BAB VII - MASALAH KECIL
Liam melangkah cepat menuju Balkon Besar. Cordelia la Maranth berkunjung ke Porta? Aneh, kenapa tidak ada yang memberi tahunya? Atau Liam saja yang tidak sadar? Kencan bersama Esmeralda kemarin membuat dirinya harus bangun sebelum matahari terbit dan pergi--mengendap--keluar dari istana sebelum Kane bangun. Menginspeksi daerah utara Porta, alasannya. Ia pun kembali cukup malam dan langsung tidur setiba merebahkan diri di atas kasur empuknya. Jika diingat kembali, dirinya tidak sempat membaca surat-surat yang berserakan di atas meja kerjanya. Surat tentang kedatangan Cordelia pasti ada di meja itu.
Sial. Liam merutuki kecerobohan yang ia perbuat.
Liam menambah kecepatan langkahnya, membuat Kane terpaksa berlari kecil mengejar pangeran berkaki panjang itu, juga membuat Kane sedikit kesal karena harus berolahraga ria di pagi yang terik ini. Matahari Porta menyinari balkon panjang tempat mereka berjalan, memberikan kehangatan pada tubuh dua pemuda yang terpapar langsung akan panas sinarnya. Meskipun seumur hidupnya tinggal dan besar di Porta, Kane termasuk dalam sedikit orang yang tidak begitu menyukai paparan sinar matahari di kulitnya. Cukup aneh untuk ukuran orang Porta.
"Kane." Ucapan Liam membuat Kane mengalihkan pikirannya dari sinar matahari menuju sang pangeran yang kini sudah berjalan cukup jauh dari dirinya. "Apa dia sudah tiba di Balkon Besar?"
"Tentu belum, Yang Mulia." Kane mempercepat langkahnya. "Saya akan memanggilnya saat Anda sudah siap di Balkon Besar. Kita yang mengadakan perjamuan, maka kita harus berada di Balkon Besar terlebih dahulu," lanjut Kane saat ia berhasil memperpendek jarak antar dirinya dengan Liam.
Liam menghentikan langkahnya saat mendengar jawaban Kane. Tentu saja. Ia mengembuskan napas. "Cepat pergi dan bawa dia. Aku tidak suka menunggu lama." Sang pangeran kembali melanjutkan langkahnya.
"Tapi saya belum mengantar Anda sampai ke--"
"Balkon Besar ada di balik pintu ini! Pergi sekarang!"
Liam membuka pintu kaca dengan gusar sebelum membantingnya. Untung saja kaca berwarna kuning itu telah dilapisi oleh Kristal Sihir, sehingga tidak akan pernah retak seberapa sering Liam membanting pintu berharga kesayangan sang Ratu.
"Matahari Porta menyambut Anda, Yang Mulia."
Liam mengabaikan salam beberapa pelayan muda yang berdiri kaku di ujung balkon. Pandangan pemuda itu hanya melirik sekilas tiga badan mereka yang menunduk memberikan hormat. Baju yang mereka kenakan terlihat bersinar di bawah hangatnya sinar matahari Porta yang menyinari seluruh sisi balkon.
Salah satu pelayan menghampiri pangeran berusia dua puluh tahun itu, menuntunnya menuju kursi empuk yang telah disediakan. Jemari mungil pelayan berkucir kuda itu sedikit bergetar, tetapi dengan telaten ia membantu Liam duduk dan menyiapkan piring sang pangeran muda. Bukan pelayan baru, bukan juga pelayan lama. Liam duga dia berada di tingkat kedua.
"Berapa pelayan senior yang tersisa di istana?"
"Ya?" ucap spontan sang pelayan. "Ah, hanya rombongan pelayan Yang Mulia Ratu dan Yang Mulia Putri Bungsu. Sisanya diberikan izin libur selama dua hari, Yang Mulia."
Liam tidak membalas jawaban yang ia dengar. Keheningan yang diberikan Liam adalah kode bagi sang pelayan untuk meninggalkan Liam dan kembali berdiri di ujung balkon.
Waktu terus berjalan. Kicauan burung-burung terdengar menjauh dari tempatnya duduk. Suara detak jantung para pelayan di pojok balkon mungkin dapat terdengar lebih jelas akibat kesunyian yang perlahan melanda Balkon Besar. Dan sampai sekarang, tidak kunjung ada tanda kedatangan Cordelia.
