BAB V - HUBUNGAN
Esmeralda duduk dengan raut gelisah. Kedua tangan gadis itu terus meremas gaun hijau yang ia kenakan, membuat kerutan-kerutan pada kain berkualitas tinggi itu. Juga, membuat kening pemuda di sampingnya berkerut heran.
Sedari tadi Liam terus memerhatikan sikap gadis bangsawan yang duduk di sebelahnya. Kereta kuda sudah cukup lama berhenti, tetapi Esmeralda tidak menunjukkan tanda-tanda untuk turun dari kereta. Apa kekasihnya itu tidak ada niatan untuk turun?
"Esme." Liam menyentuh pelan pundak Esmeralda, berusaha untuk tidak mengagetkan gadis itu. Namun, usahanya tidak berhasil dengan sempurna. Mata Esmeralda sontak membesar dan menghadap Liam dengan cepat. Gadis itu terlihat sangat terkejut.
"I-iya?" tanya Esmeralda gelagapan. Remasan tangannya melemah.
"Kau tidak apa?"
Mata Esmeralda mengerjap-ngerjap sebelum kepalanya mengangguk lemah. "Aku ... hanya khawatir. Kita pergi lebih lama dari perkiraan," gumamnya. "Aku takut keluarga ibuku sekarang berada di rumah liburan keluarga. Salah satu dari mereka bisa saja menghabiskan malam di rumah liburan mengingat besok hari libur ...." Ekspresi Esmeralda membeku, sebelum tiba-tiba ia berseru, "Rombonganku! Oh, Dewi semoga mereka belum menyelesaikan tugasku dan masih--"
Liam menggenggam tangan Esmeralda. "'Esme." Ia memandangi iris hijau Esmeralda. "Kita sudah berada di depan rumah liburan keluargamu sejak tadi. Sepanjang yang aku lihat hanya ada kereta ini dan keretaku yang parkir di rumah ini. Tidak ada kereta lain, bahkan lampu rumah mati," jelas Liam dengan nada yang pelan.
"Eh?" Esmeralda sontak memandang keluar jendela. Matanya membulat sempurna. Matahari mulai terbenam, membiaskan cahaya oranyenya pada pagar kokoh yang mengelilingi rumah liburan keluarganya. Benar kata Liam, hanya ada dua kereta, dua penumpang, dua kusir, satu rumah yang gelap, juga seekor burung laut yang dengan asyiknya tidur di atas kereta Liam di dalam pagar ini.
Esmeralda terdiam. Ia ternyata hanya memikirkan hal-hal yang tidak penting dari tadi. Rona merah perlahan muncul di pipi krem Esmeralda.
Astaga! Sang gadis masih duduk mematung menghadap jendela, membelakangi Liam. Dia terlihat bodoh di depan Liam, bukan? Tentu saja Esmeralda terlihat bodoh. Memalukan sekali!
Liam masih setia memandangi punggung gadis di sampingnya. Seulas senyuman menghiasi wajah pemuda itu tatkala menebak isi hati sang kekasih. Esmeralda penuh dengan warna. Gadis itu selalu menunjukkan ekspresi yang beragam, berbeda jauh dengan diri Liam. Sang gadis selalu berhasil membuatnya tersenyum. Selalu membuat hari abu-abunya berwarna. Selalu menggemaskan.
Punggung Esmeralda seketika menegang saat merasakan sentuhan jemari panjang Liam di depan perutnya. Merasakan tangan kekar sang pangeran yang dilapisi kemeja tipis pada pinggang mungil sang gadis. "Liam!" serunya.
"Esme." Embusan napas Liam menerpa leher jenjang Esmeralda sebelum kecupan hangat mendarat pada tengkuknya, membuat gadis itu diam seribu bahasa. "Hatiku milikmu, Esmeralda la Luzel. Ingat itu."
Esmeralda memejamkan mata begitu mendengar bisikan cinta yang tiba-tiba terlontar dari mulut sang pangeran. Pelukan hangat Liam, embusan napas Liam, perkataan suci Liam .... "Liam," desis Esmeralda. Aku mencintaimu. Hatiku selalu menjadi milikmu. Ingin sekali Esmeralda menjerit meneriakan kata-kata itu. Namun, bibirnya malah tertutup rapat. Begitu rapat hingga ia merasakan tajamnya gigi yang menusuk bibir bawahnya.
