BAB XI - TITIK

Liam tahu ia harus segera bersiap. Bersiap menghadiri pesta perayaan pertunangannya yang akan segera dimulai. Namun, sampai detik ini, sang pangeran Kerajaan Porta masih setia mengenakan jubah mandinya.

Sang pangeran menyandarkan punggung seraya mendongakkan kepala, mengistirahatkan mata dari buku terbaru Boran Truli. Ia merutuki aksinya, membaca pemikiran filsuf dari benua seberang yang sedang naik daun itu berhasil membuat kepalanya berdenyut. Namun, ia juga bersyukur akan kerumitan bacaan itu. Setidaknya, ia melupakan hal-hal terkutuk yang memenuhi pikirannya sejak beberapa hari kebelakang. Dan, melupakan ketidakmajuan penyelidikan anak panah beracun yang kepala pengawal terpercayanya lakukan secara diam-diam.

Liam menghela napas. Penyelidikan anak buahnya tertunda akibat hilangnya sang tabib, yang menurut muridnya yang tidak tahu akan kasus Liam, sedang berkelana ke pegunungan Glacein dan akan kembali setidaknya di minggu pertama musim dingin. Pun, tidak ditemukannya bekas tanda-tanda pelaku penyerangan yang tersisa di dalam kawasan Hutan Perbatasan, selain bekas-bekas perkemahan petualang yang berangkat menuju Glacein. Petualang yang terlalu miskin--atau terlalu hemat--untuk melewati jalur Glacein yang lebih cepat, apalagi untuk membeli racun berharga.

"Racun ular merah, Yang Mulia." Jawaban sang tabib kembali berputar di benak Liam. Jawaban yang ia dapatkan di tengah ketergesaannya saat berangkat kembali ke desa perbatasan. Sayang sekali, waktu itu Liam tidak sempat untuk bertanya lebih lanjut dan mengira bahwa informasi tersebut cukup. Betapa mengesalkannya hati sang pangeran saat Liam mendapatkan laporan hasil penyelidikan kepala pengawalnya bahwa terdapat belasan jenis racun ular merah dari setiap belasan jenis ular merah dengan belasan jenis kombinasi yang berbeda tersebar di seluruh penjuru Thersaga. Hal yang semakin memperkuat dugaan Liam bahwa ini bukanlah anak panah salah sasaran yang ditunjukkan untuk memburu hewan kecil. Liam menghela napas. Tidak bisakah tabib itu memberikan jawaban yang lebih spesifik?

Sial. Liam memejamkan mata. Waktu istirahat yang seharusnya menambah energi malah berefek sebaliknya pada Liam. Liam menghela napas. Seharusnya ia benar-benar menahan keinginan untuk menyelesaikan bacaan yang ia baca sejak beberapa hari terakhir itu, setidaknya hingga pesta pertunangannya berakhir. Sehingga, setidaknya, ia tidak akan memikirkan hal mengesalkan ini lagi ....

Tunggu. Liam sontak menengok ke dinding kiri ruang baca sebelum kembali menghela napas. Sial. Ia menghabiskan waktu lebih lama dari yang ia kira. Perayaan akan mulai kurang dari satu setengah jam lagi dan keadaan sang pangeran bahkan sangat jauh dari kata siap.

Liam bangkit dari kursi, melangkah cepat menuju ruang tidur yang dipisahkan oleh pintu kaca. Kakinya berhenti tatkala baru saja memasuki ruang tidurnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain diri sang pangeran. Ia melirik ke setiap sudut ruangan. Nihil. Di mana pelayan ganti yang bertugas sekarang?

Kepala Liam semakin berdenyut saat memikirkan ketiadaan orang yang seharusnya membantunya bersiap itu. Apa pelayannya terlambat? Liam mendesah. Ia memutar badan ke kiri, menuju pintu yang menghubungkan kamarnya dengan lorong istana. Berdiam diri di sini tidak menyelesaikan keadaan apapun. Sang pangeran harus segera memanggil si pelayan ganti.

Baru saja ia membuka pintu, Liam sudah disambut dengan kepala pemuda yang menunduk hormat. Hampir saja Liam menabrak orang di depannya jika saja anggota keluarga Kerajaan Porta itu tidak sigap menghentikan langkahnya.

"Semoga matahari indah Porta selalu bersinar menyambut Anda."

