selir setelah memiliki calon pewaris. Sebelum itu terjadi, mereka tidak boleh berjalan dengan bebas dengan sang kekasih gelap. Sebelum itu terjadi, mereka tidak boleh terlihat saling bermesraan di depan publik. Sebelum itu terjadi, si selir tidak boleh berlagak layaknya pasangan di depan hukum. Mereka hanya boleh melakukannya dalam rahasia. Rahasia yang harus dijaga.

Pandangan Cordelia kembali bergerak ke arah pasangan gelap tersebut. Matanya mengerjap beberapa kali, sebelum tertutup sepenuhnya. Tidak lama, seulas senyuman manis terukir di bibir merahnya. Senyuman yang terlalu manis.

"Cukup ...."

Rintihan yang didengarnya membuat kelopak mata Cordelia terbuka. Dilihatnya gadis berambut pirang yang akhirnya menjaga jarak.

"Cukup." Esmeralda menggeleng. "Ini ... ini terakhir kalinya. Ciuman perpisahan ... kita."

Senyuman di bibir Cordelia menghilang.

"Aku mencintaimu, Esmeralda la Luzel. Hati dan jiwaku hanya milikmu. Tidak bisakah kau memikirkan hal itu lagi?"

Perkataan yang dilontarkan sang tunangan membuat mata Cordelia sekilas membulat. Parau. Suara parau Liam adalah hal yang tidak pernah Cordelia dengar. Liam tidak pernah serentan itu. Liam tidak pernah semenyedihkan itu. Liam tidaklah seperti itu. Itu ... bukan Liam yang Cordelia kenal.

Tidak ada jawaban dari bibir Esmeralda, membuat Cordelia menajamkan telinganya. Mungkin saja gadis pirang di depannya berkata terlalu pelan menimang jarak pilar Cordelia sembunyi berada belasan langkah dari tempat mereka berdiri. Namun, nihil. Beberapa saat berlalu dan Esmeralda tidak kunjung membalas. Tidak ada.

Cordelia menajamkan pandangan, melihat gerak mulut sang lawan bicara Liam. Penerangan memanglah minim, hanya diterangi cahaya bulan. Namun, mata rakyat Airez sangat berfungsi dengan baik saat malam. Terlebih, dirinya seorang bangsawan. Berkah Luanios mengalir dalam darahnya. Berkah yang mampu memberikan tambahan pada diri Cordelia. Dan, dengan semua kemampuan itu, tetap saja ia tidak melihat gerakan dari bibir gadis bertopeng permata itu.

"Kalau begitu," napas Cordelia terasa tercekat saat mendengar Esmeralda akhirnya bersua, "bisakah aku menjadi pasangan resmimu?"

Mata Cordelia membulat. Dia bicara apa? pikir Cordelia tak percaya. Pasangan resmi? Posisi Cordelia?

Keheningan kembali melanda, hingga tiba-tiba telinga Cordelia menangkap suara tawa. Tawa yang menyedihkan. Tawa Esmeralda. "Kau tidak bisa mengabulkan itu bukan? Kau tidak bisa!" Isak tangis kini terdengar di sela tawanya. "Jadi lebih baik kita berpisah! Lebih baik kita berpisah selama kau masih terikat dengan titah Maharaja!" jerit Esmeralda. Dirinya terjatuh dengan posisi terduduk, menenggelamkan wajahnya dengan tangan yang bergetar.

Cordelia membatu. Tidak, bukan mulut dan posisinya, tetapi pikirannya. Ia kehilangan kontrol akan pikirannya. Perkataan Esmeralda terus berputar dibenaknya. Terus dan terus. Bergema dan bergema. Saling berebut untuk menjadi yang terkeras. Hingga satu kalimat mengalahkan semuanya.

Titah Maharaja.

Titah yang mengikat takdir Cordelia sejak dirinya pertama kali melihat dunia. Titah yang menjadi benang merah antara dirinya dengan Liam. Titah yang Cordelia banggakan. Pun titah yang ia benci.

Titah dari Kursi Berdarah.

"Esme." Suara Liam membuat diri Cordelia kembali fokus. Lembut. "Esmeralda." Sangat lembut. Begitu lembut. Namun, isak tangis Esmeralda menelan suara yang begitu halus itu.

"Esmeralda la Luzel." Liam berjongkok, menarik kedua tangan sang gadis pirang yang bergetar tidak terkendali, membuat mata mereka akhirnya beradu pandang lagi. Iris Liam bergetar. Cordelia sangat yakin. Bibir Liam terbuka sebelum kembali tertutup. Cordelia melihat jelas keraguannya. Dan, telinga Cordelia kembali menangkap suara parau saat sang pangeran berkata, "kau tahu aku tidak bisa melakukan itu."

Esmeralda tahu. Liam tidak bisa membatalkan perjodohan itu. Liam tidak memiliki kuasa akan itu. Dan dirinya sendiri juga tidak ada bedanya. Tidak ada yang bisa membantah Singgasana Berdarah.