Perlahan, kelopak mata Esmeralda terbuka. Ia menoleh pelan ke arah Liam. Rona kulit pemuda itu perlahan sudah kembali seperti semula. Warna cokelat yang indah. Apapun ramuan yang diberikan tabib sudah bekerja dengan baik. Sudut mata gadis itu lalu bergerak ke atas; leher, dagu, bibir, hidung, hingga berhenti pada sepasang mata yang menatap balik. Berhenti pada sorot mata yang begitu hangat. Kehangatan yang lama ia rindukan. Kehangatan yang selalu ia dambakan. Namun, sayang, Esmeralda tidak boleh terlena terlalu jauh. Gadis itu melepaskan pelukan Liam dengan lembut.
"Sebaiknya kita turun," usul Esmeralda. Jemari gadis itu membuka pintu kereta dengan perlahan. "Kau harus segera kembali ke istana, Liam," lanjutnya saat setengah tubuhnya sudah berada di luar kereta.
Liam segera menyusul sang gadis, menuruni kereta dengan gerakan yang pelan untuk meminimalisir rasa nyeri di sekitar tubuh bagian tengah ke bawahnya. Untungnya, efek ramuan penguat yang diberikan sang tabib sudah mulai bekerja selama perjalanan kembali ke rumah liburan keluarga Esmeralda. Namun, tetap saja, begitu ia memijakkan kaki, uluran tangan Esmeralda dengan sigap menggenggam lengan kirinya. Uluran yang disambut dengan lembut.
"Hati-hati, Liam!" Esmeralda menatap sang pangeran dengan tatapan penuh kecemasan.
Liam menggeleng. "Aku baik-baik saja." Tangan kanan sang pangeran lalu menyentuh pipi sang gadis bangsawan. Gerakan yang berhasil merebut atensi Esmeralda menuju wajahnya. "Esme, aku akan segera kembali ke istana. Tapi sebelum itu, izinkan aku melihat wajahmu untuk terakhir kalinya sebelum pertemuan kita ... selanjutnya."
Esmeralda tersenyum kecil mendengar ucapan sang kekasih. Ia menutup matanya sejenak, merasakan sensasi telapak tangan di pipinya. "Jangan khawatir. Kita akan segera bertemu, Liam. Aku ... akan datang ke pesta perayaanmu," jelas Esmeralda saat membuka matanya kembali. Suaranya mengecil mengikuti setiap kata yang ia lontarkan.
"Pesta perayaanku?" Kening Liam mengkerut. "Ah, pesta itu."
Sontak, mata Esmeralda membulat. Nyaris sempurna. "Kau tidak melupakannya, bukan?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir mungil Esmeralda sebelum ia sempat menghentikannya.
"Hampir."
Jawaban Liam membuat Esmeralda kehilangan kata-kata. Gadis itu berdiri mematung dengan mulut yang sedikit menganga, sebelum mulutnya tertutup rapat saat ia sadar akan ekspresi tidak terhormat yang baru saja ia tunjukkan.
"Apa ada yang salah?" tanya Liam pelan sembari membelai pipi sang gadis. Dan, Esmeralda yakin kupingnya menangkap suara geli yang terdengar terhibur terlontar dari pertanyaan Liam. Apa Esmeralda sedang dipermainkan? "Kenapa kau terkejut sekali?"
Belum sempat Esmeralda menjawab, seorang pria berbaju serba cokelat menghampiri dirinya dan Liam. Pria itu menundukkan kepala sembari mengucapkan salam, "Yang Mulia, Yang Terhormat, maaf telah mengganggu."
"Ada apa?" tanya Liam tanpa menoleh ke arah sang kusir yang tengah memberikan hormat.
"Yang Mulia, Anda harus segera kembali ke Istana Albens. Sebentar lagi jam malam." Sang kusir mendekat, berbisik, "Yang Terpandang Jilli masih menunggu Anda dan dia sudah tau."