Liam terdiam, memandang orang yang masih dalam posisi memberikan hormat. Cukup jarang ia mendengar salam yang dilontarkan pemuda di depannya ini di hari biasa. Biasanya orang-orang akan mengucapkan versi pendek dibandingkan versi aslinya, kecuali saat ia berada dalam situasi formal. Dan sekarang, ia yakin ia sangat jauh dari kata formal--terlebih melihat jubah mandi berwarna hijau yang ia pakai.

Tatapan Liam lalu beralih pada pakaian pemuda di hadapannya. Jas katun berkualitas bagus, celana pendek dengan kancing perak, kaus kaki sebersih salju, dan sepatu kulit dengan sol standar. Tidak salah lagi, ia seorang pelayan kelas atas. Lalu berada di depan pintu kamarnya, sudah pasti ia salah satu dari pelayan gantinya. Sepertinya Liam tahu mengapa ia bersikap sangat formal.

"Kau terlambat."

Si pelayan masih menundukkan kepalanya. Ia tidak terlambat, ia sangat yakin akan hal itu. Namun, ucapan yang baru saja didengarnya membuat dirinya menyimpulkan bahwa tuannya lupa. Satu jam yang lalu, ia sudah siap untuk mendandani Liam sebelum sang pangeran mengusirnya tatkala dianggap mengganggu waktu bacanya. Selama satu jam itu pula ia berdiri di depan pintu, menunggu panggilan Liam dengan patuh. Dan, sekarang ia malah dianggap terlambat.

Sang pelayan menarik napas. Tidak ada gunanya membantah tuduhan Liam. Ia hafal betul dengan nada Liam yang itu. Sang pangeran sedang kesal. Entah apa yang membuat Liam sekesal itu. Ia hanya berharap bukan dirinya lah penyebab kekesalan tuannya.

"Maafkan saya, Yang Mulia." Adalah kata yang terlontar dari bibir si pelayan. Ia masih sayang dengan nyawanya dan tentu saja tidak ingin mayatnya menjadi santapan monster laut. Mengakui kesalahan palsu itu lebih baik dibandingkan membantah pangerannya saat ini. "Tidak akan saya ulangi lagi."

Liam tidak menggubris perkataan pelayannya. Ia hanya melontarkan perintah untuk segera membantunya berpakaian sebelum dirinya berbalik, kembali memasuki kamar.

Pintu kembali tertutup, diiringi dengan langkah tergesa si pelayan. Pemuda itu segera mendekati kasur Liam. Satu jam yang lalu ia sudah membawa pakaian-pakaian yang akan dikenakan Liam dan menatanya di atas alas tidur sang pangeran. Bola mata hitamnya melirik belasan setel pakaian berkualitas tinggi itu, mendapati bahwa tidak ada satupun letak barang yang berubah sedikitpun dari terakhir ia lihat. Sudah ia duga, sang pangeran belum memilih, bukan, sepertinya Liam bahkan belum melihat pakaian-pakaian hasil karya penjahit terbaik Porta yang sangat bergengsi itu.

"Yang Mulia, pakaian yang mana yang akan Anda kenakan?" Sang pelayan memutuskan untuk bertanya. Ia berharap pada Blazera, semoga pertanyaannya ini tidak menambah kekesalan sang pangeran.

Sepertinya sang Dewi mengabulkan harapan si pelayan. Liam menjawab, "Terserah kau saja."

Mendengar jawaban Liam membuat sang pelayan menarik napas lega. Jawabannya lebih dari dua kata, itu berarti perasaan Liam sudah membaik. Sepertinya.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kali ini Anda menggunakan pakaian berwarna kuning dibandingkan warna biru seperti biasanya?" usul sang pelayan ganti. "Saya dengar Yang Mulia Ratu, Raja, dan para putri akan mengenakan pakaian dengan berbagai warna kuning yang sangat indah."

Liam yang berdiri membelakangi kasur, menghela napasnya entah untuk keberapa kali. Wil. Kalau ia tidak salah ingat, nama pelayan itu adalah Wil. Pelayan yang paling baru dan paling muda dibanding dua rekannya. Namun, selama dua tahun Wil bergabung dengan rombongan Liam seharusnya sudah cukup bagi sang pelayan untuk mengartikan perintah Liam. Bukankah tadi ia sudah bilang terserah?

"Boleh saja."

