BAB VIII - BEDEBAH

Esmeralda memekik. Pemandangan apa yang baru saja ia saksikan?

"Nonaku!"

"Nona baik-baik saja?"

"Apa yang kalian lakukan? Cepat singkirkan mayat menjijikkan itu dari hadapan Nona!"

Tangan Esmeralda bergetar hebat. Mata bulatnya masih terpaku pada mayat yang tergeletak beberapa langkah di depannya. Belasan anak panah tertancap pada punggung dan betis lelaki yang kurang lebih berusia sembilan belas atau dua puluh tahun tersebut.

Kenapa?

"Nona!"

Jeritan para pelayan kembali terdengar saat tubuh Esmeralda terjatuh di atas tanah. Jemari sang bangsawan bergetar hebat. Ia baru saja turun dari kereta kuda untuk menghirup udara segar saat mayat laki-laki itu jatuh di depannya. Tepat di depannya.

Esmeralda memejamkan mata erat-erat. Gambaran horor yang terpampang nyata pada wajah lelaki yang baru dibunuh itu terputar jelas pada ingatan sang gadis. Mulut lelaki itu bahkan sempat bergerak sejenak sebelum akhirnya terbatuk-batuk dan menghela napas terakhirnya, menatap Esmeralda.

Kenapa?! Jemari sang gadis sontak meremas erat gaun hijau yang ia kenakan.

"Nona!" Para pelayan bergaun hijau lumut itu sontak ikut terduduk, mengelilingi tubuh majikan mereka yang masih belum mengatakan apapun.

"Apa Nona terluka?"

"Kau! Cepat bawakan air!"

"Nonaku! Tolong katakan sesuatu!"

Berbagai pertanyaan yang terus dilontarkan pelayan-pelayannya tidak membuat kondisi Esmeralda semakin membaik. Ingin sekali ia memerintahkan mereka untuk berhenti bertanya. Namun, belum sempat sang gadis membuka mulut, terdengar suara derap langkah kuda yang mendekati gerombolanya. Semakin cepat, semakin dekat. Hingga akhirnya Esmeralda dapat mendengar jelas ringkikan kuda-kuda tersebut saat mereka berjarak beberapa langkah di hadapannya.

Dua kavaleri berseragam merah gelap dengan corak hitam mendekati rombongan Esmeralda. Salah satu dari kesatria berkuda itu turun dari kuda hitamnya dan berjalan mendekati Esmeralda. Dibanding rekannya yang masih di atas kuda, pemuda berambut pirang itu berpakaian lebih mewah dengan jubah hitam di punggung yang menggantung dari bahu hingga lutut. Sekilas, matanya menatap rambut pirang dan mata hijau sang gadis bangsawan. Ia lalu melirik kereta mewah Esmeralda, melirik bendera keluarga Luzel yang berkibar jelas di atas kereta, sebelum pandangannya jatuh pada pengawal Esmeralda yang membeku di tempat, sedang dalam posisi menyeret mayat.

"Nona." Sang kesatria berjubah menganggukkan kepala dengan sopan. "Kami mendengar jeritan. Apa Nona dalam masalah?" Suara datarnya tertuju pada Esmeralda.

Mata Esmeralda mengerjap. Dua orang ini ... kesatria, bukan? Datang dari arah sana ... kesatria Airez!

"Kau!" Tiba-tiba Esmeralda bangkit dari posisinya. Suaranya terdengar lebih keras dari biasanya. Lebih takut. Lebih marah. Lebih ... menyedihkan. "Kau ... kau harus menemukan pelakunya! Pelakunya pasti masih disekitar sini! Kau harus menangkapnya!" Tanpa sadar ia bergerak mendekati sang kesatria, mengacungkan telunjuknya, "Kau harus!" mengabaikan tatapan horor dari para pelayan.

Sang kesatria tidak berkutik, bahkan tidak berkedip sekali pun. Ia sama sekali tidak terpengaruh akan sikap bangsawan di hadapannya. Iris kuningnya menangkap getaran kecil pada jari lentik Esmeralda yang berjarak berapa senti dari dagunya. Apa gadis itu berharap dirinya akan patuh pada perintah sang bangsawan jika bahkan Esmeralda sendiri tidak bisa mengendalikan jarinya--dirinya?