Liam mengembuskan napas begitu nama Jilli keluar dari mulut sang kusir, dan memilih mengabaikan pesan akan si dia yang jauh lebih mengesalkan. Tangannya perlahan menjauh dari wajah sang gadis, kini mengepal di samping pahanya. Kejadian pagi tadi yang nyaris merenggut nyawanya, membuat janjinya dengan gadis bangsawan Porta itu nyaris terlupakan dari kepala Liam. Nyaris. Untung saja Liam memberikan tugas pada sang kusir, sekaligus pengawal terpercayanya, agar menunggu mereka di desa dekat perbatasan bersama dengan kereta penyamaran--kereta tidak mencolok yang selalu ada di setiap rumah liburan keluarga bangsawan Porta-- keluarga Esmeralda. Juga, Kristal Sihir dengan perintah teleportasi yang dibawa sang kusir cukup untuk membuat orang setianya itu dapat beberapa kali pergi dan kembali dengan cepat untuk melaporkan keadaan Istana pada Liam.
Melaporkan bahwa Jilli Ergon yang berkunjung sore tadi masih duduk bertahan di Kolam Ratu sembari menunggu tibanya ia dipanggil oleh sang pangeran. Wanita yang persisten. Seharusnya bangsawan muda itu pulang jika hingga waktu akan menyentuh jam malam Liam belum kembali juga. Juga, melaporkan bahwa dia-yang-lebih-mengesalkan-dari-Jilli akan segera mengintrogasinya saat kembali.
Di tengah kekesalan yang melanda diri internal Liam, Esmeralda ikut terdiam. Ia menutup mulutnya yang belum sempat melontarkan jawaban pertanyaan Liam yang tadi. Bukan, bukan karena menyadari pikiran Liam, melainkan dikarenakan hati Esmeralda seakan-akan teremas saat mengetahui ucapan yang dilontarkan kusir. Bisikan itu pelan, terlalu pelan hingga ia tidak bisa mendengarnya. Namun, gerak mulut sang kusir tidak dapat disembunyikan dari pandangan Esmeralda. Gerak mulut yang membentuk nama orang yang sangat ia kenal. Jilli Ergon, adik sepupunya dari pihak ibu. Gadis yang dapat bertemu Liam dengan bebasnya.
Orang yang sangat Esmeralda benci.
Liam yang tidak menyadari perasaan mendalam gadis di hadapannya, melepaskan genggamannya pada lengan Esmeralda, membuat hati gadis itu semakin tercabik. Akankah Liam menemui Jilli di Istana Albens? Tidak. Itu pertanyaan yang bodoh. Liam pasti bertemu dengannya. Bagaimana bisa mereka tidak bertemu?
Liam kembali menyentuh pipi sang gadis yang mulai menunjukkan perubahan ekspresi. "Maafkan aku. Aku harus kembali sekarang," jelasnya seraya mengusap lembut pipi Esmeralda. Waktunya bersama Esmeralda sudah berakhir. Harus berakhir. "Mimpi indah, Esme."
Mendengar kabar Jilli yang menunggu Liam membuat Esmeralda tentu ingin Liam tetap di sisinya. Namun, Istana Albens pasti akan terobrak-abrik jika sang pangeran belum kembali setelah menghilang dari subuh. Dan, ia bahkan orang pertama yang tadi menyuruh Liam untuk segera kembali agar tidak ada yang melihat mereka. Ironis. Otak dan hatinya sungguh bermusuhan. Dirinya layaknya orang bodoh. Orang bodoh yang hanya dapat mengangguk pelan.
"Aku akan menunggumu." Liam tersenyum lembut, tepat saat Esmeralda mengangguk. Dirinya lalu mendekati Esmeralda dan mengecup punggung tangan gadis itu. "Aku tidak sabar," gumam sang pangeran. Aku tidak sabar melihat hari di mana kita dapat berjalan berdua dengan bebas. Ia lalu membalikkan badan, berjalan menuju kereta kuda pribadinya yang terparkir tidak jauh dari kereta Esmeralda.
"Yang Terhormat." Kusir Liam mengangguk hormat pada kekasih majikannya, sebelum berjalan menyusul sang pangeran.