Liam hampir saja akan menuangkan air berkilau ke dalam cangkirnya tanpa menunggu kedatangan sang tamu saat suara Kane terdengar diiringi pintu balkon yang terbuka.
"Yang Terhormat Cordelia la Maranth telah tiba!"
Liam bangkit dari kursinya dan menatap gadis bangsawan Airez yang berjalan anggun memasuki area balkon.
Cordelia tampil menawan dalam balutan gaun merah darah. Gaun bervolume kecil dengan bahan katun yang tipis, berlengan pendek setengah siku, dan bergaris leher segitiga terbalik menjadi busana pilihan yang ia kenakan untuk menghadiri jamuan kecil bersama sang Pangeran Porta. Sepasang anting bertakhtakan magtro yang disulap menyerupai permata merah berbentuk tetesan air pun menggantung indah di telinga sang gadis. Sehelai syal berwarna senada dengan mata biru Cordelia terlilit di pergelangan lengan sang bangsawan. Sebuah penampilan sederhana, tetapi elegan, khas gadis bangsawan Porta, jika saja kepala Cordelia tidak dihiasi oleh topi besar berhiaskan permata dan bulu-bulu merah--aksesoris yang sering dipakai bangsawan Airez.
Kedatangan Cordelia yang penuh dengan warna merah, memberikan kontras terhadap Balkon Besar dan segala isinya yang berwarna kuning dan biru muda; termasuk Liam. Sang pangeran mengenakan setelan pakaian sehari-hari seorang bangsawan Porta. Tubuh kekar Liam dibalut kemeja sekuning pasir Perairan Ventos dan rompi sebiru langit tanpa awan, dengan celana selutut berwarna biru yang senada. Kerah kemeja berbahan sedikit transparan itu dihiasi oleh dasi biru yang dibentuk menyerupai pita, dikaitkan oleh pin kecil bertakhtakan mutiara emas sebesar telur burung laut dengan simbol burung bersayap empat, golda, yang terbang membelah air--simbol Kerajaan Porta. Manset pada lengan kemeja dan ujung celananya juga tersemat pin emas dengan lambang yang sama. Rompi berkerah ganda dengan bahan yang lebih tebal dari kemeja tidak memiliki hiasan apapun, dibiarkan terbuka tanpa dikancing. Sepatu bot rendah tanpa hak bewarna biru dan kaus kaki kuning dengan panjang menyentuh ujung celana membalut kaki panjang Liam. Penampilannya ditutup dengan sebuah anting mutiara emas yang tergantung pada lubang anting di telinga kirinya. Tampilan yang cukup sederhana untuk ukuran seorang pangeran menurut standar Airez, tetapi layak bagi standar Porta.
"Matahari Porta menyambut pagi Anda, Yang Mulia Pangeran." Cordelia segera memberikan hormat ala Porta; kaki kiri diposisikan di depan kaki kanan, lutut ditekuk, kepala menunduk, dan menyatukan kedua tangan depan pinggang. Sebuah senyuman anggun nan manis terukir di wajah yang dapat membuat laki-laki berpaling. "Saya sangat senang telah diundang dalam perjamuan ini."
"Saya jauh lebih senang karena Yang Terhormat Cordelia telah hadir dalam perjamuan ini," balas Liam dengan penghormatan yang sama. Status kebangsawanan Cordelia membuat diri mereka berdua berada di strata sosial yang sama--bahkan dibeberapa kesempatan, Cordelia memiliki status yang lebih tinggi. Bukan rahasia umum bahwa posisi Kerajaan Airez berada sedikit di atas posisi tiga kerajaan yang lain, mengingat Maharaja sendiri berasal dari Kerajaan di Atas Tebing itu. Suatu hal yang cukup mengesalkan bagi Liam, melihat para bangsawan Airez berada sedikit di atas kerajaan lain bukanlah pemandangan yang indah.
Bangsawan Tinggi Airez--Cordelia--setara dengan para pangeran dan putri ketiga keluarga kerajaan lain yang bukan pewaris, seperti diri Liam. Yang Terhormat adalah gelar spesial yang diberikan sang Ratu Porta selama mereka ada dalam wilayah kekuasaan Porta, berbeda dengan gelar Yang Terpandang milik bangsawan biasa. Gelar yang bagi Liam mengundang pertikaian tidak berguna.
