Bab XII - TEMU

Esmeralda tidak bisa tidur. Bahkan dengan bantuan obat penenang, ia masih belum bisa mengistirahatkan diri. Esmeralda mendesah. Gadis itu membolak-balikkan badan, berusaha mencari posisi yang nyaman di atas empuknya kasur. Namun, sepertinya sang Dewa tidak merestui usaha Esmeralda. Dibandingkan perasaan ngantuk, dirinya kini dihantui perasaan resah yang semakin menjadi-jadi.

Sang bangsawan muda akhirnya menyerah. Ia melepas selimut yang sedari tadi diremasnya dan kini bangkit dengan posisi selonjoran. Perlahan, kepalanya menoleh ke kanan. Tatapannya sayu saat mengikuti gerakan jarum jam antik. Tiga. Ia kembali mendesah. Tidak lama lagi sang mentari akan terbit dan dirinya masih belum sempat menjelajah alam mimpi.

Perempuan yang akan segera menginjak usia kedelapan belas itu memejamkan mata. Ia harus tidur. Esmeralda terus menerus mengulang perkataan itu. Ia harus menyiapkan tenaga untuk menghadapi malam ini. Menghadapi malam pesta perayaan. Kelopak mata Esmeralda terbuka. Perayaan pertunangan Liam.

Setetes air mata mengalir menuruni pipi kiri Esmeralda. Sang gadis termenung, hingga ia akhirnya sadar saat merasakan kedua pipinya basah. Entah sejak kapan kedua matanya terus mengeluarkan air. Entah sejak kapan dirinya kembali menangisi pemuda itu lagi.

Kenapa?

Kepala Esmeralda menunduk. Tangannya sontak menyeka air mata yang dengan lancangnya keluar tanpa seizinnya. Tidak, ia tidak boleh menangis. Ia tidak boleh menangisi keputusan yang sudah ia pilih. Ia tidak boleh .... Menangis. Tangisnya pecah. Punggung Esmeralda bergetar hebat. Kenapa?! Kedua tangannya sontak menutup mulut, menahan isakan yang mulai keluar.

"Li ... am ...."

Esmeralda menggigit salah satu tangan saat suara tangisnya tak kunjung reda. Namun, itu tidak begitu terpengaruh. Suara isakannya tetap semakin menjadi-jadi. Esme bodoh! Kenapa? Kenapa kau sesedih ini? Kau sudah bertekad untuk melepaskan Liam!

Ingin rasanya menjerit, meluapkan segala emosi yang ia rasakan. Tetapi Esmeralda sadar itu hanya akan membangunkan seisi rumah dan menimbulkan masalah baru. Gigitan Esmeralda pada jari kanannya semakin kuat, mengabaikan rasa perih yang kini menimpa tangannya.

Di rumah ini, Esmeralda hanya boleh menangis dalam diam. Harus menangis tanpa suara.

"Sudah di mana kita?"

Pertanyaan yang dilontarkan gadis dengan mata setengah terpejam itu sontak membuat pelayan di depannya membuka tirai. "Sepertinya Gatener, Nona."

"Begitu." Esmeralda memejamkan mata. Gatener, salah satu wilayah yang terletak di Lefron, Daerah Perbatasan. Esmeralda meremas bantalan kursi kereta. Itu berarti sebentar lagi ia akan segera meninggalkan Airez. Dan tidak lama lagi, ia akan memasuki wilayah tengah Thersaga, Sentras.

"Kali ini kita akan menggunakan Jalur Khusus dibandingkan Jalur Lama seperti biasanya. Dalam sekejap, kita akan segera sampai Porta!"

Benar. Remasan Esmeralda semakin kuat saat memikirkan waktu perjalanannya. Kali ini, ia akan memakai Jalur Khusus yang sesuai dengan derajatnya sebagai Bangsawan Tinggi. Jalur yang paling aman, praktis, dan cepat. Sangat cepat. Perjalanannya menemui sang pangeran akan semakin cepat dari biasanya.

Perpisahannya dengan Liam akan tiba semakin cepat.

"Apa Nona baik-baik saja?"

Kelopak mata Esmeralda terbuka pelan. Apa ia terlihat baik-baik saja? Esmeralda mengangguk kecil. "Aku ... hanya kelelahan."

