BAB X - PENIPU
Ketukan pintu membuat Marco menghentikan aktivitasnya. Sang Pangeran Mahkota Airez mengangkat kepala. Sebelah alisnya terangkat, tamunya datang lebih cepat dari perkiraan.
Marco meletakkan pena bulunya. Surat yang baru saja selesai ia tulis lalu dimasukkan dalam amplop ungu sebelum menyegelnya dengan lilin. Dicapnya lambang keluarga kerajaan Airez--hasil penggabungan lambang ular keluarga Fydor yang melilit lambang bulan purnama Luanios--pada lelehan lilin yang masih panas. Satu, dua, tiga detik hingga dirasanya sudah mengeras, Marco menarik cap berganggang emas itu. Ia membuka laci, mengambil botol kaca yang berhiaskan ratusan permata kecil. Hidung mancungnya mengendus permukaan botol kaca sembari mengulum senyum.
Ketukan pintu kembali terdengar, kini lebih tergesa dibandingkan sebelumnya dan diiringi dengan panggilan yang memanggil nama sang pangeran. Namun, Marco tetap mengabaikannya. Ia masih ingin membuat sang tamu menunggu.
Pemuda berambut perak itu mendekatkan botol kaca ke arah surat, menyemprotkan cairan transparan yang berkilau. Aroma manis nan menyegarkan kembali menghiasi indra penciuman Marco. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang, menikmati keharuman bunga favoritnya. Membiarkan dirinya terbuai dalam wangi musim semi.
Namun, kedamaian itu hanya sementara. Suara ketukan kembali mengganggu pendengarannya. Lagi. Marco membuka mata. Sepertinya sudah saatnya ia menghadapi amukan sang tamu.
"Masuk."
Pintu terbuka--lumayan keras, menampilkan seorang pria paruh baya. Wajah bulatnya kini benar-benar semerah tomat keluarga Rivera. "Yang Mulia!" Langkah pria itu cepat dan keras. Ia berhenti di depan meja kerja Marco, kedua tangannya menekan sisi kiri dan kanan meja berkayu hitam itu. Mulutnya kembali terbuka, tetapi tidak ada perkataan yang kembali keluar tatkala hidung besarnya tiba-tiba bergerak, mengendus bau menyengat yang memenuhi penciumannya. Alisnya sontak mengerut.
"Selamat pagi juga, Menteri."
Sang Menteri menggelengkan kepala, kembali tersadar. "Hamba menghadap Bulan Sabit Kerajaan." Ia sontak mundur beberapa langkah sembari sedikit membungkukkan badan dengan kaki kanan di depan kaki kiri. Tangan kanan sang Menteri diposisikan di depan jantung sedangkan tangan kirinya ditekuk ke belakang punggung.
"Dan aku menghadap menteri favoritku," balas sang pangeran sembari mengedipkan mata kanannya, hal yang membuat sang lawan bicara membatu untuk beberapa detik.
Tidak lama, dengan gerakan secepat kilat, bawahannya itu kembali mendekati meja kerja sang pangeran. Mengabaikan kejenakaan Marco, seperti hari-hari biasa. "Tuanku!" serunya. "Tolong katakan pelayan sembrono itu hanya kebanyakan mencuri anggur istana! Ucapan yang keluar dari mulutnya tidak benar, bukan?"
Marco tidak menjawab, pun tidak bertanya. Tentu ia tahu betul ucapan apa yang didengar menterinya dari mulut si pelayan sembrono. Lagipula Marco dalangnya. Sang pangeran mengembangkan senyum dengan kedua siku bertumpu pada permukaan meja yang dingin. Ia mencondongkan badan, menopang dagu dengan punggung tangan.
Sedangkan sang lawan bicara hanya mengerjap. Sang Menteri heran. Bagaimana bisa pemuda bermasalah di hadapannya ini bisa menyunggingkan senyum begitu polos? Wajah yang begitu tidak berdosa ... layaknya penipu ulung! Setidaknya semua gerakan sang pangeran berhasil dibuat sangat elegan. Tunggu, kenapa dia memikirkan hal ini?
"Tolong katakan sesuatu, Tuanku!"
"Apa?"
"Tuan Muda!"
"Baik, baik." Marco memiringkan kepala, menginstruksikan kepada Menteri Tua itu untuk duduk di sofa tamu. Ekor mata pemuda itu mengikuti langkah sang Menteri seraya berkata, "Apa yang temanku bilang memang benar adanya. Apa ada masalah?"