Sang pangeran ikut menundukkan kepala dengan tangan kanan berada di depan dada. Tidak lama, kepalanya lalu terangkat, bersamaan dengan Cordelia yang kembali berdiri tegak. Ia mengulurkan tangan kiri yang segera di sambut oleh tangan kanan Cordelia. Badan sang pangeran menunduk, mengecup punggung tangan sang gadis.
Liam lalu menuntun Cordelia menuju kursi yang telah disiapkan. "Anda telah menempuh perjalanan yang panjang. Semoga kudapan khas Porta ini dapat mengobati rasa lelah Anda. Saya telah menyiapkan seluruh kesukaan Anda." Sebuah kebohongan mutlak. Liam bahkan bukan orang yang membuat perjamuan ini, terlebih mengatur menunya. Bahkan dia baru tahu beberapa menit yang lalu!
"Terima kasih. Anda sangat pengertian, Yang Mulia." Kebohongan terucap dari bibir Cordelia. Tentu Cordelia tahu bahwa semua ini adalah ulah Kane. "Saya tersanjung Anda mengingat kesukaan saya!"
"Mana mungkin saya lupa, Yang Terhormat," balasnya. Tentang preferensi makanan sang gadis bangsawan, Liam memang tidak sepenuhnya lupa. Saat ia duduk sembari menunggu kedatangan Cordelia, pandangannya meneliti setiap hidangan yang disediakan di atas meja. Kudapan-kudapan beraneka warna dan bentuk tersusun indah di piring-piring porselen kuning. Selain kue bintang yang selalu Liam makan, kue-kue yang tersedia cenderung memiliki rasa netral ataupun pahit. Dan jika diingat lagi, Cordelia selalu memakan salah satu--atau dua--dari kudapan khas tersebut setiap ia berkunjung ke Istana Albens.
Mengerikan juga saat Kane mengingat semua kesukaan tamu-tamu yang pernah berkunjung ke sini.
Liam menyingkirkan pikiran tidak penting itu sejenak di kepalanya dan segera menuangkan air berkilau khas Porta ke cangkir porselen Cordelia sebelum ke cangkirnya sendiri. Aroma menyegarkan memenuhi hidung Liam saat ia mendekatkan cangkir minumnya ke mulutnya. Sensasi dingin namun menyegarkan seketika muncul saat minuman khas kerajaannya itu mengalir menuruni kerongkongannya. Tidak peduli seberapa kesal maupun kacaunya dia, minuman ini selalu berhasil menenangkan Liam. Minuman yang selalu hadir di sisinya setiap terdapat perjamuan dan pertemuan--yang tidak pernah Liam sukai.
Cordelia melirik wajah pemuda di hadapannya dari sorot matanya. Ia meletakkan cangkir minumnya dan mengeluarkan sebuah surat. Amplop dengan segel keluarga Maranth. Ia meletakkan amplop tersebut di atas meja dan mendorongnya pelan.
Liam mengambil surat yang ditunjukkan padanya dan membukanya dengan cekatan. Matanya bergerak menuruni, membaca setiap kata demi kata tanpa terlewatkan. Sang pangeran menutup lembaran kertas berwarna merah itu sebelum suara pelannya terdengar, memberi perintah, "Tinggalkan kami."
"Yang Mulia, Yang Terhomat." Para pelayan yang sedari tadi berdiri kaku di ujung balkon kini membungkuk hormat dan bergegas meninggalkan balkon.
Liam terdiam sejenak hingga suara pintu terdengar tertutup. Ia menatap Cordelia yang tersenyum tawar.
"Saya benci harus membawa kabar buruk ini saat pertemuan pertama kita setelah sekian lama, Yang Mulia, tetapi apa boleh buat. Ini perintah langsung dari Paduka Raja Airez," ucap Cordelia tanpa mengalihkan pandangannya. "Sesuai surat yang saya tulis beberapa hari lalu, saya akan menjelaskan sebuah masalah kecil yang menganggu tidur saya dengan lebih rinci sekarang."
Liam terdiam sejenak. Ah, ia ingat. Surat Cordelia yang belum sempat dirinya baca. Ternyata ini? Liam menarik napas. "Ini ... tidak biasa, Yang Terhormat." Benar-benar tidak biasa. Dirinya mengira itu hanya surat kedatangan untuk mengunjungi istana seperti biasanya.