Anggukan yang dilihat pelayan sang bangsawan itu tetap tidak berhasil untuk menghilangkan kekhawatirannya. Ia masih ingat betul mata sembab Esmeralda yang dilihatnya pagi tadi. Majikannya terlihat habis menangis sepanjang malam. Sosok Esmeralda yang sudah lama tidak ia lihat.

Si kepala pelayan menggigit bibir bawahnya. Apa yang membuat nonanya kembali sedih? Nonanya itu sudah lama tidak seperti ini. Nonanya sudah lama tidak bergantung pada obat penenang. Dan, pagi ini ia melihat Esmeralda terbaring dengan obat-obat pahit yang berserakan di sampingnya.

Pelayan muda itu memandang wajah gadis di hadapannya. Ia selalu senang setiap berangkat ke Porta, tetapi kali ini ia terlihat sangat takut untuk pergi ke kerajaan hangat tersebut. Apa karena perayaan sang pangeran? Si pelayan berpikir. Nonanya tidak suka berkumpul dengan bangsawan lain. Apa karena itu Esmeralda memakan obat penenang lagi setelah satu tahun?

Ringkikan kuda yang tiba-tiba menarik perhatian dua perempuan yang berada di dalam kereta. Laju kereta Esmeralda berhenti, diiringi dengan suara-suara berat yang terdengar di telinga Esmeralda.

"Ada apa?" tanya sang bangsawan.

Si kepala pelayan pribadinya menyibak gorden. Kepalanya mendongak. "Sepertinya pemeriksaan, Nona. Kita sudah memasuki wilayah Sentras," jawabnya saat kembali duduk.

Kini, Esmeralda yang menyibakkan gorden. Netranya menangkap belasan penjaga berpakaian serba hitam yang menyatu dengan pemandangan Hutan Hitam yang mengelilingi wilayah tempat tinggal Maharaja Thersaga tersebut. Salah satu penjaga menangkap pandangan menyelidik Esmeralda, menghentikan aksi interogasinya dengan kusir dan mendekati jendela kereta.

"Selamat sore, Nona."

Esmeralda mengangguk kecil, tatapannya masih terpaku pada mata hitam pemuda yang menyapanya. Gelap. Bahkan lebih gelap dari langit malam yang pernah Esmeralda lihat. Terlalu gelap.

"Selamat datang di Jalur Khusus." Ia mengucapkannya dalam bahasa resmi Thersaga, bahasa Airez Baru, seraya kembali melirik lambang keluarga Luzel yang terukir dengan sangat jelas di pintu kereta. "Bisa tolong perlihatkan identitas Nona?" Suara beratnya terdengar dingin saat melanturkan pertanyaan formalitas yang selalu ia ucapkan.

Esmeralda tersadar. Ia menjatuhkan pandangannya. Benar, identitas. Jalur Khusus memiliki peraturan yang ketat. Hanya anggota keluarga Maharaja, anggota keluarga kerajaan, para Bangsawan Tinggi, dan para diplomat yang boleh menggunakannya tanpa izin. Satu-satunya hal yang harus dilakukannya hanya menunjukkan identitas kebangsawanannya. Dan, batu berharga itu sepertinya tertinggal di kediaman Luzel.

"Aku ti--"

"Ini dia." Kepala Esmeralda menoleh ke tangan pelayannya. Matanya membesar saat melihat batu yang begitu familiar di dalam kotak kecil. Batu hitam bertaburkan bubuk emas di setiap ukiran katanya. "Ini tanda pengenal Nona Esmeralda la Luzel."

Si pelayan tersenyum lembut saat menyadari tatapan Esmeralda. Hampir saja nonanya tidak membawa tanda pengenal. Untung dirinya ingat untuk memeriksa lemari penyimpanan Esmeralda sebelum mereka berangkat.

Penjaga bermata segelap malam itu hanya melirik sekilas tanda pengenal Esmeralda sebelum mengangguk hormat. Ia merogoh sesuatu dari balik saku seragam, sebelum mengibaskan tangan kanannya, menaburkan butiran bercahaya putih yang segera berhamburan ke seluruh sudut kereta Esmeralda tanpa terkecuali.

Esmeralda terbatuk saat merasakan butiran-butiran yang tanpa sengaja memasuki hidungnya. Pecahan magtro. Esmeralda melupakan hal ini. Butiran yang berasal dari pecahan Kristal Sihir itu adalah hal wajib sebelum memasuki Jalur Khusus. Energi sihir yang disebar ke seluruh keretanya ini akan menjadi pelindung dari tekanan udara yang akan mereka hadapi.