Sang Menteri menghela napas, tepat saat bokongnya menyentuh bantalan sofa. "Jelas ada masalah! Kenapa Tuan seenaknya memberikan libur pada sepupu hamba? Dia harus menghadiri pesta perayaan Porta terlebih dahulu, Tuan!" jelas sang Menteri. Hidung merahnya kembang kempis. Dirinya sekuat tenaga menahan agar suaranya tidak lebih tinggi lagi dari etiket yang seharusnya.
Mengabaikan ucapan yang terus keluar dari mulut sang Menteri, Marco memejamkan mata. Meskipun telinganya masih menangkap lanjutan perkataan sang Menteri, ia tidak terlalu memusingkan hal itu. Dibiarkannya sang Menteri berkicau hingga kelopak mata pemuda itu kembali terbuka tatkala tidak ada suara lagi yang terdengar. Pandangannya segera disambut tatapan tajam sang Menteri. Dan, ia kembali menyunggingkan senyum.
Marco bangkit dari kursinya. Kaki jenjang sang pangeran melangkah pelan menuju salah satu meja kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih teko perak, mengangkat dan menuangkan isi dari teko ke dalam dua buah goblet perak hingga masing-masing gelas terisi setengah. Dengan dua goblet di tangan, Marco berjalan menuju sofa. Salah satu gelas ia letakkan di atas meja kecil depan sang Menteri, sedangkan satunya tetap di tangannya.
"Putri satu-satunya Oscar," Marco mendudukkan dirinya pada sofa seberang sang Menteri, "akan segera melahirkan. Dia harus berangkat kemarin malam menuju Obfusta sebelum pulau itu kembali tertutup kabut. Apa jawaban ini cukup memuaskan?"
Sang Menteri kembali menghela napas, tampak tidak puas akan jawaban yang didengarnya. "Tuanku, menghadiri pesta perayaan Porta sebagai utusan Airez jauh lebih penting dibandingkan menemani putrinya di pulau seberang!" sanggahnya.
Marco menyeruput anggurnya sebelum meletakkan goblet perak tersebut di meja, menimbulkan suara denting--yang lebih keras dari seharusnya. "Bastien, Menteriku, kau tahu sendiri tahun lalu Oscar tidak dapat hadir di pernikahan putrinya karena jatuh sakit setelah tetap berusaha menyelesaikan pekerjaannya seperti orang gila. Sekarang putrinya akan melahirkan, aku tidak mau dia menyesal kedua kalinya saat melewatkan momen itu juga." Ia menatap mata pria paruh baya di hadapannya. "Oscar telah mengorbankan putrinya demi mempererat hubungan persahabatan antara Airez dan Obfusta."
"Tetapi tetap saja dia bisa menjenguk putrinya setelah acara, Tuanku." Bastien menghela napas, lagi. "Dan waktu pasti kelahiran bayinya juga tidak ada yang tahu," gumamnya, tetapi Marco masih bisa mendengar ucapannya.
"Tuanku," Bastien mengambil goblet yang telah disuguhkan Marco, "Paduka Raja sendiri yang memerin-- memberikan mandat pada Tuan Oscar sebagai utusan Airez untuk menggantikan beliau. Namun, Anda malah memberikannya libur untuk urusan pribadi."
Marco tersenyum tipis. Sebelah alisnya terangkat. "Apa kau juga mau libur?"
"Tentu--" bola mata Bastien terlihat ingin melompat keluar saat menyadari perkataan yang sudah setengah keluar dari mulutnya, "tentu saja tidak! Ya, tentu tidak! Sangat tidak! Se-seorang Wilass tidak akan pernah mendahulukan kepentingan pribadinya dibandingkan kerajaan! Tidak!"
"Benarkah? Padahal waktu ini kau mengabaikan suratku saat kau berada di kediaman Madam Wi--"
"Tuan Muda!" Bastien sontak berdiri dengan wajah yang lebih merah banding sebelumnya. "Tuan memanggil hamba saat malam hari! Surat Tuan sampai saat hamba ... kami--"
Penjelasan sang menteri terhenti tatkala melihat pemuda di hadapannya tertawa terbahak-bahak. Sangat puas. Marco bahkan sampai memegang perutnya seraya menunduk. Hiburan yang benar-benar menyenangkan di pagi sang pangeran. Tidak salah ia mengutus pelayan itu untuk membersihkan daerah sekitar tempat kerja Bastien dan membiarkannya meracau di sana.