Cordelia mengangguk pelan. "Benar, Yang Mulia. Biasanya kakakku, Carlos la Maranth lah yang mengurus hal ini. Namun sayang, dia tidak dapat berkunjung ke Porta karena harus mengurusi hal mendesak di perbatasan. Ayahku, Tuan Maranth, tidak bisa berkunjung ke sini karena akan menimbulkan pertanyaan besar di kalangan kedua kerajaan--Kenapa Komandan Satu Airez berkunjung ke Porta di musim yang indah ini?"
Cordelia kembali meminum cangkirnya sebelum melanjutkan, "Paduka Raja Airez meminta untuk menyelesaikan masalah kecil ini secara rahasia--menimbang perdamaian yang belum lama terjalin serta hubungan kita. Itu sebabnya saya, Cordelia la Maranth, ditunjuk untuk menyampaikan masalah ini kepada Yang Mulia Pangeran Liam Ventos."
Senyuman di bibir Cordelia terukir saat berkata, "Hubungan baik kita berdua dan kunjungan reguler saya ke Porta selama ini tidak akan membuat orang curiga akan kedatangan saya."
Liam masih terdiam, mendengar dengan saksama. Keheningan yang diberikan Liam membuat Cordelia kembali melanjutkan penjelasannya.
"Penyusupan, Yang Mulia."
"Penyusup?"
Cordelia mengangguk kecil. "Beberapa orang Porta ditemukan di daerah pinggiran selatan Airez tanpa izin membawa beberapa emas dan surat. Tiga di antara mereka ternyata adalah budak yang kabur, sedangkan duanya lagi adalah mantan prajurit rendahan. Kelima orang tersebut berasal dari daerah yang sama, desa perbatasan Porta sebelah selatan di bawah pimpinan Tuan Crugel." Seulas senyuman tawar tersemat di wajah sang gadis. "Mereka mengaku bahwa mereka tidak tahan dengan kehidupan mereka dan kabur ke Airez untuk memulai hidup baru."
Sebuah pilihan yang bodoh. Liam menyeruput minumannya. Pilihan bodoh untuk lari ke Airez. Sebodoh itukah rakyatnya? Tidak, tidak. Apa ini skenario Alesander Crugel? Liam mendengar dari Kanselir bahwa tuan tanah itu baru-baru ini tergabung dalam fraksi yang menentang penyatuan Porta-Airez. Tentu saja, Liam yakin gadis muda di hadapannya tidak tahu.
Liam meminum air dalam cangkirnya. "Orang Porta memasuki wilayah Airez tanpa izin," ucapnya menyimpulkan. "Sudah dipastikan harus membayar kejahatan mereka. Tapi kalian tidak bisa menghukumnya tanpa sepengetahuan kami karena kelima orang tersebut," Liam menaruh kembali cangkirnya, "adalah properti Porta."
Cordelia mengangguk kecil. Budak pada umumnya tidak begitu memiliki kebebasan atas hidup karena hidup mereka dari lahir hingga mati akan diatur dalam peraturan perbudakan. Mereka masih dianggap sebagai rakyat, dan masih bisa naik ke status yang lebih tinggi jika memenuhi beberapa persyaratan. Namun, Porta memiliki sistem hukum yang berbeda dari Airez.
Properti.
Para budak di Porta diperlakukan jauh lebih buruk dari budak kerajaan lain. Karena telah melepaskan status kemanusiaannya saat mendapat cap budak dan langsung menjadi properti kerajaan dan pemiliknya kelak, hidup budak Porta tidak ada harganya. Hukum keadilan tidak berlaku untuk kaum mereka. Mereka tidak dianggap selayaknya manusia, apalagi sebagai rakyat. Hanya barang rongsokan yang dapat dibuang kapanpun.
Hal yang sama berlaku pada prajurit rendahan, hidup dan mati mereka menjadi milik kerajaan--atau keluarga bangsawan--saat mereka telah mengatakan sumpah prajurit mereka. Mereka akan mendapatkan kebebasan hidup mereka kembali saat naik pangkat menjadi prajurit biasa. Namun, hal tersebut jarang sekali terjadi karena orang-orang yang menjadi prajurit rendahan biasanya berasal dari kalangan budak atau rakyat miskin.