Pandangan sang kesatria beralih, kini menatap balik wajah gadis bangsawan yang sedikit lagi terlihat akan runtuh. Air mata menggumpal di ujung mata sang gadis. Mata hijau yang diselimuti ketakutan dan kemarahan. Mata hijau yang juga sedang menatap dirinya. Entah apa yang dihadapi putri keluarga Luzel itu, bangsawan di depannya sangat terguncang. Dan sang kesatria yakin, ketakutan Esmeralda bukanlah hanya karena kehadiran mayat yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Ada sesuatu yang lebih jauh. Mata hijau itu sedang bersembunyi, lari dari hal yang mengerikan.

Namun, itu bukan urusannya.

"Saya tidak bisa."

Jawaban yang diberikan sang kesatria membuat mata Esmeralda membulat. Penolakan. Penolakan terhadap perintahnya? Penolakan terhadap keluarga Luzel? Lancang!

"Aku Esmeralda la Luzel! Lancang sekali kau menolak perintahku!"

"Saya bukan kesatria Nona. Saya menolak perintah ini."

Apa? Butuh beberapa saat bagi sang bangsawan untuk mencerna kata-kata yang barusan didengarnya itu. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum kakinya sontak melangkah mendekati sang kesatria, menepis tangan kepala pelayan yang hendak menghentikannya. Apa katanya?!

"Aku Nona Luzel, Bangsawan Tinggi .... Maharaja sendiri yang meresmikan gelar keluargaku, aturan bangsawan biasa tidak berlaku untukku! Aku berhak memerintah kesatria keluarga lain! Siapa kau--"

"Ketua."

Suara serak yang memotong ucapannya sontak membuat Esmeralda membalikkan muka. "Siapa yang berani--"

Dan segera merutuki aksinya. Emosi yang tadi mengambil alih diri sang Nona kini berganti dengan rasa jijik. Entah sejak kapan sang kesatria berambut hitam turun dari kudanya dan kini berlutut di samping mayat lelaki--yang wajah buruknya terlihat lebih mengerikan akibat bekas seretan.

Para kesatria pengawal Nona Luzel yang tadi menyeret mayat itu berdiri menjauh. Mereka menyingkir, memberi jarak pada kesatria berseragam merah yang kini sibuk mengintropeksi setelah sebelumnya bertanya beberapa pertanyaan yang berhasil membuat pasukan keluarga Luzel itu berkeringat.

"Dia orangnya?" tanya kesatria bermata kuning, sang ketua, tanpa mengalihkan perhatiannya dari sisi kanan wajah Esmeralda.

Sang bawahan mengangguk mantap. "Tidak salah lagi." Dengan santai, ia mencabut satu anak panah yang tertancap di dada pemuda tidak bernyawa itu--yang sontak membuat Esmeralda memejamkan mata dan membuat rombongan pelayan sang bangsawan meringis.

"Tetapi ini bukan milik Unit Lima, Tuan."

Unit Lima? pikir Esmeralda. Familiar, tetapi ia tidak bisa mengingatnya di tengah ketidakstabilan pikirannya.

Namun, dibanding majikannya yang tidak mengingat nama itu, para kesatria Luzel sangat mengetahuinya dengan jelas. Bersamaan dengan angin yang tiba-tiba berembus, keempat pengawal itu mulai berkeringat dingin. Sebagai orang yang terjun di dunia pekerjaan yang sama, nama Unit Lima bukanlah nama yang bagus. Tidak, nama unit apapun itu tidaklah bagus selama memakai warna itu. Tidak ada hal yang bagus jika berkaitan dengan Kesatria Merah.

"Ketemu!" Seakan terpanggil, terdengar teriakan berat dari arah atas.

Teriakan yang berhasil mengambil perhatian rombongan yang berada di tengah jalan kecil yang jauh lebih rendah dibanding area tinggi hutan di sisi kanan dan kirinya--dengan tanah yang sangat miring. Dan dengan posisi tersebut, tentu para pengawal Esmeralda terpaksa mendongak, sebelum kembali membeku. Membeku saat melihat sang pemilik suara.

Meskipun berada cukup jauh di atas, pemilik suara berat itu terlihat jelas memakai tudung merah gelap yang menutupi setengah wajahnya. Seringaian terukir jelas dalam bibirnya, mungkin satu-satunya bagian wajah yang terlihat jelas. Tanpa basa-basi lagi, ia melompat ke bawah, terjun bebas. Namun sebelum kakinya menyentuh bebatuan jalan, ia berhenti.

Melayang.