"Tenang, Bastien, tenang." Marco menyandarkan punggung pada bantalan sofa ungu yang senada dengan pakaiannya. Beberapa kali ia berdeham untuk menghentikan tawa yang masih tersisa. Bola matanya langsung tertuju pada mata cokelat menteri kesayangannya itu. "Aku hanya menggodamu. Kembali duduk dan minumlah."
"Tuanku--"
"Soal Oscar, kau tidak perlu khawatir. Aku memerintahkan Oscar untuk menemani putrinya. Dia pergi atas perintah keluarga kerajaan."
Mata Bastien mengerjap. Dan, Marco tau apa yang sedang dipikirkannya. Sebelum pria paruh baya itu membuka mulut, Marco terlebih dahulu menyela.
"Tentu saja aku menariknya," jawab sang pangeran, masih mempertahankan senyum andalannya. "Kau lupa? Ayahku--sang Raja--memberikan kontrol penuh padaku selama dia pergi. Lagi. Semua perkataanku sama saja dengan perkataan Paduka. Perintahku adalah perintahnya."
Belum sempat Bastien berucap, Marco menukas, lagi. "Aku belum sempat memberikan surat Oscar padamu." Ia bangkit dari sofa, melangkah mendekati meja kerjanya. Tangannya membuka salah satu laci, mengeluarkan amplop seputih salju. "Sebenarnya Oscar ingin menyampaikan izin liburnya padamu secara pribadi, tetapi aku memerintahkannya untuk tidak perlu repot-repot. Kita tahu sendiri bagaimana tidak efektifnya balasanmu saat sudah bermalam di kediaman Madam--"
"La-lalu siapa yang akan menggantikan Oscar, Tuanku?"
Seulas senyuman kembali menghampiri bibir Marco. Sepertinya ia tidak perlu repot-repot menjelaskan alur kepergian Oscar lebih rinci ataupun menjawab pertanyaan lebih lanjut akan hal itu. Menteri di belakangnya kini berusaha mengganti topiknya, hanya karena sedikit singgungan tentang selir kesayangannya. Sepertinya Marco akan mengunjungi butik sang Madam dalam waktu dekat.
Sang pangeran membalikkan badan, kembali berjalan mendekati menteri paruh baya itu. Diletakannya surat putih di atas meja kecil, di tengah-tengah dua goblet yang isinya hampir menipis. Namun, sang menteri tidak menggubris surat dengan tinta hitam yang mengilap itu karena jawaban Marco atas pertanyaan Bastien berhasil membuatnya membeku sejenak.
"Pertanyaan yang bagus. Siapkan kopermu, Menteri. Kita akan berangkat ke Porta siang ini."
Kening Bastien mengerut. "Kita?"
Marco mengangguk. "Kita."
"Kita?" ulang Bastien, memastikan pendengarannya. Namun, senyuman tipis yang menghiasi wajah sang pangeran menandakan bahwa kupingnya masih berfungsi dengan normal. "Kita?"
"Kau Menteri Perhubungan, kenapa kau terlihat sangat terkejut?"
Bastien mengerjap. "Bukan itu masalahnya! Tuanku! Tuan masalahnya!" Pria paruh baya itu merentangkan kedua tangan ke depan--dengan telapak tangan menghadap atas, menunjuk Marco dengan semua jarinya. "Tuan belum debut! Bagaimana bisa Tuan menghadiri acara resmi? Tidak masuk akal!"
"Oh." Marco memejamkan mata. Benar sekali. Dirinya masih terlalu muda, selama usia delapan belas belum menghampirinya. Selama akhir musim dingin belum datang menutupi Airez dengan segala keputihannya.
"Tentu itu benar, Menteri." Perlahan, kelopak mata Marco kembali terbuka. "Untuk itu aku datang bukan sebagai Pangeran Mahkota Marco de Fydor." Senyuman tipis kembali terukir di wajahnya. Ia merogoh sesuatu di saku dalam jasnya sebelum menunjukkan hal yang digenggamnya itu pada lawan bicaranya.
Sebuah batu. Batu yang dihaluskan. Batu hitam berbentuk oval yang dilapisi beberapa biji kristal ungu. Batu dengan ukiran bubuk emas yang membentuk sebuah nama. Tanda pengenal seorang bangsawan.
"Katakan halo pada asisten barumu, Runo de Fydor."
Bastien kembali mengerjap, cukup lama hingga dia tersadar dan bangkit dari posisinya. "Pertama, hamba tidak mungkin membiarkan seorang Fydor menjadi bawahan hamba. Kedua ...." Bastien menghela napas.
"Sejak kapan ada Fydor bernama Runo, Tuanku?!"