Cordelia menyeruput minumannya. Airez, bukan, keluarganya dapat saja menyingkirkan mereka diam-diam tanpa harus melaporkannya pada Porta seperti sekarang. Jauh lebih cepat dan efektif, meskipun itu melanggar hukum jika ketahuan. Hukum Thersaga melarang kerajaan lain menyentuh properti yang bukan miliknya. Sangat fatal bila ini terdengar di telinga sang Maharaja, jika terdengar tentu saja. Hanya saja, salah seorang prajurit membuat rencana awal menjadi ... sedikit berantakan.
Terima kasih atas pelajaran semasa kecil yang ia terima di Istana Albens, Cordelia menyadari di badan salah satu prajurit terdapat tanda kepemilikan khusus; tanda yang mengikatnya dengan pemilik khususnya. Tanda yang hanya dapat diberikan oleh anggota keluarga Crugel. Tanda itu memberi tahu pemiliknya jika terjadi sesuatu yang menimpa nyawa orang yang ditandai. Dikarenakan prosesnya yang sulit, biasanya hanya kesatria atau prajurit kesayangan tuannya yang mendapat tanda ini. Cordelia kurang tahu kenapa seorang prajurit rendahan memilikinya--meskipun ada beberapa dugaan yang muncul di benaknya, jebakan salah satu contohnya. Yang pasti, Airez tidak dapat membunuh prajurit itu tanpa ketahuan oleh sang pemilik khusus.
Pemilik khusus tersebut akan langsung mengetahui secara detail kronologis kematian sang prajurit. Siapa yang membunuh dan di mana terbunuh, ia akan tahu dan dapat memvisualisasikannya seperti ilusi ke hadapan orang yang diinginkan. Dan, itu bisa menjadi hal yang mengancam reputasi keluarga Maranth yang ketahuan melanggar hukum Maharaja di mata kerajaan lain, terlebih di mata Porta.
Liam menatap mata biru sang lawan bicara. "Baiklah." Sang pangeran akhirnya bersua. "Atas izinku, Airez bebas menghukum mereka, tapi tidak menghabisi nyawa mereka. Setelah itu mereka akan kembali ke Porta dan kami yang akan menanganinya. Budak dan prajurit yang kabur adalah kejahatan besar terhadap kerajaan dan mereka harus membayar kejahatannya pada Porta. Kami akan mengirimkan kepala mereka secepatnya."
Cordelia hanya tersenyum tawar. Akan ada kepala-kepala bandit baru yang akan ditancap di perbatasan. Namun, bukan itu saja hal yang ingin dibahas. "Terima kasih atas kerja sama Anda," ia meletakkan kembali cangkir minum yang isi dalamnya berkurang setengah, "tetapi bukan itu masalah sebenarnya, Yang Mulia."
"Bukan itu masalah kecilnya, Yang Terhormat?" Liam mengikuti gerakan jemari Cordelia yang mengambil kudapan pahit dan membawa ke depan mulut, tepat berhenti sebelum mulutnya terbuka untuk memakan. Liam terdiam, Cordelia tidak kunjung memakan kudapannya. Pandangan sang pangeran naik, menatap bola mata biru pucat Cordelia yang balas menatapnya. Tidak. Liam sepertinya tidak akan menyukai kemana arah percakapan ini berlanjut.
"Katakan, Yang Mulia. Bukankah hal itu bisa kami sampaikan melalui surat resmi saja?"
Liam tidak menjawab, tidak perlu menjawab. Matanya berfokus pada seulas senyuman yang terukir di bibir merah sang gadis. Senyuman lembut yang setengahnya tertutupi oleh kudapan sehitam rambut sang pangeran. Senyuman lembut yang sangat cocok didampingi suara manis sang gadis. Hingga perkataan Cordelia selanjutnya benar-benar berkebalikan dengan semua itu.
"Mereka membawa surat yang diambil dari kediaman Crugel, dokumen-dokumen yang mereka sendiri bersumpah pada Dewi bahwa mereka tidak mengetahui isinya." Ucapan para penyusup inilah yang menyebabkan keraguan di hati Cordelia. Keraguan akan motif para penyusup. Benarkah mereka kabur atas keinginan mereka sendiri? Atau ini memang sebuah jebakan? Namun, ini terlalu berisiko. Sangat berisiko.