Cahaya merah menyala dari jubah sang pemuda bertudung yang tersibak terkena angin. Sesuatu di pergelangan tangan kirinya bersinar. Cahayanya seterang api, sebelum perlahan meredup. Mengecil dan mengecil, hingga sepenuhnya hilang bersamaan dengan kakinya yang menginjak bebatuan jalan.

"Halo!" sapa sang pemuda bertudung. Kepalanya menggeleng ke kanan dan kiri, mengabsen satu persatu mahkluk hidup yang berdiri di sekitarnya--meskipun tudung jubahnya masih setia menutupi bagian atas wajahnya. "Ah! Hai, Pirang!" Ia menjentikkan jari ke arah kesatria yang tadi sempat beradu pandang dengan Esmeralda. "Aku ketinggalan apa?" tanyanya riang, kontras dengan suara berat khas lelaki dewasa. Tak lupa, seringaian mengerikan di wajahnya tidak luntur sedikitpun.

"Buruanmu sudah ketemu," jawab sang kesatria berambut kuning.

Sang pemuda bertudung melangkah ke tubuh tidak bernyawa yang tergeletak di tanah itu dan dengan entengnya menendang kaki sang mayat yang dipenuhi anak panah. "Benaran mati," ucapnya, masih dengan volume suara yang keras. Mangsanya mati. Mati di tangan orang lain. Dia pasti akan dicerca saat kembali ke markas. "Betapa menyenangkan! Sepertinya aku ketinggalan hal seru, ya?"

Sang pemuda bertudung berjongkok, mencabut salah satu anak panah yang menancap di betis sang mayat. "Hmm." Ia bersenandung sembari membolak-balikan anak panah di tangannya. Anak panah yang berasal dari ranting pohon hitam, terkanya. Normal. Standar. Membosankan. Ujungnya hanya diasah tajam dan memakai bulu unggas buruan. "Kalian yang membunuhnya?" Ia memiringkan kepalanya ke kiri.

Kesatria Esmeralda yang paling tinggi--satu-satunya yang mengenakan jubah hijau di antara ketiga rekannya--segera menyanggah. "Tidak!" serunya, diikuti dengan jawaban senada dari rekannya. Dengan segala keberanian, sang kesatria berjubah hijau itu berjalan mendekat. "Kami tidak tahu apa-apa! Kami menemukan mayat itu terjatuh dari atas ke kereta Nona kami! Kami sama sekali tidak membunuh mang--"

Tertawa.

Sang pemuda bertudung tertawa. Tawa yang cukup lama hingga membuat sang lawan bicara menutup mulutnya rapat-rapat. "Ha! Sungguh lucu ... harusnya kalian marah," ucap pemuda bertudung itu di sela tawanya. "Mana mungkin kesatria dari keluarga dengan tambang permata terbesar di Thersaga memakai panah seburuk ini!" Ia meremas senjata berbahan kayu itu, cukup kuat hingga mematahkan anak panah itu menjadi dua bagian. "Dan kalian malah mencicit seperti tikus." Ia tersenyum, menyeringai. Seringai yang membuat bulu kuduk sang kesatria berjubah hijau berdiri. "Apa kalian benar kesatria? Atau kalian hanya kesatria?"

Sebuah penghinaan. Penghinaan secara terang-terangan. Dan sayangnya, para pengawal Esmeralda terlambat menyadari hal itu. Harga diri mereka--dan secara tidak langsung, harga diri tuannya--sudah diinjak. Hal yang tidak termaafkan. Hal yang tidak sepantasnya dilepaskan. Hal yang sayang sekali tidak bisa mereka balas saat ini.

Ketiga rekan sang kesatria berjubah hijau mengalihkan pandangan mereka, menjauhi tatapan pemuda bertudung. Mereka memilih diam, merutuki kebodohan sekaligus ketidakberanian dalam membalas. Diam memohon maaf terhadap tuannya dalam lubuk hati terdalam. Karena untuk kali ini, untuk saat ini, mereka lebih memilih dihukum dan diolok sementara daripada berhadapan dengan pemuda di depan mereka.

Namun, berbanding dengan rekannya yang menatap lurus ke arah lain, mata sang kesatria berjubah hijau membulat sempurna tatkala mendengar kata-kata hina yang terlontar. Perkataan yang sontak membuat tangan kirinya meraih ganggang pedang di sabuknya. Perkataan yang membuat ia membuka mulut, tetapi langsung ditahan oleh tatapan mata salah satu rekannya yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping kirinya. Tatapan penuh arti yang dibalas dengan tatapan penuh tanya milik sang kesatria berjubah hijau. Tatapan yang berhasil membuat sang kesatria berjubah hijau melepaskan ganggang pedang yang ia genggam. Ia memalingkan wajah dengan alis yang mengerut. Ia turut bungkam seperti rekannya yang lain.

