BAB VI - PAGI HARI
Burung-burung laut beterbangan dengan bebas mengelilingi lingkungan Istana Albens. Suara kicauan nyaringnya bagaikan ucapan selamat pagi bagi para penghuni istana yang ditempati oleh keluarga Kerajaan Porta tersebut. Kepakan sayap hewan berparuh panjang itu menimbulkan pusaran angin kecil yang membantu mengeringkan cucian saat terbang rendah melintasi Daerah Pencucian.
"Terima kasih atas bantuannya, Kawan!" Para pelayan wanita yang sedang mengatur jemuran, melambaikan tangan mereka saat burung-burung laut terbang melintasi tempat kerja mereka.
Gerombolan burung laut itu lalu berkumpul di depan jendela sebelah selatan istana. Aroma lezat tercium dari jendela besar yang terbuka lebar.
"Hoi!"
"Selamat pagi, Kawan Kecil!"
Sepasang pemuda berwajah identik menyambut sekelompok burung laut dengan senyuman lebar di wajah mereka.
"Tangkap ini!" Pemuda berambut panjang melemparkan cincangan daging ikan ke arah hewan bersayap itu.
Para burung laut segera menangkap jatah makanan mereka dengan sigap, menampilkan akrobatik meliuk-liuk yang menghibur koki kembar istana. Mereka mengeluarkan suara nyaring, seperti sedang berbicara pada dua koki itu, sebelum terbang menjauh meninggalkan jendela dengan dua pemuda yang melambaikan tangan.
Burung-burung laut kemudian terbang indah melewati jendela di sisi barat istana. Mereka bernyanyi merdu saat melintasi jendela paling besar yang ditutupi gorden kuning keemasan. Mereka terdiam sejenak di depan jendela itu hingga kembali terbang menjauh saat lagu mereka telah selesai.
Para burung laut itu lalu pergi menjauhi Istana Albens. Mereka terbang bebas ke arah barat Porta sembari berkicau nyaring. Kepakan sayap berbagai warna menghiasi langit biru. Pun ditambah sinar kuning matahari yang membuat bulu burung-burung laut berkilau indah bagai pelangi.
"Betapa indahnya!" Cordelia menatap langit Porta yang dihiasi pancaran warna dari bulu burung-burung laut. Pandangannya terus mengikuti gerombolan hewan bersayap itu hingga pandangannya jatuh pada Perairan Ventos.
Warna biru terlihat membentang sepanjang Perairan Ventos. Pantulan cahaya matahari membuat permukaan berkilauan bagai hamparan permata biru. Kapal-kapal dagang dari dataran lain terlihat berlabuh di Dermaga Ventos. Pun beberapa kapal penumpang yang telah bersiap untuk berlayar, mulai dipadati penumpang dari berbagai kalangan. Karena hari ini hanya ada sekali pelayaran, membuat para penumpang mau tidak mau harus berangkat pagi-pagi. Dan, pelabuhan terbesar di Thersaga itu menjadi sangat ramai dibandingkan biasanya.
Cordelia menarik napas panjang. Aroma asin laut bahkan tercium sampai balkon tempatnya berdiri. Porta tidak berubah rupanya.
"Yang Terhormat Cordelia? Perjamuan telah siap."
Cordelia mengalihkan pandangannya dari Perairan Ventos menuju pelayan muda yang baru datang di belakangnya. Mata Cordelia menilik gadis berambut cokelat itu dari atas hingga bawah sebelum berkata, "Aku baru pertama kali melihatmu. Kau pelayan baru?"
Pelayan itu tersenyum kikuk. "Be-benar. Ini hari pertama saya."
"Apa aku tugas pertamamu?"
Pelayan menunduk. "Benar."
Cordelia terdiam sejenak, menatap wajah gadis di hadapannya. Pelayan itu sepertinya lebih muda dua tahun darinya, mungkin sekitar enam belas tahun. Namun, gadis pelayan itu memiliki postur yang sedikit lebih tinggi dari Cordelia--yang memakai sepatu hak tinggi. Tatapan mata pelayan itu canggung, pun sudut bibir yang tersenyum ragu, dan kepala yang menunduk terlalu dalam itu benar-benar mengganggu diri Cordelia. Terlebih suara pelayan itu, suara yang kecil, bergetar, dan tidak percaya diri. Gadis itu memang pelayan baru, tetapi apa ia tidak diajarkan cara bertingkah di depan bangsawan oleh Kepala Pelayan?