Esmeralda tidak menghiraukan penghormatan yang diberikan sang kusir. Pandangan gadis itu terus mengikuti punggung Liam yang perlahan menghilang, masuk ke dalam kereta sang pangeran. Aku tidak sabar.
Bisikan yang terus terputar di benak sang gadis. Berputar dan berputar hingga kereta sang pangeran telah meninggalkan perkarangan rumah liburan keluarganya.
Jemari Esmeralda kembali meremas gaun yang ia kenakan. Esmeralda tidak sabar. Tidak sabar untuk segera bangun dari mimpi musim panas ini. Bangun dari ilusi indah nan menyakitkan ini. "Tidak sabar?" tanyanya pada angin.
Esmeralda menatap matahari yang bersinar terang. Cahaya yang hangat layaknya cinta seorang ibu. Kehangatan yang diberkati sang Dewi. "Tidak sabar," ulangnya, kini dengan suara yang nyaris tak terdengar. Mereka akan segera bertemu saat pesta perayaan. Itu hal yang harus ditunggu, bukan? Dia harusnya menanti dengan penuh kegembiraan. Kegembiraan menyambut sang pujaan hati. Kegembiraan sebelum mimpi musim panas ini berakhir.
Sang gadis membalikkan badan, berjalan mendekati rumah liburan keluarganya. Langkah yang berat. Langkah yang bahaya. Langkah yang menyedihkan. Langkahnya.
Tidak. Esmeralda tidak bisa. Dirinya tidak mau.
Esmeralda membuka kunci pintu masuk utama sebelum menutupnya dengan pelan. Tiba saatnya kembali menghadapi realita kebangsawanannya.
Sampai jumpa di pesta perayaan, Liam.
"Matahari Porta melindungi Anda."
Liam terus melangkah melewati belasan pelayan yang menyambut dirinya di pintu istana. Tatapan pemuda itu lurus ke depan, tidak menghiraukan segala pasang mata yang menatap heran dirinya. Langkahnya akhirnya terhenti saat seorang pemuda--berpakaian lebih berkelas dari para pelayan--berdiri menghalangi jalannya. Ah, interogatornya sudah tiba.
"Minggir," desis Liam. Suaranya memberat. Kehangatan yang terpancar dalam suaranya saat tadi bersama Esmeralda menghilang begitu saja. Persona pangerannya kembali bangun dengan cepat saat ia menampakkan diri di Istana Albens. Menampakkan diri di hadapan pria di depannya.
Pemuda bermata cokelat itu mengabaikan perintah Liam dan malah bertanya, "Yang Mulia Pangeran Liam, kenapa pakaian Anda kacau sekali?" Mata Kane dengan cepat melirik ke dalam jubah kuning Liam yang tidak sengaja tersibak, menampilkan kemeja putih yang sobek di beberapa bagian, bagian yang mengarah ke area perut. Liam bahkan tidak mengenakan rompi di luar kemejanya. Apa sang pangeran tadi memilih menyamar menjadi jelata? Tidak. Liam pasti akan mengenakan rompi sederhana jika memang begitu.
Liam balas menilik pemuda yang lebih pendek di hadapannya. Suara tajam itu adalah suara yang paling tidak ingin sang pangeran dengar saat ini. Juga, kemampuan observasi yang sangat Liam benci. "Bukan urusanmu. Minggir!"
Lawan bicara Liam masih setia di posisinya dan kembali berkata, "Yang Mulia, itu juga termasuk urusan saya sebagai Kepala Pelayan Keluarga Kerajaan." Kane menatap tepat ke bola mata Liam. "Ke mana saja Anda pergi tanpa membawa rombongan pengawal, Yang Mulia?"
"Kane," desis Liam. Iris ungu sang pangeran menggelap, bersamaan dengan langkahnya yang mendekati sang kepala pelayan. Semakin menutup jarak mereka berdua. "Ingat tempatmu." Adalah hal yang diucapkan Liam. Kalimat yang memiliki arti tutup mulut sialanmu. Siapa kau yang berani mempertanyakan aku?