Wil tersenyum sopan. Ia melangkah mendekati Liam. "Permisi, Yang Mulia."

Liam tidak menjawab, tetapi ia merentangkan kedua tangannya. Dibiarkannya sang pelayan ganti melakukan tugasnya.

Wil mulai melepas jubah mandi Liam, membuat tubuh sang pangeran kini tidak terlindungi sehelai benang pun. Tidak sengaja, matanya melirik bekas luka di perut kiri Liam. Wil dan dua rekannya pernah bergosip kecil akan hal ini. Namun, sampai sekarang mereka belum tahu penyebab pasti kenapa seorang pangeran Porta dapat memperoleh luka mengerikan di tubuh sucinya.

Wil tentu penasaran, tetapi siapa dia yang lancang bertanya hal yang majikannya sendiri tidak mengatakan apapun padanya? Sekali lagi, Wil masih sangat menyayangi nyawanya. Namun, seberapa keras dirinya berusaha, ia tetap tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa keingintahuannya. Sedikit penasaran tidak akan membunuhnya, kan?

Tidak, tidak. Ia tidak boleh penasaran. Lagipula, tabib istana yang beberapa hari ini keluar masuk kamar Liam secara rahasia tentu akan tutup mulut. Lalu Kane beberapa akhir belakangan juga menjadi lebih sering mengunjungi kamar sang pangeran, bahkan datang bersama tabib. Wil termenung. Apa sang ratu tahu tentang hal ini?

Pelayan berusia dua puluh tahun itu mengusir jauh-jauh pikirannya. Tidak. Berurusan dengan sang ratu malah memperkecil peluang hidupnya di sini. Ia tidak boleh mati dulu. Pemuda itu menelan ludah. Satu hal yang pasti, Wil tidak boleh mengatakan ini pada siapapun--tentu saja kecuali pada dua rekannya yang sama-sama menjadi pelayan ganti Liam atau jika tuannya bertanya padanya. Seorang pelayan ganti tidak boleh menceritakan apapun yang ia lihat pada tubuh majikannya.

Wil segera mengalihkan pandangannya, kembali fokus. Dengan cekatan, ia meraih pakaian dalam Liam--sebuah celana tipis berbahan linen dengan panjang setengah paha--dan memakaikannya pada si majikan. Setelah itu, Wil lalu mengambil salah satu kemeja yang sudah ia pilih; kemeja putih berbahan katun terbaik yang dijahit dengan benang emas. Ah, Wil selalu terkesima setiap menggenggam baju yang memakai benang emas. Ia selalu berharap semoga suatu saat nanti ia dapat memakai pakaian seindah milik Liam. Namun, sebelum hari itu tiba, ia harus bekerja keras di Istana Albens ini dan keluar hidup-hidup.

Pelayan berambut cokelat itu menggelengkan kepala, tersadar dari lamunan singkatnya. Ia segera memakaikan kemeja mahal tersebut pada sang pangeran. Jemari Wil bergerak dengan telaten, mengancingkan belasan kancing kemeja yang terbuat dari emas.

Setelah seluruh kancing kemeja dan manset pada lengan panjangnya sudah terpasang dengan baik, Liam sontak mendudukkan dirinya di sofa empuk yang berada dua langkah di samping kasur. Ia mengangkat kaki kanan dan meletakkannya di atas kursi kecil yang baru saja Wil letakan di depannya. Sang pangeran memandang dengan tatapan tidak tertarik, mengabaikan si pelayan yang dengan cekatan memasangkan kaus kaki panjang berwarna putih pada kaki kanan dan kirinya secara bergantian.

Lama sekali. Liam menghela napas. Jika saja diizinkan untuk memakai dua lapis pakaian saja, dengan senang hati Liam pasti sering menghadiri berbagai pesta. Namun, sesederhana pakaian bangsawan Porta, masih ada etiket berpakaian yang harus ditepati, terlebih seorang keluarga kerajaan. Merepotkan sekali.

Melihat majikannya yang mulai bosan, pemuda yang sedikit lebih pendek dari Liam itu mempercepat kerjanya. Ia bangkit dari posisi berlutut, memberi jalan bagi Liam untuk kembali berdiri. Wil meraih celana pendek berwarna kuning dan kembali membantu Liam untuk memakai celana berbahan katun itu. Sang pelayan lalu meraih rompi kuning terang, senada dengan celana selutut Liam. Seperti sebelumnya, ia memakaikan rompi bermotif matahari tersebut ke badan Liam.