Pelayan muda yang diamati Cordelia menggerakkan kedua jempol tangannya dengan gusar. Ia terus memandang ke bawah--lantai balkon--dan berusaha mati-matian menghindari mata biru yang menatap wajahnya--dengan sangat intens, menurut dirinya. Bibir merah mudanya tertutup rapat, menahan dirinya agar tidak bicara tanpa sengaja. Namun, dalam hatinya, ia terus menjerit meminta pertolongan agar Cordelia berhenti menatap wajahnya dan segera pergi menuju Balkon Besar.
"Apa aku sebegitu menakutkannya di matamu?"
"Y-ya?" Pelayan muda itu sontak memandang wajah Cordelia. Betapa terkejutnya ia saat melihat senyuman manis yang menghiasi ekspresi sang bangsawan. Ekspresi yang berlawanan dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan. Namun, sekilas tatapan yang ... tajam terlihat di mata biru Cordelia sebelum ia mengerjap. Amat cepat, hingga pelayan itu mengira--dan menyimpulkan--bahwa ia telah salah lihat karena saking terkejutnya. "Ya?"
"Iya katamu?" Cordelia memasang ekspresi terkejut. Kedua matanya sedikit membulat dengan bibirnya yang membentuk bentuk lingkaran kecil. Tidak lupa tangan kanannya terangkat, dengan empat jemari dari telunjuk hingga manis yang menutup mulutnya, berjarak satu ruas jempol dari bibir. Sungguh reaksi terkejut bangsawan wanita Airez yang sempurna, layaknya lukisan terkenal Maharatu yang terpajang di Istana Hitam.
Akhirnya memproses keadaan yang menimpanya, pelayan muda itu mendadak terlihat pucat pasi. Ia menggeleng cepat. Cordelia salah menangkap ucapannya. Jempol gadis itu semakin bergerak cepat. "Bu-bukan begitu! Anda tidak menakutkan! Anda sangat cantik! Ma-maksud saya, Anda sangat lembut!" sanggah sang pelayan. "Ah! Bukan! Yang Terhormat, maksud saya ...." Sang pelayan menggigit lidah tidak bergunanya dan menundukkan kepala dalam-dalam. "Maaf."
Tidak ada suara yang terdengar setelah jawaban tidak beraturan sang pelayan. Hingga sayup-sayup ia mendengar suara tawa yang begitu kecil dan begitu cepat. Suara itu menghilang secepat ia muncul. Membuat sang pelayan mempertanyakan kesehatan telinganya sehingga ia pun kembali mendongak.
"Aku bercanda," ucap Cordelia dengan suaranya yang manis saat mata sang pelayan tepat melihat ke arahnya. Tangan jelata sang pelayan yang gemetaran pun diraih sang bangsawan. Digenggam.
"Ya-Yang Terhormat?" Mata gadis pelayan itu membulat lebar. Cordelia menyentuh, bukan, menggenggam tangannya. Seorang bangsawan sekelas Cordelia menggenggam tangannya!
Cordelia tersenyum manis saat berkata, "Kau pasti sangat gugup, ya? Jangan khawatir, kau ditunjuk sebagai pelayanku di hari pertamamu bekerja. Kepala Pelayan pasti memercayai kerjamu."
Sang pelayan terdengar tersentuh akan ucapan Cordelia. Namun, ekspresi itu sirna saat ia menundukkan kepalanya lagi. "Saya ... ditunjuk karena sekarang hari libur. Hanya sedikit pelayan yang tersisa di istana, Yang Terhormat."
Cordelia tahu itu. Namun, mendengarnya langsung dari mulut si pelayan memunculkan sedikit iritasi dalam diri Cordelia. Ia mengalihkan tatapannya sejenak. Hari pertama kerja yang bertepatan dengan hari libur, dia pasti putri salah satu pelayan yang tinggal di sini--dengan jabatan yang cukup tinggi. Karena itu Kane sengaja memilih orang di depannya ini. Ikan licik itu pasti tahu sifat gadis ini dan sengaja menghancurkan pagiku. Tatapan Cordelia beralih menatap wajah pelayan di hadapannya. Sifat tidak percaya diri yang menyebalkan.
Cordelia menarik pelan napasnya sebelum kembali memasang senyum di wajahnya. Senyuman palsu yang dikuasai para bangsawan, tetapi berhasil dibuat kian tulus oleh putri tunggal keluarga Maranth itu. Ia mengeratkan genggaman tangannya, membuat gadis pelayan kembali menoleh ke arahnya.
"Porta adalah kerajaan yang hangat. Banyak yang bilang bahwa semua rakyatnya memiliki senyuman sehangat matahari."
Sang pelayan menatap keheranan.