Para pelayan yang berada di sekitar Liam dan Kane menundukkan kepala mereka dengan bibir yang tertutup rapat. Tidak ada yang berani bergerak untuk meninggalkan ruangan. Mereka hanya berdiam diri, seperti layaknya patung pajangan.
Orang yang dituju Liam tetap tidak menunjukkan perubahan ekspresi apapun. Ia tetap menatap Liam, kini lebih mendongak akibat jarak yang dibuat Liam. Ia tahu betul tempatnya. Benar, jabatan seorang kepala pelayan saja tidak cukup untuk mengintrogasi sang pangeran. Sangat tidak cukup. Tidak jika dia adalah seorang kepala pelayan biasa. Namun, dia tidaklah biasa.
Dia Kepala Pelayan Kane.
"Yang Mulia, saya ingat betul tentang posisi saya. Dan hal ini memang tugas saya. Saya harus tahu tentang segala hal yang terjadi pada Anda ...," Kane menjeda kalimatnya, "atas perintah Yang Mulia Ratu."
Kepala pelayan dari semua kepala pelayan. Kepala Pelayan Kane.
"Yang Mulia Ratu tidak memuji perbuatan Anda yang meninggalkan rombongan pengawal Anda untuk menjaga bagunan kosong selama nyaris seharian," lanjut Kane dengan nada serendah mungkin hingga hanya sang lawan bicara seorang yang dapat mendengarnya. "Bahkan dengan tujuan penyamaran, setidaknya bawalah lebih dari satu pengawal dan buatlah laporan ke beliau, Yang Mulia."
Liam mengembuskan napas dengan keras. Subuh tadi, Liam dengan jelas memerintahkan tidak ada yang boleh memasuki gedung tempat seharusnya ia berada. Dengan sindiran Kane--juga laporan sang kusir--jelas pengawalnya gagal menghalangi masuknya pemuda itu. Atau, saking berhasilnya mereka malah membuat Kane menyimpulkan dengan sendirinya. Apapun jawaban yang benar, sudah tidak ada artinya sekarang. Namun, apa yang Liam harapkan? Liam tahu betul akan hasil yang tidak ingin dia akui ini, terima kasih atas keterlambatannya untuk kembali ke istana.
Kane tersenyum tipis. "Atau setidaknya ke saya."
Ucapan lanjutan Kane membuat tawa hambar keluar dari mulut Liam. Tawa yang membuat ketegangan ruangan memanas. "Enak sekali menjadi boneka Yang Mulia Ratu, ya?" Sang pangeran menepuk--dan mencengkeram--bahu Kane. Sentuhan yang memuakkan.
Dengan gerakan pelan, Liam menundukkan kepalanya hingga bibirnya berada tepat di dekat telinga Kane. "Baik, Kepala Pelayan Kane. Laporkan padanya permintaan maafku, juga laporkan bahwa aku baru saja diserang di daerah kerajaanku sendiri saat menginspeksi perbatasan," bisik Liam penuh penekanan.
"Yang Mulia, itu berita buruk," tutur pelan Kane dengan nada iba. Matanya melirik ke kiri, ke arah Liam yang begitu dekat dengan wajahnya. Wajah Kane berubah simpatik saat lanjut bertanya, "Anda baik-baik saja?"
Darah Liam seketika mendidih melihat ucapan serta ekspresi yang diberikan Kane. Ia menyingkirkan tangannya dari bahu Kane.
"Yang Mulia?"
"Kau kecewa aku baik-baik saja?" desis Liam.
Kane tersenyum sopan. "Yang Mulia, keselamatan Anda adalah prioritas saya."
"Prioritas?"
"Yang Mulia, sudah tugas saya untuk memantau keselamatan Anda. Yang Mulia Ratu selalu mencemaskan keadaan Anda."
Sudah cukup! Liam sungguh muak mendengar semua ini. Liam sudah muak dengan pemuda berwajah menyebalkan di depannya. Sang pangeran menarik badannya, berjalan melewati tubuh mengganggu Kane, dan sengaja menyenggol bahu sang kepala pelayan dengan cukup keras.