"Anda tahu isi suratnya?" Cordelia menjauhkan kudapan yang ia pegang. "Perjanjian Magdalene."
Seketika ekspresi Liam menggelap. Perjanjian Magdalene. Perjanjian terkutuk yang seharusnya sudah musnah bersamaan dengan kapal-kapal Magdalene. Perjanjian yang seharusnya tidak pernah ada antara keluarga Ventos dengan keluarga Magdalene.
Cordelia membuka topi besarnya, meletakkannya di pangkuan dengan posisi terbalik. Tangan kanannya merogoh ke dalam topi, menarik beberapa pita yang entah Liam tahu apa fungsinya di dalam cekungan topi.
"Sumpah bagi rakyat adalah hal yang sakral, Yang Mulia. Budak-budak itu bisa saja berbohong, tetapi ...." Cordelia meletakkan beberapa kertas yang menguning ke hadapan Liam. "Paduka Raja Airez menyarankan agar Anda berhati-hati dengan keluarga Crugel. Anda beruntung tidak banyak yang tahu tentang perjanjian ini, ataupun tidak banyak yang tahu bahasa Ilibrean di seluruh penjuru Thersaga."
"Perjanjian Magdalene," desis sang Pangeran. Liam meraih surat yang diberikan Cordelia. Ia segera membaca seluruh isinya, tidak mau melewatkan sedikit pun. Pemahamannya tentang Ilibrean cukup matang untuk mengetahui kalimat demi kalimat yang tertulis. Benar, ini memang Perjanjian Magdalene. Namun, di saat yang sama ini juga bukan. "Ini bukan yang asli."
"Prototipe, dugaan Paduka Raja. Salah satu dari sekian banyak, sepertinya." Cordelia kembali memakai topinya. Jemari lentiknya dengan cekatan memperbaiki penampilan rambutnya agar kembali terlihat sempurna. "Terlalu banyak coretan, tetapi nama keluarga Ventos jelas-jelas dapat terlihat dan terbaca sebagai pihak yang terlibat. Tidak ada tanda tangan dan cap, betul. Namun, Anda pasti tahu surat itu tetap dapat membawa masalah, bukan?" Ia mengulang hal yang ia dengar dari ayah Marco.
Cordelia tidak mengetahui secara jelas isi perjanjian yang disebut terkutuk ini, pun Raja Airez tidak mengatakannya dengan detail. Cordelia hanya bisa membaca sepatah dua kata Ilibrean, dan itu tidak membantunya sama sekali. Lagipula, ia juga tidak begitu mau tahu lebih lanjut akan transaksi gelap yang pernah dilakukan keluarga Ventos. Satu hal yang pasti, perjanjian itu adalah sejarah kelam yang harus terkubur, berdasarkan jawaban yang ia dengar dari sang Raja.
Liam menghela napas. Benar, ini tetap bisa menjadi bahaya. Meskipun tidak terlalu kuat, surat ini bisa tetap menjadi bukti. Meskipun dapat disanggah, lebih baik surat ini tidak diketahui sejak awal. Meskipun tidak banyak yang bisa membacanya, tetapi tidak ada tulisan yang tidak dapat dipelajari--Liam sendiri bukti nyata dari pernyataan tersebut.
"Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya pada Paduka Raja Airez, Yang Terhormat." Liam menundukkan kepala dengan penuh hormat. Ini hal yang sangat berarti. Dan, hal yang sangat mengikat. Kepalanya perlahan mendongak ke posisi semula, berpandangan langsung dengan Cordelia.
Sang lawan bicara menggelengkan kepala dengan gerakan yang begitu anggun. "Darah Fydor juga mengalir di Istana Albens, sudah sepantasnya aku ikut melindunginya. Tidak perlu berterima kasih, Keponakan Tersayang." Cordelia tersenyum lembut. "Itu perkataan Paduka Raja Airez."
Liam menarik napas panjang. Di Airez, ikatan darah adalah hal yang sangat dipuja. Namun, apa ia bisa mempercayai hal itu? Terlebih lagi, ini ikatan darah bangsawan. Kaum yang Liam tidak akan pernah bisa beri kepercayaannya. Liam tidak bisa bersantai. Pamannya mungkin memang menolong keluarganya kali ini, tetapi itu bisa menjadi utang bagi keluarga Ventos.