"Katakan, bagaimana menurutmu? Apa kau setuju dengan pendapat itu?"
Pertanyaan Cordelia membuat gadis pelayan itu tersentak. "Tentu saja, Yang Terhormat! Porta adalah kerajaan yang sangat hangat! Dan senyuman kami secerah dan seindah matahari!" jawabnya dengan cepat. Saat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kerajaannya, keraguan dalam suaranya sirna seketika. Perubahan yang membuat Cordelia melebarkan senyumnya.
Kebanggaan. Sifat orang ini menyedihkan, tetapi Cordelia menyukai kebanggaan gadis itu akan kerajaan yang memberikan kepalanya atap untuk berteduh. Sifat yang berhasil membuat dirinya memaafkan kelicikan Kane pagi ini.
"Buktikan ucapanmu."
Sang pelayan mengerjapkan mata. Kepalanya memproses ucapan Cordelia. Sang bangsawan ingin senyumannya? Hanya itu kesimpulan yang dapat dipikirkan oleh pelayan muda itu.
"Sudah lama aku tidak berada di Porta dan siang ini aku harus kembali ke Airez. Aku bahkan tidak dapat jalan-jalan di perairan, dan kau tahu sendiri ini hari libur Porta." Kini, Cordelia mengganti raut wajahnya agar terlihat kecewa. "Jadi, di waktu yang singkat ini, apa kau tidak mau menunjukkan senyuman sehangat matahari itu padaku untuk buktikan pernyataanmu tadi?"
"Yang Terhormat Cordelia la Maranth, apa dia tidak tersenyum sama sekali?"
Suara Kane mengagetkan sang pelayan, membuat ia tanpa sengaja melepaskan tangannya dari genggaman Cordelia. "Tu-Tuan Kepala?"
Kane berjalan mendekati dua gadis di tepi balkon itu. Langkah kakinya bergema, membuat suara yang sangat berisik di telinga Cordelia. "Saya khawatir kenapa Yang Terhormat belum tiba di Balkon Besar juga."
"Maafkan keterlambatan saya!" Pelayan muda itu menunduk hormat dengan cepat, begitu dalam. Seakan-akan hidup si pelayan akan berakhir di Perairan Ventos jika ia tidak menunduk sekeras itu. Ya, meskipun pemikiran itu tidak sepenuhnya salah.
"Minta maaf pada Yang Mulia Pangeran."
"Tu-tuan ...."
"Kau bisa pergi ke dapur dan bantu si kembar." Kane melirik gadis pelayan yang menunduk. "Sekarang."
Si pelayan muda kembali memberi hormat pada Cordelia setelah menyerukan "baik" dengan begitu cepat. Tubuhnya berbalik, berjalan cepat--nyaris berlari--meninggalkan balkon. Meninggalkan kehororan hasil tugas pertamanya.
Cordelia yang sedari tadi diam sejak kedatangan Kane, akhirnya membuka mulut tatkala punggung si pelayan sudah tidak dapat dijangkau mata. "Kau terlalu keras padanya, Kane."
Mengabaikan ucapan Cordelia, Kane menunduk hormat. "Matahari Porta menyambut pagi Anda." Ia mengangkat kepalanya, terlihat menginspeksi daerah tempat Cordelia berdiri sebelum melanjutkan, "Apa pelayan Yang Terhormat tidak ada di sini?"
Alis Cordelia sedikit terangkat, sebelum ia memilih untuk mengikuti alur yang dibuat Kane. Kane memilih pelayan yang di bawa Cordelia dari Airez itu sebagai kalimat pembukanya. Kepala sang gadis mengangguk dengan anggun. "Benar, Kane. Aku mengirimnya ke pasar." Pandangan sang gadis kini berpindah pada keramaian yang terjadi tidak jauh dari pelabuhan. Warna kuning dan biru menghiasi aula pasar yang dipenuhi prajurit pun rakyat yang berlalu-lalang membawa peralatan kerja. "Besok Festival Laut, bukan? Karena kami akan pergi siang ini, aku mengirimnya untuk melihat proses dekorasi yang kalian lakukan. Setidaknya dia dapat merasakan suasana festival Porta meskipun tidak dapat terlibat di hari perayaan."
Kane mengikuti arah pandang Cordelia. Persiapannya sudah di mulai rupanya. Kane mengangguk. Setidaknya mereka mempergunakan hari libur dengan baik. "Jika begitu, dapat saya simpulkan bahwa kesatria Anda juga ...?"
"Kesatria dan kusir. Semua rombongan yang aku bawa."