Kane menunduk hormat saat Liam menabrak bahunya. Telinganya menangkap suara langkah Liam yang semakin menjauh hingga akhirnya hilang diiringi bantingan pintu yang cukup keras. Kane mengangkat kepalanya setelah memastikan Liam sudah pergi menjauh.
Seulas senyuman terukir di wajah Kane sebelum luntur perlahan saat mendapati sepasang mata biru yang menatap tepat ke matanya.
Cordelia berdiri dengan anggun di ujung ruangan. Gadis itu menatap Kane dengan tatapan tajam sebelum senyuman manis terbentuk di bibir merahnya.
"Sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat."
Semua kepala--kecuali Cordelia, Kane, dan empat orang yang membentuk rombongan Cordelia--yang ada di dalam ruangan sontak terangkat saat mendengar suara manis Cordelia. Sejak kapan gadis itu berdiri di sana?
"Yang Terhormat Cordelia?!"
"Yang Terhormat, sejak kapan Anda di sini?!"
"Yang Terhormat ...."
Cordelia masih tersenyum manis saat mendapati kerumunan pelayan yang menyambut dirinya. Ekspresinya melembut melihat beberapa wajah yang menyambutnya dengan hangat.
"Yang Terhormat Cordelia la Maranth." Kane berjalan mendekat, membelah kerumunan pelayan yang melingkari Cordelia. "Selamat datang di Istana Albens yang hangat ini! Maafkan kami yang telat menyambut kedatangan Anda." Kane menundukkan kepala dengan hormat dengan tangan kanan dilipat depan pinggang. Senyuman penuh sopan kembali terpancar dari wajah tirus Kane. "Kami tadi mengantarkan Yang Terpandang Jilli Ergon keluar hingga belum sempat membuat persiapan untuk Anda."
Nona Jilli Ergon. Cordelia ikut tersenyum, tetapi matanya tidak lepas menatap senyuman menyebalkan Kane. Ia mengangguk sopan. "Maaf aku datang lebih terlambat dari jadwal," ujarnya dengan suara semanis madu. "Ini bahkan sudah lewat jam malam." Ia memandang seluruh pelayan yang mengerubunginya dengan tatapan penyesalan.
"Anda tidak perlu minta maaf! Tidak apa-apa!" Salah satu pelayan wanita paruh baya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum lembut.
"Iya, tidak apa-apa, Yang Terhormat." Pelayan pria yang terlihat paling muda tersenyum cerah.
Kane berdeham, membuat para pelayan lain yang hendak membalas sontak menutup mulutnya. "Yang Terhormat, pasti Anda terkejut melihat ... pemandangan tadi. Maafkan saya," jelas Kane.
Cordelia menggeleng pelan. Sama sekali tidak. Ini bukan kali pertamanya ia menginjakkan kaki di Istana Kaca Thersaga ini, pun bukan kali pertama melihat interaksi Liam dengan Kane. Kane tentu tahu tentang ini. Bagaimana mungkin tidak? Namun, tentu saja Cordelia pura-pura mengabaikan semua interaksi tidak menyenangkan itu.
"Kau sepertinya memiliki hari yang berat, Kane," tutur Cordelia dengan wajah yang simpatik. Ia menyatukan kedua tangannya di depan dada, dengan telapak tangan kanan menumpuk di depan punggung tangan kiri. Sebuah sikap sempurna dalam menanggapi situasi buruk dalam etiket bangsawan wanita Airez.
"Yang Terhormat tidak perlu khawatir. Itu memang tugas saya. Terima kasih atas perhatian Anda." Kane tentu tahu arti gerakan Cordelia. Menghabiskan masa kecil melayani Cordelia setiap berkunjung ke Porta telah membuat pemuda yang lima tahun lebih tua dari Liam itu mau tidak mau harus mempelajari beberapa etiket dasar bangsa Airez. Terlebih, saat awal-awal Cordelia yang belum terbiasa dengan etiket kerajaan Porta. Dan, Kane tahu betul itu gerakan yang tidak tulus.
Namun, Kane masih tersenyum sopan sambil melanjutkan berkata, "Yang Terhormat pasti lelah saat perjalanan jauh. Mari saya antar ke kamar Anda."