"Apa Anda ingin rompinya dikancing atau dibiarkan terbuka?" Iris hitam si pelayan ganti bertemu dengan netra ungu sang pangeran.

Liam yang sedari tadi memandang tanpa minat, kini mengerutkan alis. Pertanyaan Wil berhasil menarik perhatian sang pangeran. Ia menunduk, menatap badannya. Ia baru sadar bahwa Wil telah memakaikannya rompi. "Bukankah ini terlalu berlebihan?" Meskipun ini memang acara formal, tidak biasanya Liam memakai rompi jika akan mengenakan jas. Apa pelayan gantinya memilih gaya pakaian empat lapis?

Wil menundukkan kepala sembari menjawab, "Lebih berlebihan dibanding biasanya, betul. Tapi, ini demi kebaikan Anda. Banyak bangsawan Airez menghadiri perayaan ini, jadi Anda tidak boleh kalah dari bangsawan-bangsawan menor itu, Yang Mulia."

Liam terdiam. Apa yang dikatakan Wil memang tidak salah. Dan, itu adalah salah satu alasan ia enggan menghadiri acara yang mengundang bangsawan Airez. Memang kenapa jika gaya berpakaian pangeran Porta tidak seglamor pangeran Airez? Lagipula kedua iklim kerajaan itu juga beda. Dan, tentu saja bangsawan Airez mana memikirkan hal itu, otak mereka hanya berpaku pada segala kemewahan dan kegengsian.

Liam tebak para tamu terhormatnya itu akan memakai setidaknya lima lapis pakaian lalu mengeluh tentang keringat yang merusak dandanan mereka. Tentu saja, Kristal Sihir di aula dansa akan dicap sudah kuno dengan energi yang sekarat karena tidak becus untuk mendinginkan aula. Lalu saat itu akan menjadi ajang untuk mempromosikan Kristal Sihir terbaru oleh keluarga-keluarga bangsawan di bidang perdagangan.

Melihat raut muka Liam yang mulai memburuk, Wil kembali berkata, "Kristal Sihir dengan mantra pendingin telah disebar di seluruh sudut aula dansa. Anda tidak perlu khawatir."

Bukan itu yang Liam khawatirkan. Namun, Liam tidak akan meluruskan pikiran Wil. "Setengah saja," desah Liam.

Wil kembali menundukkan kepala. Ia kenal betul nada Liam barusan. Sepertinya ia malah membuat tuannya semakin kesal. Ia menutup mulutnya rapat-rapat, kembali memfokuskan pandangan pada kancing rompi. Setelah selesai mengancingkan rompi, Wil segera mengambil dasi berwarna hijau, menyilangkannya pada leher Liam sebelum memasangkan pin emas dengan lambang Kerajaan Porta. Diraihnya jas berekor panjang untuk menyempurnakan penampilan Liam. Jas dengan warna senada dengan rompi sang pangeran Porta itu dibiarkannya terbuka, tidak dikancing.

Liam kembali duduk untuk kedua kalinya saat Wil meninggalkannya sesaat untuk mengambil sepatu. Belum sempat ia memikirkan sesuatu, Wil sudah kembali. Ia melirik sepatu kuning berhak pendek yang dibawa pelayannya. Matanya melebar sesaat. Liam ingat betul dengan satu-satunya sepatu miliknya yang dibuat dari kulit montevor brie--rusa gunung yang muncul seratus tahun sekali. Sepatu pemberian tunangannya.

"Sebentar." Ucapan Liam membuat tangan Wil berhenti di udara. "Bukankah itu terlalu ... berharga?" Sangat berharga. Entah berapa banyak emas yang dikeluarkan tunangannya untuk menyewa pengrajin terbaik Airez untuk menyulap kulit sekuat baja itu menjadi sepatu.

Wil terdiam hingga tiba-tiba dia tersenyum. "Anda sudah berjanji akan menggunakan ini, Yang Mulia."

Benarkah Liam pernah mengucapkan janji itu pada tunangannya? Terlebih lagi hingga ia juga sampai memberikan perintah pada Wil jauh-jauh hari.

"Mohon tahanlah ketidaknyamanan Anda untuk semalam. Anda harus tampil sempurna."