"Semoga perjalanan Anda menyenangkan, Nona Esmeralda la Luzel."

Belum sempat Esmeralda mengatakan apa pun, keretanya lebih dulu melaju mendekati gerbang yang lebih mirip dengan dua buah pilar hitam raksasa saat mendapatkan instruksi dari para penjaga. Salah satu penjaga berbadan besar mengucapkan suatu kata-kata dalam bahasa Airez Kuno, kata-kata yang asing di telinga Esmeralda. Seketika, magtro besar yang berada di masing-masing pilar menyala terang. Kereta Esmeralda bergerak mendekat, terus mendekat hingga cahaya putih itu melahap seluruh bagian kereta Nona Luzel.

Perjalanan melewati Jalur Khusus berakhir dalam sekejap mata. Dan, Esmeralda masih terpaku. Ini kedua kalinya ia memakai jalur itu seumur hidupnya. Pengalaman pertamanya adalah saat umur enam belas tahun, menghadiri pesta debut tidak begitu resminya di Porta bersama rombongan Claire. Dengan minimnya pengalaman yang ia punya, sensasi menggunakan Jalur Khusus masih membuat jantungnya berdebar kencang.

"Apa ... sudah selesai?"

"Iya," gumam pelayan Esmeralda. "Iya, iya sudah, iya." Suaranya kembali ke volume normal. "Nona baik-baik saja?" Si pelayan bergegas memeriksa setiap jengkal tubuh majikannya.

Esmeralda mengerjapkan mata, berusaha menghilangkan ingatan mengerikan saat keretanya terombang-ambing di tengah pusaran angin. "Aku ... baik-baik saja."

"Ki-kita sudah sampai di depan Porta, Nona." Pernyataan--lebih mirip cicitan--yang diberikan kusir menambah kenyataan bahwa perjalanan mereka memang sudah selesai. Benar-benar selesai. Sang kusir bahkan berkali-kali melirik pemandangan sekitar untuk memastikan matanya, sebelum kesatria berjubah hijau yang duduk di sampingnya menepuk pundak sang kusir. Perjalanan yang harusnya memakan waktu nyaris empat belas hari menggunakan Jalur Baru, berakhir dalam waktu singkat--bahkan matahari baru mulai terbenam. "Luar biasa."

Dengan tangan yang masih gemetaran, Esmeralda perlahan menyibak gorden jendela. Pohon-pohon hitam masih berada di sekitar mereka, tetapi aroma asin laut mulai tercium dari tempatnya berada. Esmeralda menarik napas panjang. Ah, aroma khas Porta bahkan dapat ia rasakan di perbatasan ini. Mereka benar-benar sejengkal lagi dari Porta.

"Bisa kita lanjutkan, Nona?" Sang kesatria berjubah hijau akhirnya bersua setelah matanya menangkap rupa sepasang pilar tidak asing yang terletak di ujung hutan, kurang lebih lima ratus langkah lagi. Portal kedua yang akan membawa mereka langsung ke dekat Istana Albens. Perasaan tidak enak yang baru saja ia taklukkan kini kembali begitu membayangkan perjalanan cepatnya. "Hamba menyarankan Nona mempersiapkan diri."

Perkataan si kesatria membuat Esmeralda tersadar. Tentu perjalanan harus dilanjutkan. Tentu ia harus menemui Liam. Tentu ia harus mempersiapkan diri.

Kemeriahan pesta perayaan pertunangan sang pangeran Porta sudah dipastikan akan sangat meriah. Esmeralda bahkan dapat mendengar kegaduhan para tamu saat ia menginjakkan kaki di luar pintu utama Istana Albens.

"Selamat datang, Yang Terhormat Esmeralda la Luzel!" ucap salah satu penjaga setelah selesai menginspeksi undangan yang kepala pelayan Esmeralda berikan. "Semoga malam Anda menyenangkan!"

Esmeralda mengangguk kecil. Tungkainya perlahan bergerak memasuki istana, bersamaan dengan remasan tangannya yang semakin erat pada ujung gaunnya. Sebentar lagi, sebentar lagi kita akan berpisah.

"Nona." Esmeralda menghentikan langkahnya, menatap kepala pelayan pribadinya yang berjarak satu langkah di belakang. "Apa sebaiknya kita mencari Nyonya Besar dan Nyonya Muda?" tawarnya sembari melirik belasan bangsawan bertopeng yang berjalan maupun berbincang di sekitar mereka, mencari-cari keberadaan Claire dan Brietta yang katanya akan menunggu di dekat pintu utama.