"Yang Terhormat, biar kami bawa koper-koper Anda."
Tangan kanan Cordelia sontak terangkat dengan telapak tangan menghadap para pelayan. "Tidak perlu repot-repot." Ia menyunggingkan senyum pada pasukan pelayan yang hendak mengambil koper-koper yang berjejer di belakang dirinya berdiri.
"Yang Terhormat?"
"Katakan, apa sudah begitu lama sejak terakhir kali aku datang ke Porta?" Tawa kecil keluar dari mulut merah merona Cordelia. Tanpa menunggu jawaban dari pertanyaannya, ia lalu menepuk tangan, sekali tepukan. Dengan sekejap, koper-koper berwarna merah itu melayang rendah di atas permukaan lantai, membuat para pelayan sontak mundur dengan ekspresi terkejut.
Kepala Pelayan Porta yang menonton kebodohan anak buahnya, berdeham. "Tentu saja koper Yang Terhormat sudah dilapisi sihir dari Kristal Sihir. Di depan kalian adalah Bangsawan Tinggi Airez." Ia melirik Cordelia yang memilih mengabaikan tatapannya dengan menghadap gerombolan pelayan yang terdiam seperti patung. Orang itu tidak melewatkan kesempatan untuk memamerkan kesombongan kerajaan tercintanya rupanya. Perut Kane tergelitik memikirkannya. "Kalian tidak lupa, bukan?"
"Sa-saya lupa ...." Pelayan wanita berambut cokelat menundukkan kepalanya.
"Astaga, bodohnya saya!" Semburat merah muncul di pipi pelayan pria yang terlihat paling muda.
Kane kembali berdeham--entah untuk berapa kalinya. "Yang Terhormat, mari saya antar ke kamar Anda." Kane menggerakkan tangannya dengan hormat.
Cordelia mengangguk sopan, masih terang-terangan mengabaikan wajah Kane dengan melihat wajah satu persatu pelayan yang lama tidak menyapanya. "Semoga kalian mimpi indah," ucapnya pada para pelayan Porta sebelum kepalanya mengangguk pelan pada pelayan muda dan tiga kesatria yang dibawanya dari Airez. Anggukan yang dibalas dengan penghormatan untuk sang nona.
"Semoga Yang Terhormat mimpi indah!" seru para pelayan dengan kompak. Tidak hanya berhenti di situ, berbagai kalimat penyemangat turut diucapkan untuk sang gadis yang mulai berjalan berjauh mengikuti Kane. Saking banyaknya hingga masih terdengar di telinga Kane meskipun suara mereka--yang kini terdengar berusaha bergosip dengan rombongan Cordelia--mulai ditelan lorong.
Mereka sangat antusias jika ada Cordelia. Kane tetap saja masih terkesima akan hal itu. Ia melirik punggung Cordelia. Anak buahnya terlalu bodoh untuk menyambut orang di depannya ini dengan begitu gembira. Entah sampai kapan mereka akan mempertahankan sifat bodoh itu. Sifat yang membuat Kane tersenyum memikirkannya. Bagaimana jika Cordelia la Maranth mendapatkan reaksi yang biasa diperoleh Jilli Ergon? Bagaimana jika anak buahnya itu akhirnya berbalik menilai orang di depannya ini? Ah, Kane amat penasaran jika hal itu akhirnya terungkap.
Jika hal itu terungkap. Mungkin Matahari dan Bulan akan kembali bersatu terlebih dahulu sebelum skenario di otak Kane terwujud. Namun, tetap saja, itu skenario yang menyenangkan.
Kane mengubur kembali pikiran menyenangkan itu. Ia lalu memindahkan pandangan, melirik koper Cordelia yang terbang mengikuti mereka. "Pengaplikasian Kristal Sihir yang terlalu sering dapat merusak barang itu sendiri. Yang Terhormat, saya dengar Aliansi Sihir akhirnya berhasil menemukan solusinya?"