Embusan napas sang pangeran terasa berat. Alesander Crugel sialan! Orang itu memiliki banyak hal yang harus dijelaskan. Dari mana ia bisa mendapatkan surat itu, misalnya. Namun, bisa saja keluarga setua umur Pelabuhan Ventos itu menyanggah. Ucapan para budak tidak memiliki arti apapun. Properti tidak memiliki suara.
Ah, kening Liam berasa berdenyut. Ia harus menaruh pengawasan ekstra di kediaman gerik bangsawan tua itu. Dan buruknya, sepertinya kali ini ia harus bekerja sama dengan orang-orang sang Ratu Porta.
Keheningan perlahan menghampiri mereka. Setelah membahas masalah tadi, tidak ada percakapan yang terjadi. Percakapan kecil seperti 'Ini hari yang indah' atau 'Bagaimana kabar Anda?' sepertinya sudah telat untuk diutarakan.
Cordelia menarik napas. Tadi adalah pembicaraan yang tidak menyenangkan. Ia bisa saja membuka kembali percakapan, tetapi Cordelia tahu betul itu usaha yang sia-sia. Liam tidak akan fokus menimpalinya, terlebih setelah percakapan seperti tadi. Pun setiap ia berkunjung kemari, tidak terlalu banyak kata yang terucap dari bibir Liam. Percakapan kecil yang selalu diucapkan saat berada dalam lingkaran sosial tidak dihitung, tentu saja. Semakin lama Cordelia merasa Liam semakin pelit berbicara. Terkadang, Cordelia merindukan masa kecil mereka. Masa di mana Liam bersikap lebih bebas, lebih cerah, lebih penyayang, dan jauh lebih hangat.
Liam yang sekarang masih hangat, tentu saja. Ia tidak pernah menolak kedatangan Cordelia dan selalu menerima kehadiran gadis itu. Namun, tetap saja, Cordelia merasa ada yang hilang dari sifat Liam kepadanya. Ada sesuatu yang tidak ia ketahui. Dan, Cordelia tidak ingin memikirkan itu lebih lanjut. Berdua bersama Liam dalam keheningan saja sudah cukup.
Liam, di satu sisi, berada di hadapan Cordelia. Namun, di sisi yang lain, perjanjian terkutuk itu masih menghantui benaknya. Cukup lama ia terlarut dalam lamunan, sebelum akhirnya ia sadar dan memfokuskan diri pada Cordelia. "Apa Anda akan tinggal di sini sampai ... perayaan?"
Tangan Cordelia seketika terhenti di udara, terlihat sedikit terkejut, sebelum kembali bergerak meraih cangkir minumnya. Liam sudah kembali fokus rupanya. "Tidak, Yang Mulia. Saya akan kembali ke Airez siang ini dan akan datang ke Porta di hari perayaan bulan depan."
"Siang ini? Anda juga tidak akan mengunjungi Festival Laut besok?" Sebuah anggukan menjawab pertanyaan sang pangeran. "Sangat disayangkan. Adik-adik saya merindukan Anda."
Cordelia tertawa kecil. "Hanya para putri, Yang Mulia?" Tangan kanannya menutup mulut dengan anggun layaknya etika tertawa. "Bagaimana dengan Anda?"
Liam mengerjap. Ia tidak salah dengar? Sejak kapan ... tidak, terlalu lama ia tidak bertemu dengan gadis ini. Terlalu lama ia bersama dengan Esmeralda, hingga melupakan rasanya menghabiskan waktu dengan Cordelia. "Tentu ... saja, Yang Terhormat. Tapi apa boleh buat, tugas di Airez pasti menumpuk jika Anda lama-lama tinggal di sini, bukan?"
Cordelia tersenyum tawar seiring dengan berhentinya tawa. Dengan gerakan perlahan, ia menatap ke arah langit. Matahari Porta bersinar terang, menyinari mereka yang berada di tempat terbuka. Cuaca Porta yang indah, berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang entah mengapa masih kelabu jua. "Benar. Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan sebelum melepas masa lajang saya, Yang Mulia."