Esmeralda terlihat berpikir sebelum menggelengkan kepala. Tanpa mengabsen satu persatu wajah orang-orang asing di balik topeng mewah yang mereka kenakan, gadis itu yakin ibu dan kakaknya tidak ada di sekitarnya. "Mereka pasti menunggu di dalam aula," jawab sang gadis, menatap punggung rombongan aristokrat yang berjalan ke sebuah lorong besar dengan pintu kaca yang terbuka lebar. Para pelayan berdiri tegak, menyambut dan memberikan arahan pada rombongan bangsawan dengan gaya pakaian yang senada dengan Esmeralda--bangsawan Airez.

Mendengar jawaban nonanya membuat si pelayan terdiam. Ia juga tidak begitu yakin bahwa Nyonya Besar mau berdiri menunggu di dekat pintu masuk sedangkan di dalam aula telah tersaji berbagai rumor baru yang dapat ia dengarkan. Namun, tetap saja pelayan muda itu mengangguk ragu mendengar perkataan nonanya. Claire mungkin begitu, tetapi Brietta lain ceritanya. Ia menunduk. "Jika Nona ya--"

"Yang Terhormat Esmeralda?"

Esmeralda sontak membalikkan badan saat mendengar suara asing yang berasal tepat di belakangnya. Kedua matanya membola melihat pemuda tinggi yang entah sejak kapan berdiri di dekatnya. Pun pelayan sang gadis hampir memekik melihat orang asing yang sudah mendekati mereka tanpa terdengar suara langkah sedikitpun.

"Maaf membuat Anda terkejut." Pemuda misterius itu menunduk hormat.

Baru saja Esmeralda hendak memarahi pelayan--dilihat dari seragam si pemuda--lancang yang hampir membuat jantungnya meledak, sepasang mata hitam yang kini kembali menatapnya itu berhasil membuat bibir Esmeralda terkatup. Esmeralda familiar dengan wajahnya. Sangat familiar.

"Saya membawa pesan dari Yang Terhormat Claire. Saya harap Anda bisa mengikuti saya."

Alis Esmeralda mengkerut. Pesan dari Claire?

"Tunggu. Kau pelayan Porta?"

Si pemuda mengangguk sopan, menjawab pertanyaan pelayan pribadi Nona Luzel.

Pelayan Esmeralda memasang tampang was-was. Aksennya kabur, tetapi kelancangan itu--pemanggilan nama lahir seorang bangsawan dengan bebasnya, jauh berbeda dengan gaya Airez yang tidak sembarang orang dapat memanggil nama lahir seorang bangsawan--milik gaya bicara bar-bar rakyat Porta. Seorang pelayan asing berdarah Porta datang membawa pesan, ini trik murahan yang terdapat dalam buku panduan bagi para pelayan. Para bangsawan juga selalu membawa satu pelayan dalam pesta besar seperti ini, untuk apa Claire mengutus pelayan Porta? Terlebih, setengah wajah Esmeralda tersembunyi di balik topeng, dari mana seorang pelayan Porta tahu wajah bangsawan Airez yang tidak pernah ke Istana Albens?

"Di mana bukti bahwa Nyonya Luzel memberimu perintah?"

Si pemuda membuka mulut, tetapi cepat-cepat dipotong oleh Esmeralda. "Tunggu di sini. Aku akan segera kembali dalam sekejap," titahnya pada pelayan pribadinya tanpa membalikkan badan.

"Tetapi, Nona--"

"Ini perintah!" desis Esmeralda. Sang bangsawan segera menginstruksikan pemuda berambut cokelat itu untuk menunjukkan jalan. Esmeralda kembali melangkah, mengikuti pelayan Porta yang membawanya menjauhi keramaian. Dan, tentu saja Esmeralda tahu mereka tidak menuju tempat Claire berada.

Keheningan terjadi sepanjang perjalanan Esmeralda. Langit sudah menggelap total, tetapi pemuda di depannya tidak menunjukkan detik-detik akan berhenti. Mereka terus berjalan, melewati berbagai lorong demi lorong, menjauhi keramaian, hingga Esmeralda tidak yakin seberapa jauh mereka sudah berjalan. Sepertinya, ia terus dibawa ke ujung istana.