Rona kemerahan mulai muncul, menambah warna pada langit yang telah menguning. Suara nyaring burung-burung laut mulai terdengar mendekat, kembali mengitari halaman istana untuk kedua kali seperti biasanya. Pun kebisingan yang semakin meningkat bersamaan dengan menggelapnya bumantara.
Kelopak mata putih yang sedari tadi tertutup kini perlahan terbuka, menampilkan netra ungu yang menatap sayu. Ia terdiam lama pada posisinya sebelum bangkit dari sofa, berjalan menuju sumber cahaya--pintu balkon yang setengah terbuka. Matanya mengerjap beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang masuk. Mentari senja yang menyambutnya tadi telah digantikan dengan rembulan kelabu yang berpendar pucat di antara hitamnya cakrawala. Sang pemuda mendesah. Bahkan Luanios juga tidak menyukai malam ini. Seakan-akan sang Dewa tahu betapa muramnya pesta ini nantinya.
Marco membalikkan badan, kini setengah bersandar pada pagar balkon setinggi pinggangnya itu. Matanya kembali terpejam. Dibiarkannya semilir angin memainkan rambut peraknya. Ia bahkan tidak terpengaruh akan keributan di sekitar aula istana yang suaranya terdengar hingga daerah sudut istana tempatnya berdiri kini. Sang pangeran menarik dalam-dalam napasnya. Bahkan bau asin Perairan Ventos masih terasa di balkon tempatnya menginap--kamar khusus milik Keluarga Kerajaan Airez di paviliun yang letaknya cukup tersembunyi di ujung taman mini Istana Albens.
"Yang Mulia?" Ketukan pintu yang diiringi suara Bastien berhasil membuat Marco membuka matanya.
Pintu terbuka, tepat saat mendapatkan izin dari pemilik kamar. "Hamba datang menghadap ...." Menteri dengan rona merah di wajahnya itu terdiam, tepat saat pintunya kembali tertutup. "Cahaya Luanios! Kamar macam apa ini?" Meskipun sinar rembulan menerangi kamar dari cela balkon, ia tetap meraba-raba tembok sekitar pintu, mencari sumber penerangan. Tangannya berhenti saat mendapati cekungan di tembok dengan tekstur dingin di tengahnya. Segera, ia menyentuh kristal besar di dalam cekungan itu dan berkata, "Nyala!"
Seketika, kristal berwarna kuning itu berpendar. Cahayanya terasa hangat, bahkan Bastien dapat merasakan kehangatan yang menjalar perlahan dari jari-jari, telapak tangan, dan terus mengalir ke dalam tubuhnya. Tidak hanya pada si bangsawan tua, energi hangat itu juga mulai memenuhi seluruh sudut ruangan, hingga seketika lenyap. Lenyap, bersamaan dengan munculnya cahaya-cahaya kecil di setiap lampu mewah yang tergantung.
"Lebih baik. Kukira energi magtro-nya habis," gumam Bastien. Ia melepas tangannya dari kristal cahaya. "Sudah lama kamar ini tidak ditempati--" Pandangannya jatuh pada balkon. Matanya sontak membulat saat menatap Marco yang dengan santainya bersandar pada pagar balkon. "Tuanku! Cepat jauhi balkon! Anda bisa terjatuh!"
Marco menaikan sebelah alis. Jatuh? Senyumnya mengembang seraya menyandarkan badannya lebih dalam, membuat menteri paruh baya itu semakin memelototkan mata dan berteriak seperti Ibu Asuh Marco yang sudah lama pensiun.
"Baik, baik." Marco berdiri tegak, mengangkat kedua tangannya seperti gestur menyerah. Melihat itu, Bastien akhirnya bisa bernapas lega setelah menahannya cukup lama.
Sang pangeran lalu melangkah menjauhi balkon. "Ada apa hingga kau mencariku, Menteri?" Ia mengambil jas ungu yang menggantung di tiang penggantungan emas. "Kalau untuk mengomeliku lagi, tolong simpan saja tenagamu. Aku akan segera siap," sambungnya lagi saat melihat Bastien hendak membuka mulut. Tangannya dengan cekatan memakai jas luar berhiaskan sulaman benang perak yang bermotif flora tersebut. Permata kuning yang tersebar di pakaian berbahan sutra itu bersinar terang saat terkena pantulan cahaya lampu.
Helaan napas terdengar. Hingga seketika matanya membelalak. Salamnya tadi terpotong! "Hamba datang menghadap Bulan Sabit Kerajaan!" Bastien memberikan penghormatan.