"Betapa besar hatinya Anda." Kane tersenyum tipis. Senyuman yang langsung dilihat oleh lawan bicaranya saat Kane melanjutkan, "Cordelia la Maranth yang terhormat."
Ucapan Kane membuat Cordelia ikut tersenyum. Senyuman yang manis. Senyuman yang tidak menyentuh matanya. Tatapan hangat di mata sang gadis seketika sirna. "Terima kasih, Kane. Tetapi, itu bukan hal yang begitu spesial. Itu tugasku untuk memastikan kemakmuran orang-orang setiaku." Apakah ia benar-benar harus menghadapi Kane di pagi hari yang cerah ini? Dewi mungkin tidak begitu menyukainya jika ini garis takdir yang diberikan untuk Cordelia.
"Rendah hati layaknya seorang terhormat. Bangsawan sejati." Kane mengangguk seraya kembali tersenyum. Senyuman yang begitu sopan. Senyuman yang terlihat begitu menyebalkan di mata sang lawan bicara. Hal yang Kane tahu betul. "Jika Anda telah menyelesaikan urusan Anda di sini, Yang Terhormat, Yang Mulia Pangeran telah menunggu Anda." Kane menggerakkan tangannya dengan hormat ke arah tujuan sang bangsawan. Tidak lupa, senyuman sopannya masih menghiasi wajah pemuda itu. "Mari saya antarkan."
Lalu kenapa kau baru muncul sekarang? Kane sedang meremehkan Cordelia. Lagi. Apa Kane pikir Cordelia tidak melihat tempat persembunyiannya tadi? Tidak. Kane pasti tahu. Kane sedang memancing dirinya. Mulai dari ucapan awal hingga ucapan terakhirnya, Kane berusaha memancing emosinya. Ah, Cordelia sangat ingin mengutarakan isi pikiran yang dari awal sudah dikacaukan oleh buruknya sikap si pelayan-hari-pertama ke hadapan ketua pelayan bermata cokelat itu. Namun, sang bangsawan malah bertanya, "Bagaimana suasana hati Pangeran?"
Kane masih tersenyum sembari menjawab, "Yang Terhormat tidak perlu khawatir. Suasana hati Yang Mulia bagai matahari Porta kita."
Jika orang lain yang mengatakannya, Cordelia yakin suasana hati Liam sedang baik. Namun, jika Kane yang mengatakannya .... Cordelia menarik napas panjang sebelum berjalan mendahului Kane, meninggalkan tanpa sepatah katapun.
Namun, Kane tentu tidak akan berdiam diri menerima perlakuan Cordelia. Sebagai pelayan yang mencarinya, ia tentu harus berjalan mengikuti Cordelia dan mengantarkan sang bangsawan ke tujuan dengan selamat. Kane berusaha menjajarkan langkahnya dengan gadis berambut merah itu, membuat suara menggema di lorong istana yang sepi. Membuat Cordelia terganggu dengan sengaja. Oh, Kane sangat menyukai ekspresi itu. Ekspresi terganggu Cordelia yang selalu gadis itu sembunyikan rapat-rapat saat berada di dekatnya. Dan Cordelia lumayan handal dalam hal itu--pujian tertinggi mengingat mata tajam Kane. Sayang, ada satu hal kecil yang membuka penyembunyian yang dilakukan sang bangsawan. Jendela pikiran Cordelia. Kane dapat membongkar emosi Cordelia saat ia benar-benar memperhatikan tatapan matanya.
Cordelia mengabaikan lirikan tersembunyi Kane, memilih fokus pada jalan di depannya. Jalan yang sepi. Hari libur benar-benar membuat Istana Porta yang biasanya selalu ramai--dan ribut--menjadi sunyi. Dan puji Dewa, Cordelia jauh lebih menyukai suasana saat ini.
"Kita tiba," ucap Kane saat mereka berhenti di depan pintu besar yang terbuat dari kaca. Kane melirik Cordelia sekali lagi sebelum membukakan pintu berwarna kuning itu dengan pelan saat mendapati anggukan kecil dari sang bangsawan.
"Yang Terhormat Cordelia la Maranth telah tiba!"
Kepala Liam menoleh ke arah suara. Pandangannya menangkap wajah tersenyum Kane. Tadi dia bilang apa?
Kane yang mengerti tatapan sang pangeran, menundukkan kepalanya dengan hormat. "Yang Mulia, rapat pagi dibatalkan."
"Dibatalkan?" Liam mengerutkan kening. "Kanselir bilang ada masalah mendesak hingga rapat terpaksa diadakan di hari libur. Apa yang terjadi?" tanya Liam. Meskipun ia sangat benci berlama-lama berurusan dengan Kane, tetapi masalah ini tidak bisa ia abaikan atas dasar ketidaksukaannya dengan Kane.