Sikap yang memalukan. Begitu memalukan. Sikap yang melebarkan seringai sang pemuda bertudung.

"Lan-lancang sekali!"

Umpatan yang seharusnya terdengar keras dan tajam malah terdengar menyedihkan. Namun, karena itulah Esmeralda berhasil menarik atensi para kesatria di depannya. Membuat sang pemuda bertudung bangkit dan membalikkan badan ke arahnya.

Esmeralda mengepalkan tangan, meremas gaun yang ia kenakan. Emosinya kembali meluap. Sedari tadi tamu tidak diundang itu membuka mulutnya tanpa sopan santun terlebih dahulu meskipun mengetahui status sang bangsawan. Dan kini, sama seperti dua kesatria berkuda sebelumnya, pemuda bertudung itu dengan lancangnya menghina keluarga Luzel di hadapannya!

"Lancang sekali! Beraninya ... beraninya kau juga menghina keluarga Luzel di hadapanku! Memangnya kau siapa?!"

Bukannya menunduk atau memohon maaf, sang pemuda bertudung malah tetap setia dengan seringai lebarnya. Namun kini, seringainya lebih tidak menyeramkan. Seringai yang geli. Mengejek. "Nona, kalau kau ingin memarahiku, setidaknya lakukan dengan benar. Tunjukkan wibawamu, bukan dengan linangan air mata. Tangisanmu tidak berpengaruh bagiku."

Apa?

Mata Esmeralda membulat sebelum merasakan sensasi panas yang mengalir di pipi kiri. Orang itu benar. Entah sejak kapan air matanya menetes tanpa sepengetahuan tuannya. Mati-matian ia menahan air matanya sejak tadi tidak membuahkan hasil manis. Air matanya berhasil keluar, terlebih di depan pemuda lancang itu.

Kenapa?

Habis sudah harga diri yang sang gadis pertahankan.

Kesatria berambut kuning dan bawahannya--kini telah berdiri di sampingnya--hanya menghela napas melihat pertikaian yang terjadi. Sang ketua bisa saja menghentikan hal yang sangat tidak berguna ini, tetapi itu bukan urusannya. Lalu sang bawahan hanya mengikuti perintah, yang sekarang perintahnya adalah diam dan menonton.

Suara decakan terdengar. "Kalau kau berharap aku bersujud meminta maaf blablabla," si pria bertudung mengibaskan tangan, "maka kau tidak berhasil. Aku tidak menerima perintah dari nona muda sepertimu."

Apa? Mulut sang gadis menganga. Ia kehilangan kata-kata.

"Perhatikan perkataanmu, Tuan." Adalah suara yang terlambat dihentikan oleh rekan yang berdiri di samping kesatria berjubah hijau. Ia menatap horor ke arah sang kesatria berjubah hijau yang baru saja membuka mulut dan melontarkan pernyataan keras tersebut. Dilihatnya percikan api, ancaman, pada sorot mata rekan paling tinggi itu. Hilang sudah keraguan yang tadi ia tampilkan tatkala menahan diri untuk tidak membalas hinaan sang pemuda bertudung yang menghina kehormatan rombongan Luzel.

Sang pemuda bertudung memiringkan kepalanya, melirik kesatria Luzel yang baru saja bersua. Sebelah alisnya terangkat saat berkata, "Oh! Kau akhirnya bicara lagi! Kukira lidahmu sudah tak berfungsi." Sindiran yang mendapat respon yang sama dari sang lawan bicara.

"Harap ingat posisimu." Segala keraguan sang kesatria berjubah hijau menghilang bersamaan dengan terbukanya mulutnya. Penghinaan terhadap dirinya masih bisa ia tahan, tetapi tidak untuk tuannya. Persetan jika dia kehilangan kepalanya dalam duel jika itu bayaran dalam menjaga kehormatan sang nona. "Kau bicara dengan putri keluarga Luzel. Bicaralah layaknya kaum terhormat."