Marco tertawa. Tawa yang renyah dan entah kenapa terdengar sedikit menyebalkan di telinga sang lawan bicara.
"Apa Anda butuh bantuan?" Bastien melangkah mendekat saat melihat tuannya masih membenarkan pakaian formal yang akan ia pakai dalam samaran Runo.
"Membantuku?" Sang pangeran tersenyum lebar. "Aku, kan, hanya asisten, Tuan."
"Tuanku!"
Pemuda tujuh belas tahun itu terkekeh. Ia menggeleng pelan. "Tidak perlu. Pergilah terlebih dahulu, Bastien. Aku akan segera menyusul."
Kening Bastien mengerut. Meninggalkan Marco? Membiarkan sang Pewaris Takhta Airez berjalan sendirian tanpa pengawalan? Permintaan gila macam apa itu? Namun, sebelum ia sempat melayangkan protesnya, Marco terlebih dahulu menyela.
"Pestanya akan segera dimulai, bukan? Tidak baik jika kedua utusan Airez datang terlambat di hari di mana temperamen sang Ratu sedang sepanas musim panas Porta." Sang pangeran tersenyum. Namun, senyumnya meluntur saat melihat Bastien tidak menggubris candaannya. "Jangan khawatir, aku tidak mungkin kabur."
Bastien menghela napas. "Bukan itu! Bagaimana bisa hamba--"
"Tenang, Bastien, tenang. Tidak akan ada yang mau membunuhku di sini. Tidak ada gunanya. Aku bukan pewaris takhta Airez, hanya seorang asisten menteri, bukan?" Marco mengedip.
Menjadi anggota keluarga kerajaan yang belum melakukan debut tentu memberikan Marco keuntungan. Di Airez, kerajaannya sendiri, hanya segelintir orang yang tahu wajah asli sang pangeran. Apalagi di kerajaan yang bukan miliknya? Hanya keluarga sepupunya dan beberapa pelayan senior saja yang mengetahui rupa asli Marco di Istana Kaca ini. Namun, mereka tidak akan tahu ia di sini. Sudah terlalu lama mereka tidak melihat dirinya. Sudah satu dekade.
Bastien mendesah. Cukup lama mereka berbincang--beradu argumen--hingga akhirnya muncul kata andalan keluarga kerajaan. Dengan berat hati, sang menteri bersedia pergi terlebih dahulu. Tentu saja ia tidak bisa membantah sebuah perintah.
"Jangan lupa membawa hadiahnya!" seru Marco beberapa detik sebelum pintu tertutup.
"Hadiah," ulang pemuda itu. Namun, kali ini lebih terdengar seperti gumaman. Ia memiringkan kepala. Hadiah pertunangan sepupunya. Sang pangeran menghela napas. Jika bukan karena formalitas, Marco tidak akan pernah sudi memberikan hadiah pada orang menyebalkan itu. "Barang-barang Airez terlalu berharga untuk orang itu. Bahkan batu terburuk kami lebih bernilai!" Memikirkan wajahnya saja sudah membuat perutnya mulas. "Bagaimana kalau aku menghadiahkannya ular saja? Ular senang dengan ular, bukan?"
Ia terdiam, membayangkan kalau dirinya benar-benar memberikan ular sebagai hadiah. Satu gigitan ular merah cukup untuk membuat sepupunya pingsan untuk dua hari. Tidak buruk, bukan? Lagipula tidak mungkin ia dituduh, mana mungkin mereka percaya Airez mengirimkan hadiah macam itu terang-terangan pada kerajaan yang sudah susah payah mereka jalin hubungan.
"Tetapi itu masih kurang seru." Pemuda itu menggelengkan kepala, membuang jauh-jauh rencana buruknya. Lagipula tidak ada gunanya memikirkan ketidaksukaannya pada Liam saat ini. Suka maupun tidak, perayaan ini akan terus berjalan.
Sang pangeran melangkah menuju nakas emas. Diraihnya kotak kecil yang masih tertutup rapat dengan pita. Tangannya menarik ujung pita, membuka ikatan indah itu. Dibukanya tutup kotak, mengambil topeng ungu dengan bulu-bulu panjang di sisi kanan.
"Sebuah pesta topeng." Pemuda itu melirik kaca yang terpasang pada dinding di sebelahnya, memandang sepasang mata ungu yang balik menatapnya. Tangannya bergerak, memakai topeng yang menutupi setengah bagian atas wajahnya.
"Mari kita lihat seberapa menyenangkannya malam ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top