Kane mengangguk. "Benar. Masalah mendesak. Kanselir tidak dapat menunggu hingga pagi ini sehingga ia memajukan rapatnya ... kemarin malam."
Kemarin adalah jawaban yang bisa ia terima. Namun, malam adalah jawaban yang tidak masuk akal. Liam memandang Kane dengan tatapan tidak percaya. Ini Istana Albens, pusat Porta. Bukan Airez yang selalu mengadakan rapat saat bulan bersinar. "Sangat jarang mengadakan rapat di jam malam." Terakhir kali Liam baca, pelajari, dan praktekkan, Porta tidak akan melakukan hal seperti itu jika bukan menyangkut soal perang dan hal yang sangat sangat mendesak. Terkadang, jawaban Kane yang baru saja ia dengar itu bisa saja terjadi, betul. Namun, kebakaran perbatasan selatan belum separah itu hingga rapat dimajukan.
Kane menunduk hormat. Tentu saja ia tahu itu sangat jarang. "Jika Yang Mulia tidak percaya, Anda bisa melihat arsip rapat di ruang rapat. Perlu saya antarkan?"
Liam menghela napas. Kane tidak mungkin berbohong jika ia sampai bertindak sejauh itu. Hanya Kanselir yang menulis arsip rapat dengan tangannya sendiri. Pun, hanya Kanselir yang memegang kunci ruang rapat. Kalau begitu, apa masalahnya begitu mendesak hingga Kanselir tidak dapat menunggu hingga pagi? Kebakaran sudah dipadamkan, apa yang penting hingga dimajukan? Liam tidak tahu jawabannya. Namun, tetap saja ada yang aneh. Ada yang mengganjal.
"Kane." Liam mengalihkan pandangannya dari Kane. "Kenapa tidak ada yang memberi tahuku?"
"Kanselir tidak ingin mengganggu tidur Yang Mulia." Kane terdiam sejenak. "Terlebih sepertinya dia mendengar keributan semalam."
Liam terdiam. Kanselir adalah orang yang perhatian dan peka. Bisa saja dia merasa tidak enak mengetuk pintu kamarnya malam-malam. Meskipun mendesak, Kanselir tetap saja tidak enak hati mengganggu jam istirahat keluarga kerajaan. Setidaknya itu yang Liam simpulkan selama ini.
"Lalu siapa yang memimpin rapat?"
Kane tersenyum. Senyuman yang Liam tahu betul. Dan, senyuman itu telah menjawab pertanyaan Liam.
"Kane," desis Liam. "Yang Mulia Ratu tidak suka jam malamnya diganggu. Apa maksudnya ini?"
Kane menggeleng. "Yang Mulia Ratu yang memimpin rapatnya bersama Yang Mulia Putri. Anda bisa lihat di arsip rapat--"
"Kane." Mata ungu Liam menatap wajah pemuda di sampingnya. "Yang Mulia Ratu--"
"Yang Mulia!"
Ucapan Liam terpotong oleh pelayan wanita paruh baya yang menghampiri tempat mereka berdiri.
"Matahari Porta menyambut pagi Anda!" Pelayan wanita itu menundukkan kepala dengan hormat.
"Ada apa?" tanya Liam tanpa melirik ke arahnya.
"Yang Mulia, perjamuan telah siap."
Pernyataan wanita itu berhasil membuat Liam menoleh ke arahnya. Sekarang, apa lagi yang terjadi di pagi ini?
"Sudah waktunya rupanya." Kane mengangguk-anggukkan kepalanya, jelas-jelas mengabaikan pandangan sang pangeran.
Liam mengembuskan napas, lebih panjang dari sebelumnya. Perjamuan apa? Seingatnya, tamu pertamanya hari ini adalah Jilli Ergon, dan ia tidak akan menjamunya hingga siang tiba.
Kane mengibaskan tangan, menginstruksikan pelayan tersebut untuk meninggalkan mereka. Ia berdeham saat wanita pelayan itu sudah pergi menjauh. Wajahnya kembali menatap Liam sebelum menyunggingkan senyumannya lagi. "Yang Mulia Pangeran, Yang Terhormat Cordelia datang ke Porta."
Apa? Liam memandang Kane dengan tatapan aneh. Dia bilang apa sekarang?
"Yang Mulia harus menghadiri perjamuan di Balkon Besar untuk menyambut Yang Terhormat Cordelia la Maranth."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top