Pun Cordelia sangat tahu. Apa yang terucap dari mulut tunangannya adalah hal yang benar. Sejak kecil, dirinya akan menempati posisi tuan putri Porta. Sejak ia mengembuskan napas pertama, Liam adalah miliknya. Airez adalah tanah kelahirannya, tetapi Porta akan menjadi tanah kematiannya. Ventos pun Fydor akan menjadi nama belakangnya, dan Maranth ... akan ia tinggalkan.

Esmeralda menundukkan kepala, membiarkan bayangan menyembunyikan ekspresinya yang tidak terlindungi oleh topeng. Sedangkan Cordelia mendongak, menatap tepat ke arah sang Bulan yang bersinar terang.

"Tentu saja." Kedua gadis bangsawan itu menjawab. Satu berkata dengan bibir yang bergetar, sedangkan satunya berkata dengan senyum yang hampa.

"Carlos la Maranth datang menghadap Putri Porta."

Kelopak mata Cordelia sontak terbuka. Mata sang gadis mengerjap perlahan sebelum akhirnya terfokus. Sorot mata birunya langsung disambut oleh tatapan yang sama, tatapan tajam dirinya sendiri. Sang gadis melirik ke kiri, melihat kembarannya yang sedang menatapnya balik melalui pantulan cermin.

"Tuan Muda." Pelayan yang merapikan rambut Cordelia menghentikan pekerjaannya, memberikan hormat pada pewaris keluarga Maranth. Tidak lama setelah menyelesaikan salamnya, sang pelayan kembali melanjutkan aktivitasnya untuk menata rambut nona yang telah ia layani sejak kecil itu. Tangannya kembali bergerak dengan cekatan, tetapi mulutnya menjadi lebih tertutup rapat.

"Halo, Bibi," ucap Carlos sambil lalu. Ia tidak begitu memedulikan apa yang dilakukan pelayan paruh baya di belakang Cordelia. Pandangannya terfokus pada sosok saudara satu-satunya.

"Kakak," tatapan Carlos semakin intens tatkala menatap pantulan sang adik, "sudah aku katakan untuk tidak memanggilku dengan sebutan itu lagi. Kau menyebutkan gelar yang belum resmi, ini pengkhianatan."

Ah, benar. Kapan terakhir kali Carlos menyebutkan gelar menyedihkan itu? Saat mereka berulang tahun ke dua belas? Ternyata sudah lama waktu Carlos yang berlalu. Lucu sekali melihat respon yang diberikan sang adik yang selalu berubah setiap tahunnya. Senang, biasa saja, hingga murka. Carlos selalu terkesan melihatnya. Hiburan yang menarik.

"Sebutanku hanyalah putri Maranth, Kakak. Akan selalu seperti itu hingga aku mengucap sumpah pernikahan."

Sudah Carlos duga. Tuan Muda Maranth menyeringai saat mendapati tatapan dingin Cordelia yang berbanding terbalik dengan suara manis yang baru saja ia dengar. Perkataan yang sama. Perkataan yang membanggakan. "Aku senang kau tidak lupa akan hal itu." Ia melangkah mendekat, langkah yang keras di tengah heningnya kamar. Suara yang sangat menggangu sang pemilik kamar. "Segerlap apapun posisi Tuan Putri Porta, fakta bahwa kau mengandung darah Maranth adalah harta terbesar di seluruh Thersaga."

Carlos berhenti dengan jarak dua langkah di belakang sang adik. Sorot matanya menyapu penampilan Cordelia yang masih terbalut gaun dalam yang diselimuti jubah rumah. "Kau belum siap?"

Cordelia tidak membalas, membuat seringaian Carlos luntur secepat ia muncul. Tidak siap saat kurang dari setengah jam lagi pesta akan di mulai. Seburuk-buruk suasana hati Cordelia, ini hal yang jarang terjadi. Ah, perasaan Carlos terasa semakin benar. Kepekaan tinggi yang dihadiahkan Luanios padanya tidak pernah lebih berguna. Ternyata bukan hanya tempramen Ratu Porta yang akan sepanas matahari di malam yang terkutuk ini. "Aku tidak akan lama, Adikku," ucapnya seraya mengeluarkan kotak kecil dari balik jubah merahnya.

Cordelia hanya melirik dari pantulan cermin. Kotak berbalut kain sutra merah di tangan Carlos bukan hal baru yang Cordelia lihat. Pola yang sama setiap ia memiliki hari spesial. Hadiah. Hadiah khusus untuknya.

"Hadiah pertunanganmu." Carlos membenarkan dugaan sang gadis. Tentu saja.

Sang kembaran tidak langsung merespon. Cukup lama ia terdiam, hingga mulutnya akhirnya terbuka. "Terima kasih, Kakak." Respon manis yang diberikan Cordelia berbeda dengan tatapan matanya yang sedikit aneh. Tidak dingin, tidak lembut.

Bimbang. Carlos menyadarinya. Tentu saja ia tahu. Tahu betul akan perasaan yang jarang ditampilkan sang adik. Namun, Carlos tidak terkejut. Tidak lagi. Ini fase yang terlalu jauh untuk terkejut akan sikap sang kembaran.