Kesunyian yang melandanya membuat Esmeralda semakin gelisah. Entah berapa kali genggaman tangannya pada gaun hijaunya melonggar lalu mengeras, terus berulang-ulang, membuat berbagai lekukan buruk pada kain sutra kualitas tinggi itu. Pikiran Esmeralda kacau. Ia tidak menyangka akan menemui Liam secepat ini. Rencananya adalah sesudah pesta selesai, bukan sebelum pesta dimulai.

"Anda baik-baik saja?"

Esmeralda mengerjap. Ia terdiam sejenak sebelum tersadar bahwa ia telah berhenti melangkah, jauh tertinggal di belakang si pelayan. Esmeralda mengangguk cepat, sebelum kembali melangkahkan kakinya yang terasa semakin berat.

Esmeralda menundukkan kepala. Tidak, ia tidak boleh menunjukkan kesedihannya sekarang. Ia juga tidak boleh menunjukkannya di depan Liam. Esmeralda memejamkan mata. Perpisahan ini tidak boleh diakhiri dengan air mata.

Esmeralda menggelengkan kepala, berusaha mengusir energi negatif yang mulai membuat matanya memanas. Iris hijau Esmeralda lalu tertuju pada punggung si pemuda. Kemeja putih bersih dengan rompi cokelat berkualitas standar terlihat sangat berbeda dibandingkan kemeja cokelat tipis yang ia kenakan beberapa waktu sebelumnya. "Kau ... kusir Liam, bukan?"

"Iya dan tidak," jawab si pemuda sambil lalu. "Saya bisa menjadi apa saja tergantung perintah Yang Mulia Pangeran, tapi pekerjaan resmi saya adalah kesatria pribadi Yang Mulia Pangeran."

Kesatria? Seorang kesatria yang rela menjadi kusir maupun pelayan rendahan? Itu hal yang kesatria Luzel tidak bisa lakukan dengan baik. "Siapa namamu?"

Sang kesatria berhenti mendadak, membuat Esmeralda nyaris menabrak punggungnya. "Alan." Badan Alan berbalik menghadap Esmeralda. Mata hitam Alan menatap ke arah wajah Esmeralda yang bersembunyi di balik topeng, sebelum perlahan lirikannya berpindah ke belakang bahu Esmeralda. Ia terdiam sesaat sebelum kepalanya menunduk hormat. "Silakan ikuti koridor ini. Yang Mulia akan berada di ujung sana."

Iris Esmeralda sontak bergetar mendengar perkataan Alan. Sendirian? Berjalan sendirian di tengah gelapnya koridor? Berjalan sendirian menemui Liam?

Alan menyingkir, memberi jalan bagi Nona Luzel dengan tatapan yang tidak lepas menatap ke arah Esmeralda. "Sedikit lagi, Yang Terhormat. Saya harus berhenti di sini."

Esmeralda tidak bisa. Baru saja ia menggunakan kehadiran Alan untuk mengalihkan rasa gelisahnya, kini ia harus melanjutkan penjelasannya sendirian. Keresahan kembali menyelimuti diri Esmeralda. "Aku," ia menjatuhkan pandangannya ke lantai, "tidak bisakah kau ikut?"

Alan menggeleng sopan. "Maaf, Yang Terhormat."

Sang gadis memejamkan mata, lalu membisikkan terima kasih sebelum melangkah pelan mengikuti koridor di depannya. Melangkah dan melangkah, mempersiapkan diri untuk menemui sang kekasih. Mempersiapkan diri untuk melontarkan salam perpisahan.

"Esme."

Esmeralda sontak berhenti. Kepalanya mendongak, mencari arah suara. Matanya tertuju pada siluet di dekat pilar. "Liam ...." Bibir Esmeralda bergetar menyebut nama sang pujaan hati. Yang dipanggil kini menyunggingkan senyum, senyuman manis yang dapat melelehkan hati Esmeralda dalam sekejap mata.

Liam melangkah mendekat. Suara langkahnya bagaikan simfoni agung di telinga sang gadis. Simfoni yang indah, tetapi juga menyayat hati. Sedikit lagi Liam akan meraihnya. Di detik itu juga, Esmeralda harus melepasnya.

Remasan tangan Esmeralda semakin kuat, begitupun dengan degup jantungnya yang berdetak kencang. "Liam ...." Tidak, ia tidak boleh goyah. Ia harus mengakhiri semua ini. Ia harus melepas Liam!