Liam mengikuti arah mata Cordelia, sebelum pandangannya jatuh pada Perairan Ventos. "Benar." Sinar Matahari yang menyelimuti seluruh kerajaannya membuat air di Perairan Ventos terlihat berkelap-kelip bak permata. Sebuah ide tiba-tiba terbesit di benak Liam. Ide yang Liam yakin Cordelia akan menyukainya dan Liam harap akan membuat Cordelia kembali ke Airez dengan perasaan yang ceria. "Jika Anda memiliki waktu lebih setelah perjamuan ini, apa Anda mau berjalan-jalan di Perairan Ventos?"
Pandangan Cordelia sontak kembali menghadap Liam. Keterkejutan tergambar jelas pada bola mata biru sang gadis. Ekspresi yang secepat kilat kembali menghilang. Senyuman Cordelia mengembang. Senyuman yang indah. "Saya selalu memiliki waktu untuk Anda, Yang Mulia."
Liam balik membalas senyuman sang gadis. Senyuman langka yang sudah lama tidak ia tunjukkan beberapa hari belakangan di lingkungan Istana Albens ini. "Terima kasih." Lama pandangan mereka beradu. Pandangan yang membuat percikan kecil yang menyengat dirinya. Perasaan yang familiar. Terlalu familiar.
Liam menyeruput cangkir minumnya, bersamaan dengan Cordelia yang kembali menyantap kudapan yang dihidangkan. Lama keduanya terdiam, sebelum tawa kecil Cordelia tertangkap di telinga Liam. Tawa yang membuat Liam kembali menoleh ke arah sang gadis yang juga menatapnya.
Ekspresi bingung Liam membuat Cordelia membuka mulutnya, menjawab pertanyaan tanpa perlu dilontarkan sang pangeran. "Sudah lama, ya?"
Sudah lama. Liam mengerti betul maksud sang gadis.
"Tetapi saya tidak yakin Nona Jilli akan menyukai kepergian Anda."
"Nona Jilli?" Alis Liam terangkat. Ah, perjamuannya dengan Jilli Ergon. Liam yakin Kane memberi tahu Cordelia akan hal ini. Ya, Liam juga tidak peduli akan kehadiran gadis itu. "Jangan pedulikan dia. Bagaimana bisa saya menghabiskan waktu bersamanya jika saya dapat melakukannya dengan Anda, Yang Terhormat?"
Senyuman Cordelia masih terukir di bibirnya. Tentu ia tahu akan hal itu. Ia lebih berharga daripada Jilli, terlepas apapun hubungan dan status yang dimiliki Jilli di Istana Albens, pada Liam. Tetap saja, mendengarnya langsung dari mulut Liam memberikan kesenangan pada diri Cordelia. Sayang sekali, Jilli harus menerima nasib seperti ini. Setidak sukanya Cordelia pada bangsawan itu, tetap saja Cordelia merasa sedih untuknya. Sedikit.
"Ah, omong-omong." Suara berat Liam membuat Cordelia kembali memfokuskan pandangan pada sang pangeran, membuang jauh-jauh gambaran wajah Jilli. "Bagaimana kabar Pangeran Marco?"
Seketika seluruh perasaan senang yang ada pada diri Cordelia menghilang dengan cepat saat mendengar nama pemuda yang tidak lama ia temui. Sang gadis tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Ia mengalihkan pandangannya pada isi cangkir sebelum kembali menuju Liam. "Sepupu Anda ...." Sudut bibirnya tertarik, tetapi tidak dengan matanya.
"Luar biasa."
Hola! :D
Apa masih ada yang menunggu kelanjutan cerita ini? Semoga ada hehe.. Terima kasih telah setia menunggu kelanjutan cerita yang terakhir ku-publish setengah tahun yang lalu ini dan mohon maaf telah menggantungkan cerita ini tanpa kabar hingga sekarang (gatau abis ini bakal menghilang lagi apa engga ehe //plak)
Sudah lama aku engga nulis jadi mungkin bab ini terasa kaku atau aneh atau banyak saltik karena aku main publish aja tanpa baca ulang ehe.. Silakan kritik atau sarannya terhadap bab ini (atau keseluruhan cerita juga bole)
Akhir kata, semoga author pemalas ini dapat menyelesaikan salah satu ceritanya (atau keduanya) di tahun 2020 ini
Love,
Manusia yang akhirnya libur :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top