Cordelia tidak langsung membalas. Cukup lama ia terdiam sebelum membuka mulutnya, tanpa menghentikan langkah ataupun melirik Kane yang entah apa rencana yang terpikir di otak licin itu. "Lebih tepat untuk bertanya langsung pada keluarga Dass. Permasalahan Aliansi Sihir adalah hal yang tidak bisa kau bicarakan sembarangan, Kane." Suara madunya berbanding terbalik dengan tatapan dingin yang terlihat. "Aku sarankan untuk berhenti mengatakan rumor yang berkaitan dengan aliansi hingga mereka memberikan pernyataan resmi."
Pemuda di samping Cordelia kembali tersenyum sopan, berpura-pura untuk tidak menyadari sorot tajam yang tentu sangat ia sadari meskipun hanya melihat sisi belakang Cordelia. "Tentu saja. Maafkan keingintahuan saya yang besar ini. Saran Anda akan saya ingat baik-baik." Atau tidak diingat sama sekali. Itu tidak begitu penting. Hanya basa-basi yang diperlukan Kane. Permulaan.
Kane mempercepat langkah, berusaha menyamakan posisinya. Ia berdeham sopan. Kali ini, Cordelia pasti mau menjawabnya. "Yang Terhormat, kakak ipar sepupu jauh saya di Airez mendengar pengumuman menggembirakan. Ia mengatakan ada tambang Kristal Sihir baru yang berhasil ditemukan."
"Benar," jawab Cordelia. "Satu tambang magtro--atau yang kalian sebut Kristal Sihir--baru telah ditambah ke aset Kerajaan Airez."
"Sebagai satu-satunya kerajaan di Thersaga yang memiliki tambang Kristal Sihir, Airez pasti akan selalu makmur." Sudut bibir Kane terangkat, tersenyum sopan. "Begitu juga para bangsawannya. Kristal Sihir yang berharga itu bagai rempahan pasir di tangan para bangsawan Airez. Tidak terhingga."
Cordelia menghentikan langkahnya. "Mendengarnya dari mulutmu, Kane," Cordelia tersenyum manis, "itu terdengar seperti sebuah hinaan dibandingkan pujian."
Kane menundukkan kepalanya. "Yang Terhormat, itu adalah pujian terdalam dari lubuk hati saya. Maaf jika Anda merasa tersinggung."
Cordelia menatap tajam pria bermata cokelat di sampingnya yang menunduk hormat. "Aku hanya bercanda," ungkap Cordelia sebelum kembali berjalan. Namun, tentu Kane tahu betul itu sebuah kebohongan. Dan, Cordelia tahu betul Kane mengetahui hal itu.
Kane merapatkan bibir, menahan senyum sopannya yang hendak memudar. Oh, Kane sangat menikmati hal ini. Ia berdeham, menelan kembali tawa yang hendak keluar. "Setahun Anda absen dari Istana Albens sepertinya membuat saya sedikit melupakan selera humor Anda." Kane menjajarkan--mengejar-- langkahnya dengan Cordelia, membuat langkah kakinya bergema sesaat di lorong yang sepi. "Yang Terhormat, apa Anda akan kembali esok sore?"
"Siang, Kane," jawab Cordelia.
Kane melebarkan senyumannya. Waktu yang cepat sekali. "Yang Terhormat, saya mungkin bisa mengganti jadwal rapat Pangeran esok pagi dengan jadwal bersantai di balkon sambil menikmati kudapan manis ditemani pemandangan laut yang jernih." Tangan panjang Kane membukakan pintu kamar untuk sang bangsawan. "Apa Anda masih menyukai matahari Porta?"
Cordelia berjalan memasuki kamar yang tersedia untuknya. Ia terdiam sejenak dengan posisi berdiri membelakangi Kane. Tatapan gadis itu melembut. Akhirnya ada perkataan Kane yang menyenangkan untuk di dengar. Tetapi, Cordelia melirik pemuda di belakangnya, apa yang kau rencanakan?
"Sudah lama aku tidak merasakan hangatnya matahari Porta."
Kane menunduk hormat. "Akan saya siapkan." Dengan perlahan, tangannya mulai menutup pintu kamar Cordelia saat semua koper-koper gadis itu telah masuk.
"Mimpi indah, Yang Terhormat Cordelia la Maranth."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top