"Mari sudahi hubungan kita, Liam." Jantung Esmeralda rasanya mau meledak saat mengucapkan kalimat menyakitkan itu. Ia bahkan tidak bisa menatap mata ungu Liam, pandangannya jatuh, bersamaan dengan buliran air mata yang tanpa sadar keluar dari mata kirinya. Esmeralda menggigit bibir bawah. Ia gagal menahan tangisnya. Ia sangat menyedihkan.

"Apa maksudmu?" Suara Liam terdengar parau. "Apa maksudnya, Esme?" Tangan kanannya yang hendak menyentuh wajah Esmeralda kini terjatuh.

"Kita ... akhiri hubungan ini." Esmeralda membalikkan badan. Namun tangannya dengan cepat ditarik ke belakang.

"Esme--"

"Akhiri hubungan ini, Liam!" Suara Esmeralda meninggi, nyaris berteriak di depan wajah Liam. Matanya berkaca-kaca. "Akhiri ... tolong akhiri ...."

"Kenapa?" desah Liam. Ia tidak tahu, sangat tidak tahu apa yang terjadi pada Esmeralda. Otaknya tidak bisa mengerti ucapan yang keluar dari bibir kekasihnya. "Jawab aku, Esme. Lihat aku!"

Esmeralda memalingkan wajah, menolak melihat Liam yang pasti akan menambah rasa sakitnya. "Akhiri ... akhiri ini! Aku dan kau masing-masing akan segera menikah .... Kita akan memiliki keluarga sendiri."

"Esme--"

"Aku tidak bisa memilikimu seutuhnya ... aku tidak bisa menjadi pendamping resmimu. Aku ... aku hanya akan menjadi wanita simpananmu, Liam!" Isak tangis Esmeralda tidak bisa dibendung lagi. Akhirnya, akhirnya Esmeralda mengucapkan kata-kata hina itu. Gelar yang selama ini selalu ia kubur dalam-dalam. Status yang selalu ia coba abaikan. Hubungan yang seharusnya tidak pernah ia lakukan. Esmeralda menggeleng. Sudah terlambat untuk mengasihani dirinya sendiri. "Aku tidak bisa, Liam! Aku tidak mau! Kita tidak bisa bersatu--"

Ucapan Esmeralda dipotong oleh lumatan bibir Liam. Liam menarik Esmeralda dalam dekapannya, memperdalam ciuman mereka. Tangan kanannya meraih tengkuk sang gadis, memaksa Esmeralda agar tidak memalingkan muka. Sedangkan tangan kirinya memegang erat pinggang Esmeralda.

Esmeralda membeku. Jantungnya yang berdegup kencang mendadak membatu saat merasakan sentuhan hangat di bibirnya. Ia bahkan tidak sanggup merespon ciuman panas yang diberikan Liam. Matanya membelalak, menatap wajah terpejam Liam yang begitu dekat, sebelum perlahan Esmeralda ikut memejamkan mata.

Tidak ada sepatah katapun yang terucap. Hanya terdengar napas yang tersengal dan erangan lirih yang keluar dari mulut Esmeralda. Bibir mereka berpisah sebelum kembali bertemu dalam lumatan yang lebih panas. Terus dan terus berulang, seakan-akan dunia akan berhenti saat mereka mengakhiri ciumannya.

Namun sayang, dunia tetap akan berhenti. Di tengah kegiatan dua insan yang saling memadu kasih, sepasang mata biru mengintai dalam kegelapan.

Tatapan Cordelia mendingin, berbanding terbalik dengan kecupan panas tunangannya.

Halo!

Bagaimana kabar kalian? Semoga semua dalam keadaan sehat selalu :D

Nah lho, hubungan gelap ini akhirnya ketahuan juga, di depan si kekasih resmi pula \(゚ー゚\) Hayo siapa yang tebakannya benar tentang tunangan Liam? (~ ̄³ ̄)~

Hmm ... kira2 Cordelia bakal ngapain, ya? Pestanya belum mulai lagi ╮(. ❛ ᴗ ❛.)╭

Mari kita lihat di bab selanjutnya~

Sepertinya fun fact: bab ini dan bab sebelumnya harusnya jadi satu, tapi saya yang plin-plan ini akhirnya memutuskan untuk memecah bab dan sedikit merombak plot pesta perayaan ini dan tada! Karena itu judul bab sebelumnya adalah titik, dan bab ini adalah temu. Jadilah judul aslinya, titik temu //plak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top