Mendengar ucapan lanjutan si kesatria berjubah hijau membuat pemuda bertudung itu menyeringai lebar. Lama ia menghadap si lawan bicara yang lebih tinggi dari dirinya itu. Terlalu lama, hingga membuat ketiga kesatria Esmeralda yang lain menelan ludah mereka. Namun, tidak dengan sang kesatria berjubah hijau. Kesatria tinggi itu menatap balik wajah setengah tertutup si pemuda bertudung. Menatap balik meskipun bulu kuduk sang kesatria kembali merinding.

"Kau beruntung." Sang pemuda bertudung mengangkat sebelah bahunya dengan kasual, memutus pandangannya dari kesatria berjubah hijau. Gerakan yang mengagetkan kesatria berjubah hijau yang sudah mempersiapkan nyawa untuk berduel. "Beruntung aku terhibur."

Sang pemuda bertudung kembali menghadap Esmeralda, menguap--membuat sang gadis bangsawan kembali membulatkan mata. "Omong-omong, Nona Muda, statusmu lebih dari cukup untuk menggunakan Jalur Khusus yang jauh lebih aman. Apa yang menyebabkan seorang Nona Bangsawan Tinggi berada di Jalur Lama? Apa kau menyembunyikan mayat di keretamu?" Tanyanya tiba-tiba dengan nada yang gembira. Ia menunjuk kereta mewah Esmeralda dengan jari telunjuk. "Atau kau habis bersenang-senang dengan kekasih jelata--"

"Lancang!" Cukup sudah. Esmeralda tidak tahan lagi. Sedetik setelah seruannya, begitu cepat bahkan sang kesatria berjubah hijau belum sempat bersua, Esmeralda mulai melangkah mendekati si pemuda lancang, menghiraukan para pelayannya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sekilas, benar-benar sekilas, mata kiri sang pemuda saat tudungnya tersibak angin.

Merah. Gelap. Mengerikan.

Melihat Esmeralda yang berhenti bergerak membuat seringaian sang pemuda melebar. Sudah lama ia tidak terhibur seperti ini. Namun sayang, ia tidak bisa mempermainkan gadis di depannya lebih lanjut, tugas barunya telah menunggu. "Sayang sekali."

Tangan sang pemuda merogoh sesuatu di balik jubahnya sebelum badannya berbalik. Ia menarik tangannya saat mendapatkan sesuatu yang ia cari dan membuka kepalan tangannya di atas tubuh tidak bernyawa mangsanya. Butiran merah semacam pasir jatuh berhamburan dari tangannya, sebelum menghilang saat menyentuh tubuh sang mayat.

Dalam sekejap, mayat itu bangkit. Wajahnya masih membeku, tetap menganga lebar dan mendelik horor.

Esmeralda memekik. Pun para pelayan dan pengawalnya.

"Semenyenangkan pertemuan ini, aku tetap tidak bisa berlama-lama di sini. Pirang, kau," sang pemuda bertudung bergiliran menunjuk dua orang kesatria yang sedari tadi diam menonton, "juga harus ikut denganku mencari Carlos."

Kesatria berambut pirang dan bawahannya tidak membalas ucapan pemuda itu. Namun, mereka tetap bergerak kembali menaiki kuda setelah mengangguk sopan pada Esmeralda yang masih memproses keadaan.

"Senang bertemu denganmu, Nona Muda! Kau juga, Jubah Hijau!" Sang pemuda bertudung melambaikan tangan kanannya dan melangkah pergi--diikuti oleh mayat hidup yang bergerak pincang. "Ah!" Ia menghentikan langkahnya dan berbalik--membuat sang mayat hidup berbalik juga. "Aku sarankan kau melanjutkan perjalanan di Jalur Baru. Kudengar ada kawanan bandit baru yang mendirikan kemah di sekitar sini. Tidak lucu jika nanti kau mati setelah kami pergi." Seringaian kembali terukir di wajahnya sebelum ia kembali berjalan. "Tidak, itu lucu juga, sih."

Esmeralda hendak membalas. Namun ucapan terakhir yang di lontarkan sang pemuda bertudung berhasil membungkam mulutnya.

"Hampir lupa! Ini saran terakhir yang akan aku berikan. Terakhir! Lain kali, jangan mengambil jalan yang kau sendiri tidak tahu bagaimana, Nona. Sekarang mungkin anak panah ini menancap pada mayat di depanmu, tetapi lain kali," seringai sang pemuda bertudung melebar, "bisa saja ia menancap tepat di dadamu."

Esmeralda kembali meremas ujung gaun hijaunya.

"Kembalilah ke jalan berbungamu, Nona Luzel."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top