Kali ini Wil tidak salah. Emas di balik pembuatan sepatu ini tidaklah begitu berharga. Dibanding itu semua, perasaan kaku saat menggunakan sepatu adalah hal yang tidak begitu disukai sang pangeran. "Kau lama-lama terlihat seperti rakyat Airez sungguhan." Liam mengembuskan napas.

Wil menghentikan gerakannya. Tangannya kembali membatu. Ia menunduk dan menyunggingkan senyum tipis. "Maafkan saya."

Liam tidak merespon. Ia hanya mengangkat kaki kanan dan kirinya secara bergantian, membiarkan Wil memakaikan sepatu spesialnya.

"Sudah selesai, Yang Mulia," tutur Wil saat selesai mengaitkan tali sepatu Liam dengan aksesoris berbentuk matahari. Ia kembali berdiri dengan kepala menunduk. "Anda sangat tampan dan gagah! Warna kuning akan membuat Anda bersinar di antara gelapnya pakaian bangsawan Airez. Para nona pasti akan berharap agar Anda mengajak mereka berdansa."

Liam mengabaikan pujian yang diberikan pelayannya. Ia bangkit dari sofa, berjalan membelakangi Wil. Baru saja tangan kanannya menyentuh pintu ruang baca, Liam bertitah, "Panggilkan Alan. Katakan aku menunggunya di ruang baca."

Wil menyunggingkan senyum. "Segera, Yang Mulia."

Liam melirik sekeliling. Sayap Pertemanan sangat sepi. Koridor yang berada di ujung taman mini Istana Albens benar-benar terasa seperti kuburan. Tempat yang sangat cocok bagi pertemuan rahasia, terlebih saat situasi seperti ini.

Suara hiruk pikuk pesta yang akan segera dimulai terdengar semakin mengecil saat Liam terus memacu langkah kakinya. Tungkai sang pangeran berhenti, tepat saat dirinya sampai di titik yang ia pilih. Ia berdiri tegak, menunggu.

Langit mulai menggelap, disusul dengan rembulan yang menampakkan dirinya. Sinar pucat sang rembulan tak luput menyinari tempat sang pangeran, membuat setengah badan Liam tertutupi bayangan pilar-pilar. Meskipun begitu, pakaian terang pemuda itu tetap membuat dirinya mencolok di antara bayang-bayang koridor.

Detik demi detik telah berlalu. Liam masih berdiri dalam keheningan. Belum ada tanda-tanda kemunculan orang yang ditunggunya. Apa Alan gagal? Tidak. Liam tahu pengawal pribadinya tidak mungkin gagal mengerjakan tugasnya. Lalu, apa orang yang ditunggunya belum datang? Tidak. Tidak mungkin para tamu berani tidak datang lebih awal pada acara besar seperti ini. Jadi, kenapa? Mata Liam memicing. Apa ada kendala yang menimpa mereka berdua?

Baru saja Liam hendak memastikan keadaan yang terjadi di aula pesta, sayup-sayup telinganya menangkap suara hak sepatu. Suaranya semakin dekat dan dekat, hingga akhirnya si pemilik suara berhenti. Berhenti tepat di bawah bias cahaya rembulan.

Sang pangeran keluar dari tempat persembunyiannya. Raut muka gelisah Liam langsung tergantikan dengan ekspresi yang lembut. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Bahkan dengan topeng permata yang menutupi setengah wajahnya, Liam tahu betul pemilik mata hijau di hadapannya.

Kekasihnya, Esmeralda.

Esmeralda berdiri beberapa langkah di depan Liam. Gadis bergaun hijau itu tersenyum tipis. Jemarinya masih memainkan sisi gaun sutra tatkala mulutnya terbuka pelan, berbisik, "Liam ...."

Ah, betapa Liam ingin sekali menyentuh bibir semerah darah yang menyebut namanya itu. Betapa ia ingin merasakan lembutnya bibir sang gadis. Apa Esmeralda memakai pewarna bibir beraroma mawar? Atau kali ini beraroma lily?

Tungkai sang pangeran bergerak mendekati Esmeralda. Pun netra Liam senantiasa menatap sang gadis, sama sekali tidak melepaskan pandangannya. Ia mengulurkan tangan, hendak menyentuh wajah mungil sang kekasih, sebelum tangannya berhenti di udara.

"Mari sudahi hubungan ini, Liam."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top