Setelah beberapa saat setelah mengucapkan rasa terima kasihnya, Cordelia akhirnya mengulurkan tangan kiri, bersamaan dengan tatapan mata yang kembali dingin. "Sangat khas," ujarnya. Kotak bersutra merah memanglah ciri khas pemberian Carlos. Sayangnya, selera kembarannya itu bukanlah favoritnya. Cordelia yakin tidak akan menggunakan lebih dari empat kali apapun pemberian Carlos, tetapi ia tetap membuka hadiah sang kembaran. Kira-kira seperti apa pemberian manusia semacam kakaknya untuk kehidupan pernikahannya? Penasaran, tentu saja. Jemari tangannya terus bergerak, hingga penutup kotak itu terjatuh ke meja riasnya.

"Belati?"

Belati bertahtakan ratusan permata merah berpendar lembut kala terbias cahaya lampu. Bukan sembarang permata, Cordelia tahu betul itu magtro berkualitas tinggi yang disulap menyerupai permata hiasan. Dari ujung ganggang hingga ujung sarung, tidak ada tempat tanpa rona merah yang berkilau. Indah. Cantik. Hingga sarungnya terlepas dan menampilkan bilah perak dengan besi berkualitas tinggi nan tajam, cukup untuk membuat luka hingga menembus jantung.

Cordelia memandang senjata mewah tersebut dengan intens. Tidak ada yang salah jika ini memang hadiah dari Carlos, tetapi untuk pertunangannya? Tradisi hadiah pertunangan di Porta berisi tentang sesuatu yang dapat membantu kehidupan pernikahan. Bahkan Carlos harusnya paham akan hal itu, seberapapun ia menghina tradisi tanah tempat mereka berdiri. Cordelia tidak tahu harus mengucapkan apa.

Melihat tidak ada respon yang diberikan sang kembaran, Carlos mengambil belati yang ia hadiahkan dari tangan Cordelia. "Bukankah belati berguna, Adikku?" Carlos paham betul akan tradisi tersebut. Saudara perempuan satu-satunya itu telah bertunangan sejak kecil dengan pangeran kerajaan seberang, tentu saja ia menyempatkan diri untuk membaca etiket menyedihkan mereka. "Dengan ini kau dapat menyingkirkan hal yang menggangu kehidupan kalian," ia memainkan bilah besi tajam tersebut dengan jemari tangan kanannya, "atau menggunakannya saat kalian bertengkar. Lagipula kematian setelah pewaris lahir bukanlah hal yang baru."

Dengan cepat, kedua tangan Cordelia merebut hadiahnya. Gerakan sang bangsawan nyaris menghancurkan tatanan rambutnya yang sedang ditata ulang pelayan senior keluarga Maranth dalam diam sedari tadi. "Kakak," iris biru sang gadis menatap pantulan matanya melalui permukaan bilah perak belati, "berhati-hatilah dalam berbicara. Kau sedang membicarakan nyawa seorang pangeran."

Carlos kembali menyeringai. "Kita setara dengannya."

"Kita berada di tanahnya."

Sang kakak mengalihkan pandangan ke cermin. Mata biru pucatnya balik menatap dirinya sendiri. Perlahan, ia mengalihkan perhatiannya lagi pada sang adik yang juga menatap ke arahnya. Mata yang sama. "Aku selalu di belakangmu. Ingat itu, Cordelia la Maranth." Tanpa menunggu respon sang adik, ia membalikkan badan. Kaki panjangnya melangkah mendekati pintu, dan keluar tanpa sepatah katapun lagi.

Mata Cordelia terus melirik punggung Carlos, setia mengikuti gerak sang kakak hingga hilang di balik pintu. Warna biru pucat di matanya menggelap.

"Nonaku." Sang pelayan yang sedari tadi terdiam mendengar percakapan sepasang saudara itu akhirnya bersua, bersamaan dengan hilangnya sedikit beban di kepala Cordelia. "Hamba sudah selesai." Ia melangkah beberapa langkah menjauh, seperti biasa, mengabaikan apapun yang tadi ia dengar dan mengubah topik yang menganggu sang nona.

Ucapan sang pelayan berhasil. Cordelia membungkus belati pemberian Carlos dan menutup kotak dengan rapat. Ia lalu kembali menatap cermin. Tatapan yang menghangat begitu melihat pantulan dirinya. "Memukau seperti biasanya, Bibi." Cordelia membuat lengkungan lembut di mulut. Rambut merahnya yang tadi digelung, kini dibiarkan tergerai dengan kepangan rumit yang melingkari kepalanya. "Tolong bantu aku memakaikan gaun lagi."

"Mari, Nona." Dengan cekatan sang pelayan memakaikan gaun pesta pada sang nona. Mengikat pita demi pita, mengaitkan kancing demi kancing, dirinya dengan terampil memastikan pakaian Cordelia sudah terpasang dengan baik. Memastikan sang gadis agar tampil memukau mengenakan balutan gaun pesta dengan warna kesayangan nonanya.

Gaun merah gelap, menyingkirkan gaun kuning menyala yang ternoda darah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top